Anda di halaman 1dari 19

PENDEKATAN GENDER DALAM STUDI ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas makalah pada mata kuliah Studi Islam

Dosen Pengampu :
Dr. Lilik Andar Yuni, M.SI

Oleh : Kelompok 14

GUSTI M.YUSUF (NIM : 2120400036)


MUHAMMAD HAFIZD AS SIRAJI (NIM : 2120400040)

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER HUKUM KELUARGA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2021
KATA PENGANTAR

َ َ َ َ ‫لرب‬ َ ْ
‫صالُْ لَْل َسال ُْ لََلى َل ْْلرِ ْألََِْلاِ لَْلْ ْمْر لسَ ْ ل‬
‫ن لَ لََلى‬ َ ‫ن لَْل‬ ‫ّ ْلْ لعالم ْ ل‬ ‫ْحل ْم ُْ ل‬
.ُْ ‫ن َلَّا َل ْع‬ َ ْ َ َِ َََِْ ََِ‫ْلل‬
‫لْلع ْ ل‬ ْ‫لل‬
Segala puji hanya milik Allah, penulis memuji-Nya, meminta tolong kepada-
Nya, dan meminta ampunan-Nya. Kami meminta perlindungan kepada allah dari
keburukan diri dan perilaku penulis. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk maka
tiada seorang pun dapat menyesatkan, dan barangsiapa Allah sesatkan maka tiada
seorang pun dapat menunjukinya. Atas izin dan petunjuk-Nya sehingga makalah yang
berjudul PENDEKATAN GENDER DALAM STUDI ISLAM ini dapat terwujud
dan terselesaikan dengan baik. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah,
dan tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba
dan utusan Allah. Semoga Shalawat dan Salam tetap tercurahkan kepadanya,
keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti petunjuknya hingga hari
kiamat. Amma ba’du

Samarinda, 26 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Konsep Gender.................................................. 3
B. Pendekatan Gender Dalam Studi Islam...................................... 6
B. Implementasi Pendekatan Gender Dalam Studi Islam............... 8

BAB V PENUTUP.......................................................................................
A. Kesimpulan................................................................................. 15
B. Saran........................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 16

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi setiap umat Islam yang telah
mengajarkan untuk menempatkan setiap manusia berada pada posisi yang sederajat
(egaliter), tanpa melihat perbedaan, baik dari jenis kelamin, status, sosial, ras,
maupun agama. Dikarenakan di mata Allah SWT semua manusia adalah sama dan
hanya level ketakwaan yang membedakan diantara mereka, sebagaimana firman
Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13, yakni

‫اَُف وٓ ا۟ إَّن‬‫َُفَٓبا رٓ رَ رَاو َِ رَ َِ رَ رَ ر‬‫ن ورّأ ر يّ رَا لِ نٰاُف إَ نٰا رَ رْ مْ ن رٰ فُْ ّمّ رَ رُ رَ رُٓفٰ رَ نٰ رٓ رَ رَ مْ ن رٰ فُ مْ ف‬
‫لّ ُر مَ رْ نٰ فُ مْ إَّن ن ر‬
َ‫لّ رََّْ رْ رَ ََّ ر‬ َ ‫ُر مُ رَ رّ فُ مْ ََ َٰر ن‬
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sayangnya, prinsip-prinsip tersebut sering kali dimaknai sebagai pesan
yang terkandung dalam al-Qur’an, sehingga seringkali nash-nash hanya dipahami
secara tekstual tanpa pemahaman sosio-historisnya.

Di Indonesia, pembicaraan tentang isu perempuan dan gender sangat marak,


khususnya setelah tahun 90-an yang ditandai dengan maraknya diskusi, seminar,
advokasi, penerbitan, dan sosialisasi yang gencar melalui lembaga swadaya
masyarakat yang mengurusi masalah perempuan. Namun, sayangnya perbincangan
mengenai isu-isu perempuan di dalam Islam dianggap sudah selesai, tidak
memerlukan interpretasi dan formulasi yang baru. Artinya, isu-isu bagi perempuan
tersebut dianggap merupakan cermin dari kehendak Tuhan atau kodrat dari Tuhan.
Oleh karena itu, perbincangan mengenai isu-isu perempuan di dalam Islam
dianggap sudah selesai. Namun, hal ini justru mengundang banyak pertanyaan,
dikarenakan isu-isu mengenai posisi perempuan dan kesetaraan gender sudah
menjadi bagian dari isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi yang dianggap

