الرحِ يم
َّ الر ْح َم ِن
َّ ْــــــــــــــــــم ِاﷲ
ِ ِبس
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt. yang telah
melimpahkan rahmat, dan berkah-Nya, dan dengan pertolongan-Nya, sehingga
tugas makalah ini dapat diselesaikan dengan sebagaimana mestinya. Shalawat dan
salam semoga dilimpahkan oleh-Nya kepada junjungan kita Rasulullah Saw, para
Sahabat dan seluruh pengikut Beliau hingga akhir zaman.
Sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah kami yang
berjudul “Gender dan Pendidikan Islam” dengan lancar tanpa suatu halangan.
Penyusunan makalah ini disusun secara sistematis dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga memperlancar pembuatan makalah ini. Sebab itu kami
ucapkan terimakasih kepada pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan
makalah ini, khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk membuat makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Terlepas dari semua itu, kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang membangun dari para pembaca. Sehingga kami dapat mengintropeksi diri
serta memperbaiki kesalahan yang kami lakukan dalam penyusunan makalah ini.
Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
teman-teman. Aamiin…
Kelompok 7
i
DAFTAR ISI
BAB II ..................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 1
PENUTUP ............................................................................................................. 16
A. Kesimpulan ................................................................................................ 16
B. Saran........................................................................................................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesetaraan gender memiliki sebuah arti sebagai kesamaan atau keadilan
yang harus didapatkan antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan
peran di kehidupan sosial maupun budaya. Kesetaraan memiliki fungsi yang
sangat penting dalam mewujudkan adanya keadilan gender, dalam sebuah
lembaga atau pesantren bentuk kesetaraan jarang sekali diterapkan dalam
lingkungan. Penyebabnya sendiri terjadi karena adanya sistem budaya
patriakri yang masih dianut oleh sebagian besar masyarakat, sehingga hal ini
menjadi penyebab utama terjadinya ketidakadilan gender. Seiring berjalannya
waktu perlahan sistem buadaya ini mulai ditinggalkan dan digantikan dengan
adanya berbagai macam bentuk penerapan praktik kesetaraan gender dalam
lembaga yang memiliki tujuan tersendiri dalam penerapannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud peran gender dalam pendidikan islam
2. Apa itu bias gender dalam pendidikan
iii
3. Bagaimana upaya untuk mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan
islam
4. Bagaimana peran lembaga pendidikan dalam mempromosikan kesetaraan
gender
5. Siapa itu Muhammad Abduh
6. Apa pandangan Muhammad Abduh terhadap sosiologi pendidikan
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud peran gender dalam pendidikan islam
2. Untuk mengetahui bias gender dalam pendidikan
3. Untuk mengetahui upaya mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan
islam
4. Untuk mengetahui peran lembaga pendidikan dalam mempromosikan
kesetaraan gender
5. Untuk mengetahui Biografi Muhammad Abduh
6. Untuk mengetahui dan memahami pandangan Muhammad Abduh
mengenai sosiologi pendidikan islam
iv
BAB II
PEMBAHASAN
1
Nita Kartika, “Konsep Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan Islam”, Jurnal Studi Islam, Volume
14, No. 1, (2020), 31
2
Ribut Purwi Juono, “ Kesetaraan Gender Dalam Pndidikan Islam ( Studi Pemikiran Hamka Dalam
Tafsir Al-Azhar)”, Jurnal Studi Keislaman, Volume 15, No.1, (Juni, 2015), 122-123
3
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina,
2001), 1
4
Victoria Neufeldt (eds.), Webster’s New World Dictionary, (New York: Webster’s New World
Clevenland, 1984), 561.
5
Helen Tierney (Eds.) Women’s Studies Encyclopedia, Vol. I. (New York, Green Wood Press). 153.
1
perbedaan biologis, tetapi atas dasar relasi sosial budaya yang dipengaruhi
oleh struktur masyarakat yang lebih luas.6
6
Sa’i, “PENDIDIKAN ISLAM DAN GENDER,” 119.
