Anda di halaman 1dari 15

Tugas UTS Bahasa Indonesia

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: B. Indonesia
Dosen Pengampu: Ibu Nia Lailin Nisfah, M. Pd.

Disusun Oleh:
Vioni Savitri Uzma (22.31.00103)

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT


ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH 2022

1
KESETARAAN GENDER:
(Problematika Masyarakat Mengenai Kesetaraan Gender
dan Keterkaitannya dalam Dunia Pendidikan)

Vioni Savitri Uzma


(Institut Pesantren Mathali’ul Falah)

Abstrak:
Permasalah jenis kelamin atau kesetaraan gender sering menjadi isu yang kerap
kali dikhawatirkan oleh masyarakat kita. Istilah permasalahan gender bukan hanya
ditujukan untuk perempuan saja, tetapi juga mencakup laki-laki. Menilik fakta yang
tengah terjadi, biasanya perempuan akan banyak mengalami diskriminasi karena
posisinya yang selalu dipandang rendah oleh masyarakat. Sebaliknya, laki-laki
yang memiliki satu tingkatan lebih tinggi di atas perempuan akan di anggap lebih
berkompeten dalam segala aspek kehidupan. Pemikiran tersebuat masih banyak
terealisasikan di kalangan masayarakat sampai sekarang. Sehingga, banyak
fenpmena hak-hak perempuan yang seharusnya disetarakan dengan kaum laki-laki
kini terhalang karna stigma tersebut. Diambil contoh dalam dunia pendidikan yang
sering kali perempuan tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikannya kejenjang
yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki dikarenakan adanya stigma masyarakat
tentang perempuan akan berakhir dirumah untuk mengurus anak juga mengurus
rumah. Sehingga, tidak diperlukan pendidikan yang tinggi. Adanya kesetaraan
gender diharapkan dapat mendorong perubahan terhadap pola pikir masyarakat.
Terlebih mengenai keadilan dalam berpendidikan antara laki-laki dan perempuan.

Kata Kunci: Gender, Pendidikan, Isu di Masyarakat.

2
Abstract:
The issue of gender or gender equality is often an issue that is often worried by
our society. The term gender issue is not only intended for women, but also includes
men. Looking at the facts that are happening, usually women will experience a lot
of discrimination because of their position which is always looked down upon by
society. On the other hand, men who have one level higher than women will be
considered more competent in all aspects of life. This thought is still widely realized
in the community until now. Thus, many phenomena of women's rights that should
be equalized with men are now blocked because of this stigma. Take as an example
in the world of education, women are often not allowed to continue their education
to a higher level than men because of the societal stigma about women ending up
at home to take care of children and take care of the house. So, no higher education
is needed. The existence of gender equality is expected to encourage changes in
people's mindsets. Especially regarding justice in education between men and
women.

Keywords: Gender, Education, Issues in Society.

A. Pendahuluan
Salah satu tuntutan terhadap dunia pendidikan saat ini adalah mengenai masalah
keadilan dan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan yang
sejatinya ranah belajar bagi laki- laki dan perempuan, justru lebih di gandrungi oleh
laki-laki daripada perempuan. Kondisi ini bukan tanpa alasan, tetapi di latar
belakangi oleh pandangan patriarki pada masyarakat, yaitu pendapat yang
berpandangan bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukan dan derajatnya daripada
perempuan.1
Adapun pernyataan mengenai pendidikan merupakan hak setiap orang, dan
penyelenggaraan pendidikan menjadi kewajiban bagi mereka yang menguasai
sumber daya, yakni orang tua terhadap anak, orang kaya untuk orang miskin dan

1
Nasaruddin Umar,” Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an”, (Jakarta: Paramadina,
2001),hal, 33.

3
yang paling bertanggung jawab atas pendidikan tersebut adalah negara terhadap
seluruh rakyatnya.2 Merupakan suatu bentuk keadilan yang mana tercantumkan
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang juga menjadi tujuan negara
kita. Yaitu, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV
memandatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Negara juga harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.3 Sehingga pemerintah pusat dan daerah
wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga
negara tanpa adanya diskriminasi.4
Diskriminasi terhadap perempuan merupakan masalah yang kerap kali terjadi di
hampir seluruh lapisan kelompok masyarakat, bahkan di sebagian besar belahan
dunia sekalipun. Alasannya cukup jelas yaitu masyarakat memiliki persepsi bahwa
perempuan dan laki-laki berbeda sehingga ada bidang-bidang tertentu yang hanya

