Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERBEDAAN SUBSTANSIAL PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI MENURUT

ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu: A. M. SHALAHUDDIN, S. H., M. PD.

Disusun oleh:

1. Muhammad Lathiful Afandi (212355201023)

2. Firdaus Zain (212355201006)

3. Reski Dini Novarianti(212355201031)

4. Fatimatuz Zahro’(2123552018)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DARUL ‘ULUM

JOMBANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


memberikan kami karunia nikmat dan kesehatan, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat menimba ilmu di Universitas
Darul ‘Ulum.

Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari dosen mata kuliah
Pendidikan Agama Islam. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk menambah wawasan dan pengetahuan pada mata kuliah yang
sedang dipelajari, agar kami semua menjadi mahasiswa yang berguna
bagi agama, bangsa dan negara.

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat


kekurangan dan kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini kami
sangat berharap perbaikan, kritik dan saran yang sifatnya membangun
apabila terdapat kesalahan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,


khususnya bagi saya sendiri umumnya para pembaca makalah ini.

Terima kasih,
 wassalamu’ alaikum.
Jombang, 03 Desember 2021

Penyusun
A. Pendahuluan

Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari

segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan

anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi, efek yang timbul akibat

perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin

secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya

terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender.

Perbedaan secara genetik antara laki-laki dan perempuan perlu dibahas lebih cermat

dan hati-hati, karena kesimpulan yang keliru mengenai hal ini tidak hanya akan

berdampak pada persoalan sains semata, tetapi juga mempunyai dampak lebih jauh

kepada persoalan asasi kemanusiaan. Dengan menyimpulkan bahwa laki-laki dan

perempuan secara genetik berbeda, tanpa memberikan penjelasan secara tuntas, maka

kesimpulan tersebut dapat dijadikan legitimasi terhadap realitas sosial, yang

memperlakukan laki-laki sebagai jenis kelamin utama dan perempuan sebagai jenis

kelamin kedua.

Tulisan ini berupaya untuk mengungkap perspektif gender di dalam al-Qur’an,

dengan fokus perhatian kepada ayat-ayat al-Qur’an yang bernuansa gender. Langkah-

langkah yang ditempuh ialah ayat-ayat gender diidentifikasi kemudian dianalisa

secara mendalam tentang konsep peran dan relasi gender.

B. Gender dalam Perspektif

Gender dalam Perspektif al-Qur’an Dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang

persis sepadan dengan istilah gender, namun jika yang dimaksud gender

menyangkut perbedaan laki-laki dan perempuan secara non–biologis, meliputi

perbedaan fungsi, peran, dan relasi antara keduanya, maka dapat ditemukan

sejumlah istilah untuk itu. Semua istilah yang digunakan dalam al-Qur’an

terhadap laki-laki dan perempuan dapat dijadikan obyek penelusuran. Seperti


istilah alrajul/al-rijal yang al-mar’ah/al-nisa’, al-dzakar dan al-untsa, termasuk

gelar status untuk laki-laki dan perempuan.

Hak-hak wanita yang telah digariskan di dalam syariat tidak hanya didasarkan

pada teks al-Qur’an, namun juga pada sunnah Nabi dan pendapat para fuqoha

(hakim) seorang hakim Mesir yang sangat terkenal al-Shaikh Muhammad al-

Khadari, dalam bukunya mengatakan bahwa Fiqh al Islam (hukum Islam)

didasarkan pada al-Qur’an apa yang datang dari Rasul Allah, ucapan dan

perbuatannya, serta ara’ al-fuqaha (pendapat para hakim yang dipengaruhi oleh

zamannya

masing-masing sehingga jelas bahwa syari’at itu juga bercampur dengan

pendapat orang yang tidak lepas dari konteks zaman ketika ia hidup.

Kitab suci al-Qur’an bersifat normatif sekaligus pragmatis. Ajaranajarannya

memiliki Relevansi dengan zaman sekarang. Ajaran-ajaran yang demikian

seharusnya tidak diberlakukan sebagai ajaran yang normatif. Ajaran ini harus

dilihat dalam konteks dimana ajaran tersebut harus diterapkan. Contohnya,

sebuah ayat, “Kami laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena

Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari

harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah

lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah

memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka

nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka.

Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan

untuk menyusahkannya.”

