Anda di halaman 1dari 19

Nama : Rizki Anugrah Pratama

NIM : 19862011042

MAKUL. : Sosiologi Pendidikan

Prodi/Smt : Bimbingan Konseling / 1

Peran Pendidikan dalam Kesetaraan Gender

Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, dimana laki-laki


dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing, yang di
konstruksikan oleh kultur setempat, yang berkaitan dengan peran, sifat,
kedudukan dan posisi dalam masyarakat tersebut. Dalam konsep gender,
pembedaan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan konstruksi secara
sosial maupun budaya. Sesungguhnya perbedaan gender tidak akan menjadi
masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan gender, namun yang menjadi
persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan,
baik bagi kaum laki-laki dan perempuan.

Studi-studi tentang gender saat ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi
akibat rendahnya kualitas sumberdaya kaum perempuan sendiri, dan hal
tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum lelaki.
Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum perempun
dan mengajak mereka berperan serta dalam pembangunan. Dalam realitas yang
kita jumpai pada masyarakat tertentu terdapat adat kebiasaan yang tidak
mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan perempuan dalam pendidikan
formal. Bahkan ada nilai yang mengemukakan bahwa “perempuan tidak perlu
sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya kedapur juga.” Ada pula anggapan seorang
gadis harus cepat-cepat menikah agar tidak menjadi perawan tua. paradigma
seperti inilah yang menjadikan perempuan menjadi terpuruk dan dianggap
rendah oleh kaum laki-laki.

Saya mengambil topik ini karena masalah gender sering sekali ditemukan dalam
dunia pendidikan tentunya. Gender juga sangat menarik untuk di teliti. Dan
permasalahan gender ini mudah untuk kita dapatkan informasinya, karena
masalah mengenai transgender sudah banyak kita temukan saat ini.

1. Pengertian Gender

Pengertian gender menurut para ahli seperti berikut :

OAKLEY gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksikan secara sosial

CAPLAN gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan


tidaklah sekedar biologis namun melalui proses sosial dan kultural
MANSOUR FAQIH gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural

NASARUDIN UMAR gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk


memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran,perilaku,dll antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada
rekayasa sosial.

Problematika gender dalam pendidkan

1. Akses

Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit
dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namununtuk
jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap
wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya hingga banyak siswa yang
harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan
masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan
anak perempuannya kesekolah yang jauh karena mengkhawatirkan
kesejahteraan mereka.

Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang terpaksa tinggal dirumah. Belum
lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan.
Akumulasi dari fraktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat
meninggalkan bangku sekolah.

2. Partisipasi

Aspek partisipasi dimana tercakup didalamnya faktor bidang studi dan statistik
pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai

budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik,


sereingkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan
yang luas untuk menjalani pendidikan formal.

Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga


terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal
ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan
berumah tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan
pencari nafkah.

3. Manfaat dan Penguasaan

Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia didominasi oleh kaum


perempuan. Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran. Tetapi
merupakan salah satu “narasumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia
instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender
dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang
berlangsung secara formal termasuk disekolah. Perilaku yang tampak dalam
kehidupan dalam sekolah interaksi guru-guru , murid-murid, baik didalam
maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan
menampakkkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu
penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak
terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang
lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, dll. Hal ini
menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembeloajaran
disekolah.

3.Pendidikan memandang gender

Dalam deklarasi hak asasi manusia pasal 26 dinyatakan bahwa setiap orang
berhak mendapatkan pengajaran, pengajaran harus mempertinggi rasa saling
mengerti, saling menerima,serta rasa persahabatan antar semua bangsa. Terkait
hal ini sesungguhnya pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai
sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai
produk atau konstruksi sosial maka dengan demikian pendidikan juga memiliki
andil bagi terbentuknya reasi gender di dalam masyarakat.

