Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM

"ISLAM DAN GENDER"


Dosen Pengampu: Dr. Mibtadin, S.Fil.I., M.S.I

Disusun Oleh :
Novita Sari Diyah Ayu Anggraini
(185221296)

AKUNTANSI SYARIAH 3G
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa kontemporer, Islam dihadapkan dengan persoalan gender, yang


berkaitan dengan pengubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih adil bagi kedua
jenis kelamin , telah menjadi isu di dunia islam sejak awal abad ke-20.

Secara umum, dalam studi islam (lslamic studies) gender mendapat perhatian
dari para Sarjana Islam. Mereka menggunakan pendekatan gender dalam
menganalisis ilmu-ilmu keislaman. Dalam diskursus kontemporer isu kesetaraan
gender merupakan salah satu kajian menarik khususnya di Perguruan Tinggi Islam.
Menurut sebagian pengamat bahwa dalam ulumuddin sering ditemukan adanya
marginalisasi terhadap perempuan. Sebagai fakta historis, marginalisasi terhadap
perempuan ini sering dilakukan oleh para mufassir klasik. Hal ini dapat dilihat dalam
tafsir-tafsir yang bercorak misoginis alias bias gender.

Secara khusus, praktik-praktik marginalisasi ini juga merembet dalam praktik


kependidikan Islam. Sebagai contoh, dalam hal anggapan, perlakuan hingga tindakan.
Bias gender ini juga disebabkan karena tafsir yang bias atau setidaknya kurang tepat
terhadap doktrin Islam terutama yang berkenaan dengan relasi gender. Tafsir yang
kurang tepat ini berkembang lebih dominan di lingkungan pendidikan Islam, terutama
pesantren dan madrasah sehingga praktik pendidikan Islam lebih banyak dipengaruhi
oleh tafsir yang bias gender ini.

Dampak yang ditimbulkan dari memahami tafsir yang bias gender di dalam
realitas kehidupan adalah adanya kepercayaan bahwa laki-laki sebagai kepala
keluarga dan penyedia utama ekonomi, laki-laki lebih unggul dari perempuan karena
laki-laki adalah pencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Selain itu, isu yang
paling menarik perhatian dan yang memperoleh tanggapan paling besar adalah
poligami, aborsi, dan kekerasan dalam rumah tangga. Poligami memperoleh perhatian
khusus karena adanya kampanye terbaru yang disampaikan secara agresif oleh
gerakan fundamentalis yang menjadikan poligami sebagai isu utama untuk
menyuarakan penerapan hukum syariah.

Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:


1. Akses merupakan fasilitas pendidikan yang sulit dicapai.
2. Partisipasi yang tercakup dalam bidang studi dan statistik pendidikan,
banyaknya perempuan mengambil bidang keguruan (SPG) karena
pandangan yang mengatakan bahwa peran guru sebagai pembina juga
pengasuh digambarkan sebagai kodrat perempuan sebagai ibu, oleh
karenanya 99 % SPG diminati perempuan (menjadi guru SMP), STM
99,5% laki-laki, guru TK sebagian besar juga perempuan hal ini
dipengaruhi stereotipe gender.
3. Manfaat dan penguasaan dimana banyaknya buta huruf dialami oleh
perempuan.

Bias gender juga dapat dilihat dalam buku bacaan wajib di sekolah,
yang sebagian besar mentransfer nilai atau norma gender yang berlaku dalam
kebudayaan masyarakat. Artinya sistem nilai gender akan berpengaruh pada
kehidupan sistem sosial di sekolah. Sebagai contoh adalah buku ajar telah
dikonstruksi peran gender perempuan dan laki-laki secara segregasi,
ayah/laki-laki digambarkan di kantor, di kebun dan sejenisnya (sektor publik),
sementara perempuan atau ibu digambarkan di dapur, memasak, mencuci,
mengasuh adik dan sejenisnya (domestik).1
Di samping itu, perilaku yang tampak dalam kehidupan sekolah
interaksi guru-guru, guru-murid, dan murid-murid, baik di dalam maupun di
luar kelas, pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan
menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama ini, yaitu bias. Siswa
laki-laki selalu ditempatkan pada posisi menentukan, misalnya memimpin
organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam pemberian
kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan
kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah terutama
dipengaruhi oleh kurikulum dan buku-buku pelajaran yang belum
berlandaskan pada peran gender yang seimbang terlebih para penulis sebagian
besar laki-laki.2
Atas dasar persoalan tersebut, maka, pendidikan khususnya pendidikan
islam perlu berbenah diri dengan menata ulang sistem relasi antara laki-laki
dan perempuan, antara murid (laki-laki) dengan murid (perempuan), murid
dengan gurunya dan lingkungannya untuk membangun sistem pendidikan
yang tidak bias gender. Oleh karena itu pendidikan islam bertanggungjawab
terhadap produk anak didik yang dihasilkannya untuk berperan dan
berkecimpung dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Apabila sistem
pendidikan yang di dalamnya terdapat praktik-praktik marginalisasi, maka
bisa dilihat produk peserta didiknya semacam apa, dan begitu juga sebaliknya,
apabila sistem pendidikan yang di dalamnya terdapat praktik-praktik
kesetaraan gender, produk peserta didiknya akan nampak seperti yang
tercermin dari latar belakang pendidikannya dimulai dari cara berpikir

1
Elfi Muawanah, Pendidikan Gender Dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm.
54.
2
Ibid., hlm. 55.
(mindset) dan perilaku/tindakannya dalam menghadapi persolan relasi laki-
laki dan perempuan dalam kehidupannya.

Dengan demikian, diperlukan adanya konsep pendidikan yang berbasis


pada prinsip kesetaraan gender. Praktik kependidikan islam tidak akan lepas
dari paradigma, konsep, filosofi, hingga metodologi yang digunakan dalam
mengkonstruk sistem pendidikan. Oleh karenanya, pengembangan pemikiran
pendidikan islam sangat diperlukan untuk merancang sistem pendidikan islam
yang tidak bias gender, sesuai dengan paradigma, konsep, filosofi hingga
metodologi yang digunakan untuk mendukung terealisasinya konsep
pendidikan islam berbasis kesetaraan gender.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian gender?