1
sebagai standar global harus dilaksanakan oleh semua negara di dunia. Gender
biasa dikaitkan dengan pembedaan atas dasar jenis kelamin (seks), oleh karena itu
dalam pembicaraan gender selalu muncul hubungan antara pria dan wanita. Maka,
dapat dikatakan bahwasanya, gender merupakan pembedaan peran, fungsi dan
tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi
social budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.1

Masyarakat sering bandingkan kaum adam dan hawa berdasarkan fisiologis


dan biologis sehingga menyebabkan bias gender. Bias gender kebanyakan
berdampak diskriminasi, kekerasan dan pelecehan dengan anggapan perempuan itu
lemah. Pemikiran ini banyak terjadi ditengah masyarakat hasil dari kontruksi
sosial-adat. Perbedaan kedua kaum tidak mencorakkan untung disatu individu
maupun kelompok. Akidah Islam menjaga hak kaum hawa sehingga memberi
kepedulian dan posisi tehormat. Praktek menjadi tidak wajar terhadap perempuan
karena ajaran serta bimbingan Islam tidak di implementasikan, disebabkan tradisi
yang berkembang sangat jauh dari Islam. Perbedaan gender tidak menjadi masalah
untuk bebas melakukan hal apapun selagi tidak melenceng dari ajaran agama
seperti kepemimpinan perempuan, poligami, dan kewarisan.

Dalam makalah ini penulis akan membahas bagaimana pendekatan gender


dalam Studi Islam yang mana dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan
definisi gender dan bagaimana konsep gender dan juga contoh implementasi gender
sebagai pendekatan dan pengkajian Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Konsep Gender ?
2. Bagaimana Pendekatan Gender dalam Studi Islam ?
3. Bagaimana Implementasi Pendekatan Gender dalam Studi Islam ?

1
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 3.

2
BAB 1I
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Konsep Gender

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan


kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa laki-laki adalah manusia
yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini : Laki-laki adalah manusia
yang memiliki penis, memiliki jakala, dan memproduksi sperma. Sedangkan
perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan,
memproduksi sel telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat
tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki
selamanya. Perbedaan tersebut merupakan ketentuan dari Tuhan atau disebut
kodrat. Perbedaan ini merupakan ketentuan Tuhan yang bersifat alami tidak
berubah dari masa ke masa.2

Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.
Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau
keibuan. Sementara laki-laki itu dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa.
Ciri-ciri sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat yang lain. Itulah yang dikenal dengan konsep gender.3

Perbedaan ini dihasilkan oleh interpretasi sosial atau sering disebut Social
Contruction. Perbedaan ini disebut non-kodrati, tidak kekal, sangat mungkin
berubah, dan berbeda-beda berdasarkan ruang dan waktu. Sebagian masyarakat
berpandangan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan tidak hanya terbatas

2
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.8
3
Mansour Fakih, h.9

3
pada perbedaan yang bersifat kodrati. Perbedaan ini bisa berupa penyifatan,
seperti perempuan yang dianggap emosional, laki-laki rasional, laki-laki
memiliki akal sehat yang sempurna, perempuan memiliki akal yang sempit, dan
seterusnya. Perbedaan yang didasarkan karakteristik ini memunculkan
pembagian ruang dan peran. Laki-laki di ruang publik dan melakukan peran
produksi, sedangkan perempuan dianggap bertanggung jawab penuh di ruang
domestik, berperan dalam urusan rumah tangga atau reproduksi. Karena
perbedaan laki-laki dan perempuan yang tersebut diatas adalah hasil konstruksi
sosial, maka dia bisa berubah atau diubah.4

