Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH RELASI GENDER DALAM AGAMA-AGAMA

PEREMPUAN, AGAMA, DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM

Dosen Pengampu : Siti Nadroh M.Ag

Disusun Oleh:

Achmad Luthfi Assyhddiq 11200331000041


Ashari 11200331000046
Maisaroh 11200331000061
Muhamad Tofik Mubarok 11200331000027

AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama bagi kemerdekaan kaum perempuan dan
memandangnya sejajar dengan kaum laki-laki, Islam memberikan hakhak
yang penuh dalam semua aspek kehidupan bagi kaum perempuan. Kaum
wanita (perempuan) dengan rahmat Allah SWT dan dibawah risalah Islam
dikembalikan pada kedudukannya yang mulia sebagai panglima keadilan
dan pelindung Islam.
Sejarah Islam mencatat, kedudukan dan peran wanita mengalami
pasang surut sesuai dengan budaya masyarakat yang berlaku dalam
masanya. Pada masa pra-Islam posisi perempuan berbeda dengan masa
Islam. Pada masa Islam dapat dikategorikan menjadi 3 masa yakni masa
klasik, pertengahan, dan modern.
Oleh karenanya, makalah ini akan membahas perjalanan
perempuan sepanjang sejarah Islam dalam kaitannya dengan kondisi dan
peran perempuan, apakah terjadi kesetaraan atau justru mengalami
ketidakadilan.
B. Rumusan Makalah
1. Bagaimana kondisi sosio-historis perempuan pada masa pra
Islam ?
2. Bagaimana kedudukan dan peran perempuan pada masa Rasulullah
dan Khulafaur Rasyidin ?
3. Bagaimana kedudukan dan peran perempuan pada masa Dinasti-
Dinasti Islam ?
4. Bagaimana sejarah perjuangan kesetaraan perempuan dalam dunia
Muslim pra-abad 19 ?
C. Tujuan Makalah
Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk menguraikan secara jelas,
bagaimana kondisi dan peran perempuan dalam sejarah Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Sosio-Historis Perempuan Pra-Islam


1. Masa Yunani Kuno

Di masa Yunani kuno ini perempuan dipaksa memikul dengan tanpa


persetujuannya, karena memang persetujuan dianggap sebagai sesuatu yang tidak
perlu. Orang tua mengharuskan putrinya patuh sepenuhnya pada kehendak
mereka, meskipun harus menikah dengan orang yang tidak ia cintai.Perempuan-
perempuan Yunani harus tetap selalu mentaati segala sesuatu yang berasal dari
laki-laki, apakah dia itu ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya bahkan paman-
pamannya.

Selama kejayaan peradaban Yunani, perempuan suci dipandang sebagai


sesuatu yang amat berharga. Perempuan-perempuan Yunani mengenakan sejenis
cadar, mereka ditempatkan di asrama khusus perempuan Perempuan di Yunani
terklasifikasi menjadi 3 macam :

a) Para pelacur yang semata bertugas sebagai pemuas nafsu laki-laki


b) Selir-selir yang tugasnya adalah merawat tubuh dan kesehatan tuannya,
memijat.
c) Para istri yang bertugas merawat dan mendidik anak-anak sama seperti apa
yang dilakukan oleh para pengasuh anak atau baby sitter dewasa ini.
2. Masa Romawi

Perempuan selalu di bawah perlindungan dan pengawasan suaminya.


Selama masa itu bila seorang perempuan menikah, maka dia dan segala miliknya
berada di bawah kehendak suami. Tidak hanya itu, suami juga mengambil alih
hak-hak sang istri. Jika seorang istri melakukan suatu kesalahan, maka adalah hak
suami untuk memberikan hukuman baginya.

Seorang suami bahkan bisa memvonis mati terhadap istrinya. Jadi


kedudukannya sebanding dengan seorang budak yang semata-mata tugasnya
menyenangkan dan menguntungkan tuannya. Dia tidak diizinkan untuk
mengambil bagian dalam segala persoalan, baik yang bersifat pribadi maupun
kemasyarakatan. Dengan kata lain, dia tidak berhak menerima surat kuasa atau
kekuasaan, saksi, menjadi penjamin orang lain dan bahkan menjadi wali.