7
Hilary M. Lips, Sex & Gender: An Introduction. (London: Mayfield Publishing Company, 1993),
hlm. 4.
2
Adam dan Hawa), diciptakan melalui proses kehamilan seorang ibu tanpa
adanya ayah (khusus penciptaan Nabi Isa AS), dan kejadian manusia pada
umumnya melalui proses kehamilan seorang ibu dangan adanya ayah
secara biologis.8
8
Juono, “KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Studi Pemikiran Pendidikan Hamka
dalam Tafsir al-Azhar).”125.
9
Hanun Asrohah, Sosiologi Pendidikan (Surabaya: Kopertais Press, 2008), cet. 1, 178.
10
Nur Afif, Asep Ubaidillah, Muhammad Sulhan, “Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Fatima
Mernissi Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam”, IQ (Ilmu Al-qur’an) : Jurnal Pendidikan Islam,
Volume 3, No. 2, (2020), 231.
3
lebih rendah di negara-negara dunia. Ketika pendidikan dasar
belum diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya hanya
separuh atau sepertiga jumlah murid laki-laki.
2) Kurangnya keterwakilan (under-representation).
Jumlah guru perempuan pada jenjang pendidikan dasar
umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki. Namun,
pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi,
jumlah tersebut menunjukkan penurunan drastis.
Laki-laki juga lebih dominan dalam mempengaruhi isi
kurikulum sehingga proses pembelajaran cenderung bias laki-
laki. Fenomena ini dapat diamati dari buku-buku pelajaran
yang sebagian besar penulisnya adalah laki-laki. Penulis buku
laki-laki sangat dominan
3) Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment).
Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas
seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Guru secara
tidak sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian yang
lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan.
Para guru kadangkala cenderung berpikir ke arah "self
11
fulfilling prophecy" terhadap siswa perempuan karena
menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan
yang tinggi.
Faktor yang menghambat akses perempuan terhadap pendidikan
tingkat atas dan tinggi adalah jumlah sekolah yang terbatas, dan jarak
tempuh yang jauh diduga lebih membatasi anak perempuan untuk
bersekolah dibandingkan laki-laki. Perkawinan dini juga diduga menjadi
sebab mengapa perempuan tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang
lebih tinggi.
11
Merupakan proses dimana ekspektasi atau harapan kita terhadap seseorang akan
mengarahkan diri kita agar ekspektasi tersebut terjuwud.
4
Laporan Kementerian Pendidikan yang penyusunannya dibiayai
UNICEF, juga menjelaskan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia sangat
memprihatinkan, khususnya bagi anak perempuan yang ingin melanjutkan
pendidikan ke sekolah menengah, atau mereka yang berasal dari keluarga
miskin dan tinggal di pedesaan. Selain itu juga ditemukan gejala
pemisahan gender dalam jurusan atau program studi sebagai salah satu
bentuk diskriminasi gender secara sukarela ke dalam bidang keahlian.
Pemilihan jurusan-jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan
dengan fungsi domestik, sementara itu anak laki-laki diharapkan berperan
dalam menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih banyak memilih
keahlian-keahlian ilmu keras, teknologi dan industri. Penjurusan pada
pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggi menunjukkan masih
terdapatnya stereotype dalam sistem pendidikan di Indonesia yang
mengakibatkan tidak berkembangnya pola persaingan sehat menurut
gender. Sebagai contoh, bidang ilmu sosial pada umumnya didominasi
siswa perempuan, sementara bidang ilmu teknis umumnya didominasi
siswa laki-laki.12
Dalam kebanyakan perdebatan sering dikatakan bahwa perempuan
didominasi perasaan daripada rasio. Karenanya mereka cenderung sensitif,
berbeda dengan laki-laki yang lebih rasional karena yang dominan dalam
dirinya adalah rasio sehingga perempuan tidak membutuhkan pendidikan
yang tinggi yang melibatkan rasio tersebut. Sebenarnya, kondisi yang
sering disalah tafsirkan ini dari sisi kemanusiaan malah menunjukkan
sebaliknya, yaitu perempuan memliki beberapa kelebihan diantaranya
adalah lebih berperannya hati. Padahal, hati merupakan penentu nilai
karakter tentang baik-buruk individu. Mereka yang dekat dengan alam,
tekun dan teliti. Banyak bidang-bidang yang membutuhkan kelebihan-
kelebihan tersebut
12
Sa’i, “PENDIDIKAN ISLAM DAN GENDER,” 126.
