Anda di halaman 1dari 13

STUDI ISLAM

“Perspektif Islam Dalam Keseteraan Gender”

Disusun untuk memenuhi tugas mata Kuliah Sejarah Sastra Melayu

Dosen Pengampu :

Drs. Achmad Gholib, M. Ag.

Disusun Oleh :

Gita Indah Cahyani (11210130000110)

Rifki Yoga Novansyah (11210130000107)

Shabrina Faarisah (11210130000088)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, atas kehendak dan karunia-Nya kami mampu
menyelesaikan makalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Studi Islam yang
membahas tentang “Perspektif Islam Dalam Keseteraan Gender”. Shalawat serta salam
tidak lupa kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Achmad Gholib, M. Ag. Sebagai
Dosen Pengampu yang telah memercayai kami untuk membuat makalah ini dan teman-teman
kelompok yang telah bersama-sama menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Makalah ini
telah kami susun dengan semaksimal mungkin dengan mencari referensi dari berbagai buku
yang dapat mempermudah kami dalam proses pembuatan makalah.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekuranga baik dari segi kalimat
maupun tata bahasa. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran agar menjadi
acuan serta koreksi bagi makalah berikutnya. Dengan adanya makalah ini semoga dapat
bermanfaat khusunya bagi kami dan umumnya bagi para pembaca. Aamiin.

Jakarta , 12 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 2

A. Latar Belakang .................................................................................... 2


B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan Makalah ................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN 3

1. Pengertian Gender .......................................................................... 3


2. Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an....................................................... 3
3. Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Kepimpinan Wanita ............... 6

BAB III PENUTUP 9

Kesimpulan ......................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Faktor perbedaan gender merupakan alternatif pembeda yang paling mudah
untuk diidentifikasi, dan dapat dijadikan alasan sebagai pendorong bagi mereka untuk
melakukan manipulasi nilainilai kemanusiaan. Sehingga dengan mengeksploitasi
perbedaan posisi seks antara laki-laki dan perempuan, kepentingan untuk saling
mendominasi dan menguasai di antara mereka dapat terealisasi. Kondisi ini yang
kemudian menghantarkan manusia pada suatu peradaban jahiliyah penuh kebiadaban
dalam berbagai aspek multi kompleks dan multi dimensional.
Perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak-adilan, baik bagi kaum
laki -laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Sebagaimana dimaklumi bahwa
sejarah telah memberikan gambaran sangat jelas bagi kita tentang betapa kejamnya
peradaban jahiliyah, dimana relasi sosial pada masa itu menilai keberadaan seorang
perempuan di pandang sebagai aib terhadap keluarganya. Sehingga begitu dilahirkan
langsung dikubur hidup-hidup oleh ayahnya. Bahkan pada masa pra Islam nasib kaum
perempuan dalam relasi sosial budaya dipandang tidak memiliki peranan apapun.
Dalam kondisi yang dimarginalkan secara kultural inilah kaum perempuan dirampas
haknya, diperjual belikan seperti budak, dan diwariskan, tetapi tidak mewarisi.
Bahkan sebagian bangsa melakukan hal itu terus menerus. Bahkan menganggap
perempuan tidapengkhianatan terhadap harkat dan martabat perempuan, yang telah
sangat berjasa melahirkan dan membesarkan setiap laki-laki sampai akhir zaman,
merupakan pengalaman buruk dari lembaran hitam sejarah peradaban umat manusia.

B. Rumusan Masalah
1) Apa itu pengertian gender?
2) Apa itu kesetaraan gender dalam Al-Qur’an?
3) Apa pandangan ulama kontemporer tentang kepimpinan wanita?

C. Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui apa itu gender
2) Untuk mengetahui apa kesetaraan gender itu dalam Islam
3) Untuk mengetahui pandangan ulama kontemporer tentang kepimpinan wanita
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Gender

Kata “Gender” berasal dari bahasa inggris, gender yang berarti “jenis kelamin”. Dalam
Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.1

Didalam Webster’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwajender adalah suatu


konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku,
mentalitas dan karakterstik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat.2

Dalam memahami konsep gender, Mansour Fakih membedakannya antara


gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian seks lebih condong pada pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia berdasarkan ciri biologis yang melekat, tidak
berubah dan tidak dapat dipertukarkan. Dalam hal ini sering dikatakan sebagai ketentuan
Tuhan atau 'kodrat'. Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki
atau perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dan dapat dipertukarkan.
Sehingga semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang
bisa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari
suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang disebut dengan gender. Jadi gender diartikan
sebagai jenis kelamin sosial, sedangkan sex adalah jenis kelamin biologis. Maksudnya
adalah dalam gender ada perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan sebagai hasil konstruksi sosial.3

Menurut Eniwati gender adalah konsep yang digunakan untuk


mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari sisi Sosial
budaya. Gender dalam arti ini mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari sudut non
biologis.4

1
Nassaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, ( Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hlm 29
2
Ibid, hlm 30
3
Iswah Adriana, Kurikulum Berbasis Gender, Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009 hlm 138
4
Eniwati Khaidir, Pendidikan Islam Dan Peningkatan Sumber Daya Perempuan, (Pekanbaru:LPPM UIN Suska
Riau, 2014) hlm 16

2
Berdasarkan definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa gender adalah
peran antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya.
Suatu peran maupun sifat dilekatkan kepada laki-laki karena berdasarkan kebiasaan atau
kebudayaan biasanya peran maupun sifat tersebut hanya dilakukan atau dimiliki oleh laki-
laki dan begitu juga dengan perempuan. Suatu peran dilekatkan pada perempuan karena
berdasarkan kebiasaan atau kebudayaan yang akhirnya membentuk suatu kesimpulan
bahwa peran atau sifat itu hanya dilakukan oleh perempuan.

2. Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an


Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan
dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan
dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati
hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi
dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.5

Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa ada beberapa variabel yang


dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan
gender dalam al-Qur’an. Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut:6
a) Laki-laki dan perempuan Sama-sama sebagai Hamba
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada
Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Zariyat: 56 artinya sebagai berikut:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan siapa yang banyak amal ibadahnya, maka itulah
mendapat pahala yang besar tanpa harus melihat dan mempertimbangkan jenis
kelaminnya terlebih dahulu. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang
sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan
dengan orang-orang bertaqwa (muttaqûn), dan untuk mencapai derajat muttaqûn ini
tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis
tertentu.

5
Iswah Adriana, Op.Cit , hlm139
6
Umar, Nasaruddin 1999, Argumen Kesetaraan Gender perspektif al-Qur’an

3
b) Laki-laki dan perempuan sebagai Khalifah di Bumi
Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah,
disamping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada
Allah Swt., juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fî al-ard). Kapasitas
manusia sebagai khalifah di bumi ditegaskan di dalam QS. al-An’am: 165 artinya
sebagai berikut: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan
Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kata khalifah dalam ayat tersebut tidak menunjuk kepada salah satu jenis
kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai
fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-
tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus
bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.

c) Laki-laki dan perempuan Menerima Perjanjian Primordial


Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima
perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak
manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian
dengan Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-A’raf: 172 artinya sebagai
berikut: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengata- kan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).

Menurut Fakhr al-Razi tidak ada seorang pun anak manusia lahir di
muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka
disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan

4
“tidak” 7 . Dalam Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian
berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah
manusia. Dengan demikian dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis
kelamin. Laki-laki dan perempua sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang
sama.

d) Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis


Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita
tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu
menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti
untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan hawa, seperti
dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut ini :
1. Keduanya diciptakan di surga dan menafaatkan fasilitas surga disebutkan
dalam QS. al-Baqarah: 35 artinya sebagai berikut: “Dan Kami berfirman: "Hai
Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-
makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan
janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk
orang-orang yang zalim.”
2. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan disebutkan
dalam QS. al-A’raf: 20 sebagai berikut: “Maka syaitan membisikkan pikiran
jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang
tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu
tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua
tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal
(dalam surga).”
3. Sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke bumi,
disebutkan dalam QS. al-A’raf: 22 artinya sebagai berikut: Maka syaitan
membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya.Tatkala
keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-
auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga.
Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang

7
Fakhr al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Haya’ al-Turats al-Arabi, 1990), Jilid XV, h. 402. 381

5
kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu:
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?
4. Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan, disebutkan
dalam QS. al-A’raf: 23 artinya sebagai berikut: Keduanya berkata: "Ya Tuhan
kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orang-orang yang merugi.
5. Setelah di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi
dan saling membutuhkan, disebutkan dalam QS. al-Baqarah: 187 artinya
sebagai berikut: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu.

e. Laki-laki dan perempuan Berpotensi Meraih Prestasi Peluang untuk meraih prestasi
maksimun tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, ditegaskan secara
khusus di dalam beberapa ayat diantaranya QS. Ali-Imran: 195 artinya sebagai
berikut: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang- orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir
dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan
yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-
sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya
pahala yang baik. “

3. Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Kepemimpinan Wanita

ۗ ‫ض َّو ِّب َما ٓ ا َ ْن َفقُ ْوا ِّم ْن ا َ ْم َوا ِّل ِّه ْم‬ ٍ ‫ع ٰلى َب ْع‬ َ ‫ض ُه ْم‬ َ ‫ّٰللاُ َب ْع‬
‫ض َل ه‬ َّ َ‫س ۤا ِّء ِّب َما ف‬ ِّ ‫ع َلى‬
َ ‫الن‬ َ َ‫ا َ ِّلر َجا ُل قَ َّوا ُم ْون‬
‫ظ ْوه َُّن َوا ْه ُج ُر ْوه َُّن فِّى‬ ُ ُ‫ّٰللاُ َۗواله ِّت ْي تَخَافُ ْونَ ن‬
ُ ‫ش ْوزَ ه َُّن فَ ِّع‬ ‫ظ ه‬ َ ‫ب ِّب َما َح ِّف‬ ِّ ‫ص ِّلحٰ تُ ٰق ِّن ٰتتٌ حٰ ِّف ٰظتٌ ِّل ْلغَ ْي‬‫فَال ه‬
‫ع ِّليًّا َك ِّبي اْرا‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬ َ ‫س ِّبي اَْل ۗا َِّّن ه‬
َ ‫علَ ْي ِّه َّن‬ َ َ ‫اج ِّع َواض ِّْرب ُْوه َُّن ۚ فَا ِّْن ا‬
َ ‫ط ْع َن ُك ْم فَ ََل تَ ْبغُ ْوا‬ ِّ ‫ض‬ َ ‫ْال َم‬

6
Artinya : Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan
karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-
perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri
ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-
perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada
mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu)
pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. (Q.S An-
Nisa : 34)

Sebagian ulama kontemporer memberikan pandangan berbeda mengenai


penafsiran surah an-Nisa di atas. Alasan-alasan yang diajukannya antara lain
pertama, bahwa ayat ini berbicara tentang wilayah domestik, sehingga
tidak bisa menjadi dasar bagi kepemimpinan yang berada di wilayah publik. Kedua,
bahwa ayat ini tidak bersifat normatif tetapi bersifat informatif tentang situasi
dan kondisi masyarakat Arab (dunia) saat itu, sehingga tidak memilki
konsekwensi hukum. Ketiga, karena ada sejumlah ayat lain yang
mengindikasikan kebolehan kepemimpinan wanita seperti dalam surat al Taubah ayat
71 yang memberikan hak wilayah kepada wanita atas laki-laki.. Keempat, rijal dalam
ayat ini tidak berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi sifat-sifat maskulinitas
yang bisa dimiliki oleh laki-laki dan wanita.8

Ada juga ulama kontemporer yang mengemukakan kebolehan kaum


wanita menjadi pemimpin. Namun, ia dapat memimpin jika memiliki
kemampuan dan keahlian yang sama dengan kemampuan yang dimiliki oleh laki-
laki.9
Syuhudi Ismail berpendapat bahwa ketika wanita telah memiliki kewibawaan
dan kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia menerimanya

8
Dikutip dari www.index.php.com. Posted 08 Juni 2009.
9
Ambo Asse, Hadis Ahkam: Ibadah, Sosial dan Politik(Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2009), h.
204.

