Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS KESETARAAN GENDER DI BIDANG PENDIDIKAN SERTA

PENERAPANNYA DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DI LINGKUNGAN


SEKOLAH

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan menjadi sebuah kebutuhan yang
harus dipenuhi oleh seluruh umat mausia. Salah satu bentuk pendidikan yang harus diperoleh oleh
seorang anak adalah pendidikan pada jalur lembaga formal seperti sekolah. Setelah seorang anak
memasuki usia sekolah, orang tua mau tidak mau harus memasukkan anaknya ke dalam sebuah
lembaga pendidikan formal supaya anak tersebut memperoleh ilmu pengetahuan dan wawasan yang
nantinya akan berguna bagi kehidupannya di masa yang akan datang. Hal tersebut juga dilakukan
karena keterbatasan waktu dan kemampuan orang tua untuk memberikan pendidikan kepada
anaknya, sehingga orang tua membutuhkan bantuan dari sekolah untuk mendidik anaknya menjadi
mnusia yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.
Namun yang masih menjadi persoalan dalam penerapan strategi belajar mengajar berbasis
gender adalah masih banyaknya ditemukan bahan ajar, lingkungan, dan sebagian tenaga pendidik
yang kurang responsive terhadap kesertaraan gender yang akan berdampak pada sikap dan perilaku
anak yang pada akhirnya semakin meningkatkan tingkat kesenjangan gender. Selain itu, kurang
adanya nilai-nilai kesetaraan gender yang tampak dalam kegiatan pembelajaran yang akan
menunjang kualitas pembelajaran dan menjadikannya sebgai suatu kebutuhan.

2. Pengertian Gender
Di lingkungan masyarakat, masih banyak sekali ditemukan orang-orang yang sejatinya belum
memahami makna gender yang sebenarnya. Mereka masih belum mampu membedakan secara jelas
antara istilah jenis kelamin dan gender, sehingga tidak jarang mereka menganggap kedua hal
tersebut sebagai sesuatu yang sama.1 Anggapan demikian tentu sangat tidak tetap, karena jenis
kelamin dan gender memang memiliki pengertian yang sama sekali berbeda. Kesalahan sebagian
orang dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adanya
sikap tidak responsif atau sulit menerima analilis gender dalam menyelesaikan suatu masalah
ketidaksetaraan gender.
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster's New
World Dictionary, gender didefinisikan sebagai perbedaan yang terdapat antara laki-laki dan
perempuan ditinjau dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam Women's Studies Encyclopedia
1
Zainil Ghulam, “Konsep Gender Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam”, Tarbiyatuna, vol. 7, no. 2
(2014), p. Hlm. 2.
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat.2 Sehingga dapat dipahami bahwa gender sebagai
suatu dasar dalam menentukan pengaruh sosial dan budaya dalam membedakan antara laki-laki dan
perempuan.
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulakn bahwa gender adalah suatu konsep yang
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh
sosial budaya.3 Gender merupakan suatu bentuk rekayasa masyarakat, dan bukanlah sesuatu yang
bersifat kodrati. Dalam konteks ini, gender dibedakan dari jenis kelamin yang mana jenis kelamin
merupakan pembagian manusia berdasarkan sifat biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
secara sosial maupun kultural. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin adalah kodrat
Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan prilaku
antara laki-laki dan perempuan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan
diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan cultural yang panjang.
Jadi dapat dikatakan bahwa gender adalah penafsiran budaya terhadap perbedaan jenis kelamin.
Oleh karena itu, gender pada hakikatnya lebih menekankan aspek sosial, budaya, psikologis, dan
aspek yang berada di luar aspek biologis lainnya.4 Misalnya perempuan dianggap lemah lembut,
cantik, keibuan dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan
sebagainya. Sifat-sifat tersebut tidaklah kodrati, karena tidak abadi dan dapat berubah. Artinya ada
laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya. Sementara ada juga perempuan
yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Oleh karena itu, gender dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat dapat berubah. Singkatnya, gender membicarakan laki-laki dan perempuan dari
sudut pandang yang non biologis.5
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi antara laki-laki dan
perempuan untuk mewujidkan tatanan masyarakat sosial sesuai dengan keinginan masyarakat itu
sendiri.6 Jadi, gender dapat dikatakan sebagai sebuah perangkat dalam melakukan pengukuran
terhadap persoalan mengenai laki-laki dan perempuan terutama mengenai hal-hal yang terkait
dengan peran mereka dalam masyarakat.