2
Mulkhan, “Pendidikan Sekolah Berbasis Liberal”, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm. 2.
3
Pemenuhan kebutuhan pendidikan tersebut didasarkan pada pentingnya peran pendidikan dalam
keseluruhan aspek kehidupan manusia sebagaimana dikatakan John Dewey bahwa pendidikan
sebagai salah satu kebutuhan hidup (a necessary of life), sebagai salah satu fungsi sosial (a social
function), sebagai bimbingan (as direction), sebagai sarana pertumbuhan (as means of growth)
yang mempersiapkan dan membukakan hidup serta membentuk disiplin dalam kehidupan melalui
transmisi baik dalam bentuk informal , formal maupun non formal. Lihat John Dewey,
“Democracy and Education”, (New York: The Free Press, 1996), hlm. 54. Selain itu Azyumardi
Azra juga menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu agen perubahan sosial dan
dipandang sebagai suatu variabel modernisasi atau pembangunan, tanpa pendidikan yang
memadahi akan sulit bagi masyarakat manapun untuk mencapai kemajuan .Azyumardi Azra,
“Pembaharuan Pendidikan Islam dalam Marwah Saridja, Bunga Rampai Agama Islam”, (Jakarta:
Amisco, 1996), hlm. 2-3.
4
Pendidikan merupakan bagian dari HAM. Perjalanan peradaban umat manusia mencapai
puncaknya ketika manusia meneguhkan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia
untuk melanggengkan eksistensi manusia dari kepunahan. M.Fakih, “Analisis Gender dan
Transformasi Sosial”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. iv. Selain itu Darmaningtyas juga
mengatakan bahwa selain merupakan hak yang harus dimiliki oleh setiap warga negara,
pendidikan harus memikul tanggung jawab yang berat untuk terus mewujudkan pelaksanaan hak-
hak asasi lainnya, seperti hak hidup, kebebasan mengeluarkan pendapat, berpikir, berserikat,
berkarya, memperoleh akses informasi secara benar dan lain sebagainya. Darmaningtyas, J.
“Samardianta, Ironis dan Anomali HAM di Dunia Pendidikan”, (Jakarta: Wacana, 2001), hlm.
211.

4
cocok untuk perempuan dan bidang lain di peruntukkan bagi laki-laki. Misalnya,
perempuan lebih cocok di bidang sastra atau sosial, sedangkan laki-laki di bidang
teknik dan politik.
Meninjau asumsi-asumsi tersebut, dapat dikatakan bahwa ketidaksetaraan gender
berasal dari budaya, khusunya di masyarakat yang masih menganut paham
patriarki. Dengan demikian, upaya mengimplementasikan pola pikir maupun sudut
pandang terhadap isu gender harus dilakukan. Salah satunya melalui jalur
pendidikan.
B. KESETARAAN GENDER
Apa itu jenis kelamin? gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan
dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Gender ini pertama kali
dikemukakan oleh para ilmuan sosial, mereka bermaksud untuk menjelaskan
perbedaan laki-laki dan perempuan yang memiliki sifat bawaan (ciptaan Tuhan)
dan bentukan budaya (konstruksi sosial). Banyak orang mengartikan atau
mencampuri ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati (tidak berubah) dengan non-
kodrati (gender) yang bisa berubah dan diubah sepanjang zaman. Perbedaan gender
ini pun menjelaskan orang berfikir kembali tentang peran mereka yang sudah
melekat, baik pada laki-laki maupun perempuan.5
Diambil dari definisi lain pengertian gender berasal dari bahasa Inggris berarti
jenis kelamin.6 Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku.7 H. T. Wilson dalam Sex and Gender juga mengartikan gender sebagai
suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif
dalam membedakan laki-laki dan perempuan.8

5
Abdul Salam Addas, ”Kesetaraan Gender”,
(https://dp2pa.luwuutarakab.go.id/index.php?/berita/13/kesetaraan-gender.html , 04 November
2022, pada pukul 18:58).
6
John M. Echols dan Hassan Shadily, “Kamus Inggeris Indonesia”, (Cet. I; Jakarta:
Gramedia, cet. XII, 1983), hal. 265.
7
Victoria Neufeldt (ed.), “Webster's New World Dictionary”, (New York: Webster's New
World Cleveland,1984), hal. 561.
8
H.T. Wilson, “Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization”, (Leiden, New York,
Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989), hal. 2.