5
C. Upaya Mencapai Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan Islam
Dalam mewujudkan kesetaraan gender, pendidikan islam memiliki
peran yang sangat penting, karena dalam pendidikan islam terdapat
prinsip-prinsip demokrasi dan juga kebebasan terutama dalam pendidikan.
Prinsip tersebut meliputi prinsip persamaan dan kesempatan yang setara
dan sama dalam belajar tanpa dibeda-bedakan. Setiap orang memiliki hak
untuk belajar, tanpa ada perbedaan antara kaya dan miskin, maupun jenis
kelamin laki-laki ataupun perempuan.13
Arti kesetaraan gender ialah kesamaan hak antara laki-laki dan
perempuan, bukan berarti kedudukan perempuan diatas laki-laki, maupun
sebaliknya, terutama dalam hal pendidikan. Ketidakadilan diantara laki-
laki dan perempuan ini sering disebut dengan ketidakdilan gender,
perempuan sekarang jumlahnya lebih banyak dibandingkan laki-laki. Akan
tetapi, laki-laki yang berpengaruh dalam menentukan keputusan dan
kebijakan penting. 14 Gender tidak bermaksud untuk menyalahi kodrat,
tetapi sebaliknya justru mengembalikan kodrat pada proporsi secara setara
dan adil antara laki-laki dan perempuan.
Salah satu ungkapan lain dalam pendidikan ialah “ibu merupakan
madrasah pertama bagi anak-anaknya”, maka pendidikan diharapkan
mampu direalisasikan secara adil dan setara baik bagi laki-laki maupun
perempuan, karena dengan adanya keadilan dan peningkatan kualitas
pendidikan bagi perempuan, maka akan melahirkan generasi-generasi
penerus yang cerdas yang akan memajukan Negara dan bangsa dalam
seluruh aspek yang ada dikehidupan.15
Rasulullah merupakan pencetus pertama kesetaraan gender dalam
dunia islam. Pada masa islam saat itu, harkat dan martabat serta derajat
13
M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1970), 5.
14
Evi Fatimatur Rusydiyah, “ Pendidikan Islam dan Kesetaraan Gender” , Jurnal Pendidikan Islam,
Volume 4, No.1, (Mei, 2016), 21-22
15
Yaqin and Fakhirah, “KONSEP DAN IMPLEMENTASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN
ISLAM (STUDI KASUS DI MTSN 2 KOTA BIMA),” 275.
6
perempuan menjadi sangat mulia, baik itu sebagai ibu, anak, maupun
istri.16
Ajaran Islam menyebutkan bahwa tidak ada perlakuan
diskriminatif bagi setiap individu baik laki-laki maupun perempuan di
muka bumi ini yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin, status sosial,
ataupun ras. Semua manusia memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah
SWT. Allah membedakan kedudukan manusia di sisi-Nya berdasarkan
kualitas ketakwaannya. 17 Pendidikan Islam berperspektif gender hadir
untuk memberikan dan menjamin terpenuhinya hak pendidikan yang sama
bagi laki-laki dan perempuan. Ia merupakan proses transformasi
pengetahuan dan nilai-nilai18
Konsep kesetaraan gender sendiri merupakan suatu keadaan
dimana siklus social antara laki-laki dan perempuan setara dan seimbang.
Hal ini menunjukkan arti bahwa setiap manusia memiliki akses terhadap
sumber daya dan manfaat yang seimbang, yang mengarah kepada setiap
manusia yang dapat mengambil manfaat dan berpartisipasi dalam
pembangunan dan pendidikan.