C.    Konstruksi Keberadaan Perempuan dalam Islam

Mayoritas intelektual dan sejarahwan,terutama dari kalangan Islâm,memandang

posisi perempuan padamasa pra-Islam, sebagai sebuahgambaran kehidupan yang sangat

buram dan memprihatinkan.Perempuan dipandangsebagai makhluk tidak berharga,


[26]menjadi bagian dari laki-laki(subordinatif).Keberadaannya seringmenimbulkan

masalah, tidak memilikiindependensi diri, hak-haknya ditindasdan dirampas, tubuhnya

dapat diperjualbelikanatau diwariskan, dan diletakkandalam posisi marginal serta

pandanganpandanganyang menyedihkan lainnya.[27]

Setelah Islam datang, secarabertahap Islam mengembalikan hak-hakperempuan

sebagai manusia merdeka.Perempuan boleh menjadi saksi danberhak atas sejumlah

warisan, meskipunkeduanya hanya bernilai setengah darikesaksian atau jumlah warisan

yangberhak diterima laki-laki, dan boleh jadidianggap tidak adil dalam

kontekssekarang.Namun pada prinsipnya jikadilihat pada konteks ketika perintahtersebut

diturunkan, ini mencerminkansemangat keadilan.Artinya secara frontalajaran Islam

menentang tradisi jahiliyah yang berkaitan dengan perempuan.Ini merupakan gerakan

emansipatif yang tiada tara pada masanya di saat perempuan terpuruk dalam kegelapan.

Sejarah menunjukan secara jelas bagaimana perempuan pada masa-masa Islâm

diturunkan mendapat penghargaan tinggi, justru terutama dari Nabi Muhammad, figur

panutan dari seluruh umat Islam. Menurut Asghar Ali Engineer, adalah suatu revolusi

besar di mana NabiMuhammad SAW. Telah memrakarsai melakukan perubahan dalam

masyarakat Mekah secara menyeluruh.Secara bertahap Islâm menjadi agama yang sangat

mapan dengan ritualisasi yang sangat tinggi.

Secara historis, perempuan telahmemainkan peranan yang sangat strategis pada

masa awal maupun pertumbuhan dan perkembangan Islâm, baik dalam urusan domestik

maupun publik. Ini dibuktikan antara lain melalui peran perempuan dalam membantu

perjuangan Rasulullah seperti di medanperang. Khadijah, istri Nabi yang sangat setia,

misalnya, menghibahkan banyak harta bendanya untuk perjuangan Islam; Arwa ibn Abd

al-Muthalib yang meminta anak laki-lakinya agar membantu Nabi dan memberi apa saja

yang dimintanya; dan Ummu Syurayk yang telah membujuk perempuan-perempuan

Mekah secara diam-diam melakukan konversi dari agama pagan ke Islâm.


Adapun perbedaan antara wanita dan laki-laki dalam Islam ada tujuh, yaitu pertama

aqiqah bagi anak laki-laki dua ekor kambing dan bagi anak perempuan satu ekor. Kedua,

sholat jenazah untuk mayat laki-laki imam berdiri setentang dengan kepala mayat. 

Namun, untuk mayat perempuan imam berdiri di tengah atau setentang perutnya. Ketiga,

air kencing bayi perempuan yang masih menyusu pada ibunya dan belum makan suatu

makanan, cara menghilangkannya dengan dicuci. Sedangkan pada bayi laki-laki cukup

dipercikkan.

Keempat, bagian waris anak laki-laki dan perempuan berbeda dengan perbandingan 2:1.

Kelima, laki-laki diperbolehkan menikah sampai empat kali jika dapat berlaku adil.

Namun, wanita tidak diperbolehkan lebih dari sekali. 

Keenam nilai kesaksian dua orang wanita sama dengan nilai kesaksian seorang laki-laki.

Terakhir, batas aurat wanita yang harus ditutupi ialah seluruhnya, kecuali wajah.

Sedangkan laki-laki batas auratnya dari pusat perut sampai lutut.

D. Hak-hak Perempuan

hak Perempuan Al-Qur'an berbicara tentang perempuan dalam berbagai surat dan

pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sesi kehidupan. Ada ayat yang berbicara

tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan ke-istimewaan tokoh-tokoh

perempuan dalam sejarah agama dan kemanusiaan. Secara umum surat al-Nisa ayat 32

menunjukkan hak-hak perempuan. (Karena) bagi laki-laki dianugerahkan hak (bagian) di

apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang

diusahakannya.13 Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum

perempuan menurut pandangan ajaran Islam.

1. Hak-hak Perempuan di luar Rumah

Pembahasan menyangkut keberadaan perempuan di dalam atau di luar rumah dapat

bermula dari surat al-Ahzab ayat 33. Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu
danjanganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah Ayat

ini seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita keluar rumah. Al-Qurthubi

(W 671 H) yang dikenal sebagai salah seorang pakar tafsir khususnya dalam bidang

hukum menulis antara lain: “makna ayat diatas adalah perintah untuk menetap di

rumah, walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad

SAW., tetapi selain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut”. Selanjutnya

mufassir tersebut menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar wanita-

wanita tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali karena keadaan darurat.