5
Oleh karena itu, dapat disimpulkan dari berbagai definisi diatas bahwa gender
merupakan serangkaian karakteristik yang terikat kepada laki-laki dan perempuan
dengan membedakan maskulinitas dan femininitas. Karakteristik tersebut dapat
mencakup jenis kelamin (laki-laki, perempuan, atau interseks), hal yang ditentukan
berdasarkan jenis kelamin (struktur sosial sepeti peran gender), atau identitas
gender.
Banyak perbedaan argumen mengenai isu kesenjangan gender ini. Seperti yang
telah kita ketahui bahwa kesetaraan gender sudah diupayakan dalam perspektif
islam yang ditegaskan dalam al-Qur’an yaitu: (1)laki-laki dan perempuan sama-
sama sebagai hamba, (2)laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah,
(3)laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial, (4)Adam dan Hawa
terlibat secara aktif dalam drama kosmis, dan (5)laki-laki dan perempuan berpotensi
meraih prestasi.9 Hadirnya agama di tengah-tengah masyarakat merupakan salah
satu wujud untuk menyelaraskan hak manusia. Bahwa Tuhan memberikan
kebebasan manusia dalam mengimplementasikan haknya sebagai sesama laki-laki
dan perempuan.

B. URGENSI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan kunci utama bagi manusia untuk mengendalikan dunia.


Fitrah manusia juga tidak lepas bahwa manusia merupakan satu-satunya makhluk
Tuhan yang dibekali oleh keutuhan akal pikiran. Oleh sebab itu manusia dituntut
untuk memiliki ilmu yang banyak sebagai bekal mengenal dunia. Diakui atau tidak,
pendidikan merupakan kunci utama bagi terwujudnya keadilan gender dalam
masyarakat, karena pendidikan disamping merupakan alat mentransformasi norma-
norma masyarakat, pengetahuan dan kemampuan mereka, juga sebagai alat untuk
mengkaji dan menyampaikan ide-ide dan nilai-nilai baru. Dengan kata lain,
lembaga pendidikan merupakan sarana formal untuk sosialisasi sekaligus transfer
nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan

9
Nasaruddin Umar, “Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif al-Qur’ân”. (Jakarta:
Paramadina, 2001), hlm. 247-268.

6
norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara tekstual maupun
kontekstual, baik melalui buku-buku teks yang digunakan maupun pada suasana
proses pembelajaran.10 Karena itu, dalam lembaga pendidikan, sebagai tempat
transfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat, sejak awal perlu diusahakan
terwujudnya keadilan gender. Untuk mengarah pada terwujudnya hal tersebut,
maka diperlukan pertama, memberlakukan keadilan gender dalam pendidikan dan
menghilangkan pembedaan pada peserta didik, kedua, mengupayakan keadilan-
keadilan di kalangan pimpinan, ketiga, meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan
dan diskriminasi melalui materi pengetahuan yang diajarkan, keempat, proses
pembelajaran yang dilakukan dan menentang segala ide dan pemikiran yang
mengandung stereotyping.

Hal ini menjadikan kesetaraan gender dalam pendidikan menjadi penting.


Kesetaraan gender dalam pendidikan dapat dicapai melalui tiga hal, yaitu hak untuk
mendapatkan pendidikan (right to education), hak dalam proses pendidikan di
dalam lingkungan yang mendukung kesetaraan gender (right within education), dan
hak akan hasil pendidikan yang mendukung pencapaian berkeadilan (rights trough
education) (EFA GMR 2003/2004). Hak untuk mendapatkan pendidikan saat ini
mungkin sudah mulai dicapai dengan tingginya partisipasi pendidikan oleh
perempuan. Namun, banyak yang masih perlu dibenahi terkait hak dalam proses
pendidikan. Masih banyak buku teks pelajaran yang belum memberikan contoh dan
model yang mendukung kesetaraan gender. Salah satu studi yang dilakukan di
Indonesia dan negara muslim lainnya mendapati bahwa meskipun penggambaran
perempuan dan laki-laki seimbang jumlahnya, penggambarannya masih bias
(Assadullah, 2020). Misalnya di dalam buku teks, tokoh perempuan lebih sering
digambarkan dan diletakkan dalam konteks kerja-kerja domestik, sedangkan tokoh
laki-laki dalam konteks kerja-kerja profesional. Hal ini menjadi indikasi bahwa di
dalam proses pendidikan, stereotip gender memunculkan bias gender yang
beroperasi melalui standar normatif yang mendorong timbulnya penolakan dan