2. Bagaimana awal munculnya kesetaraan gender?

3. Bagaimana perkembangan gender dan siapa saja tokoh gender?

4. Bagaimana gender di Indonesia?

5. Bagaimana pandangan Islam mengenai kesetaraan gender


tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gender

Gender menurut bahasa berarti jenis kelamin. Sedangkan menurut istilah


gender adalah sebuah gejala sosial yang dapat diartikan sebagai pembagian peran
manusia berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) 3. Konsep dasar
gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa
anggapan tentang peran sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya, kalau perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik,
emosional, atau keibuan sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan
perkasa. Sifat-sifat yang telah disebutkan tersebut dapat dipertukarkan dan
berubah dari waktu ke waktu.4

Ada beberapa definisi mengenai pengertian “gender” itu sendiri, antara


lain:
1. Menurut Kantor Negara Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KNPP),
gender mengacu kepada peran-peran yang dikonstruksikan dan dibebankan
kepada perempuan dan laki-laki oleh masyarakat. Peran-peran ini dipelajari,
berubah dari waktu ke waktu dan sangat bervariasi di dalam dan di antara
berbagai budaya. Tidak seperti seks (perbedaan biologis antara perempuan

3
A.E.Priyono, dkk.Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini, hlm.175
4
Trisakti Handayani, dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Malang: UMM Press,
2003) hal. 5
dan laki-laki), gender mengacu kepada perilaku yang dipelajari dan harapan-
harapan masyarakat yang membedakan antara maskulinitas dan feminitas.
Kalau identitas seks ditentukan oleh ciri-ciri genetika dan anatomi, sedangkan
gender yang dipelajari secara sosial merupakan suatu identitas yang diperoleh.
Tercakup dalam konsep gender juga harapan-harapan tentang ciri-ciri, sikap-
sikap, dan perilaku-perilaku perempuan dan laki-laki.5
2. Dalam Kepmendagri No. 132 Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 disebutkan
bahwa, “gender” adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh
keadaan sosial dan budaya masyarakat.6
Oleh karena itu, gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang
membedakan (memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan
karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrati, tetapi dibedakan
atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam
berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Banyak mitos dan kepercayaan yang
menjadikan kedudukan perempuan berada lebih rendah daripada laki-laki. Hal itu
semata-mata karena perempuan dipandang dari segi seks bukan dari segi kemampuan,
kesempatan dan aspek-aspek manusiawi secara universal, yaitu sebagai manusia yang
berakal, bernalar dan berperasaan.
Adapula yang menyebutkan bahwa gender adalah konsep tentang jenis
kelamin perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat. 7 Konsep gender ini
muncul karena orang melihat bahwa dalam masyarakat ada perlakuan tidak adil
terhadap kaum parempuan. Misalnya, dalam rumah tangga perempuan hanya diberi
peran domestik seperti memasak, mencuci, dan mengurusi anak serta suami. Tidak
diberi kesempatan untuk mengecap pendidikan tinggi, dll. Singkatnya, kaum
perempuan diperlakukan secara diskriminatif dan dipandang lebih rendah dari laki-
5
Mufidah, Bingkai Sosial Gender (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010) hal. 3
6
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN-MALANG PRESS,
2008) hal. 2
7
Ahmad Thib Raya, dkk.Ensiklopedi Islam.2005.hlm.286
laki, padahal agama mengajarkan kesetaraan dihadapan Allah SWT. dan yang
membedakan hanyalah ketakwaannya kepada Allah SWT. Persoalan gender,
khususnya yang berkaitan dengan pengubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih
adil bagi kedua jenis kelamin , telah menjadi isu di dunia islam sejak awal abad ke-
20.
Kedudukan perempuan dalam pandangan islam dipraktekkan sementara
masyarakat islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang besar serta kedudukan
terhormat kepada perempuan. Gerakan yang memperjuangkan pengubahan struktur
masyarakat ke arah yang lebih adil bagi laki-laki dan perempuan biasa disebut
feminisme islam. Feminisme sendiri mempunyai arti kesadaran akan penindasan dan
pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat (keluarga dan tempat kerja), yang
disebabkan oleh adanya system sosial yang secara gender tidak adil, dan tindakan
perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut8. Seseorang tak cukup
hanya mengenali adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, dominasi lakilaki,
system patriarkat untuk dapat disebut feminis. Ia harus melakukan sesuatu untuk
menentangnya seperti pemahaman disertai dengan tindakan.
Tujuan perjuangan feminisme pada umumnya adalah mencapai kesetaraan,
harkat, dan kebebasan perempuan dalam memilih untuk mengelola kehidupan dan
tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Namun menurut Nighat Said
Khan dan Kamla Bhasin dua feminis asal India , feminis tidak hanya bertujuan
memperjuangkan persamaan laki-laki dan perempuan, melainkan juga membangun
tatanan masyarakat yang adil baik bagi perempuan maupun laki-laki. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa yang dituntut kalangan feminis, termasuk feminis
muslim, adalah kesamaan kedudukan laki-laki dan perempuan di wilayah publik, dan
peran komplementer di wilayah domestik (rumah tangga). Salah satu persoalan utama
yang dihadapi kalangan feminis pada umumnya adalah patriarkat, yang secara harfiah
berarti “kepemimpinan sang ayah”. Ayah adalah figur yang menguasai anggota

8
A.E.Priyono , dkk.Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini, hlm.175
keluarga, sumber ekonomi dan pembuat keputusan tertinggi. Kepercayaan ini menjadi
ideologi yang menempatkan laki-laki dalam posisi lebih tinggi dari pada perempuan.

