Anda di halaman 1dari 12

Makalah

Perkembangan Hukum Islam Kontemporer

“Aspek Ekonomi : Wanita Karir dan Kepemimpinan Perempuan”

Disusun Oleh :

Kelompok VI

1. Nurhidayanti (10300121078)
2. Mustaufiatul Jannah (10300121070)
3. Tri Furqan Syah (10300121093)

Mata Kuliah : Hukum Islam Kontemporer

Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Tahun 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aspek
Ekonomi : Wanita Karir dan Kepemimpinan Perempuan”. .
Makalah Wanita Karir dan Kepemimpinan Perempuan disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam Kontemporer. Selain itu, penulis juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Wanita
Karir dan Kepemimpinan Perempuan.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak dosen
mata kuliah Hukum Islam Kontemporer. Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait pembahasan yang ditulis penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Makassar, 4 November 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam fakta kehidupan masyarakat kita, terdapat akar sejarah yang panjang
mengenai dominasi laki-laki atas perempuan, dalam sebagian besar sektor yang
dibangun atas dasar tatanan yang timpang, yaitu ketika laki-laki ditempatkan
sebagai pihak superior (kuat) di hadapan perempuan yang dipandang inferior
(lemah) selama berabad-abad. Tatanan ini cukup mapan dan dianggap sesuatu yang
alamiah, bahkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Hal ini dapat dipahami karena
pemapanan struktural ini dikemas sedemikian rupa.

Di sisi lain, Islam sesungguhnya secara ideal-normatif tidak membedakan


antara laki-laki dan perempuan, apalagi mendiskriminasikan perempuan. Bahkan,
sebagai pembawa keselamatan dan kerahmatan seluruh alam (rahmatan lil 'alamin),
Islam menempatkan pengangkatan derajat dan posisi perempuan sebagai bukti
keutamaannya. Perempuan yang pada masa jahiliah tidak dihargai, dengan
kedatangan Islam, ia mendapatkan tempat terhormat, memperoleh pendidikan, dan
terbukanya kesempatan yang lebih luas untuk aktualisasi dan pengembangan diri.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hukum Wanita Karir dalam Islam Kontemporer?
2. Bagaimana Hukum Kepemimpinan Perempuan dalam Islam Kontemporer?.

C. Tujuan Pembelajaran
1. Bagaimana Hukum Wanita Karir dalam Islam Kontemporer
2. Bagaimana Hukum Kepemimpinan Perempuan dalam Islam Komtemporer

1
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, Yogyakarta : IRCiSoD, Edisi Pertama, 2019 h. 5-7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wanita Karir dalam Hukum Islam

Mengenai tentang pengertian wanita karir itu banyak tokoh yang berselisih
pendapat. Karir berasal dari bahasa Belanda yaitu karier yang berarti perkembangan
dan kemajuan dalam kehidupan. Dan bisa juga diartikan dengan pekerjaan yang
memberikan harapan untuk maju. Selain itu kata karir juga sering digunakan untuk
menyatakan tingkat atau jenjang pekerjaan seseorang. Wanita karir dalam arti
wanita yang bekerja di luar rumah dan meniti karir sampai puncak. Wanita karir
berarti wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesinya (usaha dan
perusahaan). Saat ini, peran wanita telah bergeser dari peran tradisional menjadi
modern. Dari hanya memiliki peran tradisional untuk melahirkan anak (reproduksi)
dan mengurus rumah tangga, kini wanita memiliki peran sosial dimana dapat
berkarir dalam bidang kesehatan, ekonomi, sosial, maupun politik dengan didukung
pendidikan yang tinggi. Secara tradisional, peran wanita seolah dibatasi dan
ditempatkan dalam posisi pasif yaitu wanita hanyalah pendukung karir suami. Peran
wanita yang terbatas pada peran reproduksi dan mengurus rumah tangga membuat
wanita identik dengan pengabdian kepada suami dan anak. Sementara wanita
modern dituntut untuk berpendidikan tinggi, berperan aktif, dan kritis.2

Dalam al-Qur’an banyak ayat -ayat yang menunjukkan bahwa pria dan
wanita adalalah semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual. Toha
Husein, dalam bukunya yang berjudul, al-Fitnatu al-Kubra, menjelaskan prinsip
dasar yang dibawa Nabi Muhammad yaitu keadilan (al-adalah), persamaan (al-
musawa) dan musyawarah (al-syura’). Di dalam ajaran Islam, perempuan adalah
mahluk yang dimuliakan.maka dari itu Islam sangat menjaga hak-hak perempuan ,
apakah itu hak untuk memperoleh pendidikan maupun hak untuk memperoleh
pekerjaan dan berkarir. Jauh sebelum gerakan emansipasi dan gender