4. Membangun Pendidikan Berprespektif Gender di Sekolah

Jika sekolah memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi pengawet atau
penyangga nila-nilai, tetapi penyeru pikiran yang produktif dengan
berkolaborasi dengan kebutuhan jaman, maka menjadi salah satu tugas sekolah
untuk tidak membiarkan berlangsugnya ketidakadilan gender yang selama ini
terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran palsu yang berkembang dalam
masyarakat. Sebaliknya ia harus bersikap kritis dan mengajak masyarakat
sekolah dan masyarakat disekitarnya untuk mengubah atau membongkar
kepalsuan-kepalsuan tersebut sekaligus mentransformasikannya menjadi
praktik-praktik yang lebih berpihak kepada keadilan sesama, terutama keadilan
bagi kaum peremuan. Guru atau pendidik sebagai pilar harus diupayakan
mendapatkan akses terhadap dasar-dasar pengetahuan dan pendidikan gender
terlebih dahulu, untuk membukakan pikiran dan nurani akan adanya persoalan
tersebut.

Pendidikan merupakan dasar bagi kehidupan manusia. Manusia memperoleh


informasi dan pengetahuan untuk mengembangkan dirinya melalui pendidikan,
karena misi utama pendidikan pada dasarnya adalah menyiapkan anak didik
agar dapat membuka mata hati untuk mampu hidup (to make a living),
mengembangkan kehidupan yang bermakna (to lead a meaningful life) dan
memuliakan kehidupan (to ennoble life) Kemudian, Salah satu tujuan
pendidikan yaitu bagaimana untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil,
dengan tidak mendiskriminasikan jenis kelamin.

Tetapi kenyataanya ada saja diskriminasi dalam pendidikan yang mengharuskan


beberapa upaya untuk mengatasinya, salah satu didalamnya adalah dengan
merumuskan kurikulum yang memiliki prespektif gender. Kurikulum adalah
pengembangan visi dan misi institusi pendidikan yang ingin mewujudkan gol
pendidikan.
Kurikulum Gender didasarkan pada asumsi bahwa wanita dan pria setara dalam
pendidikan, dan memiliki kesempatan setara untuk memperoleh pendidikan.
Dalam aktifitas sehari-hari, kita tidak akan lepas dengan hal yang terkait dengan
gender sebab adanya gender adalah akibat dari kontruksi sosial masyarakat itu
sendiri.

Sebenarnya, Gender merupakan Perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan
kodrat tuhan. Konsep genderi itu sendiri harus dibedakan antara kata gender
dan kata kelamin (seks).

Perbedaan Jenis kelamin antara lelaki dan perempuan tidak berubah dan hal itu
merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaan tingkah
laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Jadi,
perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya
yang panjang.

Dalam kontruksi Barat, ada beberapa masalah yang terkait dengan gender, yaitu
gender differention, gender equality dan gender oppression. Dalam pandangan
mereka bahwa di dunia ini masih ada perbedaan, ketidaksamaan dan kekrasan
gender.
Kesetaraan Gender dalam Pendidikan

Bias Gender dalam Pendidikan, berlangsung dan disosialisasikan melalui proses


serta system pembelajaran di sekolah dan dalam lingkungan keluarga.

Jika ibu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas


domestic seperti memasak, mencuci, dan menyapu maka akan tertanam
dibenak anak, bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan
perempuan.

Dalam upacara bendera di sekolah bisa dipastikan bahwa pembawa bendera


adalah siswa perempuan. Siswa perempuan tersebut dikawal oleh dua siswa
laki-laki demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi hal ini dapat kita
lihat pada acara tingkat nasional.

Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana Negara, selalu


menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka dan
duplikatnya. Hal ini sesungguhnya menanamkan pengertian kepada siswa dan
masyarakat pada umumnya, bahwa tugas pelayan seperti pembawa bender,
lebih luas lagi membawa baki atau pemukul gong dalam upacara resmi sudah
selayaknya menadi tugas perempuan.
Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak
dilakukan oleh laki-laki dan apa yang tidak layak dilakukan oleh perempuan.
Tidak sedikit perempuan yang masih berusia sekolah terpaksa harus bekerja,
baik itu sebagai pelayan toko atau buruh pabrik.