Disamping itu, para perempuan pada masa Nabi SAW., aktif pula di berbagai bidang

pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim binti

Malhan yang merias antara lain Shatujah binti Thuyay, istri Nabi Muhammad SAW.,

serta ada juga yang menjadi perawat, bidan dan sebagainya. Tentu saja tidak semua

bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi

SAW. Namun, betapapun sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam

membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam

berbagai bidang di dalam maupun di rumahnya secara mandiri, bersama orang lain,

atau dengan lembaga dengan pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut

dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara

agamanya dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut

terhadap diri dan lingkungannya. Secara singkat dapat dikemukakan rumusan

menyangkut pekerjaan perempuan yaitu perempuan mempunyai hak bekerja, selama

ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma

agama dan susila tetap terpelihara.

2. Hak dalam Bidang Politik

Apakah wanita memiliki hak-hak dalam bidang politik? Paling tidak ada tiga alasan

yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan mereka.


a. Ayat, ar-rijal qawwamuna alan nisa (lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita)

(QS An-Nisa: 34). b. Hadits yang mengatakan bahwa akal wanita kurang cerdas

dibandingkan dengan akal lelaki: keberagamaannya pun demikian.

c. Hadits yang mengatakan: Lam yathlaha qaum wallawu arra hum imra’at (tidak

akan bahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan).

Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam berkaitan dengan

hak-hak politik kaum perempuan adalah surat al-Taubah: 71.Dan orang-orang

beriman, lelaki dan perempuan sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang

lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’rug mencegah yang mungkar,

mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan raulNya,

mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Secara umum ayat diatas dipahami sebagai

gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara lelaki dan perempuan

untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat “menyuruh

mengerjakan yang ma’ruf mencegah yang mungkar. Pengertian kata auliya

mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan; sedangkan pengertian yang

terkandung dalam frase “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi

kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasehat atau kritik

terhadap penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan muslim hendaknya

mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan

memberi saran atau nasehat untuk berbagai bidang kehidupan. Kita dapat

berkesimpulan bahwa tidak dikemukakan satu ketentuan agama pun yang dapat

dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau

ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Disisi

lain, cukup banyak ayat dan hadits yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk

menetapkan adanya hak-hak tersebut.

3. Kepemimpinan perempuan Qiwamah) perempuan


Definisi al-qiwamah dalam pengertian umum terdapat dalam at-tamzil al hakim pada

surat An-Nisa’. Di dalamnya juga terdapat qiwamah bagi laki-laki dan bagi

perempuan, yaitu firman Allah: “Kaum laki-laki adalah pemimpin (qawwamun) bagi

kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki dan

perempuan) atas sebagian yang lain. Dan karena mereka telah menafkahkan sebagian

harta mereka. Maka wanita yang shalehah ialah yang taat dan memelihara hal-hal

yang telah dipelihara oleh Allah ketika suaminya tidak ada: wanita-wanita yang

kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahilah mereka di

tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka

janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah

maha mengetahui lagi maha mengenal (QS. al-Nisa’: 34)15 Dengan demikian, ayat

34 surat An-Nisa diatas adalah berisi tentang penjelasan sifat-sifat yang harus

dimiliki oleh seorang perempuan yang diberi anugerah hak kepemimpinan,

disebabkan oleh anugerah yang telah diberikan Allah kepadanya berupa kekayaan,

pendidikan ataupun kadar intelektual. Sifat-sifat tersebut adalah patuh dan menjaga

aib suami, apabila ia memiliki sifat-sifat demikian maka ia pantas untuk memimpin.

Akan tetapi bagaimana jika ia tidak memiliki sifat-sifat tersebut? Jika demikian,

maka ia telah keluar dari garis kelayakan sebagai pemimpin, yang dalam ayat diatas

disebut nashiz wa al-lati takhafuna nushuzahuna..... (wanita-wanita yang kamu

khawatirkan nusyuznya…..) yakni keluar dari sifat kerendahhatian dan menjaga aib

suami

Gender dan Jenis Kelamin Gender adalah jenis kelamin bentukan yang dikonstruksi

oleh budaya dan adat istiadat. Seperti laki-laki kuat, berani, cerdas, menguasai,

sedangkan perempuan itu lemah, penakut, kurang cerdas (bodoh), dikuasai, dan lain-

lain. Isu gender menguat ketika disadari bahwa perbedaan gender antara manusia

laki-laki dan perempuan, telah melahirkan ketidakadilan dalam berbagai bentuk.