B. Feminisme, Awal Mencuatnya Kesetaraan Gender

Perbedaan gender sebenarnya tidaklah menjadi masalah yang serius selama


tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, ternyata pada realita yang ada,
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki
dan terutama terhadap kaum perempuan. Baik itu disengaja maupun yang tidak
disengaja yang akhirnya mempengaruhi sebuah sistem dalam masyarakat tersebut dan
bahkan dianggap biasa. Beberapa manifesti ketidakadilan gender tersebut antara lain
sebagai berikut:

1. Stereotipe
Secara umum, stereotipe berarti pelabelan atau penandaan terhadap
suatu kelompok tertentu.9 Namun, pelabelan ini sering berdampak negatif
terhadap gender terutama bagi kaum perempuan karena sering berkonotasi
negatif. Misalnya, kaum perempuan dianggap lemah, penakut, cengeng,
cerewet, emosional, kurang bisa bertanggung jawab dan sebagainya.
Sementara kaum laki-laki, dipandang kuat, keras, rasional, egois dan
lainnya sehingga seringkali berdampak buruk bagi kehidupannya.10
2. Subordinasi
Penempatan salah satu jenis kelamin lebih unggul dari jenis kelamin
lainnya dari aspek status, peran dan relasi yang tidak setara. Subordinasi
ini muncul dari akibat adanya stereotipe. Sehingga, muncul hambatan
salah satu jenis kelamin terutama perempuan untuk ikut berpartisipasi dan
mengontrol dalam hal kemasyarakatan, terutama dalam hal pengambilan
keputusan dan pemanfaatan sumber daya. Misalnya di Jawa, dulu ada
anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena toh

9
Mansour Fakih, Analisis Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hal. 16
10
Mufidah, Bingkai Sosial Gender (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010) hal. 8
pada akhirnya akan ke dapur juga. Sedangkan sekolah atau pendidikan
untuk anak laki-laki menjadi prioritas utama.11
3. Marjinalisasi
Proses peminggiran secara sistematik, baik disengaja maupun tidak
disengaja terhadap jenis kelamin tertentu karena adanya stereotipe dan
subordinasi sehingga menyebabkan pemiskinan di salah satu pihak
terutama dialami oleh kaum perempuan. Padahal mereka juga ikut andil
atau berkontribusi dalam pembangunan. Misalnya yang terjadi di Jawa,
alat yang dikenal sebagai ani-ani yang biasanya digunakan untuk
memanen tidak lagi digunakan karena diganti dengan sabit yang
digunakan kaum laki-laki menyebabkan orang perempuan yang biasa
bekerja di sawah dengan alat tersebut harus tersingkir.
4. Beban Kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara
dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga,
mengakibatkannya dianggap harus menanggung semua pekerjaan rumah
tangga. Karena adanya stereotipe ini, maka sejak dini telah
disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak,
kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai
jenis pekerjaan domestik yang tejadi di rumah tersebut. Semua itu telah
memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja
kaum perempuan.12 Khususnya bagi seorang perempuan yang juga bekerja
di luar rumah yang bertujuan menambah pemasukan uang keluarga.
Sehingga, beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi perempuan
yang bekerja di luar rumah tersebut.
5. Kekerasan
Munculnya stereotipe dan subordinasi juga berakibat terjadinya
kekerasan yang dilakukan oleh jenis kelamin berbeda yang dianggap kuat
atau superior terhadap jenis kelamin lain yang dianggap lemah, dalam hal

11
Mansour Fakih, Analisis Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hal. 15-16
12
Ibid., hal 21-22
ini yang dimaksud superior adalah orang laki-laki dan yang lemah adalah
perempuan. Tidak adanya kesadaran peran gender pada pihak laki-laki
terhadap perempuan yang saling mengisi dan melengkapi, tidak jarang
menimbulkan rasa sombong dan merasa lebih berkuasa sehingga
cenderung untuk berperilaku untuk menang sendiri. Hal itu karena
perempuan dicitrakan sebagai makhluk yang lemah.13

Lalu, dengan adanya berbagai ketidakadilan gender tersebut sehingga


menyebabkan terabaikannya hak asasi perempuan dalam perjalanan sejarah,
mendorong keprihatinan para agamawan, intelektual muslim dan aktivis sosial
tentang adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan yang mempersubur adanya
pelanggaran HAM berbasis gender. Dalam semangat pembebasan atas
keterkungkungan agama yang menjerat seperti itulah, akhirnya teologi feminisme
menjadi wacana yang hangat diperbincangkan.14 Gerakan feminisme berupaya
menggugat kemapanan patriarki dan berbagai bentuk stereotipe gender yang
berkembang luas dalam masyarakat sebagai upaya pemulihan martabat, kebebasan
dan kesetaraan perempuan sebagai manusia seutuhnya. Semangat paham teologi ini
mengedepankan berbagai wacana keadilan dan egalitarianisme dalam
memperjuangkan kesejahteraan hidup dan keadilan bagi perempuan seperti inilah,
yang antara lain telah membuka kesadaran sekelompok umat islam untuk merasa
peduli atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan sebagai kelompok yang
terbelakang, tertindas dan sekaligus sebagai korban.15
Gugatan kritis yang dikedepankan paham ini adalah pelanggengan
ketidakadilan gender secara luas, bukan hanya bersumber pada agama tetapi berasal
dari pemahaman, penafsiran dan pemikiran keagamaan yang dipengaruhi oleh tradisi,

13
Mufidah, Bingkai Sosial Gender (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010) hal. 9-10
14
Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia (Yogyakarta: Pilar
Media, 2005) hal 117
15
Ibid., hal. 118
kultur patriarki. Setidaknya ada tiga aliran feminisme yang sering menjadi perhatian
dunia karena berbagai pandangan dan pendapat mereka, yakni:

