Anda di halaman 1dari 5

KESETARAAN JENDER PERSPEKTIF ISLAM

Hadhirin sebangsa dan setanah air yang kami hormati

Sejarah mencatat, pada banyak peradaban besar di dunia, wanita dianggap makhluk
pelengkap, setengah manusia, dan manusia kelas dua, yang hak dan kewajibannya, bahkan
kebaradaannya di dunia ini ditentukan oleh laki-laki.

Kita buktikan hadirin, Peradaban Yunani Kuno menempatkan wanita sebagai


makhluk tahanan yang harus disekap dalam Istana untuk dijadikan barang dagangan.
Peradaban Romawi menempatkan wanita sepenuhnya di bawah kekuasaan ayah dan
suaminya. Kekuasaan ini sangat mutlak, termasuk kewenangan untuk mengusir, menganiaya,
menjual, bahkan membunuh wanita. Peradaban Hindu pra abad ke-7 Masehi, sering
menjadikan wanita sebagai sesajen para dewa. Peradaban Yahudi menganggap wanita
sebagai sumber laknat dan bencana karena ia yang menyebabkan Adam terusir dari surge.
Peradaban Nasrani menyatakan wanita sebagai makhluk yang tidak memiliki roh suci.
Bahkan, Peradaban Arab jahiliyah pun menghalalkan pembunuhan terhadap bayi hanya
karena ia terlahir sebagai wanita.

Ilustrasi yang memilikukan tersebut hadirin, menggambarkan kepada kita betapa


wanita pada banyak peradaban sebelum Islam datang adalah makhluk yang sangat hina, tidak
berarti apa-apa, bahkan sangat rendah harkat dan martabatnya. Betul?

Namun, ketika Islam datang, agama ini dengan tegas menentang segala bentuk
tindakan diskriminasi, penghinaan, dan penindasan terhadap wanita. An-nisa ‘imadul bilad
idza shaluhat shaluhal bilad, wa idza fasadat fasadal bilad. Wanita adalah tiang negara, jika
baik wanitanya maka baiklah negara, namun jika jelek wanitanya maka hancurlah negara.
Sabda Rasulullah ini menegaskan bahwa Islam datang untuk mengangkat harkat dan martabat
wanita, sekaligus memposisikan wanita sebagai makhluk yang mulia dan mempunyai
kedudukan setara dengan kaum laki-laki. Setuju?
Lalu, bagaimanakah sebenarnya pandangan islam mengenai wanita? Sebagai
jawabannya, pada kesempatan kali ini kami akan menyampaikan sebuah syarahan al-Qur’an,
dengan judul “Kesetaraan Jender Perspektif Islam”, dengan landasan QS at-Taubah ayat 71:

“Dan orang-orang beriman, laki-laki dan wanita, laki-laki dan wanita, sebagian
mereka )Adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah yang mungkar, mendirikan sholat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya, mereka itu diberi
rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Syeikh Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar menjelaskan, ayat tadi merupakan
informasi langsung dan al-Qur’an, bahwa laki-laki dan wanita mempunyai harkat dan
martabat yang sama di hadapan Allah. Sedangkan Syeikh Thabathaba’i dalam Tafsir Ath-
Thabathaba’i mengatakan, ayat tadi menegaskan kepada kita bahwa penilaian Allah terhadap
manusia tidak dilihat dari jenis kelaminnya, melainkan pada aspek keimanan dan
ketakwaanya.

Sejalan dan sejalin dengan dua penafsiran tersebut, Prof Dr. Nasaruddin Umar, MA,
dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an mengemukakan, laki-laki
dan wanita dalam pandangan al-Qur’an memiliki posisi dan peran yang sama. Laki-laki dan
wanita sama-sama sebagai hamba Allah. Laki-laki dan wanita sama-sama sebagai khalifah.
Laki-laki dan wanita sama-sama menerima perjanjian primodial Tuhan. Laki-laki dan wanita
sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis kehidupan. Bahkan, laki-laki dan wnaita
sama-sama berpotensi meraih prestasi dan pahala. Jelas?

Dengan spirit kesetraan jender inilah hadirin, telah muncul wanita-wanita hebat di
awal kejayaan Islam. Kita mengenal Aisyah, istri Nabi yang hafal ribuan hadist. Ada Nafisah,
wanita keturunan Arab yang pandai hukum tata negara. Kemudian Fathimah binti Aqra’ yang
selain terkenal sebagai syuhada yang lebih dikenal dengan Fakhrun Nisa, atau penghulunya
wanita yang jago retorika. Lalu ada Zainab binti As-Syar’i, Munisah binti Malik, dan
Syamiyah binti Hafidz, tiga wanita cantik jelita, tapi pakar dalam masalah agama, bahasa,
dan aritmatika.
Mereka itulah hadirin, wanita-wanita kebanggan kita yang telah mengangkat citra dan
nama besar Islam sehingga menguasai puncak peradaban dunia. Lalu bagaimanakah dengan
peran wanita di negara kita?