2
Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Quran dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam”,
Jurnal Al-Ulum, vol. 13, no. 2 (2013), p. Hlm. 376.
3
Hulwati, “Memahami Kesetaraan Gender dalam Fiqh: Analisis Teori Evolusi Kontinuitas Fiqh”, Jurnal
Ilmiah Kajian Gender, vol. 5, no. 1 (2015), p. Hlm. 377.
4
Djamila Lasaiba, “Membangun Pendidikan Berperspektif Gender”, Horizon Pendidikan, vol. 8, no. 1 (2013),
p. Hlm. 109.
5
Zainal Abidin, “Kesetaraan Gender dan Emansipasi Perempuandalam Pendidikan Islam”, Tarbawiyah, vol.
12, no. 1 (2015), p. Hlm. 4.
6
Harum Natasha, “Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab, Dampak, dan Solusi”,
marwah, vol. 12, no. 1 (2013), p. Hlm. 54.
Isu gender mencuat ketika disadari bahwa perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan
telah melahirkan ketidak adilan dalam berbagai bentuk diskriminasi. 7 Misalnya seperti pemiskinan
dalam bidang ekonomi, kurang mumpuni dalam urusan politik, atau anggapan negatif bagi
perempuan. Perempuan dianggap hanya mampu bergelut dengan dapur, sumur, kasur, serta
maraknya kekerasan terhadap perempuan yang bermuara pada perbuatan tidak adil yang dibenci
oleh Allah swt.

3. Pengertian Strategi Belajar Mengajar


Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan kualitas manusia seutuhnya,
adalah misi pendidikan yang menjadi tanggung jawab professional setiap guru. 8 Guru tidak cukup
hanya menyampaikan materi pengetahuan kepada siswa di kelas tetapi dituntut untuk meningkatkan
kemampuan guna mendapatkan dan mengelola informasi yang sesuai dengan kebutuhan profesinya.
Mengajar bukan lagi usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, melainkan juga usaha
menciptakan sistem lingkungan yang membelajarkan peserta didik agar tujuan pengajaran dapat
tercapai secara optimal. Mengajar dalam pemahaman ini memerlukan suatu strategi belajar
mengajar yang sesuai. Mutu pengajaran tergantung pada pemilihan strategi yang tepat dalam upaya
mengembangkan kreativitas dan sikap inovatif subjek didik. Untuk itu perlu dibina dan
dikembangkan kemampuan professional guru untuk mengelola program pengajaran dengan strategi
belajar yang kaya dengan variasi.
Strategi belajar mengajar meliputi rencana, metode dan perangkat kegiatan yang direncanakan
untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Untuk melaksanakan strategi tertentu diperlukan
seperangkat metode pengajaran.9 Strategi dapat diartikan sebagai “rencana kegiatan untuk mencapai
sesuatu”. Sedangkan metode ialah “cara untuk mencapai sesuatu”. Untuk melaksanakan suatu
strategi digunakan seperangkat metode pengajaran tertentu. Dalam pengertian demikian maka
metode pengajaran menjadi salah satu unsur dalam strategi belajar mengajar. Unsur seperti sumber
belajar, kemampuan guru dan siswa, media pendidikan, materi pengajaran, organisasi, waktu yang
tersedia, kondisi kelas dan lingkungan merupakan unsur-unsur yang mendukung strategi belajar-
mengajar.
Strategi belajar mengajar adalah di antara cara yang dapat digunakan oleh guru untuk dapat
mengaktifkan peserta didik. Guru diharapkan mengembangkan atau mencari strategi lain yang