Faktor-faktor yang membentuk atau mengkonstruksi sehingga lahir


perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah kultur dan struktur sosial; oleh
sistem keyakinan dan cara pandang seseorang yang telah menyejarah selama
berabad-abad. Akibatnya, karakteristik yang sebenarnya bersifat relatif itu
berubah menjadi sesuatu yang dianggap alami dan bahkan dianggap mutlak.5
Gender merupakan suatu konsep kultural yang dipakai yang dipakai untuk
membedakan peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-
laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Berbeda dengan seks
(jenis kelamin) yang membedakan laki-laki dan perempuan dari segi Biologis,
gender membedakan laki-laki dan perempuan dari segi Non-Biologis yaitu dari
segi peran-peran sosial yang dimainkan oleh keduanya. Yang pertama bersifat
kodrati dalam diri manusia, sedang yang kedua merupakan konstruksi sosial.6
Gender tidak bersifat universal. Ia bervariasi dari masyarakat yang satu ke
masyarakat yang lain dan dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua
elemen gender yang bersifat universal: gender tidak identik dengan jenis kelamin
dan gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat.7

4
Zaitunah Subhan, Kodrat Perempuan Takdir atau Mitos, (Yogyakarta: Pusaka Pesantren, 2004), h.12
5
Zaitunah Subhan, h.13
6
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: Gramedia, 2004). h.5
7
Demi H. Susilastuti, “Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologis”, Fauzi Ridjal, Dinamika Gerakan
Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h.30

4
Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi dan kecerdasan,
keinginan dan cita-cita, impian dan harapan, juga rasa khawatir dan kecemasan.
Dengan kesadaran ilmu pengetahuan yang dia peroleh, dia tidak hanya mampu
berperan sebagai ibu rumah tangga yang hanya berkutat di wilayah domestik,
akan tetapi dia juga mempunyai potensi untuk terus dikembangkan.8

Sejarah perbedaan gender antara manusia jenis laki-laki dan perempuan


terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya
perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural,
melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi
gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat
biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender
dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.9
Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan
secara evolusional dan perlahan-lahan mempengeruhi biologis masing-masing
jenis kelamin. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus
bersifat kuat dan agresif maka kaum laki-laki kemudian terlatih dan tersosialisasi
serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh
masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Namun dengan
menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin
tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut
adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukan kodrat.10

Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak


melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan, ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-
laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender dapat dilihat
dari berbagai manifestasi keadilan yang ada. Ketidakadilan gender

8
Zaitunah Subhan, Perempuan dan Politik dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), h.15
9
Mansour Fakih, Analisis Gender, h.9
10
Mansour Fakih,Analisis Gender, h.10

5
termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni : marginalisasi
atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan, beban kerja lebih banyak dan lebih panjang, serta sosialisasi ideologi
nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan
karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara
dialektis.11

B. Pendekatan Gender Dalam Studi Islam12

Hakikatnya tujuan Islam berbasis gender untuk menata ulang


pemahaman teks-teks agama yang dituduh sebagai sumber kekerasan terhadap
perempuan. bahkan, tidak sedikit aktivis gender yang melecehkan fikih dengan
menuduhnya menjadi penyebab utama terjadinya ketidakadilan dan kekerasan
seksual terhadap perempuan. aturan ibadah yang disusun dalam kitab fiqih
dicurigai sangat diskriminatif karena melarang mutlak perempuan menjadi imam
bagi laki-laki, menjadi muadzin, khatib Jum’at dan lain-lain.

Sebagian aktivis gender juga menyatakan bahwa teks al Qur’an dan hadis
mempunyai standar ganda dalam menempatkan perempuan. Menurut penggiat
gender lainnya mengemukakan bahwa hal ini disebabkan penggunaan bahasa
Arab sebagai bahasa wahyu yang sejak awalnya mengalami bias gender, baik
dalam kosakata, maupun dalam strukturnya.

Oleh karena itu, setidaknya ada tiga model kajian yang terkait dengan
Pendekatan gender dan studi Islam yakni:

1. Penelitian yang berangkat dari kajian murni yang value free, dalam arti bukan
berangkat dari prinsip dan tujuan mewujudkan keadilan gender, namun hanya
sekedar untuk mendiskripsikan isu-isu tersebut dalam berbagai disiplin keilmuan.
Maka, bentuk kajiannya pun harus berupa normatif-deskriptif. Misalnya, isu-isu

11
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Islam, jld. VI, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 175
12
Siti Musdahlm Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta: Kibar Press,2006),
hlml. 101-102

6
gender dalam perspektif ini dikaji dengan menggunakan pendekatan keilmuan
murni seperti tafsir, hadis, fikih dan lain sebagainya. Sehingga, informasinya
lebih bersifat deskriptif, tidak mempunyai kepentingan untuk melakukan suatu
perubahan.