Secara normatif, Al-Qur’an sebagai kitab suci sangat menghargai
perempuan dan memandang laki-laki dan perempuan setara dihadapan
Allah. 19 Hal ini terbukti dengan adanya ayat-ayat dalam Al-Qur’an
mengenai konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan,
diantaranya :
16
Syarifah Rahmah, “Pendidikan dan Kesetaraan Gender Dalam Islam Di Aceh”, Gender Equality :
International Journal Of Child and Gender Studies, Volume 5, No. 1, (Maret, 2019), 41.
17
Tim Penyusun, Membangun Relasi Setara antara Perempuan dan Laki-laki Melalui Pendidikan
Islam.(Jakarta: Direktoral Jenderal Pendidikan Kementerian Agama-Australia Indonesia
Partnership, 2010), hlm. 33–34
18
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, Efektifitas Regulasi Permendiknas No. 84 Tahun 2008 tentang
Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan (Studi Kasus di Kab. Kebumen), Yustisia, 78,
(Surakarta, September-Desember, 2009), hlm. 43
19
Nanik Setyowati, “Pendidikan Gender Dalam Islam : Studi Analisis Nilai-Nilai Kesetaraan Gender
Dalam Pelajaran PAI Di SD Ma’rif Ponorogo, Jurnal Pendidikan Islam dan Multikulturalisme,
Volume 1, No. 1, (2019), 38.
7
• Laki-laki dan perempuan adalah makhluk Allah yang setara,
sama-sama sebagai hamba, hal ini dijelaskan dalam Qs. Adz-
Dzaariyat ayat 56. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
20
ewi Ratnawati, Sulistyirini, Ahmad Zainal Abidin, “Kesetaraan Gender Tentang Pendidikan Laki-
laki dan Perempuan”, Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender, Volume 15, No. 1, (2019), 22.
8
2) Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan kesan
dikotomis antara laki-laki dan perempuan, demikian pula
kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan, keadilan dan
keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan
dan tipologi daerah yang dimulai dari tingkat pendidikan TK
sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
3) Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan informal
seperti pemberian fasilitas belajar mulai di tingkat kelurahan
sampai kepada tingkat kabupaten disusaikan dengan
kebutuhan daerah.
4) Pemberdayaan di sektor ekonomi untuk meningkatkan
pendapatan keluarga terutama dalam kegiatan industri rumah
tangga. Dengan demikian akan menghilangkan ketergantungan
ekonomi kepada lakilaki karena salah satu terjadinya
marginalisasi pada perempuan adalah ketergantungan ekonomi
keluarga kepada laki-laki.
5) Pendidikan politik bagi perempuan agar dilakukan secara
intensif untuk menghilangkan melek politik bagi perempuan.
Karena masih ada anggapan bahwa politik itu hanya miliki
laki-laki dan politik itu adalah kekerasan, padahal sebaliknya
politik adalah seni untuk mencapai kekuasaan.
6) Pemberdayaan di sektor keterampilan, baik keterampilan
untuk kebutuhan rumah tangga maupun yang memiliki nilai
jual ditingkatan, terutama kaum perempuan di pedesaan agar
terjadi keseimbangan antara perempuan yang tinggal di
perkotaan dengan pedesaan sama-sama memiliki keterampilan
yang relatif bagus.
9
7) Sosialisasi Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah
Tangga lebih intens dilakukan agar kaum perempuan
mengetahui hak dan kewajiban yang harus dilakukan.21
21
Sa’i, “PENDIDIKAN ISLAM DAN GENDER,” 136.
22
Warni Tune Sumar, “Implementasi Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan”
Musawa,”Volume 7, No.1, (Juni 2015), 160
23
Bani Syarif Maulana, “Implementasi Pengarusutamaan Gender Dalam Kurikulum Fakultas
Syariah”, Jurnal Equalita, Volume 2, No. 2, (Desember, 2020), 166.