10
Solichin, M. M. “Pendidikan agama Islam berbasis kesetaraan gender”. TADRIS: Jurnal
Pendidikan Islam, Jld.1 No.1, 2006, Hal.56.

7
sanksi sosial (Heilman, 2012). Stereotip gender terkait profesi laki-laki dan profesi
perempuan di dalam buku teks memunculkan bias gender dan norma mengenai
pemilihan profesi. Perempuan yang memilih profesi maskulin, misalnya, bisa
mendapatkan sanksi sosial dan penolakan dari lingkungannya.11
Demikianlah, dapat ditegaskan bahwa pengaruh utama gender sedemikian urgen
untuk di sosialisasikan melalui bahan ajar, termasuk dalam materi keagamaan
(apalagi memang banyak materi yang sangat gender biased) dengan pola, dapat
memilih diantara keempat pendekatan yang telah ditawarkan di atas, dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi di lapangan. Memang sedapat mungkin,
pola yang ideal seperti pola transformational dan social action approach diterapkan
dalam usaha mewujudkan perubahan yang radikal, namun jika dinamika kehidupan
sosial tidak memungkinkan untuk mengambil pendekatan ideal, pola additive
approach juga merupakan pilihan bijak, sebab yang dipentingkan adalah bagaimana
terjadi perubahan dalam perspektif gender, sehingga ketidakadilan gender dapat
ditekan, sampai ambang batas minimal, jika memungkinkan. Pada pendekatan ini,
masyarakat diarahkan untuk membuat keputusan dan tindakan yang sensitive
terhadap gender dalam aktivitas kehidupan mereka, yang dapat dilakukan dengan
cara mendiskusikan mengenai konsep, peran dan relasi gender dalam masyarakat,
seperti mengapa terjadi diskriminasi terhadap perempuan, apa yang menyebabkan
terjadinya diskriminasi itu, bagaimana keadaannya dalam kelas, apakah terjadi
diskriminasi dan bagaimana diskriminasi tersebut mesti disikapi. Dengan
pendekatan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat melakukan kritik sosial bahkan
dapat melakukan perubahan sosial.

C. PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama berbasis kesetaraan gender dapat


dilaksanakan dengan baik, asal ada kesungguhan dan kemauan baik secara kultural
maupun struktural untuk melaksanakannya. Untuk mengarah pada terwujudnya hal

11
Satia Zen, “Kesetaraan Gender dalam Pendidikan”,(
https://mediaindonesia.com/opini/476069/kesetaraan-gender-dalam-pendidikan, 04 N0vember,
2022, pada pukul 22.50)

8
tersebut. Maka, diperlukan pertama, memberlakukan keadilan gender dalam
pendidikan dan menghilangkan pembedaan pada peserta
didik, kedua, mengupayakan keadilan-keadilan dikalangan
pimpinan, ketiga, meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi
melalui materi pengetahuan yang diajarkan, keempat, proses pembelajaran yang
dilakukan dan menentang segala ide dan pemikiran yang mengandung stereotyping.
E. REFERENSI
Efendy, R. (2014). Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan. AL-MAIYYAH: Media
Transformasi Gender dalam Paradigma Sosial Keagamaan, 7(2).
Ulya, I. (2018). Pendidikan berbasis kesetaraan gender: Studi kebijakan pemerintah
dan aplikasinya dalam pendidikan. MAGISTRA: Media Pengembangan Ilmu
Pendidikan Dasar dan Keislaman, 4(1).
Solichin, M. M. (2006). Pendidikan agama Islam berbasis kesetaraan
gender. TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 1(1).
Nasaruddin Umar,(2001)” Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an”,
Jakarta: Paramadina.
Mulkhan, (2002)“Pendidikan Sekolah Berbasis Liberal”, Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
John Dewey,(1996) “Democracy and Education”, New York: The Free Press, 1996
.Azyumardi Azra, (1996)“Pembaharuan Pendidikan Islam dalam Marwah Saridja,
Bunga Rampai Agama Islam”, Jakarta: Amisco.
Darmaningtyas, J.(2001) “Samardianta, Ironis dan Anomali HAM di Dunia
Pendidikan”, Jakarta: Wacana.
Abdul Salam Addas, ”Kesetaraan Gender”,
https://dp2pa.luwuutarakab.go.id/index.php?/berita/13/kesetaraan-gender.html