a. Feminisme Liberal, yang beranggapan semua manusia diciptakan seimbang


dan serasi, sehingga semestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan
lainnya dan menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam
semua peran termasuk dalam wilayah publik. Namun aliran ini tetap
memandang perlu adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan,
terutama berkaitan dengan fungsi organ reproduksi bagi perempuan yang
membawa konsekuensi logis dalam hidup bermasyarakat. Menurut mereka,
keterbelakangan kaum perempuan, selain akibat dari siap irrasional yang
sumbernya karena berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga karena
kaum perempuan tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Oleh karena itu,
melibatkan kaum perempuan dalam industrialisasi dan program pembangunan
dianggap sebagai jalan untuk meningkatkan status perempuan.16
b. Feminisme Marxis-sosialis, berusaha menghilangkan struktur kelas dalam
masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Para feminis dalam aliran ini
memandang bahwa kapitalisme harus dihapuskan karena menurut mereka
sifat dan fungsi pekerjaan perempuan di bawah kapitalisme adalah peremehan
pekerjaan perempuan. Dimana, perempuan semakin dianggap sebagai
konsumen semata, seolah-olah peran laki-laki adalah untuk menghasilkan
upah, sementara peran perempuan adalah menghabiskannya.17 Para feminis
Marxis-sosialis lebih menekankan isu-isu gender di dunia kerja dan upah yang
diterima oleh laki-laki dan perempuan yang tidak setara karena pengaruh
kapitalisme dan ketidakadilan gender yang terjadi.
c. Feminisme Radikal, menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan
perempuan. Bahkan di antara feminis radikal ada yang menuntut tidak hanya
persamaan hak dengan laki-laki tetapi juga persamaan (kepuasan) seks,
16
Mansour Fakih, Analisis Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hal. 83
17
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought (Terjemahan oleh Aquarini Priyatna
Prabasmoro) (Bandung: Jalasutra, 2006) hal. 157
sehingga membenarkan lesbian.18 Bagi mereka, patriarki adalah dasar dari
ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki
memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi. Bagi gerakan feminisme
radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi
untuk merubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri
terhadap kaum laki-laki.19

Isu-isu gender tersebut membawa kepada pemikiran banyak orang di Barat


memandang status perempuan dalam masyarakat islam sebagai bukti penindasan
islam terhadap perempuan. Lebih jauh dikatakan bahwa hubungan gender dalam
islam dibentuk oleh asal-usul dan kebiasaan masyarakat Arab.20 Namun, dalam
masalah kedudukan perempuan dalam masyarakat, Nabi Muhammad saw telah
melakukan perubahan-perubahan yang berarti melalui wahyu berupa al-qur’an yang
diturunkan kepadanya. Inilah yang nantinya menjadi keadaan yang kontra antara
feminisme dengan nash-nash al-qur’an.

C. PERKEMBANGAN GENDER DAN TOKOH GENDER

Kesadaran mengenai rentannya posisi perempuan dalam masyarakat muslim


pertama-tama dialami dan disuarakan oleh perempuan muslim dari kelas menengah
dan atas namun bersamaan dengan kesadaran mengenai ketidakadilan yang dialami
perempuan pada umumnya, para aktivis awal ini juga berusaha menepis tuduhan
bahwa islam adalah agama yang menindas perempuan. Tuntutan utama kalangan
feminis muslim mula-mula adalah perbaikan tingkat pendidikan dan pemberantasan
buta huruf21. Namun yang dipermasalahkan kalangan feminis saat ini adalah masalah

18
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an (Jakarta:
Paramadina, 1999) hal. 64-68
19
Mansour Fakih, Analisis Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hal. 83-84
20
Riaz Hassan, Keragaman Iman Studi Komparatif Masyarakat Muslim (Jakarta: Rajawali
Press, 2006) hal. 19
21
A.E.Priyono , dkk.Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini, hlm.176
peran dan relasi gender yang tak setara, baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat, yang mengakibatkan eksploitasi perempuan22.

1. Diantara para feminis muslim wanita adalah:

Aisyah Taymuriyah (penulis dan penyair Mesir) dan Zainab Fawwaz (esais
Libanon) yang berusaha mendobrak tembok isolasi dengan cara berkomunikasi
dengan perempuan lain yang bernasib sama. Keduanya menentang gagasan
domestikasi perempuan yang disosialisasikan melalui cerita rekaan. Mereka menulis
cerita, novel, dan artikel yang memuat gagasan pembebasan perempuan. Menuangkan
gagasan dalam bentuk tulisan, terutama memoar, banyak dipilih kalangan feminis
islam masa awal ini. Karya tersebut menjadi sumber inspirasi bagi tokoh feminis
islam lainnya. Mereka antara lain Raden Ajeng Kartini (Indonesia), Emilie Ruete
(Zanzibar), Taj as-Salthanah (Iran), dan Nabawiyyah Musa (Mesir). Selain itu dikenal
pula Fatme Aliye (Turki), dan Malak Hifni Nasif yang lebih dikenal dengan nama
Bahithah al-Badiyah (Mesir). Keduanya giat menyuarakan gagasan pentingnya
merumuskan kembali pendidikan dan pekerjaan yang tepat untuk perempuan.
Huda Sya’rawi adalah feminis mesir. Semasa gadisnya Sya’rawi dikenal
dengan nama Nur al-Huda Sultan. Kesadaran awal mengenai perbedaan gender
diperoleh dengan membandingkan perlakuan orang tua kepadanya dan kepada adik
laki-lakinya. Selain itu, pada saat ia harus berpisah dengan suaminya selama tujuh
tahun, kerap mengunjungi sebuah klub khusus perempuan. Dari berbagai diskusi
yang mereka lakukan, ia sampai pada kesadaran bahwa keharusan menutup muka dan
mengurung diri di dalam rumah bagi perempuan bukanlah hal yang diperintahkan
islam. Kedua hal tersebut merupakan kebiasaan yang tumbuh dari tradisi. Upayanya
membedakan antara tradisi dan ajaran islam memperlihatkan dampaknya atau paling
tidak persentuhannya, dengan gerakan modernisme islam.
22
Ibid, 177
Sya’rawi memulai karirnya sebagai feminis pada tahun 1909 M dengan
memberi santunan kesehatan kepada perempuan dan anak-anak. Dia mendirikan
organisasi yang bersifat sekuler dan menjadi wadah penyaluran aktivitas, aktivitas
baik perempuan muslim maupun kristen. Pada tahun itu pula ia menyelenggarakan
kuliah umum pertama dari dan untuk perempuan mesir. Pada tahun 1914 M Sya’rawi
ikut mendirikan dua organisasi yang mempunyai misi mendidik perempuan. Aktivitas
dalam kedua organisasi tersebut kemudian mengantarkannya terjun ke dunia politik.
Sya’rawi juga dikenal sebagai tokoh nasionalis mesir. Pada tahun 1923 M Sya’rawi
memimpin pendirian organisasi pertama feminis pertama di dunia arab, yaitu
Persatuan Feminis Mesir, dan ia juga berperan sebagai presiden dalam organisasi
tersebut. Sya’rawi wafat pada tahun 1947 M.
Selanjutnya, sejak paruh kedua abad ke-20 , ketika perempuan dari kalangan
kelas menengah dan atas dapat berintegrasi dengan baik pada kehidupan publik,
fokus perhatian feminisme islam juga mengalami pergeseran. Permasalahannya kini
adalah masalah peran dan relasi gender yang tak setara. Generasi ini terdapat
beberapa nama yang memiliki pengaruh besar dalam wacana feminism islam
kontemporer23.
Nawa El Saadawi adalah satu-satunya dokter dan feminis mesir berhaluan
sosialis. Ia menulis sejumlah buku, termasuk beberapa novel dan esai, yang
mempermasalahkan berbagai tekanan yang dihadapi perempun di negaranya. Tokoh
lainnya adalah Fatima Mernissi, guru besar sosiologi Universitas Muhammad V,
Rabat, Maroko. Dalam berbagai karyanya , ia menafsirkan kembali teks-teks klasik
islam dengan perspektif feminis. Menurutnya, meskipun islam bermaksud
memberikan posisi yang setara antara laki-laki dan perempuan, kecenderungan
misoginis yang terutama berasal dari tradisi pra-islam membuat kesetaraan ideal itu
sulit terwujud. Salah satu kesimpulan penting dari studi Mernissi adalah bahwa Nabi
Muhammad saw sebenarnya tidak menghendaki pemisahan antara ruang pribadi dan
ruang umum (publik) namun karena desakan para pengikutnya, terutama yang berasal
23
A.E.Priyono , dkk.Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini, hlm.177
dari Mekkah akhirnya Nabi Muhammad saw menerima pemisahan antara ruang
pribadi dan ruang umum tersebut.
Riffat Hasan, kelahiran Pakistan adalah figur feminis lain yang juga menonjol.
Berbeda dari Mernissi yang memusatkan studinya dari pada kajian hadits, Hasan
memusatkan perhatiannya pada masalah tafsir al-qur’an, terutama ayat-ayat yang
berkaitan dengan teologi perempuan. Menurut Hasan, sikap dan pandangan negative
terhadap perempuan berakar pada pandangan teologis tradisional yang memang
menyudutkan perempuan24. Salah satu kesimpulan penting studinya adalah meski al-
qur’an membedakan antara laki-laki dan perempuan, itu tidak membatasi ruang
perempuan secara mutlak karena setiap individu dinilai dari jasanya bukan dari jenis
kelaminnya. Selain politik dan isu yang berkaitan dengan penafsiran teks keagamaan,
hal lain yang sering dijadikan topik dalam karya para feminis muslim adalah
pengalaman spiritual yang khas perempuan.