3. Di India

Perempuan dipandang sebagai sumber dosa dan sumber dari keburukan


akhlak dan agama. Seorang istri di India terbiasa memanggil suaminya dengan
”Yang Mulia”, atau bahkan ”Tuhan”, karena laki-laki memang dipandang sebagai
penguasa bumi. Seorang istri tidak pernah diajak makan bersama dengan
suaminya.

Dia harus memuja suaminya. Dia juga harus melayani ayah dari suaminya,
karena perempuan dianggap barang milik suami, dan dia harus patuh kepada
anak-anaknya. Seorang perempuan India dijadikan permainan nafsu kebinatangan
belaka, masyarakat India memandang hubungan seks antara seorang laki-laki dan
perempuan sebagai sesuatu yang menjijikkan dan zalim dengan tidak memandang
sah atau tidaknya hubungan tersebut.

4. Masyarakat Yahudi

Beberapa kepercayaan Yahudi memandang perempuan sebagai makhluk


yang lebih rendah dibandingkan laki-laki yang lainnya bahkan menganggap
perempuan lebih rendah kedudukannya daripada khadam (pembantu) laki-laki.

Perempuan tidak mendapatkan warisan apapun dari orang tuanya, jika ia


masih mempunyai saudara laki-laki. Ayahnya berhak untuk menjual dirinya jika
telah menginjak dewasa. Apabila seorang perempuan memutuskan untuk
menikah, maka semua miliknya menjadi milik suaminya.

Seorang suami memiliki hak penuh atas milik istri selama mereka terikat
dalam ikatan pernikahan. Jika ia menemukan suaminya di tempat tidur bersama
perempuan lain, maka dia harus tetap diam dan tidak boleh mengeluh. Hal ini
disebabkan suami mempunyai hak penuh atas dirinya, suami dapat berbuat sesuka
hatinya.

5. Masyarakat Kristen

Pandangan Kristen tentang perempuan; hasil dari konferensi agama


Kristen pada abad ke-5 merumuskan bahwa perempuan itu tidaklah mempunyai
jiwa dan kediamannya adalah di neraka.

Hanya ada satu kekecualian yaitu terhadap Maryam; ibunda Isa Almasih.
Seabad kemudian,konferensi yanglain digelar dengan mengambil topik bahasan
hakikat perempuan, apakah dia itu manusia atau bukan. Mereka akhirnya sampai
pada satu titik kesimpulan bahwa perempuan adalah manusia. Perempuan
diciptakan sebagai pelayan dan untuk keuntungan kaum laki-laki. 1

B. Kedudukan dan Peran Perempuan pada Masa Rasulullah dan


Khulafaur Rasyidin

Perempuan seperti halnya kaum laki-laki adalah makhluk sosial yang tidak
bisa hidup sendiri. Ruang lingkup sosial itu sendiri amat luas, dari kehidupan
keluarga sampai masyarakat dapat dikatakan masalah sosial. Jadi peran
perempuan dalam keluarga dapat dikatakan peran sosial karena keluarga
merupakan salah satu bagian dari kehidupan bermasyarakat. Dalam sebuah
lingkungan nyata, kontribusi sosial dan politik perempuan haruslah diletakkan
dalam suatu cara bahwa aktivitas-aktivitas kolektif didasarkan atas sebuah
kehendak bebas, sukarela, sadar, dan aktif. Inilah sebuah situasi ketika individu
masyarakat mengorganisasikan dan mengatur urusan urusan sosial (baik langsung
maupun tidak) serta membantu membentuk kehidupan masyarakat yang beradab.

Pada masa awal Islam, perempuan tidak dilarang untuk ambil bagian
dalam persoalan-persoalan sosial atas dasar dua prinsip utama yaitu, pertama,
seorang perempuan tak dapat mengorbankan tanggung jawab dan tugas penting

1
R. Magdalena, “KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PERJALANAN SEJARAH (Studi Tentang
Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat Islam)” , Harkat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan
Anak,Vol.II,No.1,2017. hlm 16-19.
mengatur keluarga dan mendidik anak-anak yang akan menjadi anggota
masyarakat yang berharga pada masa selanjutnya (the next generation). Salah satu
tanggung jawab krusial seorang perempuan dalam Islam adalah menjadi sosok ibu
dan pendidik anakanak yang saleh. Perempuan bertanggung jawab membesarkan
generasi muda dalam masyarakat. Artinya, kaum perempuan, dengan
menggunakan metode-metode pendidikan yang benar, dapat membangun pribadi-
pribadi muslim yang luar biasa dan melahirkan generasi muslim yang unggul dan
kompetitif.