2
Karimuddin, Wanita Karir dalam Pandangan Islam, Vol. 3, Jurnal Al-Fikrah, No. 1, 2014, h. 103
memperjuangkan hak-hak perempuan dalam pendidikan dan pekerjaan, ajaran
Agama Islam telah memulainya terlebih dahulu.3
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang wanita yang
ingin berkarier (Prabuningrat, 1993);
1. Memiliki kesiapan mental
Wanita karier harus memiliki wawasan tentang bidang yang digelutinya dan
memiliki keberanian memikul tanggung jawab sehingga tidak bergantung
pada orang lain.
2. Kesiapan jasmani
Wanita karier harus sehat secara fisik dan memiliki stamina untuk menekuni
bidang pekerjaan tertentu.
3. Kesiapan Sosial
Seorang wanita karier harus memiliki kemampuan untuk; (a)
mengembangkan keharmonisan hubungan antara karier dan kegiatan rumah
tangga, (b) menumbuhkan saling pengertian dengan keluarga dekat dan
tetangga, (c) mengontrol pergaulan yang luas dengan cara menjaga martabat
diri sehingga terhindar dari fitnah dan gosip, dan (d) beradaptasi dengan
lingkungan terkait.
4. Memiliki kemampuan untuk selalu meningkatkan prestasi kerja demi
kelangsungan karier di masa depan.
5. Menggunakan peluang dan kesempatan yang baik.
6. Mempunyai pendamping yang mendukung dengan gagasan baru.

Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadap wanita dan


menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Dalam prespektif Islam, wanita memiliki peran dan fungsi dalam
kehidupan sehari-hari antara lain:
Pertama, wanita sebagai Ibu. Islam memandang dan memberikan posisi bagi
wanita pada tempat yang mulia dan terhormat. Keberadaan seorang ibu sangat

3
Ismiyati Muhamad, Wanita Karir dalam Pandangan Islam, Vol : 13, Al-wardah: Jurnal Kajian
Perempuan, Gender dan Agama No 1, 2019, h. 109
penting di dalam kehidupan rumah tangga. Di tangan seorang ibu, setiap individu
dibesarkan dengan kasih sayang yang tak terhingga. Ibu dengan taruhan jiwa raga
telah memperjuangkan kehidupan anaknya, sejak anak masih dalam rahim, lahir
hingga menjadi dewasa. Itulah alasan mengapa Islam memberikan kedudukan tiga
kali lipat lebih tinggi dibandingkan Ayah. Di dalam al-Qur’an Allah
memerintahkan manusia untuk menghayati dan mengapresiasi ibu atas jasa-jasanya
dengan berbuat baik kepadanya.
Kedua, wanita sebagai Istri. Peran lain wanita dalam kehidupan sehari-hari
adalah sebagai istri. Suami dan Istri adalah sepasang manusia yang atas dasar cinta
dan kasih suci mengikat diri dalam jalinan nikah. Seorang suami berkewajiban
untuk mencintai dan memberikan nafkah bagi istrinya, sedangkan Istri
berkewajiban mencintai dan melayani suaminya dengan sepenuh hati. Istri dan
Suami memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda dan saling melengkapi.
Sebagaimana yang tertuang dalam al-Qur’an Q.S. AlBaqarah 187, yang artinya:
“.....mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka.....”
Ketiga, wanita sebagai anggota masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok
manusia yang berkumpul dan berinter- aksi dalam rangka memenuhi kebutuhan
bersama. Setiap individu membentuk keluarga dan keluarga-keluarga itu
merupakan komponen masyarakat. Tidak dapat dielakkan bahwa masyarakat
tersebut lebih kurang separuh anggotanya adalah wanita.
Pada dasarnya Islam tidak melarang seorang wanita untuk berkarier
(bekerja), namun dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang
wanita demi terjaminnya kemaslahatan bagi wanita itu sendiri. Beberapa syarat-
syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: (1) Wanita karier harus berjilbab
dan menutup aurat, (2) Memiliki komitmen dengan akhlaqul karimah,
menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara, dengan kata
lain tidak dengan suara yang dibuat-buat, dan (3) Menjauhi pergaulan yang bersifat
campur-baur atau berduaan dengan lawan jenis.4