2. Feminis di kalangan laki-laki muslim adalah :

Disamping feminis perempuan, ada pula feminis dari kalangan laki-laki


muslim yang karyanya cukup penting bagi perkembangan pemikiran feminisme
islam, diantaranya ada: Qasim Amin adalah seorang ahli hukum yang belajar di
Perancis dan mempunyai hubungan persahabatan dengan Muhammad Abduh.
Menurutnya, umat islam mundur karena kaum wanita, yang jumlahnya dominan dan
tidak pernah memperoleh pendidikan sekolah25. Ada beberapa hal yang menjadi fokus
pembahasan Qasim Amin tentang peran emansipasi perempuan, yaitu:
a. Pendidikan, menurutnya perempuan perlu mendapatkan pendidikan
yang baik, sesuai dengan tugas yang diembannya dalam rumah tangga
dan di tengah masyarakat.

24
ibid, 177
25
Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam, 1975, hlm.79
b. Hijab, pakaian yang menutup seluruh tubuh perempuan, termasuk
wajah dan kedua belah telapak tangan, menurutnya bukanlah berasal
dari syariat islam. Penutupan wajah adalah kebiasaan yang kemudian
dianggap merupakan ajaran islam.
c. Perkawinan, Qasim Amin berpendapat bahwa wanita harus diberi hak
yang sama dengan pria dalam memilih jodoh. Oleh karena itu, ia
menuntut supaya isteri diberi hak cerai. Islam pada dasarnya
menganjurkan monogami, dan poligami hanya diperkenankan dalam
keadaan tertentu.

Asghar Ali Engineer dari India. Karya utamanya yang membahas tentang
pentingnya pembaruan di bidang hukum personal. Abdullah Ahmed an Na’im
kelahiran Sudan. Kontribusinya yang terpenting terletak dalam upaya untuk
memperjuangkan keadilan gender dalam konteks penegakkan prinsip hak asasi
manusia di dunia islam. Muhammad Abduh berpendapat bahwa perlu adanya
pembaruan atas adat istiadat yang berkenaan dalam peranan dan kedudukan wanita.
Perlu diketahui bahwa pria yang berupaya menindas wanita supaya dapat menjadi
tuan dirumahnya sendiri, berarti menjadi budak. Menanggapi barat bahwa islam
menindas kaum wanita, Abduh menegaskan bahwa dalam islam ada persamaan
gender. Pria dan wanita punya hak dan kewajiban yang sama, mereka juga memiliki
nalar dan perasaan yang sama26. Dia mengakui bahwa antara pria dan wanita ada hak
dan kewajiban terhadap satu sama lain, pria dan wanita memiliki tanggung jawab dan
kewajiban terhadap Allah, mereka punya kewajiban dan iman islam yang sama,
mereka sama-sama diseru untuk menuntut ilmu. Dia juga mencatat bahwa perbedaan
ini memang perlu, untuk menghindari fitnah karena keluarga merupakan lembaga
sosial, maka setiap unit sosial memerlukan pemimpin. Mengenai mengelola keluarga,
pria lebih patut jadi pemimpin, karena pria itu kuat, dan pria bertanggung jawab
memberikan nafkah kepada keluarga.
26
Ilyas Hasan. Para Perintis Zaman Baru Islam. 1996. Hlm. 64
3. Organisasi Feminis