2. Penelitian yang berangkat dari kajian dengan pendekatan ilmu sosial dan
humaniora dengan mengkaji isu-isu perempuan dengan berpijak pada paradigma
feminis dan teori sosial kritis. Dalam hal ini dapat disarikan ke dalam beberapa
langka yakni: Pertama, mengubah pandangan budaya yang selalu menempatkan
perempuan dalam posisi subordinat. Kedua, melakukan dekonstruksi terhadap
pemahaman keagamaan yang tidak kondusif terhadap peran gender. Ketiga,
merevisi sistem pendidikan agama yang terlalu menekankan pada aspek kognitif
semata, dan merumuskan suatu sistem pendidikan agama yang dapat mengubah
perilaku keagamaan. Keempat, merevisi sejumlah peraturan yang bias gender dan
tidak bersahabat pada perempuan.

3. Penelitian yang berangkat dari kajian dengan pendekatan ilmu sosial dan
humaniora dengan mengkaji isu-isu perempuan dengan paradigma feminis
berpusat pada analisis gender. Artinya, semua bidang dalam kajian Islam dapat
membahas persoalan-persoalan gender dan perempuan tersebut.

4. Penelitian yang berangkat dari kajian dengan pemetaan isu-isu gender dalam
studi Islam.

Rita M Gross mengemukakan, bukanlah perkara yang sederhana untuk


mengintegrasikan agama dan gender. Agama dan gender mempunyai tema
kajian yang sama kompleksnya dan sama-sama membangkitkan emosi. gender
dan agama adalah sistem kepercayaan yang saling bertentangan dan sarat emosi
yang memberi pengaruh langsung terhadap kehidupan orang banyak. Hingga
kini, internasionalisasi kajian wanita dilakukan dengan duacara yakni:13

13
hlmttp://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id

7
a. Menekankan kesamaan diantara perempuan di seluruh dunia. Isu- isu yang
disetujui difokuskan pada masalah keibuan dan struktur keluarga. Walaupun isu
tersebut dialami semua perempuan dan disuarakan kepentingan mereka, tetapi ia
juga berkaitan erat dengan keberagaman budaya, kelas, bangsa dan orientasi
seksual sehingga menghasilkan perbedaan pandangan tentang arti ibu dan
struktur keluarga.
b. Pendekatan yang lebih hierarkis dengan melihat budaya barat sebagai
model ideal sehingga budaya-budaya lain harus dipahami dari sudut pandang
barat. Pendekatan ini melahirkan program women and development.

C. Implementasi Pendekatan Gender Dalam Studi Islam


Allah Swt. menerangkan ada pembeda kaum adam dan hawa, namun
bukan merugikan individu lain dengan menyebabkan perbedaan (discrimination)
sehingga menimbulkan keuntungan sepihak. Keharmonisan didalam masyarakat
terdapat dalam Q. S. ar-Rum ayat 21, Allah Swt. Berfirman :

‫ن‬
‫رَّّٓم رَ۟ ن رّ ََ َِٓو ُرّم رَ رْ رَ رِ فُْ ّمّم ُرُٰفَْ فُ مْ ُر مْ ن رَٓب ا ِم رَْم فُ فٰ وٓ ا۟ إَ رِ مّ رَا رٓ رَ رَ رَ رَ مّ رٰ فُْ ّ رنٓ نَ بً رٓ رَْم رّ بً إَّن َُٰ رَِ ر‬
ََ
‫رَ رَ۟ ن رّ ر‬
‫ٍ ِم رْ مٓ رْ رّ رَ رُ نُ فَ ر‬
ّٓ
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.”14

Perbedaan tidak membuat keduanya merasa berbeda dihadapan Allah,


hanya saja asumsi masayarakat dipengaruhi sosia-budaya. Penerapan
kesejajaran menurut Islam, di antaranya:

