Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ISU-ISU AKTUAL DALAM STUDI ISLAM

“HAM DAN GENDER”

DI SUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR STUDI ISLAM

Dosen Pengampu : HATTA, S.Pd.I., M.Pd.I

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 8

Fatimatus Zahroh (224101090015)

Devita Aggraeni (224101090005)

Leni Agustin (224101090013)

Ayu Indah Pratiwi (224101090014)

PRODI TADRIS IPS

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERTAS ISLAM NEGRI KH.ACHMAD SIDDIQ JEMBER

KATA PENGANTAR

1
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, yang berjudul “Isu-isu Aktual
Dalam Studi Islam”. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan menuju jalan yang
terang benderang yang diridhoi oleh Allah SWT yaitu agama Islam. Selanjutnya kami ucapkan
terima kasih kepada pihak yang selalu mendukung kelancaran tugas kami, Makalah ini dibuat untuk
memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Meteodologi Studi Islam dan dipresentasikan
dalam pembelajaran di kelas. Makalah ini dianjurkan untuk dibaca oleh semua mahasiswa dan
mahasiswi pada umumnya sebagai penambah ilmu pengetahuan tentang Pendekatan Ilmu Sosial dan
Humaniora dalam Islam. Akhirnya kami sampaikan terima kasih atas perhatian pembaca, dan kami
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca yang budiman pada
umumnya. Tak ada gading yang tak retak itulah adanya isi makalah ini, dan tiada manusia yang
sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata, jadi kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya apabila ada kekurang sesuain dengan isi makalah ini, dan kami memohon dengan
segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan guna untuk
peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Jember, 09 November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................................4

A. Latar Belakang.......................................................................................................4

B. Rumusan Masalah..................................................................................................4

C. Tujuan……............................................................................................................4

BAB II : PEMBAHASAN.........................................................................................6

A. Pengertian Ham dalam islam................................................................................6

B. Konsep Ham dalam islam......................................................................................7

C. prinsip-prinsip HAM.............................................................................................8

D. Intelektual HAM dalam ilmu-ilmu syariah...........................................................9

E. Islam dalam gender..............................................................................................10

F. Konsep-konsep gender.........................................................................................12

G. Kesetaraan Gender dalam Al-qur’an....................................................................13

H. Prinsip Kesetaraan Gender Dalam Al-qur’an……………………………….......14

BAB III : PENUTUP.................................................................................................16

A.Kesimpulan.............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA…............................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak memasuki abad ke-21 ini, perhatian dunia tehadap kesetaraan gender semakin
meningkat. Isu-isu tentang kesenjangan gender menjadi masalah serius yang mesti direspon. Sebab,
jika dibiarkan akan mengahambat terwujudnya pemerataan kesejahteraan sosial sebagai tujuan
pembangunan. Sejarah mencatat, perjalanan untuk memperjuangkan masyarakat yang setara dan adil
gender dapat diterima oleh masyarakat secara proporsional diwarnai dengan saratnya problematika,
baik secara keagamaan, sosial maupun politik. Dan juga kebanyakan membahas mengenai
kedudukan perempuan yang seringkali dianggap lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Inilah yang menjadi perhatian para peneliti untuk mengkaji apa sebenarnya kesetaraan
gender, yang sering dikaitkan dengan ketidakadilan hingga mengacu pada teks Al-Qur’an. Dalam
makalah ini, kami akan menjelaskan tentang kesetaraan gender dalam Islam disertai dengan beberapa
dalil al-Qur’an sebagai acuan dari zaman Rasulullah hingga sekarang, yang masih menjadi bahan
kajian bagi peneliti maupun sarjana-sarjana Muslim.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Ham dalam islam?
2. Konsep Ham dalam islam?
3. prinsip-prinsip HAM?
4. Intelektual HAM dalam ilmu-ilmu syariah
5. Islam dalam gender?
6. Konsep-konsep geder?
7. Kesetaraan Gender dalam Al-qur’an?
8. Prinsip Kesetaraan Gender Dalam Al-qur’an?
C. Tujuan Penulisa
1. Mengetahui Pengertian Ham dalam islam?
2. Mengetahui Konsep Ham dalam islam?
3. Mengetahui prinsip-prinsip HAM?
4. Mengetahui Intelektual HAM dalam ilmu-ilmu syariah
5. Mengetahui Islam dalam gender?
6. Mengetahui Konsep-konsep geder?
7. Mengetahui Kesetaraan Gender dalam Al-qur’an?