Dengan alasan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, memaksa orangtua


menyuruh anak perempuannya bekerja untuk menambah ekonomi keluarga.
Dengan demikian, pihak orang tua lebih rela mengorbankan anak
perempuannya untuk bekerja membantu orang tua sedang anak laki-lakinya
tetap melanjutkan sekolah.

Laki-laki dipandang lebih penting dalam mencari ilmu, sebab kelak kaum laki-
laki yang akan menafkahi keluarga. Sedangkan perempuan tetap akan menjadi
ibu rumah tangga. Dan anggapan ini, pendidikan tinggi dirasa kurang begitu
perlu bagi kaum perempuan.

Pandangan seperti itulah yangterlihat tidak adil bagi salah satu pihak, khususnya
untuk pihak perempuan. Mereka mengalami diskriminasi dalam hal
memperoleh kesempatan pendidikan. Di samping itu mereka dieksploitasi untuk
bekerja membantu orang tua, padahal seumuruan mereka masih menikmati
masa kanak-kanak atau masa remaja mereka.
Kesetaraan Gender dalam pendidikan sekolah

Dunia pendidikan memiliki peran dan membentuk karakter siswa terhadap


perannya dalam kehidupan sehari-hari. Jenis kelamin merupakan peran laki-laki
dan perempuan dalam aktivitas kehidupan. Peranan ini sering membuat peran
penting dalam kehidupan. Wanita tersubmarginalkan tidak menganggap sebagai
seseorang yang memiliki andil dalam menentukan kehidupanya sendiri.
Ditambah lagi dengan kostruksi masyarakat yang telah ditambahkan kuat
tentang peran laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini pendidikan mampu
menyediakan cara mencegah untuk memperbaiki gender untuk kehidupan
sehari-hari. Perlu digaris bawahi bahwa kesetaraan tidak harus sama. Ada hal
yang tidak bisa dilakukan atau dilakukan laki-laki maupun perempuan, yaitu
kodrat. Pemberian dari Tuhan yang tidak dapat diubah lagi.

Dengan era globalisasi sekarang ini dimana batas-batas menjadi bias atau tidak.
Seperti dalam dunia pendidikan yang harus bersaing kuat laki-laki harus berhasil
dan menjadi pemimpin kelas. Seperti yang diajukan oleh Ranienci Istiqomah
dalam penelitianya yang dimaksud beberapa faktor dalam menyetujui gender,
yaitu aspek kebijakan, sosial-ekonomi, dan budaya. Kebijakan pemerintah
terhadap pihak laki-laki, seperti ruang publik bagi perempuan. Banyak
persyaratan yang harus disetujui. Kemudian sosial-ekonomi, dalam pendidikan
biasanya pertemanan terjadi sesame peremuan atau sesame laki-laki sehingga
jaringan modal sosial kuarngembang. Kemudian dari segi budaya banyak
kepercayaan atau keyakinan yang menguatkan laki-laki dan pererpuan memiliki
peran yang berbeda, seperti laki-laki lebih diutamakan untuk mengenyam
pendidikan sementara perempuan membantu menyelesaikan untuk rumah.
Pandangan tentang itu memberikan jarak bagi perempuan untuk
berkembang.Yang menjadi sorotan utama untuk kesetaraan gender adalah
kepandaian dari guru untuk membenarkan pemahaman tentang gender yang
selama ini telah keliru. Mempertanyakan siswa benar-benar dan mampu
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman yang baik
tentang gender maka hal ini akan berdampak pada sikap bergaul dan masa
depan anak. Laporan ini akan membahas tentang siswa SMA AL USWAH tentang
geder. Yang menjadi sorotan utama dalam kesetaraan gender adalah kepandaian
dari guru untuk membenarkan pemahaman tentang gender yang selama ini
telah keliru. Mempertanyakan siswa benar-benar dan mampu mengaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman yang baik tentang gender
maka hal ini akan berdampak pada sikap bergaul dan masa depan anak. Laporan
ini akan membahas tentang siswa SMA AL USWAH tentang geder. Yang menjadi
sorotan utama dalam kesetaraan gender adalah kepandaian dari guru untuk
membenarkan pemahaman tentang gender yang selama ini telah keliru.
Mempertanyakan siswa benar-benar dan mampu mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman yang baik tentang gender maka hal
ini akan berdampak pada sikap bergaul dan masa depan anak. Laporan ini akan
membahas tentang siswa SMA AL USWAH tentang geder.