Pendidikan berlangsung dalam lingkungan rumah tangga atas tanggung


jawab seorang ibu. Sehingga kita layak mengapresiasi dan bahkan bisa
menyatakan bahwa peran perempuan dalam masyarakat sama penting, bahkan
lebih penting bila dibandingkan dengan laki-laki. Prinsip kedua, bahwa seorang
perempuan tidak dapat menjadikan dirinya semata-mata boneka yang dapat
dimanfaatkan dan hanya memenuhi hasrat amoral pria. Ini karena peran
perempuan memiliki karakteristik khusus. 2

Pada masa Nabi Muhammad Saw. kaum perempuan sudah memainkan


peran-peran politis dalam rangka menegakkan kalimat-kalimat Allah, seperti
melakukan dakwah Islam, ikut berhijrah bersama Nabi, berbai’at kepada Nabi
Saw., dan melakukan jihad atau ikut serta dalam peperangan bersama-sama kaum
laki-laki. Semua hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. Mengikutsertakan
perempuan di dalamnya. Dalam berbagai peristiwa hijrah, perempuan memainkan
peran yang cukup penting. Kaum perempuan juga melakukan bai’at bersama
kaum laki-laki di hadapan Nabi. Kaum perempuan juga terlibat aktif dalam
kegiatan dakwah Islam sehingga banyak perempuan kafir Quraisy yang kemudian
menjadi Muslimah karena ajakan mereka. Begitu juga dalam hal jihad atau
peperangan, sebagian besarnya menyertakan perempuan di dalamnya. Meskipun
peran mereka sebagai pendukung atau pendamping, tetapi peran mereka sangat
penting dan menanggung resiko yang sama seperti halnya laki-laki. Dalam
mengatur urusan pemerintahan, perempuan belum banyak berperan pada masa ini,
2
Zaky Ismail Perempuaan dan Politik Pada Masa Awal Islam (Studi Tentang Peran Sosial dan
Politik Perempuan Pada Masa Rasulullah) Volume 06, No 01 Juni 2016 Hal. 135
mengingat Nabilah yang memiliki otoritas tertinggi. Namun peran ummahat al-
mu’minin cukup besar dalam memberikan masukanmasukan kepada Nabi dalam
memutuskan berbagai kebijakan kenegaraan.3

Di antara problem yang dihadapi perempuan dalam melakukan peran-


peran politis pada masa Nabi adalah tekanan kaum kafir Quraisy Makkah di awal
dakwah Islam, kelemahan fisik mengingat begitu beratnya aktivitas yang
dilakukan untuk berhijrah dan berjihad misalnya, serta kehilangan keluarga dan
harta serta kampung halaman. Namun demikian, problem-problem seperti ini
tidak menghalangi peran-peran perempuan di dunia politik.4

Sejarah mencatat banyak sekali peran perempuan dalam masa Khulafaur


Rasyidin. Setelah Rasulullah Saw. wafat, kaum Muslimin yang belum kuat
imannya mengalami goncangan. Mereka tergoda untuk kembali ke kepercayaan
nenek moyangnya.

Abu Bakar ash-Shiddiq, seorang sahabat yang disepakati oleh kaum


Muhajirin dan Anshar sebagai Khalifah, mengangkat tugas pertama
kekhalifahannya untuk memerangi mereka yang berkenan kembali ke
kepercayaan nenek moyang mereka alias murtad dari agama Allah. Perang Riddah
(perang yang dilaksanakan untuk menghancurkan kaum murtad) dikobarkan oleh
khalifah pertama ini. Pada masa perang Riddah ini, perempuan tidak ketinggalan
untuk ambil peran dalam menjaga agama Allah. Misalnya dalam kasus
Musailamah bin Habib al-Yamamy alKadzdzab, seorang pendusta yang mengaku
sebagai nabi, perempuan memainkan aksinya untuk ikut menghancurkan sang
nabi palsu. Adalah Ummu Amarah, Nusaibah binti Ka’b, perempuan yang
berangkat ke Yamamah bersama kaum Muslimin untuk memberangus
Musailamah (Ziyadah, 2001: 199). Keikutsertaan Nusaibah binti Ka’b ini
menandakan bahwa peran perempuan adalah sejajar dengan laki-laki dalam hal

3
Marzuki dan Suharno Keterlibatan Perempuan Dalam Bidang Politik Pada Masa Nabi
Muhammad SAW dan Masa Khulafaur Rasyidin, Vol. 13, No. 1, April 2008: 77
4
Zaky Ismail Perempuaan dan Politik Pada Masa Awal Islam (Studi Tentang Peran Sosial dan
Politik Perempuan Pada Masa Rasulullah) Volume 06, No 01 Juni 2016 Hal. 155
membela Islam. Hal ini membuat posisi politis perempuan juga terangkat dengan
sendirinya.