4
8. Mengetahui Prinsip Kesetaraan Gender Dalam Al-qur’an?

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian HAM dalam Islam
Fakta telah membuktikan, bahwa risalah Islam (sejak permulaannya kota suci Mekah sudah
memasukkan hak-hak asasi manusia dalam ajaran-ajaran dasarnya bersamaan dengan penekanan
masalah kewajiban manusia terhadap sesamanya. Oleh karenanya, kita dapat menemukan di berbagai
surah dalam Kitab Suci Al Qur`an yang diturunkan pada awal-awal periode Mekah, yang berbicara
tentang pengutukan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berlaku pada
masa itu. Al Qur`an tidak hanya mengutuk berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi
pada masa itu, tetapi juga memberikan motivasi secara positif kepada manusia untuk menghargai
hak-hak tersebut. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah Swt, yang artinya :

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa
apakah dia dibunuh” (Q.S. At-Takwir : 8-9)
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak
yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Q.S. Al-Ma`un : 1-3)
“Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak
dari perbudakan” (Q.S. Al-Balad : 12-13)

Nabi Muhammad S.A.W. telah mengadakan berbagai tindakan sebagaimana telah ditetapkan
dalam Al Qur`an yang menghendaki terwujudnya pelaksanaan hak-hak asasi mansia. Selain itu,
beliau telah memproklamasikan kesucian hak-hak asasi manusia ini untuk segala zaman ketika
berkhutbah di depan kaum muslim pada waktu haji wada` (perpisahan), yakni sebagaimana
diriwayatkan dalam H.R. Muslim (“Kitab al-Hajj”), sebagai berikut : “Jiwamu, harta bendamu, dan
kehormatanmu adalah sesuci hari ini. Bertakwalah kepada Allah dalam hal istri-istrimu dan
perlakuan yang baik kepada mereka, karena mereka adalah pasangan-pasanganmu dan penolong-
penolongmu yang setia. Tak ada seorang pun yang lebih tinggi derajatnya kecuali berdasarkan atas
ketakwaan dan kesalehannya. Semua manusia adalah anak keturunan Adam, dan Adam itu
diciptakan dari tanah liat. Keunggulan itu tidak berarti orang Arab berada di atas orang non-Arab dan
begitu juga bukan non-Arab di atas orang Arab. Keunggulan juga tidak dipunyai oleh orang kulit
putih lebih dari orang kulit hitam dan begitu juga bukan orang kulit hitam di atas orang kulit putih.
Keunggulan ini berdasarkan atas ketakwaannya”.

6
Kedudukan penting HAM sesudah wafatnya Rasulullah S.A.W. dan diteruskan oleh Khulafa
ar-Rasyidin, serta sistem kekuasaan Islam berganti dengan monarki. Di sini HAM dalam Islam tetap
mendapatkan perhatian luar biasa masyarakat Islam. HAM dalam Islam bukanlah sifat perlindungan
individu terhadap kekuasaan negara yang terbatas, namun merupakan tujuan dari negara itu sendiri
untuk menjaga hak-hak asasi manusia terutama bagi mereka yang terampas hak-haknya. Jadi, setiap
prinsip dasar pemerintahan Islam pada hakikatnya adalah berlakunya suatu praktik usaha
perlindungan dari terjadinya pelanggaran HAM. Kini Islam telah memberikan sinar harapan bagi
umat manusia yang menderita dengan cara memberikan, melaksanakan, dan menjamin respek
terhadap hak-hak asasi manusia itu.1