A. Jenis Kelamin di dalam kelas


Pengaplikasian jenis kelamin dari hasil pengamatan kelompok kami di SMA Al-
Uswah yang terkait dengan aktivitas di dalam kelas yang kami ambil contohnya
dari kelas sebelas dengan penyebaran angket pada murid-murid dikelas. Hasil
yang diperoleh cukup beragam tetapi ada yang sepemikiran. Murid-murid
dikelas itu sudah mengerti apa yang diminta dengan gender sehingga dari
kelompok kami dengan mudah memberi pertanyaan tentang masalah gender di
lingkungan sekolah.

Sekolah Menengah Atas Al-Uswah sendiri merupakan sekolah swasta yang


berbasis pesantren Islam. Di sekolah ini memiliki aturan dalam penggunaan
seragam yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, untuk anak laki-laki
menggunakan celana dan tidak memerlukan pensil, serta menggunakan peci
hitam, sedangkan yang menggunakan seragam perempuan yang menutupi aurat
seperti bawahan rok dan kerudung mahat, dll. Selain seragam juga ada
peraturan tentang peraturan kelakuan dari siswa-siswi yang mengatur antara
lakai-laki dan perempuan, seperti siswa laki-laki dan perempuan tidak diizinkan
duduk sebangku sama sekali, dan juga tidak boleh pacaran.

Aktivtas yang terjadi di dalam kelas antara murid laki-laki dan murid perempuan
tidak ada pembedaan. Karena menurut siswa-siswa, mereka sama-sama
memiliki status pelajar dan belajar agar belajar bersama lebih menyenangkan,
dan untuk memudahkan pergaulan dan sosialisasi antara siswa laki-laki dan
perempuan. Sementara menurut salah satu murid yang kami tanyai, misalkan
sedang mengangkat meja itu juga murid perempuan yang mengangkat sendiri
tidak meminta bantuan laki-laki. Dan menurut mereka antara laki-laki dan
perempuan memiliki tanggung jawab yang sama saja.

Struktur organisasi di kelas tidak berdasarkan pada laki-laki yang harus sebagai
pemimpin. Namun dari orang yang memang mempertimbangkan memiliki
kemampuan / keahlian yang baik itu laki-laki maupun perempuan melalui
sistem musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama. Diperkuat pula
dengan pandangan perempuan juga bisa memimpin dalam struktur organisasi
karena perempuan emansipasi, contohnya di sekolah tersebut ketua OSIS-nya
adalah perempuan. Disisi yang lain adalah seorang murid yang masih berpikiran
tentang laki-laki adalah seorang imam, maka laki-laki yang percaya pada posisi
ketua tetapi tetap dengan keputusan bersama.

Fasilitas yang ada di kelas juga sama-sama digunakan siswa-siswa laki-laki dan
perempuan tetapi dalam penggunaannya bergiliran atau berganti, misal seperti
spidol, sapu, kemoceng, dll. Fasilitas lain di sekolah salah satunya adalah toilet,
dimana toilet antara laki-laki dan perempuan sudah dibedakan sendiri-sendiri,
dan di sekolah ini keseluruhan terdapat 5 toilet.