Seperti marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinate atau anggapan tidak

penting dalam urusan politik, stereotype atau pencitraan yang negatif bagi

perempuan. Citra perempuan yang dimaksud hanya bergelut 3R (dapur, sumur,

kasur), kekerasan, dan double burden (beban ganda); terhadap perempuan yang

bermuara pada perbuatan tidak adil yang dibenci oleh Allah Swt. Gender adalah

suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan

perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah

suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang

bersifat kodrati.

gender harus dibedakan dari jenis kelamin (seks). Jenis kelamin merupakan

pensifatan, atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara

biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan, konsep gender adalah

suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi

secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lembut dan cantik.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gender adalah interpretasi budaya terhadap

perbedaan jenis kelamin. Gender dan jenis kelamin perlu disikapi berbeda. Gender

bukan perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni

perbedaan jenis kelamin (seks), adalah kodrat Tuhan. Dan oleh karenanya, secara

permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavioral

differences) antara laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial. Yakni

perbedaan yang bukan kodrat, atau bukan ketentuan Tuhan. Melainkan diciptakan

oleh manusia (laki-laki dan perempuan), melalui proses sosial dan kultural yang

panjang.

E. Jender Dalam Hukum Kewarisan Islam

Hukum waris Islam merupakan jawaban atas praktek hukum waris yang sudah

dilakukan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam, diantaranya bangsa Persia, Romawi,

Dan Yunani. Lebih khusus lagi, hukum waris Islam datang untuk membenahi praktik
waris masyarakat Jahiliah. Semua praktek waris pada masa tersebut tidak pernah

memberikan bagian kepada wanita. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan bahwa

dalam tradisi masyarakat Arab apabila ada seorang laki-laki meninggal dan

meninggalkan janda, maka ahli warisnya akan melemparkan pakaian kepada sang

janda tersebut agar orang lain tidak mengawininya. Seandainya janda tersebut cantik

maka ahli waris akan segera mengawininya. Namun, apabila janda tersebut jelek

maka dia akan ditahan sampai meninggal dan kemudian harta peninggalannya

diwarisi oleh ahli warisnya. 

Mengenai hukum warisan islam, al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa bagian

ahli waris perempuan adalah setengah dari ahli waris laki-laki.

Pemberian bagian ahli waris berdasarkan perbandingan ini belakangan mulai

dipertanyakan komposisinya mengingat dinamika masyarakat saat ini sangat jauh

berbeda dengan masyarakat sewaktu ayat-ayat tentang waris turun. Kebudayaan dan

peradaban masyarakat saat ini sudah mengalami perubahan yang sangat pesat

sehingga hukum waris yang telah digariskan ajaran islam dengan perbandingan 2:1,

menurut sebagian orang dianggap kurang relevan.

Secara mendasar perbedaan jenis kelamin tidak menentukan hak kewarisan dalam

Islam. Artinya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak yang sama kuat

untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam surah An-Nisa’

ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak

mendapatkan warisan. Pada surah an-Nisa’ ayat 11-12, 176 secara rinci telah

menerangkan kesamaan kekuatan hak warisan antara laki-laki dan perempuan, ayah

dan ibu (ayat 11), suami dan istri (ayat 12), saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12

dan 176).

Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan perempuan terdapat dua

bentuk.
·         Pertama: laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan,

seperti saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapatkan bagian 1/6

dalam kasus pewaris tidak memiliki ahli waris langsung atau bapak dan ibu sama-

sama mendapatkan 1/6 dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung.

·         Kedua: laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari yang didapatkan

perempuan. Hal ini dapat dijumpai dalam kasus pewaris meninggalkan ahli waris

seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan atau dalam kasus pewaris

meninggalkan ahli waris seorang saudara laki-laki dan perempuan.  

Dilihat dari segi jumlah bagian memang jelas tidak sama, tetapi ini bukan berarti

tidak adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah

yang didapat ketika menerima hak waris tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan

kebutuhan.

Menurut pandangan Islam, pembagian harta warisan yang tidak sama antara laki-laki

dan perempuan ini tetap adil karena secara umum, laki-laki membutuhkan lebih

banyak materi dibandingkan perempuan, hal ini karena laki-laki baik itu seorang

bapak atau saudara laki-laki memikul kewajiban ganda yakni untuk dirinya sendiri

dan keluarganya termasuk perempuan

Muhammad Ali al-Shobuni berpendapat bahwa landasan perbandingan 2:1 dalam

hukum waris islam mempunyai beberapa alasan filosofis, diantaranya sebagai

berikut:

·         Kaum perempuan selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya. Nafkah

perempuan wajib dipenuhi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa

saja yang mampu diantara kerabat laki-lakinya.