B. Konsep HAM dalam Islam


Hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh agama Islam dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kategori, yaitu :
1. HAM dasar yang telah diletakkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia
2. HAM yang dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat yang berbeda dalam situasi tertentu,
status, posisi dan lain-lainnya yang mereka miliki. Hak-hak asasi manusia khusus bagi
nonmuslim, kaum wanita, buruh/pekerja, anak-anak, dan lainnya merupakan beberapa contoh
dari kategori hak asasi manusia-hak asasi manusia ini.
Hak-hak dasar yang terdapat dalam HAM menurut Islam ialah :
1. Hak Hidup
2. Hak-hak Milik
3. Hak Perlindungan Kehormatan
4. Hak Keamanan dan Kesucian Kehidupan Pribadi
5. Hak Keamanan Kemerdekaan Pribadi
6. Hak Perlindungan dari Hukuman Penjara yang Sewenang-wenang
7. Hak untuk Memprotes Kelaliman (Tirani)
8. Hak Kebebasan Ekspresi
9. Hak Kebebasan Hati Nurani dan Keyakinan
10. Hak Kebebasan Berserikat
11. Hak Kebebasan Berpindah
12. Hak Persamaan Hak dalam Hukum
13. Hak Mendapatkan Keadilan

1
Muhtaj, El Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. (Jakarta : Kencana). Hlm : 43-51

7
14. Hak Mendapatkan Kebutuhan Dasar Hidup Manusia, dan
15. Hak Mendapatkan Pendidikan. 2

C. Prinsip-prinsip HAM
Ada beberapa prinsip pokok yang terkait dengan penghormatan, pemenuhan pemajuan, dan
perlindungan HAM. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip Universal : bahwa HAM itu berlaku bagi semua orang apapun jenis kelaminnya,
statusnya, agamanya, suku bangsa atau kebangsaannya.
2. Prinsip tidak dapat dilepaskan (inalienable) : yaitu siapapun, dengan alasan apapun, tidak
dapat dan tidak boleh mengambil hak asasi seseorang. Seseorang tetap mempunyai hak
asasinya kendati hukum di negaranya tidak mengakui dan menghormati hak asasi orang itu
atau bahkan melanggar hak asasi tersebut.
3. Prinsip tidak dpat dipisahkan (indivisible) : bahwa hak-hak sipil dan politik, maupun hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya serta hak pembangunan, tidak dapat dipisah-pisahkan baik
dalam penerapan, pemenuhan, pemantauan, maupun penegakannya.
4. Prinsip saling tergantung (inler dependent) : bahwa disamping tidak dapat dipisahkan, hak-
hak asasi itu saling tergantung satu sama lainnya, sehingga pemenuhan hak asasi yang satu
akan mempengaruhi pemenuhan hak asasi lainnya. Oleh karena itu, prinsip ini sekaligus
mengakhiri perdebatan mengenai prioritas pemenuhan dan pemajuan HAM, dimana
beberapa negara semula berpandangan behawa suatu kategori HAM tertentu harus
mendapatkan prioritas terlebih dahulu dibandingkan dengan kategori HAM lainnya.
5. Prinsip keseimbangan, artinya bahwa perlu ada keseimbangan dan keselarasan diantara
HAM perorangan dan kolektif di satu pihak dengan tanggung jawab perorangan terhadap
individu yang lain, masyarakat dan bangsa di pihak lainnya. Hal ini sesuai dengan kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Keseimbangan dan keselarasan
antara kebebasan dan tanggung jawab merupakan faktor penting dalam penghormatan,
pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM.
6. Prinsip Partikularisme : bahwa kekhususan nasional dan regional serta berbagai latar
belakang sejarah, budaya, dan agama sesuatu yang penting dan harus terus menjadi
pertimbangan. Namun, hal ini tidak serta merta menjadi alasan untuk tidak memajukan dan

2
Irsyad, Syamsuhadi. Paradigma Terbaru Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Mahasiswa. (Bandung : Alfabeta). Hlm
: 143