Perlakuan guru pada murid-muridnya pada umumnya sama antara murid laki-
laki dan murid perempuan, tetapi mungkin dalam penegasannya yang sedikit
berbeda. Karena biasanya siswa perempuan akan lebih mudah diatur dan
diarahkan pada siswa laki-laki, maka dibutuhkan ketegasan yang lebih banyak
bagi siswa laki-laki. Namun untuk keseluruhan dalam pembelajaran dan
perhatian untuk semua siswa sama. Karena menurut murid-murid yang kami
tanyai, guru lebih tau apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana mereka
harus menyikapi murid-muridnya.

B. Pengetahuan Gender dari Siswa dan Guru

Di Al-Uswah ini, para siswa sudah diajarkan mengenai pengetahuan gender oleh
guru mereka. Walaupun SMA ini berbasis pesantren, tetapi kesetaraan gender
sudah cukup terlaksana dengan baik. Contohnya saja dalam pemilihan
pemimpin seperti ketua kelas, ketua OSIS dll, mereka tidak mengutamakan
seorang laki-laki untuk menjadi pemimpin mereka mengingat biasanya
seseorang akan memilih laki-laki karna dianggap lebih mampu menjadi
pemimpin. Di SMA yang berbasis pesantren ini, pemilihan pemimpin ditentukan
oleh kemampuan dan minat siswanya, pada tahun ajaran 2016/2017 sekarang
ini ketua OSIS di SMA ini merupakan seorang perempuan siswi dari kelas XI.
Contoh lainya pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan seperti menghapus papan
tulis, memindahkan meja, menyapu lantai dll dilakukan tidak memprioritaskan
baik itu laki-laki atau perempuan. Seperti kegiatan yang memindah meja,
menghapus papan tulis, yang masih ada yang menganggap mungkin itu
pekerjaan yang pantas dilakukan oleh laki-laki, di SMA ini pekerjaan itu tidak
memprioritaskan itu laki-laki ataupun perepuan. Para peserta didiknyapun
sudah mengetahui apa itu gender dan kesetaraan gender karena hal itu sudah
ada didalam materi pembelajaran mereka sudah ada yang membahas tentang
gender.
Kesetaraan jender di SMA ini memang sudah terlaksana dengan baik, tetapi hal
lain juga menunjukkan bahwa jender masih ada di SMA ini dan mungkin sulit
dihilangkan, seperti buku ajar yang dibahas, bukan hanya di SMA ini saja, tetapi
di sekolah-sekolah lainya masih tersedia. jenis kelamin. Contohnya adalah
pekerjaan-pekerjaan tertentu yang mencirikhaskan itu pekerjaan laki-laki atau
perempuan, misalnya pekerjaan pilot, polisi, masinis, petani, dan melakukan
pekerjaan kasar, hal itu terkait dengan pekerjaan laki-laki. Hal lainya seperti
pekerjaan dokter, pekerjaan seperti menyapu, memasak, hal itu terkait dengan
pekerjaan peren perempuan.

Pendidikan sebagai organ vital dari dasar dan pengajaran praktik pendidikan
tidak luput juga dari kasus bias gender. Ketimpangan gender ini sejak dini sudah
dikenalkan pada anak-anak didik, jadi terma-terma dikotomis, dan komponen
semantik yang saling beroposisi membenamkan pengertian yang berarti kurang
dipahami.

Simaklah kutipan yang ditemukan dalam satu mata pelajaran IPS seperti dikutip
ini:

“Ayah memiliki kedudukan sebagai kepala keluarga. Ayah adaah suami dari ibu.
Kesejahteraan dan keselamatan keluarga merupakan tanggung jawab ayah.
Ayah mengajak mencari nafkah untuk menghidupi anak dan berbicara. Ayah
juga memiliki hal untuk menghormati, kita harus menghormati beliau. Ayah juga
berhak membuat peraturan di rumah, karena ayah merupakan pemimpin
keuarga. Ayah berhak menasihati dan memberikan hubkuman pada saat yang
nakal. ”