24
Yaqin and Fakhirah, “KONSEP DAN IMPLEMENTASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN
ISLAM (STUDI KASUS DI MTSN 2 KOTA BIMA),” 281.
10
Hal ini dapat dikatakan bahwa laki-laki kurang memiliki motivasi
belajar dibandingkan perempuan, dan pernyataan ini didukung oleh hasil
penelitian Khoirunnisa yang berjudul “Pengaruh Urutan Kelahiran Dan
Jenis Kelamin Terhadap Motivasi Belajar Siswa Di SMP An-Nur
Bulalawang” bahwa motivasi belajar siswa perempuan lebih tinggi
dibanding siswa laki-laki.25
Berdasarkan UU 1992 bahwa pendidikan merupakan pijakan
dalam membentuk dan mengembangkan masyarakat. Sehingga jika dilihat
isi dari UU tersebut bahwa antara laki-laki dan perempuan dalam proses
pembelajaran sama rata, tidak harus dipisah26.
Hak yang sama dalam pendidikan telah terpenuhi pada saat ini.
Berbeda dengan masa lampau, yang dimana orang tua hanya mengizinkan
anak laki-laki saja yang akan mengenyam pendidikan tinggi, tetapi pada
saat ini telah banyak yang mendukung dan mengizinkan anak perempuan
untuk menempuh pendidikan pula seperti anak laki-laki27
25
Gusti Ayu Nyoman Dyah Malini, I Gusti Ayu Diah Fridari, “Perbedaan Motivasi Belajar Siswa
Ditinjau Dari Jenis Kelamin Dan Urutan Kelahiran Di SMAN 1 Tabanan Dengan System Full Day
School”, Jurnal Psikologi Udayana (2019), 152.
26
Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikan, (Jakarta : Asdi Mahasatya, 2005), 1. Dalam Zaini
Tamrin AR, Subaidi, “Implementasi Segregasi Kelas Berbasis Gender Dalam Menanggulangi
Interaksi Negatif Siswa Di SMP Al-Falah Ketintang Surabaya”, Al Hikmah Jurnal Studi Keislaman,
Volume 9, No. 1, (Maret 2019), 32-33
27
Yuni Sulistyowati, “Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Pendidikan dan Tata Sosial”, Ijougs :
Indonesian Journal Of Gender Studies, Volume 1, No. 2, (2020), 8.
11
ditanggung rakyat sangan berat. Sehingga rakyat saat itu yang berprofesi
sebagai petani, termasuk orangtua Abduh, terpaksa harus berpindah-pindah
tempat, dari satu desa ke desa lain untuk menghindari pungutan pajak, dan
orangtua Abduh akhirnya menetap di desa Mahallat Nasr dengan membeli
sebidang tanah.
Keluarga Abduh adalah keluarga yang sederhana, bukan dari
keluarga bangsawa yang terdidik, tetapi sangat taat beragama. Sehingga di
desa Mahallat Nasr keluarga Abduh sangat terpandang dan terhormat;
seperti pengakuan dan penilaian Abduh sendiri tentang ayahnya. Ayahku
menurut Abduh, semula saya anggap orang termulia di kampungku bahkan
termulia di dunia, saat itu dunia dianggapnya hanya kampung Mahallat
Nasr. Apabila pejabat berkunjung ke kampungnya, mereka lebih sering
menginap di rumah orangtuanya daripada menginap di rumah kepala
kampong yang lebih baik keadaannya28
Pendidikan formal awal Abduh diperoleh di masjid Al-Ahmadi di
Thantha berlangusng selama 2 tahun, tetapi sebelum itu ia belajar di
kampung halamannya sendiri sampai mampu menghafal al-Qur’an. Karena
system pengajarannya di Thantha tidak sesuai dengan yang diharapkannya,
ia kembali ke desanya bergabung dengan saudara-saudaranya membantu
orangtuanya menggarap tanah. Pada usianya yang ke-16 ia dinikahkan oleh
orangtuanya. Walaupun telah dinikahkan, ayahnya tetap memaksa Abduh
kembali belajar. Karena keengganannya untuk belajar, Abduh kabur ke
desa Syibral Khit, desa yang banyak didiami oleh beberapa pamannya.