8
melindungi HAM, karena adalah tugas semua negara, apapun sistem politik, ekonomi, dan
budayanya, untuk memajukan dan melindungi semua HAM. 3
D. Internalisasi HAM dalam Ilmu-ilmu Syari'ah
Melihat perkembangan terkini tentang permasalahan hak asasi manusia di dunia
internasional, maka diperlukan suatu upaya dalam rangka mencermati secara lebih komprehensif
terhadap materi hak asasi manusia tersebut. Untuk melihat posisi HAM sebagai sebuah kajian yang
baru dalam ilmu-ilmu kesyariahan dan guna mengangkat materi HAM dari yang sebelumnya
merupakan sub-bagian bahasan saja dari mata kuliah yang berkaitan dengan hukum Islam (bahkan
hanya samar-samar)— maka perlu dilakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap studistudi hukum
Islam. Mengacu kepada gejala studi hukum Islam pada umumnya, Mohamad Atho Mudzhar (2002)
berpandangan bahwa hukum Islam juga dapat dipandang sebagai gejala budaya dan sebagai gejala
sosial. Filsafat dan aturan hukum Islam adalah gejala budaya, sedangkan interaksi orang-orang Islam
dengan sesamanya atau dengan masyarakat non-muslim di sekitar hukum Islam adalah gejala sosial.
Secara lebih rinci studi hukum Islam dapat dilihat dan dibedakan menjadi, pertama, penelitian
hukum Islam sebagai asas. Dalam penelitian ini, sasaran utamanya adalah dasar-dasar konseptual
hukum Islam seperti masalah filsafat hukum, sumber-sumber hukum, konsep maqashid al-syari’ah,
qawâ’id alfiqhiyah, manhaj al-ijtihâd, turuq al-istimbâth, konsep qiyas, konsep ‘âm dan khâsh,
konsep nâsikh dan mansûkh, dan lain-lain. Kedua, penelitian hukum Islam normatif. Dalam
penelitian ini sasaran utamanya adalah hukum Islam sebagai norma atau aturan, baik yang masih
dalam bentuk nash maupun yang sudah menjadi produk pikiran manusia. Aturan yang masih dalam
bentuk pemikiran manusia meliputi ayat-ayat ahkâm dan Hadis ahkâm. Sedangkan yang sudah
berbentuk pikiran manusia meliputi kitab-kitab fikih, kitab-kitab fikih perbandingan, keputusan
pengadilan, undang-undang, fatwa para ulama, dan bentukbentuk aturan lainnya yang mengikat,
seperti kompilasi hukum Islam, konstitusi (dustur), kodifikasi hukum, perjanjian-perjanjian
internasional, deklarasi hak-hak asasi manusia, surat-surat kontrak, surat wasiat, surat kesaksian, dan
sebagainya. Ketiga, penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial. Dalam penelitian ini sasaran
uatamanya adalah perilaku hukum masyarakat muslim dan masalah-masalah hukum Islam. Ini
mencakup masalahmasalah seperti politik, perumusan dan penerapan hukum (siyâsah al-syar’iyyah),
perilaku penegak hukum (qâdhi), perilaku pemikir hukum (seperti mujtahid, fuqaha, mufti, dan
anggota badan-badan legislatif), masalah-masalah administrasi dan organisasi hukum (seperti
pengadilan dengan segala tingkatannya), dan perhimpunan penegak dan pemikir hukum (seperti
perhimpunan hakim agama, perhimpunan atau kelompok studi peminat hukum Islam, lajnah-lajnah

3
Bakry, Suryadi Umar. Dasar-dasar Hubungan Internasional. (Jakarta : Prenadamedia Group). hlm : 285

9
fatwa dari organisasi-organisasi keagamaan, dan juga lembaga-lembaga penerbitan atau pendidikan
yang mengkhususkan diri atau mendorong studi-studi hukum Islam). Dalam penelitian jenis ini juga
tercakup masalah-masalah evaluasi pelaksanaan dan efektivitas hukum, masalah pengaruh hukum
terhadap perkembangan masyarakat, dan sebaliknya, pengaruh perkembangan masyarakat terhadap
pelaksanaan atau pemikiran hukum, sejarah perkembangan hukum, sejarah administrasi hukum, dan
masalah kesadaran dan sikap hukum masyarakat. Lebih lanjut Atho’ menjelaskan, bahwa ketiga
bentuk besar studi hukum Islam yang dapat dilakukan secara terpisah dapat pula dilakukan secara
bersama-sama untuk melihat keterkaitannya satu sama lain mengenai suatu masalah hukum Islam.
Dua bentuk studi hukum Islam yang disebut pertama, yaitu studi hukum Islam sebagai doktrin asas
dan studi hukum Islam normatif, dapat pula digabungkan dan disebut sebagai studi hukum Islam
sosiologis. Dua bentuk studi hukum Islam yang pertama melihat Islam sebagai gejala budaya, dan
bentuk studiketiga melihat Islam sebagai gejala sosial. Dalam hal ini terlihat dengan jelas bahwa
materi HAM dapat dilakukan secara terpisah dan tersendiri dalam rangka melihat perkembangan
HAM yang begitu cepat bergulir di dunia internasional. Maka selayaknya, bola yang tengah melaju
pesat ini diambil dan dimasukkan kedalam bagian ilmu-ilmu kesyariatan. 4