dipandang lebih tepat. Sebab pada dasarnya tidak ada strategi yang paling ideal. Masing-masing
strategi mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri.
7
Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Quran dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam”, p. Hlm.
375.
8
Mad Sa’i, “Pendidikan Islam dan Gender”, Islamuna, vol. 2, no. 1 (2015), p. Hlm. 121.
9
Ariefa Efianingrum, “Pendidikan dan Pemajuan Perempuan : Menuju Keadilan Gender”, Fondasia (2008), p.
Hlm. 4.
4. Kesenjangan gender yang Muncul dalam Proses Pendidikan
Perilaku yang tampak di dalam lingkungan sekolah dapat dijadikan indikator sejauh mana
kesetaraan gender talah diterapkan di sekolah tersebut. Misalnya interaksi antara guru dengan murid
atau murid dengan murid baik di dalam kelas maupun di luar kelas, pada saat pelajaran berlangsung
maupun ketika jam istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang selama ini dibangun.
Selain itu, penataan tempat duduk di dalam ruang kelas dan penataan barisan ketika upacara juga
tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang menentukan,
misalnya memimpin organisasi kesiswaan, menjadi ketua kelas, memimpin jalannya diskusi dan
lain sebagainya.10 Hal tersebut menunjukkan adanya kesenjangan gender yang muncul dalam proses
pembelajaran di sekolah.
Selain itu, dengan masih banyaknya ditemukan bahan ajar, lingkungan dan guru yang belum
responsive gender, akan berdampak pada pembentukan sikap dan perilaku anak yang akhirnya
akan memperbesar ketimpangan gender.11 Misalnya, dalam buku ajar siswa banyak ditemukan
gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar
seorang pilot selalu identik dengan laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot dianggap sebagai
pekerjaan yang memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Sementara
gambar seorang guru yang sedang mengajar selalu identik dengan sosok perempuan karena tugas
seorang guru antara lain adalah mengasuh dan mendidik yang dianggap hanya dapat dilakukan oleh
kaum perempuan.12 Ironisnya, siswa juga melihat bahwa mayoritas gurunya berjenis kelamin
perempuan sementara kepala sekolah kebanyakan berjenis kelamin laki-laki. Selain itu belum
terlihat adanya nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender yang memadai dalam kegiatan-kegiatan
yang mampu menunjang kualitas pembelajaran dan menjadikannya sebagai suatu kebutuhan.
Diantara aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam pendidikan dapat dilihat pada
perumusan kurikulum dan juga rendahnya kualitas pendidikan. Implementasi kurikulum pendidikan
sendiri terdapat dalam buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. 13 Realitas yang ada, dalam
kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang menonjolkan laki-
laki dibandingkan perempuan. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa
belum bernuansa netral gender baik dalam gambar ataupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam
penjelasan materi. Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender
dalam dunia pendidikan. Ada empat aspek yang disorot oleh Departemen Pendidikan Nasional