4
Siti Ermawati, Peran Ganda Wanita Karir Perspektif Islam, Vol : 2, JURNAL EDUTAMA, No.
2, 2016, h. 61-62
B. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam
Posisi perempuan pada masa pra Islam sama sekali tidak berdaya bahkan
mungkin dapat dimisalkan sebagai harta benda yang bisa diperjualbelikan dan
diwariskan. Sementara laki-laki menguasai seluruh hak-hak yang sebenarnya milik
perempuan. Setelah Islam datang, kedudukan wanita diangkat setara dengan laki-
laki. Namun ironisnya, keadaan kaum perempuan tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya, yakni masih merupakan subordinat laki-laki. Hal itu barangkali
disebabkan oleh persepsi masyarakat terhadap mereka masih bersifat skeptis atau
bias interpretation terhadap nash-nash (Alquran dan hadis) yang berbicara tentang
perempuan.
Masyarakat Islam klasik kelihatannya belum bisa menerima kesetaraan
jender dalam arti yang sebenarnya, misalnya kurang diberdayakannya wanita dalam
aktivitas sosial apalagi dalam kancah politik. Umumnya ulama klasik tidak
mengizinkan perempuan untuk diangkat sebagai pemimpin pada semua lini. Hanya
Abu Hanifah (700-767 M) yang membolehkan wanita menjadi hakim dalam
menangani perkara-perkara perdata dan perkara lain yang menyangkut harta.
Demikian juga al-Thabariy (839-923 M) lebih longgar mengizinkan perempuan
menjadi hakim dalam segala perkara.
Meskipun dikatakan bahwa pada umumnya pakar hukum Islam era klasik
tidak memberi peluang kepada kaum wanita untuk berperan aktif dalam mengatur
masyarakat atau dalam kancah politik, tetapi tidak menutup kemungkinan ide
semacam itu juga masih dijumpai dalam masyarakat kontemporer. Di antara ulama
kontemporer yang tidak membolehkan perempuan diangkat sebagai pemimpin
adalah Muhammad Abduh (1849-1905). Menurutnya, klausa ayat yang terdapat
dalam QS.An-Nisa 4 : 34 menunjukkan kelebihan jenis laki-laki atas jenis
perempuan secara umum, bukan secara perorangan. Karenanya, bila ada seorang
perempuan melebihi kemampuan kebanyakan laki-laki, maka hal tersebut tidak
dapat dijadikan argumen untuk membenarkan alasan perempuan boleh menjadi
pemimpin atas laki-laki secara umum, misalnya menjadi pemimpin pemerintahan
atau negara.
Seiring dengan perkembangan hidup masyarakat yang ditandai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya berimplikasi pada corak
pemahaman umat Islam terhadap teks nash khususnya menyangkut eksistensi
perempuan sebagai ‘ibad Allah (hamba Allah) dan khalifat Allah fi al-ardl (wakil
Tuhan di dunia). Para ulama yang mentolerir kebolehan wanita diangkat sebagai
pemimpin memahami bahwa menurut kaedah Ushul Fiqh, suatu nash baru dapat
dikatakan menunjukkan larangan (keharaman) bila memuat setidaknya 4 hal yakni:
1. Secara redaksional, nash dengan tegas mengatakan haram.
2. Larangan tersebut diungkapkan dalam bentuk nahy.
3. Nash mengandung ancaman (uqubah).
4. Menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika bahasa Arab
menunjukkan tuntutan yang harus dilaksanakan
Uama di Indonesia pada awalnya sebenarnya juga menolak keberadaan
perempuan pada urusan publik, apatah lagi sebagai pemimpin baik dalam skala
kecil maupun skala besar seperti presiden. Padahal bila dilihat dari hasil sensus
penduduk yang terakhir menunjukkan sekitar lebih dari 50 % penduduk Indonesia
terdiri dari kaum perempuan. Hanya saja mereka mayoritas dalam kuantitas tetapi
minoritas dalam kualitas. Barangkali itulah salah satu penyebabnya sehingga ulama
Indonesia tidak menerima kepemimpinan perempuan (kepala negara).
Selain faktor pendidikan yang menyebabkan ketertinggalan perempuan,
juga adanya pandangan masyarakat yang menganggap kedudukan wanita berada di
bawah laki-laki. Persepsi seperti ini sangat berpengaruh dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga tidak mengherankan jika jarang sekali ditemukan
perempuan yang diangkat menjadi pemimpin publik khususnya era paca
kemerdekaan. Di kalangan masyarakat muslim, tampaknya telah terbangun suatu
opini bahwa perempuan tidak pantas menjadi pemimpin berdasarkan teks Alquran
dan hadis.12 Pemahaman semacam ini sangat literal tekstual dan diskriminatif
terhadap kaum perempuan, padahal Tuhan sendiri mengakui persamaan derajat
antara laki-laki dan wanita. Itulah sebabnya Benazir Bhutto mengatakan bahwa
bukan Islam yang menolak kepemimpinan perempuan tetapi kaum prialah yang
menolaknya..
Pernyataan Bhutto tersebut mungkin juga ada benarnya, sebab cukup
banyak teks nash yang dipahami oleh ulama khususnya era klasik yang tidak steril
dari bias-bias jender. Salah satunya adalah penafsiran terhadap ayat 34 surat al-
Nisa‟ yang menyatakan laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.
Pandangan ulama Indonesia terhadap kepemimpinan perempuan ternyata
berubah seiring dengan kemajuan dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia.
Bahkan dapat diktakan bahwa perubahan itu sangat drastis di zaman reformasi,
karena sebelumnya ulama tidak mengizinkan seorang perempuan untuk duduk
sebagai kepala negara (presiden). Namun dengan naiknya Megawati Soekarnoputri
sebagai presiden RI ke-5, maka dengan sendirinya kepemimpinan perempuan sudah
dianggap sah-sah saja di mata ulama.
Mengamati peristiwa demi peristiwa yang terjadi sehubungan dengan
kepemimpinan perempuan, dapat dikatakan bahwa kemungkinan perubahan
pandangan ulama tentang hal tersebut disebabkan karena kemajuan yang telah
dicapai oleh wanita dalam berbagai hal. Selain itu, barangkali juga karena tuntutan
zaman yang menghendaki kesetaraan jender sehingga “memaksa” ulama untuk
menerima perempuan menjadi presiden.5