Kaum perempuan juga aktif memainkan peran-peran politis yang lain pada
masa Khulafaur Rasyidin. Ummahat al-Mu’minin menjadi motor penggerak kaum
perempuan pada waktu itu untuk aktif dalam peran-peran politik tersebut. Yang
paling banyak terlibat dalam aktivitas politik pada masa ini dan paling banyak
disebut-sebut dalam literatur sejarah adalah Aisyah r.a. Dialah yang banyak
berperan dalam melakukan rekonsiliasi umat Islam pada saat terjadinya masa
kekacauan, baik pada masa Usman bin Affan maupun pada masa Ali bin Abi
Thalib. Problem besar yang dihadapi pada masa Khulafaur Rasyidin adalah bahwa
yang saling bertikai pada saat kekacauan adalah sesama Muslim dan juga ulah
kaum munafik, seperti yang dimotori Abdullah bin Saba’. Dialah yang
menyebarkan provokasi di tengah-tengah umat Islam, sehingga umat Islam
termakan dan mengalami masa kekacauan yang cukup panjang.5

C. Kedudukan dan Peran Perempuan pada Masa Dinasti Islam

Masa Dinasti Islam seringkali disebut juga masa abad pertengahan Islam
yang berlangsung sekitar 1000-1800 M. Meski begitu, munculnya Dinasti Islam
sebenarnya sudah berlangsung sejak akhir abad ke-VII M dengan berdirinya
Dinasti Umayyah. Kemudian dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiyah yang
berlangsung sejak 750-1258 M, yang sekaligus disebut masa keemasan Islam.

Pada masa Dinasti Umayyah, umumnya perempuan memiliki kedudukan


yang sama dengan laki-laki, terutama terkait akses pada ilmu pengetahuan dan
agama. Banyak perempuan yang mencurahkan perhatiannya untuk belajar syariat,
fiqih, sastra, dan kaligrafi. Salah satu di antaranya yaitu ‘Umrah, yang mana
menjadikan rumahnya sebagai tempat berkumpulnya para penyair. Ada juga

5
Marzuki dan Suharno Keterlibatan Perempuan Dalam Bidang Politik Pada Masa Nabi
Muhammad SAW dan Masa Khulafaur Rasyidin, Vol. 13, No. 1, April 2008: 194
Zainab binti at-Thasyriyyah dari Bani ‘Amir yang dikenal karena kefasihan dan
syair-syairnya yang tenang.6

Pada masa awal Dinasti Abbasiyah, kaum perempuan memiliki tingkat


kebebasan yang sama dengan kondisi perempuan pada masa Dinasti Umayyah.
Banyak perempuan berhasil mengukir prestasi dan mempunyai peranan penting
dalam pemerintahan, misalnya; Khayzuran (istri al-Mahdi dan ibu al-Rasyid),
Zubaydah (istri al-Rasyid), dan Ubaydah al-Thunburiyah yang terkenal sebagai
musisi yang cantik.7 Seorang orientalis Rusia, Ahmad Ajayef bahkan
menyebutkan bahwa pada masa Abbasiyah kaum perempuan mempunyai peranan
penting dalam mendidik anak-anak gadis, mengajarkan seni, budaya, dan ilmu
pengetahuan. Meski begitu, masyarakat mempunyai kriteria yang cukup ketat
dalam mencari seorang guru. Hanya mereka yang mempunyai skill dan
kompetensi tinggilah yang dipilih sebagai guru.8 Hal ini menunjukan betapa
perempuan mempunyai posisi yang amat sentral dalam memajukan kehidupan
masyarakat pada saat itu.