Di dalam kalimat di atas, terlihat bagaimana perbedaan hirarkis dan


ketimpangan gender ini dalam keluarga. Ayah yang direpresentasikan dalam
figur tersebut, memiliki otoritas kedudukan yang lebih. Ayah adalah sosok yang
mewadahi tidak-tidak-sempurna, satu-satunya pengendali dan sumber penentu
keharmonisan untuk keluarga. Andaikalapun ayah sudah meninggal, kemudian
ibu yang mengendalikan kualitas hidup serta pemimpin anak-anak, ayah tidak
tergantikan. Penyebab sosok ayah ditemukan atau hidup dalam diri sang ibu.
Kurikulum dan materi pembelajaran yang menekankan prinsip-prinsip
kesetaraan dan keadilan gender akan menyebabkan perempuan tetap tidak
memiliki mentalitas sebagai warga masyarakat yang produktif.

Budaya yang merupakan bentuk ketidakadilan yang tidak disadari oleh


masyarakat, khusus kaum perempuan. Setiap aliran feminisme memiliki
perspektif yang berdeda tentang ketidakadilan serta strategi untuk mengatasi
ketidakadilan tersebut. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pandangan
umum feminisme terhadap struktur sosial yang patriarkal di masyarakat:
1.

Sosial yang patriarkal pada individu-individu. Prinsip ini didasari oleh


pertimbangan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat bersumber dari
ketidakadilan gender yang dikeluarkan tidak disadari. Khususnya untuk
perempuan, masalah tersebut dibahas pada pembahasan marginalisasi, oprasi,
subordinasi dan stereotipisasi.

2.

Komitmen pada perubahan sosial, karena tantangan utama terletak pada


struktur, maka feminisme tidak hanya membahas perubahan individu, namun
juga perubahan sosial. Aksi nyata untuk melakukan sosial merupakan opsi
utama yang akan dilakukan oleh para feminis.

3.

Suara, memahami, dan pengalaman wanita memberikan tempat yang sejajar


dengan pria. Selama ini, banyak hal di masyarakat yang dilakukan dengan
mengubah norma-norma dan norma, menggunakan laki-laki sebagai ukuran.
Dengan begitu, pandangan wanita menyetujui terabaikan dan ia berhasil
menjadi korban. Bagi feminisme, wanita harus menentukan tempat yang sejajar
dengan pria dalam hal menyetujui dan bersuara.

Pendidikan sebagai alat untuk mentransfer norma-norma masyarakat,


pengetahuan dan kemampuan mereka tidak akan berdaya jika norma gender
tidak terwujud dalam pendidikan. Penyebab, perdebatan gender tidak hanya
terjadi di ruang-ruang perebutan sosial, pemerintahan atau hasil beragam nilai
tafsir terhadap nilai-nilai budaya, politik, dan agama terintegrasi.

Kesimpulanya, Gender adalah peran utama di antara laki-laki dan perempuan


yang merupakan konstruksi sosial. Pengaplikasian gender melalui pembelajaran
merupakan upaya menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam
menyongsong era globalisasi dewasa ini. Direalisasikan atau tidaknya
pegintegrasian gender dalam pembelajaran, banyak ditentukan oleh guru dan
cara guru mengintegrasikannya. Karena guru merupakan pendidik sekaligus
orang tua untuk siswa di sekolah.

Di SMA Al-Uswah sendiri, bias gender dalam kegiatan belajar sudah nampak
berkurang. Hal ini dapat dilihat dari contoh kecil dengan representasi
kepemimpinan yang tidak lagi hanya bergantung pada laki-laki namun juga
perempuan. Contohnya saja keberadaan ketua OSIS yang berjenis kelamin
perempuan. Tak hanya itu, menurut pengakuan jumlah siswa, guru juga sudah
tidak lagi membedakan antara peran laki-laki dan perempuan.

Anda mungkin juga menyukai