E. ISLAM DAN GENDER

Wacana gender mulai dikembangkan di Indonesia pada era 80an, tapi mulai memasuki isu
keagamaan pada era 90-an. Bisa dikatakan, selama 10 tahun atau 5 tahun terakhir ini perkembangan
isu gender sangat pesat dan sangat produktif sekali, jauh lebih pesat dari isu-isu lainnya seperti isu
pluralisme, yang juga tak kalah pentingnya.5
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan
bagi perempuan dan laki-laki. Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan gender telah menciptakan
ketidak-adilan, terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender merupa-kan sistem atau struktur
sosial di mana kaum laki-laki atau perempuan menjadi korban. Ketidakadilan tersebut
termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau
anggapan tidak perlu berpartisipasi dalam pembuatan atau pengam-bilan keputusan politik, stereotip,
diskriminasi dan kekerasan. 6
Fakta membuktikan bahwa di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara
Muslim, perempuan secara umum mengalami keterasingan. Di banyak negara dewasa ini, tidak ada

4
Mudzar, Muhammad Atho. 25 Oktober 2002. "Hukum Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial"
5
Moh. Shofan, “Menggugat Penafsiran Maskulinitas al-Qur’an: Menuju Kesetaraan Gender, dalam Jalan Ketiga
Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme“(Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), h. 275.
6
Mansour Fakih, “Analisis Gender dan Transformasi Sosial” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 23

10
jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan
hukum. Di sejumlah negara, perempuan dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti,
dan bisnis. Bahkan dalam melakukan perjalanan pun, perempuan harus mendapat persetujuan suami.
Di banyak kawasan sub Sahara Afrika, sebagian besar perempuan memperoleh hak atas tanah
melalui suami mereka atas dasar perkawinan, di mana hak-hak itu seringkali hilang saat terjadi
perceraian atau kematian sang suami. Di Asia Selatan yang mayoritas Muslim, rata-rata jumlah jam
yang digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki. Jumlah anak
perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah di Asia Selatan juga hanya 2/3 dari jumlah anak
laki-laki. Di banyak negara berkembang, termasuk di negara-negara Muslim, wirausaha yang
dikelola perempuan cenderung kekurangan modal, kurang memiliki akses terhadap mesin, pupuk,
informasi tambahan, dan kredit dibandingkan wirausaha yang dikelola laki-laki. 7
Dalam islam sebetulnya tidak mengenal istilah gender, karena dalam islam tidak membedakan
kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias gender dalam islam. Islam
mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang sama. Contoh
konkretnya adalah islam tidak membedakan laki-laki dan wanita dalam hal tingkatan takwa, dan
surga juga tidak dikhususkan untuk laki-laki saja. Tetapi untuk laki-laki dan perempuan yang
bertakwa dan beramal sholeh. Islam mendudukkan wanita dan laki-laki pada tempatnya. Tak dapat
dibenarkan anggapan para orientalis dan musuh islam bahwa islam menempatkan wanita pada
derajat yang rendah atau di anggap masyarakat kelas dua. Dalam islam, sesungguhnya wanita
dimuliakan. Banyak sekali ayat Al-Qur’an ataupun hadis nabi yang memuliakan dan mengangkat
derajat wanita. Baik sebagai ibu, anak, istri, ataupun sebagai anggota masyarakat sendiri. Tak ada
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam islam, akan tetapi yang membedakan keduanya
adalah fungsionalnya, karena kodrat dari masing-masing.
Dalam Al-Qur’an sendiri dijelaskan bahwa tiap orang menanggung akibat/dosa dari
perbuatannya masing-masing dan islam tidak mengenal dosa turunan. Bentukan kultural yang
merendahkan wanita ini menyebabkan laki-laki memegang otoritas di segala bidang kehidupan
masyarakat (patriarki), baik dalam pergaulan domestik (rumah tangga), pergaulan sosial ataupun
dalam politik. Ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34, seringkali di jadikan dalil bagi mereka yang
beranggapan bahwa dalam islam, kedudukan laki-laki lebih mulia dari pada wanita. Padahal jika di