Selain perjuangan individual untuk menyuarakan isu keadilan gender dalam


konteks islam terdapat pula sejumlah organisasi perempuan yang telah didirikan.
Salah satunya adalah Women Living Under Muslim Law / WLML (kaum perempuan
yang hidup di bawah hukum islam). Jaringan yang digagas oleh sembilan muslimat
dari berbagai Negara Islam antara lain Aljazair, Bagladesh, Iran, Mauritius, Maroko,
Pakistan, dan Sudan ini dipandang penting karena tiga alasan pokok. Pertama,
kehidupan perempuan muslim dibentuk, dikondisikan, dan diatur oleh hukum yang
diturunkan dari penafsiran al-qur’an. Kedua, berbagai pengingkaran dan pelanggaran
atas hak-hak perempuan berlangsung melalui penerapan hukum yang diklaim sebagai
hukum islam. Ketiga, selama ini banyak perempuan muslim yang sudah mencoba
melakukan perlawanan terhadap berbagai diskriminasi yang mereka alami. Cakupan
kerjanya meliputi perempuan dalam komunitas muslim migrant yang tersebar
diberbagai wilayah Eropa, Amerika, dan Australia.
Kemudian juga ada Sisters in Islam (saudara-saudara perempuan dalam islam)
yang salah satu kegiatannya adalah menerbitkan buklet yang berisi tentang ajaran al-
qur’an mengenai keadilan gender. Organisasi ini berdiri karena dipicu oleh kasus
kekerasan dalam lingkungan rumah tangga dalam pada kalangan umat islam di
Malaysia. Juga ada Women’s Action Forum (forum aksi perempuan) yang menentang
pelaksanaan undang-undang yang ditetapkan pemerintah Pakistan yang mengaburkan
batas antara pemerkosaan dengan perzinaan. Akibatnya hukum rajam justru
dikenakan terhadap perempuan korban pemerkosaan. Yang lebih buruk, undang-
undang ini menghapus kesaksian perempuan dalam kasus pemerkosaan, dan
menggantikannya dengan kesaksian empat laki-laki. Akibatnya, makin banyak
perempuan yang dituduh berzina, sementara makin banyak pria pemerkosa yang
dibebaskan karena saksi yang tidak memadai27.
27
A.E.Priyono , dkk.Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini, hlm. 186
D. GENDER DI INDONESIA

Di Indonesia gagasan feminisme dikalangan umat islam dapat dilihat dalam


aspek pendidikan bagi kaum perempuan yang telah lebih dulu diperjuangkan Kartini.
Inti perjuangan Kartini adalah terbukanya kesempatan pendidikan bagi seluruh
lapisan kalangan. Khususnya pendidikan memperjuangkan pendidikan kaum
perempuan dari segala lapisan. Kartini dikategorikan sebagai feminis sosialis. Ia
memperjuangkan kaum perempuan dari kelas sosial. Ajaran agama dan adat
mendapat perhatian khusus dari Kartini sebagai akar dari kungkungan terhadap kaum
perempuan.
Persoalan nyata yang mendapat berbagai perhatian orang lain adalah
keterlibatan perempuan di pesantren. Meski pesantren di Indonesia telah tumbuh
sejak berabad-abad lalu sebagai basis pendidikan keagamaan dan perlawanan kultural
terhadap kaum penjajah, keterlibatan perempuan di pesantren baru tercatat pada tahun
1923 di Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tahun itu, untuk pertama
kali pesantren membuka pintu bagi santri putri28.
Dalam hal pendidikan kaum perempuan, kalangan pesantren berbasis
organisasi keagamaan NU tertinggal dari kalangan pembaru Muhammadiyah.
Organisasi perempuan di Indonesia bermunculan. Dimulai dengan membangun
masjid untuk kaum perempuan di Yogyakarta dan di Garut. Aisyiyah melakukan
kegiatan yang terpisah dari aktivitas keagamaan kaum lelaki dengan tujuan agar
perempuan bukan menjadi objek melainkan subjek dari kegiatan keagamaan. Saat ini,
organisasi politik dan organisasi masa perempuan dari pengaruh dan control
pemerintah tidak lagi dikenal. Sementara itu, organisasi perempuan berbasis
keagamaan, yang lahir pada masa sebelum kemerdekaan dan orde lama tetap hidup
dan bergabung dalam wadah Kongres Wanita (Kowani)29.

28
Ibid.180
29
Ibid. 187
Di tingkat internasional isu tentang pentingnya mengikutsertakan perempuan
dalam pembangunan telah muncul terutama sejak konferensi perempuan internasional
bertema persamaan, pembangunan, dan perdamaian. Sepanjang decade 1980-an.
Muncul berbagai organisasi perempuan indonesia yang memperjuangkan hak
perempuan. Di Indonesia saat ini banyak terdapat beberapa organisasi lain yang
bergiat dalam cakupan kegiatan yang spesifik, seperti buruh, buruh anak, tenaga kerja
migran, bantuan hukum untuk perempuan dan keluarga, dan kesehatan perempuan. Di
Indonesia, gerakan rasionalis pernah mempengaruhi Muhammadiyah sebelum perang
dunia kedua30.
Pada era orde baru, corak dan visi organisasi keagamaan telah mengalami
perubahan mendasar. Alasannya adalah karena orde baru sendiri mendefinisikan
peran perempuan sebagai mitra lelaki dalam tatanan keluarga yang harmonis.
Gagasan ini berpangkal pada ideologi pembangunan yang mendefinisikan sedemikian
rupa peran perempuan sebagai istri dan ibu, bukan sebagai individu yang punya
kepentingan tersendiri. Inti perjuangan Kartini adalah terbukanya kesempatan
pendidikan bagi seluruh lapisan kalangan. Khususnya pendidikan memperjuangkan
pendidikan kaum perempuan.
E. Kesetaraan Gender dalam Islam
Ditinjau dari perspektif islam, bahwa islam merupakan agama rahmatan lil
‘alamin, dipahami sebagai penempatan laki-laki dan perempuan sama di hadapan
Allah SWT. artinya, nilai-nilai kesetaraan gender dalam islam menjadi bagian nilai-
nilai universal islam sebagaimana nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan penghargaan
terhadap hak-hak dasar manusia. Salah satu misi Nabi Muhammad saw sebagai
pembawa islam adalah mengangkat harkat dan martabat perempuan, karena ajaran
yang dibawanya memuat misi pembebasan dari penindasan.
Perempuan merupakan bagian dari yang tertindas dan termarjinalkan dan
tidak mendapat hak-haknya dalam kehidupan. Semenjak menjadi bayi perempuan
dalam tradisi Arab Jahiliyah, perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak

30
DRS. Atang ABD.Hakim, dkk. Metodologi Studi Islam. Hlm.196
produktif, membebani bangsa, dan sumber fitnah. Oleh karena itu, jumlah perempuan
tidak perlu banyak. Tradisi membunuh bayi perempuan menjadi cara trand yang
paling mudah untuk mengendalikan populasinya, dan menghindari rasa malu. 31
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S an-Nahl ayat 58-59:

‫( يكنككو‘َكرىَ ذمكن اًّيلقكيوذم ذمكن هسيوذء كما بهششكربذذه ج أكيهيمذسهكهه‬۵٨) ‫ظلَل كويجهههه هميسكودداًّ كوههكوككذذييمم‬‫كوإذكذاًّ بهششكر أككحهدههيم بذايلهينكثىَ ك‬
(۵٩) ‫ب قلىَ أكلك سآكء كما يكيحهكهميوكن‬ ‫كعكلىَ ههيونن أكيم يكهدتسهه ذفىَ اًّلتتكراًّ ذ‬

Artinya: “Ketika diberitahukan kepada seseorang di antara mereka perihal


kelahiran anak perempuan, wajahnya cemberut menahan sedih. Dia bersembunyi
dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang diterimanya, boleh jadi ia akan
memeliharanya dengan penuh hina atau menguburkannya (hidup-hidup) ke dalam
tanah”.

Dalam keadaan seperti itu, kehadiran Nabi Muhammad saw menjadi harapan
bagi kaum perempuan karena islam yang diperkenalkan oleh beliau berisi
pembebasan terhadap kaum tertindas, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan,
dan kesetaraan. Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam masalah-
masalah penciptaan, kewajiban-kewajiban di dalam urusan agama, kehormatan, dan
martabat. Namun demikian, ada beberapa perbedaan alamiah di dalam karakter setiap
gender. Al-qur’an menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan dilahirkan sama. Al-
qur’an memberi perempuan hak-hak untuk mempunyai hak kepemilikan, melakukan
bisnis, memilih suami, mengklaim hak waris, mendapatkan pendidikan dan
diperlakukan dengan hormat. Satu surah penuh di dalam al-qur’an yakni surah An-
Nisaa membahas tentang hak-hak wanita di dalam masyarakat. 32 Di samping itu,
keutamaan atau keistimewaan seseorang bukan dipandang dari jenis kelaminnya,
tetapi dari kualitas keimanan, ketaqwaan, dan amal ibadahnya.
Dalam konteks sosial, relasi yang dibangun oleh laki-laki dan perempuan
adalah untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis, saling membantu, kerjasama,
31
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN-MALANG PRESS,
2008) hal. 20
32
Moustafa al Qazwini, Panggilan Islam (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003) hal. 133
saling menghargai. Sehingga allah pun menyediakan balasan bagi keduanya sesuai
dengan kontribusinya dalam kehidupan dalam ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh syari’at islam, sejauh ini mengenai hal ini telah mengangkat derajat kaum hawa
dan menyamakannya dengan kaum adam dalam segala hal kecuali beberapa bidang
yang memang sudah menjadi bidang khusus bagi masing-masing dari laki-laki dan
perempuan itu sesuai dengan kodrat alamiahnya. Beberapa penyamaan ini antara lain:

a. Perempuan adalah belahan jiwa dari laki-laki.33


(٧٢ : ‫ )اًّلنحل‬. . . . ‫اه كجكعكل لكهكيم شمين أكينفهذسهكيم اًّكيزكودجا كوكجكعكل لكهكيم شمين أكيزكوذجهكيم بكنذييكن كوكحفككدةد‬
َ‫كو ل‬
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu istri-istri itu anak-anak dan cucu-cucu…” (Q.S An-Nahl: 72)

Yakni Allah menciptakan perempuan dari jenis laki-laki, sehingga ia adalah


sejenis dan setingkat dengan laki-laki dan bukan sesuatu makhluk yang asing
daripadanya. Dengan demikian maka perempuan adalah teman pihak laki-laki dalam
pembinaan keluarga yang menjadi syarat bagi berlangsungnya kehidupan umat
manusia di dunia ini. Bersabda Rasulullah SAW.:
‫اًّذنلَكمااًّلنشكساء ذشكقا ئك ذ‬
‫ق اًّلشركجال‬
“Sesungguhnya perempuan itu adalah belahan laki-laki”
Maka jika perempuan itu adalah belahan dari laki-laki, yang berarti
menyamainya sebagai manusia, maka dengan sendirinya ia memiliki hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh laki-laki. Seperti hak milik, hak warisan, hak memilih
suami dan menentukan nasibnya sendiri. Ia tidak dapat dipaksa walaupun oleh
ayahnya sendiri.
b. Jika perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, maka ia
memikul pula kewajiban yang sama dalam tugas-tugas agama dan syari’at
dalam tugas-tugas sosial dan kemasyarakatan.34
c. Perempuan memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh kemajuan
rohani sebagaimana diperoleh oleh laki-laki.

33
Sayid Sabiq, Islam Dipandang dari Segi Rohani-Moral-Sosial (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) hal.
231
34
Ibid., hal. 232
‫ت كعلكييذه فكأ كيلذقيذه ذفيِ اًّيليكشم كولكتككخا ذفىَ كولك تكيحكزذنىَ صلىَ إذلَنا كرآَتديوهه‬ ‫كوأكيوكحييكنآ إذكلىَ أهشم هميوكسىَ أكين أكير ذ‬
‫ضذعييذه صلىَ فكإ ذكذاًّ ذخيف ذ‬
(٧) ‫ك كوكجا ذعلهيوهه ذمكن اًّيلهميركسلذييكن‬ ‫إذلكيي ذ‬
Artinya:“Dan Kami ilhami kepada ibu Musa, “Susukanlah dia, dan apabila kamu
khawatir terhadapnya maka letakkanlah dia ke dalam sungai (Nil), dan janganlah
kau khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul”.
(Al-Qashash: 7)

d. Islam memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan


dalam menuntut ilmu dan meraih prestasi secara maksimal.
‫ب اًّيلذعيلذم فكذريي ك‬
‫ضةد كعكلىَ هكشل هميسلذنم كوهميسلذكمنة‬ ‫طكلك ه‬
Artinya:“Menuntut ilmu adalah wajib atas tiap muslim laki-laki maupun
perempuan”.