10
Khozin, Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam Pendidikan Islam, vol. 14, no. 2 (2011),
p. Hlm. 73.
11
Ibid., p. Hlm. 75.
12
Mohamad Hafid, “Islam dan Gender”, Islamuna, vol. 1, no. 1 (2014), p. Hlm. 20.
13
Mohammad Muchlis Solichin, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Kesetaraan Gender”, Tadris, vol. 1, no. 1
(2006), p. Hlm. 52.
mengenai permasalahan gender dalam dunia pendidikan yaitu akses, partisipasi, proses pembelaran
dan penguasaan. Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai.
Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak
perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu
banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga
yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah.
Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan
bangku sekolah.14
Kesenjangan gender juga nampak dalam proses belajar mengajar, seperti kalimat-kalimat yang
mengandung bias gender misalnya: Ibu memasak, Ani mencuci piring, Ayah pergi ke kantor,
menegaskan bahwa adanya kesenjangan gender.15 Seperti halnya hubungan guru dengan siswanya
yang bias gender misalnya permintaan untuk mencuci taplak meja yang ada di kelas menjadi tugas
siswa perempuan.

5. Urgensi Kesetaraan Gender Dalam Penerapan Strategi Belajar Mengajar


Terwujudnya kesetaraan gender dapat ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara laki-
laki dan perempuan, dengan demikian mereka akan memiliki akses dan kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional dan memperoleh manfaat setara.16 Dalam
memenuhi kesetaraan dan keadilan gender, maka diperlukan suatu dasar yang mampu
menghantarkan setiap individu untuk mampu memahami dan memiliki pengetahuan yang cukup
tentang gender sehingga tidak akan memiliki sikap bias gender. Dasar tersebut ialah pendidikan. Di
mana pendidikan sangat berperan penting dalam merubah pola pikir seorang anak atau peserta didik
termasuk perilakunya yang dianggap bias gender, oleh karena itu perlunya menciptakan suatu
pendidikan berwawasan gender dalam pembangunan pendidikan yang memiliki peran dan fungsi
stategis. Proses pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik terkait kesetaraan gender harus
diberikan sejak dini, agar kedepannya mereka tidak akan memiliki sikap yang diskriminatif
terhadap orang-orang disekelilingnya. Orang tua dapat berperan dalam hal ini, dengan cara
membimbing, mengajarkan dan memberikan pengetahuan tentang gender pada anak. Namun, yang
tidak kalah penting adalah peran guru di dekolah yang sangat strategis untuk menanamkan sikap
kesetaraan gender, hal tersebut bermanfaat agar ketika mereka tumbuh dewasa mereka dapat
bersikap responsif terhadap diskriminasi gender.

14
Dina Ampera, “Kajian Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Di Sekolah Dasar Mitra PPL PGSD”, Jurnal
Tabularasa PPS UNIMED, vol. 9, no. 2 (2012), p. Hlm. 232.
15
Veronika Incing, Willy Tri Hardianto, and Sugeng Rusmiwari, “Kesenjangan Gender (Perempuan) dalam
Mendapatkan Pendidikan pada Masyarakat Pedesaan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 2, no. 1 (2013), p. Hlm.
38.
16
Nurdeni Dahri, “Kesadaran Gender yang Islami”, marwah, vol. 13, no. 2 (2014), p. Hlm. 253.
Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang yang disediakan oleh pemerintah dan
dikondisikan bagi anak yang tujuannya tidak hanya untuk memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi
juga sekolah diharapkan mampu menyiapkan peserta didik yang memegang teguh nilai-nilai etika
dan moral guna memasuki kehidupan bermasyarakat.17 Sekolah yang responsif gender, yaitu suatu
sekolah responsif gender dimana aspek akademik, sosial, lingkungan fisik, maupun lingkungan
masyarakatnya memperhatikan secara seimbang kebutuhan spesifik laki-laki maupun perempuan.
Lingkungan sekolah diartikan sebagai tempat yang ada berada di sekitar sekolah mulai dari
halaman, kelas, lapangan olah raga labolatorium dan fasilitas lainnya. Kelas merupakan salah satu
tempat/ruang tempat belajar yang ditempati paling lama setiap harinya ketika anak anak berada di
sekolah. Lingkungan akan sangat mempengaruhi cara pandang dan situasi kondusif tidaknya
terhadap anak.
Kesetaraan gender telah menjadi wacana publik yang terbuka, sehingga hampir tidak terdapat
sudut kehidupan manapun yang tidak tersentuh wacana ini. Gender telah manjadi perspektif baru
yang tengah diperjuangkan untuk menjadi kontrol bagi kehidupan sosial, sejauh mana prinsip
keadilan, penghargaan martabat manusia, dan perlakuan yang sama terhadap laki-laki dan
perempuan. Upaya penyadaran akan kesetaraan gender ditempuh dengan harapan membantu kaum
perempuan itu sendiri dalam menemukan jati diri dan peranannya di tengah-tengah masyarakat
yang terus berubah. Berbicara mengenai gender bukanlah karenaingin menyalahi kodrat tetapi
justru mengembalikan kodrat peda proporsi dan fungsi sosialnya bagaimana kesetaraan telah
berlaku bagi kaum laki-laki dan perempuan.

6. Analisis Kesetaraan Gender Dalam Penerapan Strategi Belajar Mengajar


Kesetaraan gender adalah sebuah tujuan utama untuk menciptakan kesejahteraan dan
membangun keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.18 Kesetaraan gender merupakan
kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesamaan serta hak-haknya
sebagai manusia, supaya mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam berbagai aspek kehidupan.
Misalnya, politi, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya.
Jika sekolah memilih jalan untuk tidak hanya menjadi penyangga nilai-nilai, melainkan
menyeru pemikiran-pemikiran baru yang lebih produktif dengan mengikuti perkembangan zaman,
maka sudah menjadi tugas sekolah untuk tidak membiarkan kesenjangan gender berlaku dalam
masyarakat sekolah tersebut. Sekolah harus bersikap kritis dengan mengajak masyarakat sekolah
dan masyarakat sekitar untuk mulai mengubah pola pikir sekaligus mengimplementasikannya
menjadi suatu tindakan yang lebih berpihak pada keadilan gender.