7
Sukron Kamil, et al., “Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak
Perempuan, dan Non-Muslim” (Jakarta: CSRC, 2007), h. 38.

11
telaah lebih dalam, sesungguhnya ayat tersebut sebenarnya memuliakan wanita karena dalam ayat
tersebut, tugas mencari nafkah di bebankan. 8

Ayat tersebut juga menjelaskan secara implisit bahwa tidak ada diskriminasi antara laki-laki
dan wanita, akan tetapi yang membedakan antara keduanya adalah dari segi fungsionalnya karena
kodrat masing-masing. Seperti halnya yang dijelaskan dalam surah An-Nisa’ (4) : 34, yang artinya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang ta’at
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Benar”. (QS. An-Nisa’, 4:34)
Di dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun sunnah nabi yang merupakan sumber utama ajaran
islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan
akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan
dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan dan kesetaraan, Islam tidak pernah mentolerir
adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat manusia.

F. Konsep-konsep Gender
Agama mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian,
keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya. Konsep
relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi
secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam),
dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan
hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid sesungguhnya. Laki-laki dan perempuan
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba.
Soal peran sosial dalam masyarakat tidak ditemukan ayat Al-Qur’an atau hadits yang melarang
kaum perempuan aktif di dalamnya. Sebaliknya Al-Qur’an dan hadits banyak mengisyaratkan
kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi. Telah dijelaskan, bahwa Semua hal yang
dapat dipertukarkan antara sifat atau aktifitas perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu
ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kelas ke kelas lain, itulah yang kemudian di kenal
dengan konsep gender. Sebenarnya kondisi ini tidak ada salahnya. tetapi akan menjadi bermasalah

8
Apiek Gandamana. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. (Medan : Harapan Cerdas). Hlm. 219

12
ketika peran-peran yang telah diajarkan kemudian menempatkan salah satu jenis kelamin (baik laki-
laki maupun perempuan) pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena tidak semua laki-laki
mampu bersikap tegas dan bisa ngatur, maka laki-laki yang lembut akan dicap banci. Sedangkan jika
perempuan lebih berani dan tegas akan dicap tomboi. Tentu saja hal ini tidak cocok dan memberikan
tekanan.
Dengan demikian, keadilan gender adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki
untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan negara.
Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan
perempuan sama-sama sebagai hamba Tuhan (kapasitasnya sebagai hamba laki-laki dan perempuan
masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya). 9

G. Kesetaraan Gender dalam Al-qur’an


Dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 yang artinya : “Bahwa Allah SWT telah menciptakan
manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling
terhormat, manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima
petunjuk.”.
Oleh karena itu Al-Quran tidak mengenal pembedaan antara lelaki dan perempuan karena
dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan
yang membedakan antara lelaki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya.
Adapun dalil-dalil dalam Al-Quran yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah :
1. Tentang Hakikat Penciptaan Lelaki dan Perempuan (QS. Ar-Rum ayat 21), yang artinya : “Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”
Dan juga dijelaskan pula dalam surah An-Nisa ayat 1, surah Al-Hujurat ayat 13 yang pada
intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki
dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan
menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan
serta agar mereka saling mengenal. Ayat-ayat diatas menunjukkan adanya hubungan yang saling
timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya
superioritas satu jenis atas jenis lainnya.

9
Setiawan, Deny. Pendidikan Kewarganegaraan. (Medan : Madenatera). Hlm : 150

13
2. Tentang Kedudukan dan Kesetaraan antara Lelaki dan Perempuan (QS. Ali-Imran ayat 195),
yang artinya : Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka
orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku,
yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,
sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.”10
Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan
perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang
sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya
kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang
membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.