e. Tidak ada dikotomi hak, status atau derajat dalam posisi manusia sebagai
hamba, dan yang membedakan adalah kualitas takwa seseorang kepada
tuhannya.
‫ )اًّل اًّمراًّن‬. . . .‫ض‬ ‫م‬
‫ضييهع كعكمكل كعذمنل شمينهكيم شمين كذككنر أكيو أهينكثىَ صلىَ بكيع ه‬
‫ضهكيم شمين بكيع ن‬ ‫ب لكههيم كرتبههيم أكشنيِ كل أه ذ‬
‫كفايستككجا ك‬
(۱٩۵ :
Artinya:“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan berfirman):
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara
kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan
dari sebagian yang lain”. (Q.S Ali Imran: 195)

‫اك‬ َ‫س إذلَنا كخلكيقنكهكيم شمين كذككنر كوأهينكثىَ كوكجكعيلنكهكيم هشهعيودبا كوقككبآئذكل لذتككعاكرهفوآَ ج إذلَن أكيككركمهكيم ذعينكد ل‬
َ‫اذ أكيتقكهكيم ج إذلَن ل‬ ‫كيآتيهكااًّللَنا ه‬
(۱٣) ‫كعلذييمم كخبذييمر‬
Artinya:“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
(terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu adalah yang paling bertakwa”. (Q.S. al-Hujurat: 13)

َ‫ضييهع كعكمكل كعذمنل شمينهكيم شمين كذككنر أكيو أهينكثى‬


َ‫صلى‬
‫أكشنىَ كل أه ذ‬
Artinya:“Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal, baik laki-laki maupun perempuan”. (Q.S. Ali Imran: 195).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Salah satu wacana yang selalu aktual untuk diperbincangkan dan selalu
dikaitkan dengan islam adalah wacana gender, yang juga memancing banyak
tanggapan-tanggapan pro dan kontra terhadapnya. Islam sebagai agama yang diklaim
pemeluknya sebagai agama yang rahmatan lil al-‘alamin harus mampu menjawab
setiap problematika sosial yang dihadapi oleh umatnya. Akan tetapi, kondisi sosial
tidaklah paten tanpa perubahan. Setiap masa memiliki logikanya sendiri. Memanglah
benar jika al-qur’an mengatakan tak ada jurang perbedaan antara manusia, khususnya
laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, realita yang ada berbicara lain. Oleh karena itu
memunculkan gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan.
Harus diakui memang hampir di setiap bidang dan aspek kehidupan
keagamaan ditemukan pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tapi, tentu
bukanlah agama ataupun wahyu yang harus disalahkan. Akan tetapi pemahaman
keagamaanlah yang menimbulkan persoalan-persoalan yang dampaknya adalah
praktik keagamaan yang bias gender. Jadi, persoalan-persoalan yang ada tersebut
memang harus segera diluruskan dan sudah tentu harus dicari makna yang ada pada
nash al-qur’an atau hadits, tetapi juga harus dengan pemahaman secara kontekstual
bukan hanya secara lahir dari bahasa atau teks.
Gender menurut bahasa berarti jenis kelamin. Sedangkan menurut istilah
gender adalah sebuah gejala sosial yang dapat diartikan sebagai pembagian peran
manusia berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Konsep gender ini
muncul karena orang melihat bahwa dalam masyarakat ada perlakuan tidak adil
terhadap kaum perempuan.
Diantara para feminis muslim wanita adalah: Aisyah Taymuriyah (penulis dan
penyair Mesir) dan Zainab Fawwaz (esais Libanon),Raden Ajeng Kartini (Indonesia),
Emilie Ruete (Zanzibar), Taj as-Salthanah (Iran), dan Nabawiyyah Musa (Mesir).
Selain itu dikenal pula Fatme Aliye (Turki), dan Malak Hifni Nasif yang lebih dikenal
dengan nama Bahithah al-Badiyah (Mesir).
Feminis di kalangan laki-laki muslim adalah: Qasim Amin, Asghar Ali
Engineer, Abdullah Ahmed an Na’im kelahiran Sudan. Di Indonesia gagasan
feminisme dikalangan umat islam dapat dilihat dalam aspek pendidikan bagi kaum
perempuan yang telah lebih dulu diperjuangkan Kartini. Inti perjuangan Kartini
adalah terbukanya kesempatan pendidikan bagi seluruh lapisan kalangan. Khususnya
pendidikan memperjuangkan pendidikan kaum perempuan dari segala lapisan. Kartini
dikategorikan sebagai feminis sosialis. Ia memperjuangkan kaum perempuan dari
kelas sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Muawanah,Elfi. 2009. Pendidikan Gender Dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta:


Teras
DRS. Atang ABD. Hakim, dkk. 1999. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya
Ensiklopedi Islam, terj.Ahmad Thib Raya, Mochammad Syu’bi, jilid 5, (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005).
Harun Nasution. 1975. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Para Perintis Zaman Baru Islam, terj.Ilyas Hasan, Pioneers of Islamic Revival,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996, cet.2).
Priyono, A.E, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika masa kini.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. 2003.
Malang: UMM Press
Mufidah. Bingkai Sosial Gender. 2010. Malang: UIN-MALIKI PRESS
Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. 2008. Malang: UIN-
MALANG PRESS
Said, Nur. Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. 2005.
Yogyakarta: Pilar Media
Hassan, Riaz. Keragaman Iman Studi Kopmaratif Masyarakat Muslim. 2006. Jakarta:
Rajawali Press
al Qazwini, Moustafa. Panggilan Islam. 2003. Jakarta: Pustaka Zahra
Sabiq, Sayid. Islam Dipandang dari Segi Rohani-Moral-Sosial. 1994. Jakarta: PT
Rineka Cipta
M. Faisol. Hermeneutika Gender. 2012. Malang: UIN-Maliki Press
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 2007. Yogyakara: Pustaka
Pelajar
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought (Terjemahan oleh Aquarini Priyatna
Prabasmoro). 2006. Bandung: Jalasutra
Umar, Nasarudin. 1999. Argumen Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an.
Jakarta: Paramadina

Anda mungkin juga menyukai