9
Nama : Vioni Savitri Uzma

NIM : 22.31.00103

PRODI\ Semester : PMI\ 1

Tugas UTS karya tulis biasa

Semua Orang Punya Beban di Pundak


Andi adalah seorang mahasiswa jurusan Dakwah di salah satu Perguruan Tinggi
favorit di Pati. Setiap hari ia bertemu denganku di kampus. Suatu hari, dia bercerita
kepadaku tentang masalah hidupnya. Dia berpikir kalau orang lain selalu terlihat
senang dan bahagia terlepas dari masalah yang dialami dalam hidupnya. Mereka
terlihat seperti orang-orang yang tak memiliki beban di pundaknya. Namun
anehnya, Andi merasa tidak terlalu suka saat melihat temannya tersenyum bahagia.

“Fia, kok aku aneh, ya? Aku selalu merasa bahwa kehidupan orang lain selalu baik-
baik aja bahkan kelihatan seperti tidak punya masalah, beda banget sama
kehidupan aku yang rasanya kayak punya banyak beban terus aku juga merasa tidak
bisa bahagia,” ujar Nesa waktu itu.

Pada waktu itu juga aku mengatakan kepada Nesa bahwa setiap orang memiliki
permasalahan dan beban hidup yang ditanggung di pundaknya. Tentunya, masing-
masing beban hidup yang dialami setiap orang pasti berbeda-beda. Jika beban
hidupmu selalu dibandingkan dengan orang lain maka percayalah bahwa semua itu
akan semakin berat.

Yang selama ini dipikirkan Nesa tentang orang lain tidak semuanya benar. Padahal
dia sendiri tidak tahu betul bagaimana kondisi orang lain yang menurutnya selalu
baik-baik saja bisa jadi kebalikannya, serta perjuangan orang-orang untuk
menenangkan dirinya sendiri. Bisa saja mereka telah berhasil melalui masa-masa
terberat dalam hidupnya.

Setelah itu, dia hanya terdiam merenungi perkataanku. Dia memikirkan apa yang
aku katakan saat itu. Dulu, aku juga pernah merasakan seperti di posisi Nesa. Saat

10
itu juga ada yang menasehati aku bahwa Tuhan selalu memberikan beban masalah
sesuai dengan kemampuan masing-masing orang. Oleh karena itu respon dari
orang-orang pun juga berbeda-beda, terkadang ada yang merasa dibebani ada juga
yang tidak.

“Tuhan tahu seberapa kuat kita untuk bisa menghadapi masalah yang diberikan
oleh-Nya, maka dari itu kalau soal porsi jangan ditanyakan ya, karena kita tahu
kalau Tuhan itu memang Maha Adil,” ujar seseorang kepadaku.

Mulai saat itu aku mulai introspeksi perihal diriku sendiri. Aku berusaha untuk
menyelesaikan segala permasalahan yang menimpaku dengan hati yang lapang.
Karena dengan begitu aku bisa menjadi bahagia. Aku juga tidak perlu
membandingkan diriku dengan orang lain. Aku hanya perlu membandingkan diriku
dengan aku yang kemarin. Maka dari itu aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik
hingga saat ini.

Aku juga percaya jika setiap masalah yang menimpaku nantinya bisa menjadi
pelajaran dalam hidupku karena selalu ada hikmah yang bisa aku ambil. Yang
membuat aku selalu yakin adalah setiap permasalahan ini datang dan dirancang
oleh-Nya.

11
12
13
14
15

Anda mungkin juga menyukai