1. Islam dan Kepemimpinan Perempuan

14
https://tafsirweb.com/37159-surat-ar-rum.html

8
Islam sama sekali tidak mencegah kaum hawa ikut perperan aktif
mengikuti profesi yang diinginkan. Kemampuannya seperti pengusaha, arsitek,
politik dan lainnya tidak menjadi penghalang dari hukum asalkan kegiatan itu
tidak melenceng dari ad-din. Kaum hawa diberikan peluangdengan syarat tidak
mengalami kecametan rumah tangga, sehinggaa tidak menimbulkan pikiran
minus jika kaum hawa mempunyai suami serta ad-din. Ada beberapa perbedaan
pendapat mengenai kebolehan perempuan. Menurut jumhur ulama tidak boleh
seorang perempuan menjadi qadi (hakim), sementara Abu Hanifah
memperbolehkan haum hawa mengambil keputusan berkaitan pembahasan
perdata dan permasalahan pidana tidak diizinkan untuk mengambik keputusan.
Sedangkan Muhammad Jarir at-Tabari berpendapat kaum hawa boleh menjadi
qoddi secara penuh.15

Pengadilan Agama di Indonesia menyediakan peluang untuk kaum hawa


dan dijadikan sebagai hakim menyangkut permasalahan perdata. Pemahaman
ini diambil sesuai pemikiran Imam Abu Hanifah yang berkaitan dengan nash
dan diterapkan di Indonesia. Permasalahan perdata misalnya terkait hukum
keluarga atau disebut akhwal al-Syakhshiyah menyangkut perdata Islam.
Cakupan perda Islam terkait pribadi kaum hawa sehingga yang lebih
mengetahui itu merupakan perempuan. Untuk itu, hakim perempuan sangat
membantu hakim laki-laki dalam memutuskan perkara khususnya menyangkut
kaum hawa. Relasi keduanya tidak sesuai mendapat penolakan ulama jika kaum
hawa diangkat menjadi qoddi. Hakim perempuan lebih peka mendalami
masalah dengan mengkaitkan perasaan yang kuat ketika ada permasalahan
dihadapi. Sedangkan kaum adam lebih logis dalam mengambil perempuan,
sementara kaum hawa lebih paham betul kontroversi jenisnya sendiri.

Ulama berbeda pendapat mengenai kaum laki-laki (suami) diberi


kepercayaan untuk memimpin dan mengarahkan kamu wanita (para istri),
terdapat pada pada Q.S. an-Nisa’ ayat 34. Pengkajian kesamaan (gender) sering

15
M. Marcoes L, Wanita Islam dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual. (Jakarta: INIS,1993.), h.24

9
berujung tentang kaitan kaum adam dan hawa. Perbedaan argumen para ulama
tentang suami (kaum adam) diberikan keyakinan menjadi imam dalam rumah
tangga untuk mengatur istri (kaum hawa). Teks lain berbicara mengenai
perbedaan kaum adam dan hawa terdapat pada surah Ali Imran ayat36 dan inti
tejemahannya “perbedaan kaum adam tidak sama dengan kaum hawa”. Dasar
ayat ini kontra dengan kandungan “gender”. Jika dibahas dengan pendekatan
tafsir Islam, akan terlihat tujuannya yang serupa tentang konsep kesamaan
menurut pemikiran Islam. ayat ini tidak berpendapat tentang tinggi rendahnya
suatu kaum adam ataupun hawa dan sebaliknya. Surah Ali Imran ayat 36
berbicara konsepsi kesamaan secara mendalam.Kajian pemahaman ini sangat
penting dan substansial untuk dibicarakan. Ini menjadi pangkal asumsi tentang
persamaan (gender) menurutal-karim yang sepadan.16

Di Indonesia tidak ada pasal yang melarang menjadi pemimpin haruslah


laki-laki. Contohnya Presiden Megawati Soekarno Putri juga di tolak Kongres
Umat Islam (KUII tahun 1998). K. H. Ibrahim Husein Ketua Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia mengatakan mencegah kaum hawa untuk menduduki
jabatan pemimpin suatu negara. Kajian Islam berargumen bahwa imam
mempunyai kewajiban meluaskan ajaran Islam, menolong perluasan ajaran
Islam serta mampu menjadi pemimpin shalat di masjid.17

Dalam politik, bahwa Islam mendukung kaum hawa ikut berperan


dengan antusias terutama mengenai pemungutan suatu putusan. Pada awal
Islam kaum hawa mendapat peluang ikut andil, mengemukakan argumen yang
dikehendaki dan menyampaikannya kepada khalayak tanpa minder.Kaum hawa
diberi amanah perwakilan, menjadi penengah, dan memperoleh pengamanan.