Akan tetapi, menjelang berakhirnya abad X M keadaan mulai berbalik


dengan diberlakukannya pemingitan (pengurungan) terhadap perempuan dan
pemisahan yang tajam antara jenis kelamin. Menurut Fatima Mernissi, dalam
sejarah politik Islam, tradisi mengurung perempuan sudah menjadi bagian dari
tradisi Negara. Ketika negara mengalami krisis, menghadapi kerusuhan atau
pemberontakan, maka sudah dapat dipastikan negara akan mengambil kebijakan
“kurung perempuan dan larang peredaran anggur”.9

Pada masa kemundurannya, yang ditandai dengan praktik perseliran


berlebihan, merosotnya moralitas seksual dan kebiasaan berfoya-foya dalam

6
Mufidatutdiniyah, “Peran Perempuan Masa Daulah Abbasiyah Periode 158 H/775 M-321 H/933
M” Skripsi, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013. hlm. 3.
7
Viky Mazaya, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Sejarah Islam”, Jurnal SAWWA – Volume
9, Nomor 2 (April, 2014), hlm 337.
8
Mufidatutdiniyah, “Peran Perempuan Masa Daulah Abbasiyah Periode 158 H/775 M-321 H/933
M” Skripsi,... hlm. 6.
9
Siti Zubaidah, Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kedudukan Wanita dalam Islam (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2010), hlm. 82.
kemewahan, posisi perempuan menukik tajam. Pada masa itu, perempuan
digambarkan sebagai perwujudan dari sifat licik, khianat, dan wadah bagi semua
perilaku tercela. Pemikiran mereka tak dihargai, oleh karenanya menjadi warga
yang terpinggirkan.10

Dari kutipan-kutipan di atas diperoleh suatu kesimpulan bahwa kondisi


perempuan pada masa dinasti-dinasti Islam mengalami naik-turun. Ketika
pemerintahan mengalami kemajuan atau kemakmuran, maka peran perempuan
juga turut serta mengisinya. Tapi, apabila kerajaan/pemerintahan berada pada
kemunduran, maka kaum perempuannnya juga senantiasa mengikutinya.

D. Sejarah Perjuangan Kesetaraan Perempuan dalam Dunia Islam Pra-


Abad 19

Peran perempuan pada abad modern dirintis oleh Al-Thahtawi (1801-1873


M), lebih dipertegas oleh Qasim Amin (1863- 1908) yang mengemukakan bahwa
hijab dan penyisihan perempuan dalam pergaulan tidak terdapat dalam Alquran
dan Hadis; oleh karena itu tidak merupakan ajaran Islam, melainkan kebiasaan
dan tradisi yang kemudian dianggap merupakan ajaran Islam.

Salah-satu tokoh perempuan yang aktif dalam pergerakan perempuan di


Mesir adalah Huda Sya’rawi (1882-1947). Ia mendapatkan pendidikan di rumah
dengan mendatangkan guru belajar bahasa Turki, Perancis dan Bahasa Arab.
Huda Sya’rawi pertama kali terkenal, yakni pada waktu adanya demonstrasi anti
Inggris di Mesir. Dia mengkoordinir para perempuan berkumpul di rumahnya
untuk membicarakan hal-hal apa yang bisa dilakukan atas tertangkapnya Zaghlul.
Pada tahun 1910 Huda Sya’rawi membuka sekolah khusus putri dan membentuk
perkumpulan perempuan pertama yang diketuai langsung Huda Sya’rawi, dan
pada tahun 1923 Huda menghadiri Konferensi Perempuan Internasional di Roma
sebagai wakil Mesir.

10
Viky Mazaya, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Sejarah Islam”, Jurnal SAWWA..., hlm.
337.
Sekembalinya dari Barat dia mulai memikirkan tentang tradisi yang tidak
membolehkannya tampil tanpa jilbab di negerinya sendiri, yang akhirnya Huda
menanggalkan jilbabnya dan tak pernah memakainya lagi; yang kemudian diikuti
oleh perempuan-perempuan lainnya baik di Mesir, maupun di Negara-negara
Timur Tengah. Selanjutnya ia dikenal sebagai pemimpin feminis yang paling
radikal di dunia Islam.

Bersamaan dengan munculnya Huda Sya’rawi, di Turki juga muncul


seorang tokoh perempuan terkenal yakni Halide Edib Hanum (1883-1964).
Perempuan kelahiran Istanbul ini adalah seorang nasionalis, feminis, dan penulis
Turki yang sangat terkenal. Ia banyak menulis artikel-artikel tentang emansipasi
perempuan dan aktif berbicara di depan umum khususnya tentang pendidikan
perempuan dan partisipasi mereka dalam kehidupan nasional.