17
Dwi Edi Wibowo, “Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender”, Muwazah, vol. 3, no. 1 (2011), p.
Hlm. 357.
18
Jamaluddin Arsyad, “Islam dan Kesetaraan Gender”, Tajdid, vol. 13, no. 2 (2014), p. Hlm. 327.
Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara kesuluruhan dengan guru
sebagai pemegang peranan utama. Guru sebagai bagian dari tenaga kependidikan memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan di sekolah. Profesionalisme
seorang guru dalam proses belajar mengajar sangat berperan untuk menentukan kualitas dari
kegiatan belajar mengajar, sehingga guru harus diupayakan untuk mendapatkan akses terhadap
pengetahuan-pengatahuan dan pendidikan gender terlebih dahulu. Praktik yang baik dalam
pengembangan guru untuk mendukung kesetaraan gender berarti melengkapi pemahaman guru
terkait kesetaraan gender di kelas, di lingkungan sekolah dan sekitarnya, dan dalam masyarakat
umumnya. Untuk mencapai hal ini, guru perlu memiliki kemampuan untuk mempromosikan
pemahaman ini di kelas dan mengembangkan strategi dan solusi praktis dalam mengatasi berbagai
tantangan pembelajaran yang dihadapi murid laki-laki maupun perempuan . Jika seorang guru atau
pendidik sudah mendapatkan akses yang cukup terhadap pengetahuan gender, maka komitmen yang
akan dijadikan sebagai landasan dalam membangun pendidikan gender akan jauh lebih mudah
dicapai. Apabila guru sudah memiliki sikap responsif terhadap kesetaraan gender maka melalui
proses pembelajaran di kelas, dalam pembuatan soal, serta penerapan berbagai strategi belajar
mengajar di kelas ia akan menciptakan iklim pembelajaran berbasis kesetaraan gender dengan
sendirinya.
Namun terdapat suatu hal yang tidak kalah penting bahwa kesetaraan gender dalam penerapan
strategi belajar mengajar di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah bikan berarti mengharuskan
jumlah laki-laki dan perempuan harus sama, tidak pula memperlakukan siswa laki-laki dan siswa
perempuan sama persis, kesetaraan gender tidak hanya memihak kaum perempuan saja. Kesetaraan
gender hakikatnya ingin memberikan kesempatan yang sama kepada siswa laki-laki dan siswa
perempuan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai potensi masing-
masing.
Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatak Depdiknas sebagai
pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam
hal ini, diperlukan standarisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender.
Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan
dan keadilan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.
Guru dapat menjadi agen perubahan untuk kesetaraan gender dengan mengarahkan murid laki-
laki maupun perempuan untuk ambil bagian dalam kegiatan tertentu. Guru perlu memberikan
mereka tuntunan dan mulai bertindak sebagai panutan. Namun, sebaliknya, guru juga dapat
memperburuk keadaan dengan tidak memberikan dukungan kepada murid perempuan dan laki-laki
pada saat mereka membutuhkan dukungan tersebut. Banyak praktik yang baik yang dapat dilakukan
dengan menggabungkan kesetaraan gender dalam kegiatan belajar mengajar. Misalnya bersikap
baik terhadap kemampuan murid perempuan dan laki-laki, memberikan perhatian yang setara
kepada murid laki-laki maupun perempuan dan mendorong murid perempuan untuk ambil bagian
aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler yang biasanya diikuti oleh murid laki-laki serta
memperlakukan murid laki-laki dan perempuan secara adil dalam strategi belajar mengajar yang
tengah dilakukan.
Kesetaraan gender dalam strategi belajar mengajar mencakup pengalaman murid laki-laki dan
perempuan di sekolah ketika mengikuti proses belajar mengajar. 19 Berbagai pengalaman ini terkait
dengan perlakuan yang setara oleh guru, kurikulum, buku teks, media belajar, materi pembelajaran
yang tanggap gender, dan juga lingkungan belajar dan hasil pembelajaran.
Membangun kesadaran gender di lingkungan pendidikan terutama pada saat proses
pembelajaran berlangsung bukanlah pekerjaan yang mudah.20 Dalam kaitan inilah maka proses
belajar mengajar dalam lembaga pendidikan memainkan peranan penting dalam menetukan arah
pembangunan, terutama sebagai tolak ukur untuk melihat apakah pembangunan di bidang
pendidikan dapat melahirkan keadilan gender baik pada tataran penyiapan sumber daya manusia
atau perlakuan terhadap sumber daya manusia. Strategi belajar mengajar dalam proses pembelajaran
sebagai media belajar memiliki implikasi sebagai agen sosialisasi nilai-nilai atau fenomena-
fenomena dalam masyarakat, salah satunya gender. Sebagai suatu sistem, strategi pembelajaran
memiliki berbagai komponen yang berperan dan berinteraksi dengan komponen lain dalam
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajarannya gender
disosialisaikan lewat pengaplikasian berbagai strategi belajar, penjelasan, metode, hingga buku ajar
yang dipakai. Buku ajar mempunyai implikasi psikologis yang besar bagi peserta didik sehingga
penting diketahui nilai-nilai gender yang termuat, untuk meminimalisir diskriminasi gender yang
ada di dalamnya. Buku ajar juga harus mampu menyajikan suatu objek secara terurut bagi
keperluan pembelajaran dan memberikan sentuhan nilai-nilai afektif, sosial, dan kultural yang baik
agar dapat secara menyeluruh menjadikan peserta didik bukan hanya dapat mengembangkan
kemampuan kognitifnya, tetapi juga afektif dan psikomotoriknya. Sehubungan dengan pemenuhan
kebutuhan buku ajar yang implementatif terhadap kurikulum yang berlaku, sudah seharusnya buku
ajar yang digunakan saat ini juga berperspektif gender. Buku ajar yang berwawasan gender harus
mampu menunjukkan peran gender. Buku ajar yang baik seyogyanya menampilkan dan
menonjolkan peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai dengan status, lingkungan,
budaya, dan struktur masyarakatnya, yang ditampilkan baik dalam bentuk ilustrasi gambar maupun
deskripsi kalimat yang terdapat pada setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah.21