16
Halim K, Abd. 2014. “Konsep Gender Dalam Al-Quran (Kajian Tafsir tentangGender dalam QS.
Ali Imran (36)”, Jurnal Al-Maiyyah.Volume 7 No. 1., h.24
17
Afifah N, .Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia,2017), h.17

10
Contohnya Ummu Salamah menjadi tokoh konselor politik yang ahli pada
Nabi Muhammad SAW.dan menganggap antara kaum adam dan hawa setara.18

Banyak yang mampu dilakukan oleh kaum hawa sesuai dengan apa yang
dapat dilaksanakan kaum adam. Kaum hawa dianggap lemah serta kurang
akal dapat ditepis dengan kemampuan yang dimilikinya tanpa berharap dengan
kaum adam. Potensi kaum hawa tidak berbeda kemampuannya asalkan
diberikan kebebasan tanpa dipengaruhi pemikiran urf’ yang kental sehingga
menghambatnya untuk maju. Stigma kemampuan kaum hawa yang
dibumimingkan untuk meninggikan kembali kesamaan drajat keduanya.

2. Poligami

Dalam Islam poligami diperbolehkan, akan tetapi mendapatkan kritikan


dan celaan dari banyak pihak. Poligami menurut Islam ada tiga sikap ketika
membahasn ini, yaitu poligami dipandang luas sudah ditetapkan nash mengenai
pelaksanaannya, adanya batasan jumlah istri dalam poligami misalnya terkait
pelaksanaanya di Maroko boleh dilakukan jika suami dilihat mampu adil
terhadap istrinya, dan terakhir adanya pengharaman pelaksaan poligami karena
dianggap tindakan menimbulkan dosa sehingga harus ada hukum jelas.

Orang-orang yang menyerang keberadaan pelaku poligami yang


dilakukan berdasarkan Islam berpendapat bahwa asal pendapat ini akan
merendakan posisi kaum hawa. Poligami menjadi anggapan dasar dapat
merendahkan harkat kaum hawa Sebagian berargumen tentang poligami dapat
menyebabkan pertikaian dan memusuhi kaum muslimin lain. Selain itu,
poligami pun bias menimbulkan kesenjangan sosial yang dialami para istri. Al-
Karim yang berbicara mengenai poligami terdapat di Al-Qur’an Surat an-Nisa’:
3 dan 129 yang berbunyi:19

18
Muhammad Isnanto, Gender dalam Islam: Teks dan Konteks (Yogyakarta:PSW UIN Sunan
Kalijaga,2009), h.3
19
https://tafsirweb.com/37121-surat-an-nisa.html

11
َ‫اَ رِ فُْ ّ رمّ لِ مٰ رْاو ََ رّ مَ رٰ نٰ رٓ فَ ن رْ ر‬ ‫فٓ۟ رّا رَ ر‬ ‫ٓ۟ َُٰ ملِ رّ ن رَ رّ نٰ رُٱٰ َُْ ا‬ ‫َ ا‬ ‫رٓإَّم ََ مُ فَ مْ ُر نّ فَ مَْْ ف‬
‫ٍ ُر مّ ن رّ فٰ فُ مْ ن رَِ رََ ُر مَ رٰ ن وٰ ُر نّ رََفِٓف ا‬
۟ٓ ‫ٓ۟ رُ ن رََْٓر بً ُر مٓ رّا رّ رْ رُ م‬
‫رٓ فَ ن رَ رَ رَُِّم ََ مُ فَ مْ ُر نّ رََم ََِف ا‬
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”

‫رٓ رِّ رَْم رَََ َّ وفٓ ا۟ ُرّ رََم ََِف ا‬


‫ٓ۟ رَّ رمّ لِ مٰ رْاو ََ رٓ رِ مٓ رْ رَْم فَ مْ رُ رَ رََّّْف ا‬
َ‫ٓ۟ فُ نَ ملِ رّّ َم‬
‫اّ رَُفَٓب ۟ َن َّّْبا‬ ‫لّ رُ ر‬‫ٓ۟ رَُِّن ن ر‬‫فٓ۟ رٓ رَ نَْف ا‬
‫رُ رَ رََفٓ رَا رُ مٱِّ رفَْن رْ ًَ رٓإَّ فَْم َْْ ا‬
”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