5
Kasjim Selenda, Kepemimpinan Perempuan dalam Prespektif Islam, Al-Risalah | Volume 12,
Nomor 2, 2012, h. 370-377
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam tidak melarang seorang wanita untuk berkarier (bekerja), namun
dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang wanita demi
terjaminnya kemaslahatan bagi wanita itu sendiri. Beberapa syarat-syarat yang
harus dipenuhi adalah sebagai berikut: (1) Wanita karier harus berjilbab dan
menutup aurat, (2) Memiliki komitmen dengan akhlaqul karimah, menampakkan
keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara, dengan kata lain tidak dengan
suara yang dibuat-buat, dan (3) Menjauhi pergaulan yang bersifat campur-baur atau
berduaan dengan lawan jenis.
Kedudukan perempuan pada zaman klasik tidak seindah dengan masa
modern dewasa ini. Pada kurun klasik, umumnya ulama memandang mereka
sebagai warga masyarakat kelas dua sehingga tidak berhak untuk diangkat menjadi
pemimpin. Pandangan ulama tersebut kemungkinan ada benarnya bila dihubungkan
dengan setting sosial dan keterbatasan kemampuan yang dimiliki wanita ketika itu
disebabkan keterbelakangannya dalam berbagai hal terutama dalam bidang
pendidikan. Akan tetapi, seiring dengan perubahan zaman, ternyata perempuan
telah sanggup menunjukkan kemampuannya setara dengan laki-laki. Karena itu,
tidak ada alasan bagi ulama untuk memandang wanita sebagai bagian masyarakat
yang termarginal. Selain itu, tampaknya ulama dewasa ini sangat dipengaruhi oleh
kondisi masyarakat sekitarnya sehingga persepsi mereka tentang Wanita
mengalami perubahan dengan menerima kepemimpinan perempuan. Semua itu
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perubahan dan pola hidup Masyarakat
terhadap perkembangan pemikiran ulama dalam hukum Islam khususnya mengenai
kepemimpinan perempuan.

B. Saran
Penulis memberikan saran agar seharusnya di zaman sekarang perbolehan
Perempuan untuk menjadi pemimpin lebih di pahami apalagi untuk kaum laki laki,
karena saya setuju dengan pernyataan bahwa bukan islam yang menolak
kepemimpinan peremouan, tetapi laki laki.
DAFTAR PUSTAKA

Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, Yogyakarta : IRCiSoD, Edisi Pertama,


2019 h. 5-7

Karimuddin, Wanita Karir dalam Pandangan Islam, Vol. 3, Jurnal Al-Fikrah, No.
1, 2014, h. 103

Ismiyati Muhamad, Wanita Karir dalam Pandangan Islam, Vol : 13, Al-wardah:
Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan Agama No 1, 2019, h. 109

Siti Ermawati, Peran Ganda Wanita Karir Perspektif Islam, Vol : 2, JURNAL
EDUTAMA, No. 2, 2016, h. 61-62

Kasjim Selenda, Kepemimpinan Perempuan dalam Prespektif Islam, Al-Risalah |


Volume 12, Nomor 2, 2012, h. 370-377

Anda mungkin juga menyukai