19
M. Hajir Mutawakkil, Keadilan Islam dalam Persoalan Gender, vol. 12, no. 1 (2014), p. Hlm. 69.
20
Ernita Dewi, “Kesetaraan Gender dalam Islam: Sudut Pandang Al-Quran dan Hadis”, Substantia, vol. 16,
no. 2 (2014), p. Hlm. 269.
21
Lasaiba, “Membangun Pendidikan Berperspektif Gender”, p. Hlm. 110-111.
Dalam teknik pembelajaran ada yang menjadikan pendidik memiliki peran utama dalam
penyajian materi pembelajaran dan ada juga yang menekankan media hasil teknologi modern
seperti televisi, kaset, internet, blog, dan beberapa media lainnya.22 Sehingga dalam usaha
memberikan pendidikan berperspektif gender berbagai hal dapat berperan di dalamnya.
Pembelajaran yang responsif gender, kurikulum dan pembelajaran nyang mengacu pada proses
pembelajaran yang senantiasa memberikan perhatian seimbang bagi kebutuhan khusus baik bagi
laki-laki maupun perempuan.23 Pembelajaran yang responsif gender tersebut mengharuskan kepada
guru untuk memperhatikan berbagai pendekatan belajar yang memenuhi kaidah kesetaraan dan
keadilan gender, baik melalui proses pembelajaran, hasil belajar, interaksi belajar mengajar,
pengelolaan kelas, maupun dalam evaluasi. Atau dengan kata lain, konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa/siswi yang
mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip akses,
partisipasi, kontrol, dan manfaat yang sama bagi peserta didik laki-laki dan perempuan.24

7. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa menciptakan
sebuah kesetaraan gender di bidang pendidikan, khususnya mennerapkan hal tersebut dalam proses
pembelajaran bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak
dapat diupayakan pengaplikasiannya. Proses pembelajaran yang berwawasan kesetaraan dan
keadilan gender perlu ditingkatkan karena masih terdapat berbagai gejala bias gender di sekolah.
Laki-laki cenderung masih ditempatkan pada posisi yang lebih menguntungkan dalam keseluruhan
proses pendidikan. Muatan buku-buku pelajaran yang mengungkap status dan fungsi perempuan
dalam keluarga dan mayarakat belum sepenuhnya peka gender dan memuat konsep kesetaraan
gender tersebut tentu akan berpengaruh dalam memelihara, dan meningkatkan kesetaraan dan
keadilan gender di dalam proses pendidikan. Sehingga sangat diperlukan peran dari pemerinth
selaku instansi yang memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan, agar menjadikan pendidikan
sebagai suatu wadah bagi masyarakat dalam memperoleh wawasan mengenai kesetaran gender.
Penerapan kesetaraan gender dalam proses pembelajaran di lingkungan sekolah dapat dibenahi
dengan cara mengikutsertakan peran serta seluruh anggota masyarakat sekolah terutama guru ketika

22
Dedi Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan Program
Prezi (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014), p. Hlm. 5.
23
Mursidah, “Pendidikan Berbasis Kesetaraan dan Keadilan Gender”, Muwazah, vol. 5, no. 2 (2013), p. Hlm.
278.
24
Ampera, “Kajian Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Di Sekolah Dasar Mitra PPL PGSD”, p. Hlm. 243-
244.
sedang berlangsung proses pembelajaran untuk dapat menjadikan seluruh siswa berperan aktif dan
ikut serta dalam setiap kegiatan tanpa dibatasi oeh perbedaan jenis kelamin.
REFERENSI
Abidin, Zainal, “Kesetaraan Gender dan Emansipasi Perempuandalam Pendidikan Islam”,
Tarbawiyah, vol. 12, no. 1, 2015.

Ampera, Dina, “Kajian Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Di Sekolah Dasar Mitra PPL PGSD”,
Jurnal Tabularasa PPS UNIMED, vol. 9, no. 2, 2012.

Arsyad, Jamaluddin, “Islam dan Kesetaraan Gender”, Tajdid, vol. 13, no. 2, 2014.

Dahri, Nurdeni, “Kesadaran Gender yang Islami”, marwah, vol. 13, no. 2, 2014.

Dewi, Ernita, “Kesetaraan Gender dalam Islam: Sudut Pandang Al-Quran dan Hadis”, Substantia,
vol. 16, no. 2, 2014.

Efianingrum, Ariefa, “Pendidikan dan Pemajuan Perempuan : Menuju Keadilan Gender”, Fondasia,
2008.

Ghulam, Zainil, “Konsep Gender Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam”, Tarbiyatuna, vol. 7,
no. 2, 2014.

Hafid, Mohamad, “Islam dan Gender”, Islamuna, vol. 1, no. 1, 2014.

Hulwati, “Memahami Kesetaraan Gender dalam Fiqh: Analisis Teori Evolusi Kontinuitas Fiqh”,
Jurnal Ilmiah Kajian Gender, vol. 5, no. 1, 2015.

Incing, Veronika, Willy Tri Hardianto, and Sugeng Rusmiwari, “Kesenjangan Gender (Perempuan)
dalam Mendapatkan Pendidikan pada Masyarakat Pedesaan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, vol. 2, no. 1, 2013.

Khozin, Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam Pendidikan Islam, vol. 14, no.
2, 2011.

Lasaiba, Djamila, “Membangun Pendidikan Berperspektif Gender”, Horizon Pendidikan, vol. 8, no.
1, 2013.

Mursidah, “Pendidikan Berbasis Kesetaraan dan Keadilan Gender”, Muwazah, vol. 5, no. 2, 2013.

Mutawakkil, M. Hajir, Keadilan Islam dalam Persoalan Gender, vol. 12, no. 1, 2014.

Natasha, Harum, “Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab, Dampak, dan
Solusi”, marwah, vol. 12, no. 1, 2013.

Sa’i, Mad, “Pendidikan Islam dan Gender”, Islamuna, vol. 2, no. 1, 2015.

Solichin, Mohammad Muchlis, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Kesetaraan Gender”, Tadris,
vol. 1, no. 1, 2006.

Suhra, Sarifa, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Quran dan Implikasinya Terhadap Hukum
Islam”, Jurnal Al-Ulum, vol. 13, no. 2, 2013.

Wahyudi, Dedi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan


Program Prezi (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014).
Wibowo, Dwi Edi, “Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender”, Muwazah, vol. 3, no. 1,
2011.

Anda mungkin juga menyukai