7
sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat sebagai
pemimpin.10
Sedangkan Jumhur ulama sepakat akan haramnya wanita memegang kekuasan
dalam al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Di mana
wanita berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan pemerintahan. Sebab dalam
matan suatu hadits terdapat kata"Wallu Amrakum" (Yang Memerintah Kamu Semua),
yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam. Sehingga jumhur ulama
memberikan pengharaman pada wanita. Hampir ulama klasik memandang perlu untuk
mengetengahkan bahwa hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini
diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun.11
Akan tetapi dalam batas kepemimpinan dalam satu bidang tertentu, yang tidak
menyeluruh dalam masyarakat, wanita berhak mendapatkan itu, seperti dalam
kejaksaan, pendidikan bahkan menjadi menteri.12

10
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual (Cet.I;Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 67.
11
Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Islam dan Barat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
12
Yusuf Qardhawy, Fiqh Daulah..., 248.

8
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Menjadi manusia berkemanusiaan bukanlah ihwal mudah, namun tak bijak, jika
alasan itu menyurutkan integritas kita. Apalagi jika berhadapan dengan fenomena
pengingkaran atas perbedaan insaniyah, yang membawa manusia terjebak stikma
ketidaksetaraan gender. Dimana manusia mengetahui dan seharusnya sadar bahwa laki-laki
dan perempuan adalah sama-sama manusia. Tetapi kaum sekularis tak mau menyadari
eksistensi kediriannya yang berbeda. Kalangan sekularis dengan ideologi gender yang
berasumsi bahwa ketidakadilan sang Pencipta Yang Maha Adil dalam ajaran agamanya telah
menundukkan laki-laki dan perempuan ada pada ketidaksetaraan menurut penafsiran agama
versi mereka.
Pembagian peran dan fungsi yang relevan menurut fitrah kemanusiaan, merupakan
jaminan terlaksanaannya tugas secara harmonis. Kondisi bertentangan terjadi apabila dalam
menjalankan misi mengelola dunia, dipenuhi ambisi keserakahan dan nafsu eksploitasi tak
bertanggung jawab. Maka bisa dipastikan bahwa kegagalan dan kehancuranlah yang akan
dihasilkan peradaban manusia. Semua ini jauh dari misi utama kehadiran laki-laki dan
perempuan yang tak lain adalah khilafah Allah dengan tugas utama memakmurkan bumi.
Agar laki-laki dan perempuan berfungsi optimal dalam misi kemanusiaanya, sangat
dibutuhkan sikap bijak kita sebagai khalifah Allah di bumi untuk mampu meramu peradaban
Islami sebagai prinsip hidup umat. Sehingga peran dan fungsi maskulinitas dan feminitas diri
terukur secara proporsional, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sosialnya.
Laksana menata konstruksi sebuah bangunan berkualitas, kuat dan kokoh, maka takaran
komposisi komponen yang digunakan ditentukan secara seimbang dan tidak sama rata
misalnya untuk pengecoran membutuhkan semen yang banyak, namun untuk bagian tertentu
semen tidak digunakan sama sekali. Demikian pula seharusnya dalam melakukan konstruksi
gender dalam relasi sosial, tidak seharusnya laki-laki dan perempuan melaksanakan peran dan
fungsi yang sama dalam mengerjakan setiap pekerjaan. Biarkan mereka menikmati peran dan
fungsi menurut perbedaan fitrahnya. Paradigma filosofi terpenting dalam konteks ini adalah
bagaimana mereka dapat bekerjasama, walaupun tidak harus hadir dan berada bersama.

9
DAFTAR PUSTAKA

Nassaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, ( Jakarta: Dian Rakyat, 2010)


Iswah Adriana, Kurikulum Berbasis Gender, Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
Eniwati Khaidir, Pendidikan Islam Dan Peningkatan Sumber Daya Perempuan,
(Pekanbaru:LPPM UIN Suska Riau, 2014)
Fakhr al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Haya’ al-Turats al-Arabi, 1990)
Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Islam dan Barat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
Qardhawy, Yusuf, Fiqh Daulah dalam Perspektif Alqurandan Sunnah. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 1997

10

Anda mungkin juga menyukai