Alhamdulillah, di negeri ini pun wanita memiliki peran yang sangat besar, terutama
pada masa melawan penjajahan Belanda. Kita mengenal R.A Kartini, emansipatoris pertama
Indonesia yang dengan lantang meneriakkan pentingnya pendidikan bagi kaum wanita.
Kemudian Dewi Sartika, wanita gagah perkasa yang siap mengorbankan jiwa raganya demi
kemerdekaan bangsa. Selanjutnya, Cut Nyak Dien, wanita santun tapi hebat yang sanggup
mengusir penjajah dari negeri kita tercinta.

Kita patut bangga kepada mereka, yang telah menunjukkan kepada kita bahwa wanita
bukanlah makhluk yang lemah, wanita bukanlah makhluk tanpa daya, wanita bukanlah
makhluk penggoda, tapi wanita merupakan makhluk digjaya yang siap berperan membangun
negara dan memajukan agama. Setuju?

Itulah hadirin peran wanita dalam kancah kehidupan sosial yang patut kita teladani.
Lalu, bagaimanakah peran wanita dalam kehidupan rumah tangga? Sebagai jawabannya, kita
renungkan firman Allah dalam penggalan surat An-Nisa ayat 34:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki)
telah memafkan sebagaian harta mereka. Sebab itu, wanita yang shaleh adalah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara mereka…”.

Hadhirin sebangsa dan setanah air yang kami hormati

Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan ayat tadi, bahwa laki-
laki adalah pemimpin dalam rumah tangga, oleh karena itu suami berkewajiban memberikan
nafkah kepada isteri, sedangka isteri berkewajiban mentaati suami selama suaminya tidak
mengajak melakukan kemaksiatan kepada Allah.
Kita kaji lebih dalam hadirin, ayat tadi merupakan landasan metodis dalam
membangun kehidupan berumah tangga. Islam mewajibkan kepada laki-laki sebagai suami
untuk memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya. Tetapi ini bukan berarti wanita sebagai
isteri kerjaannya hanya malas-malasan, enak-enakan, dan tidur-tiduran saja. namun, istri
berkewajiban mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya.

Rasulullah saw bersabda, “Jihadul mar’ati fi baitha.” Jihadnya wanita adalah dalam
rumah tangganya. Artinya, wanita berkewajiban mengurus kebersihan rumahnya dan
melayani suaminya. Ketika suami mau bekerja ia siapkan keperluannya, ia sajikan
makanannya, ia rapihkan bajunya, dan ia antar sampai depan rumah. Selanjutnya, ketika
suami pulang bekerja, ia sambut dengan wajah ramah, senyuman merekah, dandanan
menggoda, dan tatapan penuh cinta, bukan dengan tampang bimoli, alias bibir monyong lima
senti. Betul hadirin?

Demikian juga, isteri berkewajiban mendidik anak-anaknya. Pepatah bijak


mengatakan, “Al-ummu madrasatul ula, idza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal aghraq”
(Ibu adalah sekolah pertama dan utama, jika dipersiapkan dengan baik akan mampu
melahirkan generasi-generasi yang baik pula).

Dengan demikian hadirin, Islam mempunyai konsep yang jelas tentang pembagian
peran antara laki-laki dan perempuan. Pantas, kalau Fatima Mernissi seorang ilmuwan wanita
asal Maroko dalam bukunya Woman and Islam: An Historical and Theological Inquiry
mengatakan, Islam adalah Teoligi Ideal yang meletakkan wanita sebagai mitra sejajar dengan
kaum laki-laki dalam semangat humanis-teosentris. Islam membolehkan wanita untuk aktif
dalam wilayah sosial, namun islam juga mengingatkan wanita agar tidak melupakan
kewajibannya pada wilayah domestic, rumah tangga.

Jika teologi ideal tersebut yang dijadikan pijakan kaum wanita, kami yakin akan
tercipta hubungan harmonis yang didasari rasa kasih saying (mawaddah warahmah) di
lingkungan keluarga, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri
yang damai dan penuh ampunan Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Ini semua
hadirin bisa terwujud manakala ada pola keseimbangan dan keserasian antara posisi dan
peran wanita dalam kehidupan berumah tangga dan kehidupan sosialnya.

Dengan demikian, dari uraian tadi dapat diambil kesimpulan, bahwa laki-laki dan
wanita dalam pandangan islam memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. Keduanya
memiliki hak dan kewajiban yang sama pada peringkat etika religious, serta kewajiban yang
sejajar pada peringkat fungsi sosial. Oleh karena itu, meskipun secara jenis kelamin, laki-laki
dan perempuan itu berbeda (distinction), tapi perbedaan itu jangan sampai melahirkan
pembedaan (discrimination), apa lagi sampai dijadikan dalih untuk menginjak-injak harkat
dan martabat wanita.

Sekian dari kami, kurang lebihnya mohon maaf

Wallahul muata’an

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Anda mungkin juga menyukai