H. Prinsip Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an


Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender ada di
dalam Al-Qur’an, yaitu :
1. Perempuan dan Laki-laki sama-sama sebagai hamba, sebagaimana dalam surah Al-Zariyat,
(51):56. Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal
dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk
mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau
kelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurat, (49):13, yang artinya :
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
2. Perempuan dan Laki-laki sebagai sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard) ditegaskan
dalam surat Al-An’am, (6):165, dan Al-Baqarah, (2):30. Dalam kedua ayat tersebut, kata
‘khalifah" tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan
maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah di bumi.

10
Setiawan, Deny. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan. (Medan : Madenatera). Hlm : 153

14
3. Perempuan dan laki-laki sama-sama mengembang amanah dan menerima perjanjian awal
dengan Tuhan, seperti dalam surat Al-A’raf, (7):172, yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang
disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya
diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan
yang sama. Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa
pembedaan jenis kelamin, di jelaskan dalam surat Al-Isra’ (17) : 70.
4. Perempuan dan Laki-laki sama-sama berpotensi meraih prestasi, peluang untuk meraih prestasi
maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki ditegaskan secara khusus dalam
3 (tiga) ayat, yakni: QS. Ali Imran, (3):195, QS. An-Nisa, (4):124, QS. An-Nahl, (16) : 97.
Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan
bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mesti
didominasi oleh satu jenis kelamin saja. 11

11
Setiawan, Deny. Pendidikan Kewarganegaraan. (Medan : Madenatera). Hlm : 156

15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Analisis perbedaan laki-laki dan perempuan tidak hanya secara biologis tetapi perlu
pengkajian secara non biologis, yakni kajian gender. Kajian gender ini merupakan suatu upaya untuk
memahami interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Perspekstif gender dalam alqur’an
mengacu kepada semangat dan nilai-nilai universal. Al-Qur’an tidak menafikan adanya perbedaan
anatomi biologi, tetapi perbedaan ini tidak dijadikan dasar untuk mengistimewakan jenis kelamin
yang satu dengan jenis kelamin yang lainnya. Al Qur’an tidak memberikan beban gender secara
mutlak dan kaku kepada seseorang, tetapi bagaimana beban gender itu dapat memudahkan manusia
memperoleh tujuan hidup yang mulia di dunia dan akhirat.
Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender merupakan isu global, yang menjadi sorotan
sejumlah aktivis HAM diberbagai bidang. Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang
pentingnya menjaga hak-hak individu. Sebab, penjagaan terhadap hak individu merupakan bagian
terpenting dalam membangun sinergitas dan keseimbangan ekosistem kehidupan manusia. Untuk
melaksanakan penanaman nilai-nilai saling menjaga hak-hak individu tentunya sikap saling
menghargai, menghormati, dan moral sangatlah penting untuk dibangun dan dijaga dalam kehidupan
sehari-hari.
Gender secara umum yang lazim dikenal masyarakat digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (perbedaan komposisi kimia, hormone,
dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik lainnya). Atas dasar itulah maka studi
gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas atau feminimitas seseorang.
Dengan kata lain mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, (1997). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset.
Gandamana, Apiek. 2019. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Medan : Harapan
Cerdas.
Muhtaj, El Majda. 2017. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta : Kencana.
Setiawan, Deny. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan. Medan : Madenatera
Irsyad, Syamsuhadi. 2017. Paradigma Terbaru Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Mahasiswa.
Bandung : Alfabeta.
Sukron Kamil, et al., “Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil,
Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim” (Jakarta: CSRC, 2007), h. 38.
Bakry, Suryadi Umar. 2019. Dasar-dasar Hubungan Internasional. Jakarta : Prenadamedia Group.
Mudzar, Muhammad Atho. 25 Oktober 2002. "Hukum Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial"
Moh. Shofan, Menggugat Penafsiran Maskulinitas al-Qur’an: Menuju Kesetaraan Gender, dalam
Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), h. 275.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 23

17

Anda mungkin juga menyukai