Surah an-Nisa ayat 3 dan 129 menunjukkan disyari’atkannya poligami


dan pada saat yang sama menunjukkan bahwa dibolehkannya poligami
bukanlah sasaran pokok Al-Quran, tapi hanya menjadi sebuah alternative
dilakukan menangani situasi dan kondisi tertentu sesuai dengan aturan
yangditentukan. Ayat tentang poligami itu semata-mata hak melainkan lebih
menekankan tanggung jawab untuk memastikan anak-anak yatim diberi
perlakuan yang adil.

Terkait pembahasan poligami di Indonesia, pemerintah membentuk


peraturan khusus mengatur perkawinan orang Islam. Undang-Undang Nomor1
Tahun 1974 tentang perkawinan dan diatur secara khusus yaitu Komplikasi
Hukum Islam (KHI). Tercantum pada pasal 55 butir 1 dalam KHI bermakna

12
“memiliki istri lebih dari satu dalam kesempatan tertentu dibatasi hanya
diperbolehkan mempunyai istri sebanyak empat”. Selanjutnya pasal 56 butir 1
intinya tentang “suami berkeinginan memiliki istri melebihi dari seorang patut
memperoleh lampu hijau oleh Pengadilan Agama.

Mengenai poligami sudah jelas bahwa poligami diperbolehkan dengan


ketentuan-ketentuan hukum yang sudah berlaku.Namun jumlah yang boleh
dijadikan sebagai istri dibatasi hanya empat saja, dengan memperoleh restu istri
dan Pengadilan Agama. Pembatas ini dilakukan untuk mencegah kesewenangan
kaum adam terhadap kaum hawa dalam kekeluargaan serta tercapai keluarga
serasi.

3. Kewarisan

Al-Qur’an mengulas perbandingan mengenai pembagian waris 2:1.


Islam sebagai agama yang universal membawa hak-hak perempuan serta
mengngkat martabat perempuan setara dengan laki-laki.Laki-laki memiliki
kelebihan dijelaskan dalam Al-Qur’an dalam pembagian hak waris.Laki-laki
memili tanggung jawab sebagai suami dan laki-laki untuk membayar mahar
kepada perempuan.

Pokok dasar tentang warisan dalam Islam (fara’id) merupakan


perserupaan hak anak dalam keluarga tanpa memilih banyak dan besar ukuran
yang diterima pewaris yang ditinggalkan ahli waris untuk dibagi. Warisan yang
diperoleh tanpa pandang bulu total yangditerima, sedikit ataupun banyak
jumlahnya. Pembagian harta waris dalam Islam telah diatur dalam nash serta
ijitihad fuqaha.

Dalam Q. S. An-Nisa ayat 11 dan 12 membahas tentang pembagian


kewarisan. Ahli waris laki-laki disebut memperoleh lebih banyak ketimbang
perempuan yang disebut ahli waris asabah. Kesamaan mengenai perolehan
kewarisan dalam Islam bermaksud tidak adanya perolehan persamaan yang

13
didapat antara keduanya.Karena jumlah yang diperoleh tergantung pada kondisi
atau status seseorang disetiap kasusnya.20

Masa Jahiliyah kaum hawa tidak mendapat harta waris sedikitpun, tetapi
Islam datang memberikan kemuliaan kepada perempuan. Pembagian kewarisan
anak laki-laki memang mendapat harta waris lebih banyak. Denganmemberikan
kewajiban kepada anak laki-laki unutk menangung nafkah istri dan anaknya.
Ketika kenyataan sosial berubah, yaitu kaum hawa ikut menanggung nafkah
keluarga dan kewajiban sosial relatif sama sehingga bagian warisan bisa
dipertimbangkan. Adanya doktrin tentang penutupan ijitihad mengenai
kewasiran dalam Islam kurang lebih 14 abad dan pemikirannya diterima. Tetapi
dengan perubahan yang moderen eksistensi tentang pendapat ini mulai
dibantah dalam hukum Islam. Pemikiran feminis membantah pemikiran ulama
salaf dengan pemikiran ketentuan ini lebih diskriminasi dan memudoratkan
kepada kaum hawa. Untuk itu, perlu pengkajian terbaru mengenai tafsir
kewarisan dan menjadi pertimbangan dalam komunitas muslim.21