Ketika tinggal di rumah salah seorang pamannya, Abduh bertemu dengan
Syaikh Darwisy Khidr, paman ayahnya, salah seorang sufi yang menganut
paham Syadzillah. Di bawah bimbingan syaikh ini Abduh mengalami
perubahan, sesuatu yang awalnya ia benci menjadi sesuatu yang sangat
digemarinya, dan sebaliknya sesuatu yang awalnya dia sangat gemari,
28
Sayyid M. Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh, juz I, Al Mannar; Mesir,
1931, h. 14.
12
seperti bermian, bercanda, dan berbangga-bangga menjadi sesuatu yang
sangat dibencinya
Perubahan orientasi yang terjadi pada diri Abduh mendorongnya
kembali ke Thantha untuk belajar. Selesai dari Thantha Abduh melanjutkan
studi ke Al Azhar (1866 M). Sesampainya di Al Azhar Abduh merasakan
kejenuhan karena system pengajarannya sanagt membosankan, kaku dan
dogmatis, sehngga ia pun merasa kecewa. Tetapi di sela-sela
kekecewaannya ada beberapa Syaikh Al Azhar yang ia kagumi, salah
seorang diantaranya Syaikh Hasan al-Thawil. Pada tahun 1877 M Abduh
lulus dengan mendapat gelar “Alim”.29
29
M. Quraish Syihab, Studi Kritis Tafsir Al Manar, Pustaka Hidayah: Bandung, cet I, 1994, h.
13
jika pola pendidikan yang kedua masih tetap dipertahankan, maka akan
mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus
kehidupan dan pola hidup modern. Untuk mengatasi permasalah diatas,
maka Muhammad Abduh melakukan pembaruan sistem pendidikan Islam,
Pembaruan-pembaruan yang dilakukannya meliputi;
• Pertama, pembaruan pada tujuan pendidikan Islam dari statis
menuju dinamis dengan menekankan pada keseimbangan
antara dua aspek, yakni aspek kognitif dan afektif. Yang kala
itu dilatarbelakangi dengan tujuan pendidikan yang menurut
Muhammad Abduh harus diperbarui. Lembaga-lembaga
pendidikan yang berbasis pendidikan Barat yang didirikan
pemerintah hanya bertujuan mengedepankan aspek kognitif
yang mengejar duniawi saja. Sedangkan sekolah-sekolah
agama yang didirikan kala itu hanya mengedepankan aspek
spiritual yang terfokus pada masalah akhirat. Untuk itu
Muhammad Abduh berusaha mereformasi kedua tujuan
pendidikan tersebut ke arah yang dinamis
• Kedua, melakukan pembaruan kurikulum dengan model
integrated curriculum dengan cara memasukan pelajaran-
pelajaran filsafat, mantiq, ilmu pengetahuan alam, ditambah
dengan ilmu-ilmu agama. Hal tersebut merupakan proses
equalisasi secara proposional pendidikan keagamaan dan
umum disekolah-sekolah modern dan tradisional.
• Ketiga, memasukan metode munadzarah atau metode diskusi
dalam proses pembelajaran. Menurut Muhammad Abduh
metode menghafal tanpa pengertian akan merusak daya nalar,
seperti yang pernah dialaminya ketika sekolah di Thanta.
Menurutnya metode pengajaran yang selama ini hanya
mengandalkan hafalan perlu dilengkapi dengan metode yang
rasional dan pemahaman (insight). Dengan demikian, maka
siswa nantinya bukan hanya saja hafal materi, akan tetapi juga
14
memahami materi yang dihafal tersebut secara kompherensif.
Upaya pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh dalam
metode pengajaran adalah dengan memasukan metode
munadzarah (diskusi) dalam proses pengajaran. Tujuan
dimasukkannya metode munadzarah adalah untuk memberikan
peluang kepada pelajar didalam bertanya perihal pelajaran-
pelajaran yang sukar dimengerti serta menumbuhkan sikap
ilmiah.