·         Kaum perempuan tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapapun,

sedangkan laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya.


·         Kaum laki-laki berkewajiban memberi mahar kepada istrinya dan

menyediakan segala kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak, pengobatan anggota

keluarga, dan lain sebagainya.

KESIMPULAN

Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak cukup hanya dikaji secara

biologis tetapi memerlukan pengkajian secara non biologis al-Qur'an tidak

memberikan pembahasan lebih terperinci tentang pembagian peran laki-laki

dan perempuan. Namun, tidak berarti al-Qur'an tidak mempunyai

wawasan tentang gender. Perspektif gender dalam al-Qur'an mengacu kepada

semangat dan nilai-nilai universal. Adanya kecenderungan permohonan bahwa

konsep-konsep Islam banyak memihak kepada gender laki-laki

belum tentu mewakili substansi ajaran al-Qur'an. Prinsip kesetaraan gender

dalam al-Qur'an antara lain mempersamakan kedudukan laki-laki dan

perempuan sebagai hamba Allah.

Ungkapan gender seringdiartikandan/ataudipertentangkandenganseks, yang

secarabiologisdidefinisikandalamkategoripriadanwanita. Secaraumum,

keduanyabisaditerjemahkansebagai “jeniskelamin”,

tetapikonotasikeduanyaberbeda.Sekslebihmenunjukkepadapengertianbiologis,

sedangkan gender padamaknasosial.MenurutNasaruddin Umar

definisijenderadalahsuatukonsep yang

digunakanuntukmengidentifikasiperbedaanlaki-

lakidanperempuandarisegisosialbudaya. Jenderdalamartiinimendefinisikanlaki-

lakidanperempuandarisudut non-biologis.
Ajaran Islam tidaksecaraskematismembedakanfaktor-faktorperbedaanlaki-

lakidanperempuan,

tetapilebihmemandangkeduainsantersebutsecarautuh.Antarasatudenganlainnyasecara

biologisdansosiokulturalsalingmemerlukandandengandemikiannantarasatudengan

yang lainmasing-masingmempunyaiperan.

Hubunganantaralaki-

lakidanperempuanadalahsetara.Tinggirendahnyakualitasseseoranghanyaterletakpadat

inggi-rendahnyakualitaspengabdiandanketakwaannyakepada Allah SWT. Allah

memberikanpenghargaan yang

samadansetimpalkepadamanusiadengantidakmembedakanantaralaki-

lakidanperempuanatassemuaamal yang dikerjakannya

 Hukum waris islam sangat berdimensi sosiohistoris karena hukum waris tersebut

lahir sebagai respon islam atas kondisi masyarakat saat itu yang bertindak zalim

dan tidak adil terhadap perempuan dalam hal pembagian warisan.

Aturan yang cukup rinci yang ada pada waris islam diyakini sebagai suatu

dalil yang mempunyai status Qath’i al-Tsubut, Qath’i al-Wurud, dan sekaligus

Qath’i al Dilalah. Oleh karena itu, ada ulama yang berpendapat bahwa ketentuan-

ketentuan yang ada dalam hukum waris islam harus dijalankan sesuai dengan

bunyi teksnya. Penyimpangan dari bunyi tekstualnya berarti merupakan

pembangkangan terhadap ketentuan Allah S.W.T.

Meskipun demikian, masih ada celah untuk menerapkan ketentuan waris

islam yang lebih fleksibel dan kompromis terhadap perubahan struktur sosial yang

terjadi dalam masyarakat. Melalui metode Maqashid al-Tasyri’ yang oleh imam

al-Syatibi dikatakan bahwa syariat bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan

manusia di dunia dan akhirat serta melalui substansi keadilan yang terkandung
dalam ketentuan hukum waris islam, bisa saja formula 2:1 yang digariskan hukum

waris islam diterapkan menjadi 1:1

DAFTAR PUSTAKA

https://ibtimes.id/perbedaan-dan-kesetaraan-gender-dalam-islam/

https://bocah-sinau.blogspot.com/2011/01/jender-dalam-hukum-kewarisan-

islam.html

https://menzour.blogspot.com/2018/05/makalah-tentang-argumen-kesetaraan.html

Agil, Said, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Pers,

Januari 2002.

Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2003. Kusti’ah dkk, Belajar Gender, Semarang: JGJ PMII Jateng, 2005.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur'an, Bandung, Mizan Pustaka, 2004.

Syahror, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq

Press, 2004.

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an,

Jakarta: Paramadina, 2001.

Anda mungkin juga menyukai