Sebagai seorang nasionalis, Halide adalah pendukung kuat gerakan


nasionalisme Mustafa Kemal dan juga terlibat aktif dalam perjuangan
kemerdekaan Turki. Pada tahun 1912 ia merupakan satu-satunya perempuan yang
terpilih menjadi anggota Ojak, yakni suatu perkumpulan Nasionalis Turki dengan
cabang-cabangnya tersebar di seluruh negeri.

Berkat usaha-usahanya dalam kongres Ojak, konstitusi dewan dapat


memilih anggota-anggota perempuan lainnya. Selama Perang Dunia I, ia bekerja
di Syria dan Libanon, mengorganisir sekolah-sekolah dan rumah-rumah yatim
piatu bagi beribu-ribu anak pengungsi yang terlantar. Atas perjuang-annya
tersebut, Halide menjadi perempuan pertama sebagai tokoh masyarakat dan
pahlawan nasional. Untuk itu banyak sejarawan modern Turki memasukkan
Halide sebagai seorang intelektual yang paling terkemuka pada masanya, yang
mampu mengorganisir gerakan nasionalis.

Pengaruh kedua tokoh tersebut sangat besar bagi kemajuan perempuan di


dunia Islam, dimana teladan yang telah diberikan menjadi model bagi kebebasan
kaum perempuan Muslim yang selama ini sangat ketinggalan. Dari gambaran
yang diberikan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran aktif yang dilakukan oleh
para tokoh perempuan ini merupakan awal kebangkitan kembali kaum perempuan
di dunia Islam.11

11
Siti Zubaidah, Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kedudukan Wanita dalam Islam...hlm. 83-85.
BAB III

KESIMPULAN

Sebelum hadirnya ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW,


banyak peradaban-peradaban besar yang ada di belahan dunia seperti Yunani,
Romawi, India, Cina, Mesir dan lain-lain, dan juga telah ada agama-agama besar
seperti Yahudi, Nasrani, Budha dll, akan tetapi semua peradaban dan agama
tersebut tidak punya perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perempuan,
bahkan cenderung tidak menghargai sama sekali hak-hak dari kaum perempuan
malahan kaum perempuan punya kedudukan yang direndahkan.

Setelah Islam datang, kedudukan perempuan diangkat, dihargai,


dilindungi, dan disetarakan dengan kaum laki-laki. Pada periode klasik, zaman
nabi, utamanya perempuan termasuk istriistri nabi memiliki peran penting dalam
kehidupan pada masa itu, dalam bidang periwayatan hadis, perang, bisnis, dll
bahkan perempuan mampu menjadi pemimpin dalam perang seperti yang pernah
dilakukan oleh istri Nabi Aisyah.

Pada periode pertengahan, zaman dinasti-dinasti islam, perempuan juga


memiliki peran penting dalam kehidupan politik bahkan mampu bersaing dalam
perlombaan syair yang kala itu menjadi trend dan bergengsi walaupun pada
akhirnya mengalami kemunduran.

Menjelang periode modern dalam Islam, banyak kaum perempuan yang


mulai bangkit dan memperjuangkan hak-haknya kembali. Hal itu dilakukan agar
perempuan mendapat kedudukan dan peran yang setara dengan laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Zaky. (2016). Perempuaan dan Politik Pada Masa Awal Islam (Studi
Tentang Peran Sosial dan Politik Perempuan Pada Masa Rasulullah)
Volume 06, No 1.

Magdalena, R. (2017) “KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PERJALANAN


SEJARAH (Studi Tentang Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat
Islam)” , Harkat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak,Vol.II,No.1.

Marzuki dan Suharno. (2008). Keterlibatan Perempuan Dalam Bidang Politik


Pada Masa Nabi Muhammad SAW dan Masa Khulafaur Rasyidin, Vol.
13, No. 1.

Mufidatutdiniyah. (2013). Peran Perempuan Masa Daulah Abbasiyah Periode


158 H/775 M-321 H/933 M. Skripsi, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta.

Mazaya, Viky. (2014). Kesetaraan Gender dalam Perspektif Sejarah Islam, Jurnal
SAWWA – Volume 9, Nomor 2.

Zubaidah, Siti. (2010). Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kedudukan Wanita


dalam Islam. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Anda mungkin juga menyukai