• Keempat, melakukan perbaikan administrasi dengan
menentukan honorarium yang layak bagi ulama-ulama al
Azhar, serta mendirikan gedung administrasi dan melakukan
pengangkatan pegawai-pegawai untuk membantu rektor.
• Kelima, pendidikan wajib diberikan bagi wanita.
30
Arwen and Kurniyati, “PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH,” 22–24.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam pandangan
islam semua manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan
kewajiban yang sama, termasuk dengan keseimbangan hak dan
kesempatan dalam memperoleh pendidikan.
16
pendidikan atau dengan kata lain pendidikan tidak lagi didominasi oleh
laki-laki. Dapat dibuktikan dengan adanya program pemerintah yaitu
pemerataan pendidikan bagi setiap orang diseluruh Indonesia.
Muhammad Abduh diperkirakan lahir pada tahun 1894. Keluarga
Abduh adalah keluarga yang sederhana tetapi sangat taat beragama.
Pendidikan formal awal Abduh diperoleh di masjid Al-Ahmadi di Thantha
berlangusng selama 2 tahun, tetapi sebelum itu ia belajar di kampung
halamannya sendiri sampai mampu menghafal al-Qur’an. Pada usianya
yang ke-16 ia dinikahkan oleh orangtuanya. Ketika tinggal di rumah salah
seorang pamannya, Abduh bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, paman
ayahnya, salah seorang sufi yang menganut paham Syadzillah. Di bawah
bimbingan syaikh ini Abduh mengalami perubahan. Perubahan orientasi
yang terjadi pada diri Abduh mendorongnya kembali ke Thantha untuk
belajar. Selesai dari Thantha Abduh melanjutkan studi ke Al Azhar (1866
M). Hingga pada tahun 1877 M Abduh lulus dengan mendapat gelar “Alim”
Muhammad Abduh adalah salah seorang pembaru pendidikan
Islam. Pembaruan-pembaruan yang dilakukannya meliputi;
• pembaruan pada tujuan pendidikan Islam dari statis menuju dinamis
• melakukan pembaruan kurikulum dengan model integrated
curriculum.
• memasukan metode munadzarah atau metode diskusi dalam proses
pembelajaran.
• melakukan perbaikan administrasi dengan menentukan honorarium
yang layak bagi ulama-ulama al Azhar,
• pendidikan wajib diberikan bagi wanita..
B. Saran
Kami menyadari sebagai penulis makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaaan. Jadi kami mengharapkan kritik yang mendukung dan
membangun agar kedepannya makalah ini menjadi lebih baik lagi dan
semoga dapat berguna bagi para pembaca.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
Setyowati, Nanik. “Pendidikan Gender Dalam Islam : Studi Analisis Nilai-Nilai
Kesetaraan Gender Dalam Pelajaran PAI Di SD Ma’rif Ponorogo, Jurnal
Pendidikan Islam dan Multikulturalisme, Volume 1, No. 1, (2019)
Umar, Nasarudin. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
Paramadina, 2001),
Kartika, Nita. “Konsep Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan Islam”, Jurnal Studi
Islam, Volume 14, No. 1, (2020),
Afif, Nur Asep. Ubaidillah, Muhammad Sulhan, “Konsep Kesetaraan Gender
Perspektif Fatima Mernissi Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam”,
IQ (Ilmu Al-qur’an) : Jurnal Pendidikan Islam, Volume 3, No. 2, (2020),
19
Sumar, Warni Tune. “Implementasi Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan”
Musawa,”Volume 7, No.1, (Juni 2015)
Yaqin and Fakhirah, “KONSEP DAN IMPLEMENTASI KESETARAAN
GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM (STUDI KASUS DI MTSN 2
KOTA BIMA)
Yuni Sulistyowati. “Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Pendidikan dan Tata
Sosial”, Ijougs : Indonesian Journal Of Gender Studies, Volume 1, No. 2,
(2020)
20