Jadi, konsep warisan 2: 1 bukanlah menjadi superioritas kaum adam


terhadap kaum hawa, hanya fusngsi serta kewajiban yang berbeda. Fungsi dan
kewajiban bisa saja berubah sesuai situasi, sehingga jumlah banyak yang
diperoleh tergantung keadaan, realita dan fleksibel hukum fiqh Indonesia.
Pembagian ini dilakukan secara relevan dengan melihat situasi masyarakat
Indonesia. Tergantung pemahan teks serta konteks untuk menyikapinya terkait
pembahgian harta waris. Sehingga tidak dipungkiri jumlah yang diterima sama
rata.

20
Wahidah, “Relasi Kesetaraan Antara Laki-Laki dan Perempuan dalam Kasus Kewarisan
(Faraidh)”, 2018, Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin, h.66

21
Khaeron Sirin, “Analisis Pendekatan Teks Dan Konteks Dalam Penentuan Pembagian Waris
Islam”, 2013, Jurnal Ahkam:Vol. Xiii, No. 2, h.216

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka ditarik beberapa kesimpulan, Pertama,


Gender merupakan suatu konsep yang melihat peran laki- laki dan perempuan dari
aspek sosial dan budaya. Hakikatnya Islam menempatkan perempuan pada posisi
yang sama dengan laki-laki, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Yang
membedakan hanyalah dari sisi ketakwaan. Kedua, Bentuk ketidakadilan gender
dapat dilihat melalui berbagai manifestasi seperti marginalisasi, subordinasi,
pembentukan sreotipe (pelabelan), kekerasan (violence) maupun beban kerja.
Dikarenakan sudah sangat membudaya, sebagian kalangan menganggap bahwa bias
gender tersebut merupakan kodrat dari Tuhan. Ketiga, Masalah gender dalam studi
Islam hingga kini masih memunculkan banyak pertanyaan dan pertikaian. Namun,
dapat dipahami bahwa menjadikan pola fikir feminis barat sebagai kiblat studi gender
adalah kekeliruan yang sangat mendasar. Dalam Islam dan tradisi masyarakat
Indonesia, perempuan ditempatkan pada tempat yang terhormat, sebagai hamba Allah
yang setara kedudukannya dengan laki-laki, meskipun dengan peran yang berbeda.

B. Saran

Berdasarkan makalah diatas, Penulis tentunya masih menyadari jika makalah

diatas masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan

memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik

yang membangun dari para pembaca.

15
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, N. 2017. Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas, Jakarta:


Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Demi H. Susilastuti. 1993. “Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologis”, Fauzi Ridjal,
Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. (Yogyakarta: Tiara Wacana.
Halim K, Abd. 2014. “Konsep Gender Dalam Al-Quran (Kajian Tafsir tentang
Gender dalam QS. Ali Imran (36)”, Jurnal Al-Maiyyah.Volume 7 No. 1.
Isnanto, Muhammad. 2009. Gender dalam Islam: Teks dan Konteks (Yogyakarta:
PSW UIN Sunan Kalijaga.
M. Marcoes L. 1993. Wanita Islam dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual. Jakarta:
INIS

Musdah Mulia. 2014. Indahnya Islam Menyuarakan Keseteraan & Keadilah Gender,
Yogyakarta: SM & Naufan Pustaka.
Mufidah. 2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: Uin Maliki
Malang Press.
Sirin, Khaeron. 2013. “Analisis Pendekatan Teks Dan Konteks Dalam Penentuan
Pembagian Waris Islam”, Jurnal Ahkam:Vol. Xiii, No. 2.
Taufik Abdullah. 2002. Ensiklopedi Islam, jld. VI. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Wahidah. 2018. “Relasi Kesetaraan Antara Laki-Laki dan Perempuan dalam


Kasus Kewarisan (Faraidh)”, Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin.

Zaitunah Subhan. 2015. Al-Qur’an dan Perempuan. Jakarta: Kencana.

Yusuf al Qardhawy. 1996. Ruang Lingkup Wanita Muslimah Jakarta: Pustaka Al


Kautsar.

16

Anda mungkin juga menyukai