Anda di halaman 1dari 18

KONFLIK DAN KESETARAAN GENDER DALAM

KONFLIK BERSENJATA ISLAM : Tantangan Masyarakat

Nanda Kholidatur Rahmi


Universitas Trunojoyo Madura
Email : 200711100050@student.trunojoyo.ac.id

PENDAHULUAN
Berbicara soal gender tentunya bukan hal yang asing lagi. Maraknya gerakan
dan tuntukan terkait keadilan dan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempun
telah divokalkan diseluruh belahan dunia. Di Indonesia sendiri, keadilan dan
kesetaraan gender mulai di perjuangkan sejak masa R.A. Kartini, dimana emansipasi
menjadi ujung tonggak kebebasan perempuan Indonesia untuk mengenyam
pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki. “Bukan hanya suara dari luar, dari
Eropa yang masuk ke dalam hati saya yang membuat saya menginginkan perubahan
keadaan saat ini. Jauh semenjak saya kanak-kanak ketika kata emansipasi belum ada
bunyinya, belum ada artinya buat saya, tulisan dan karangan tentang hal itu jauh dari
jangkauan saya, muncul dari dalam diri saya keinginan yang makin lama makin kuat,
yaitu keinginan akan kebebasan, kemerdekaan dan berdiri sendiri. Kemudian keadaan
yang berlangsung disekitar saya yang mematahkan hati dan membuat saya menangis,
membangkitkan kembali keinginan itu” (Surat Kartini pada Estelle H. Zeehandelaar,
2 Mei 1899).1
Permasalahan gender seakan tidak ada habisnya. Banyak isu-isu yang muncul
kemudian tertuju pada kesetaraan gender yang dialami antara laki-laki dan
perempuan. Padahal sebetulnya kesetaraan gender ini tidak melulu tentang
perempuan dan laki-laki, kesetaraan gender juga sebenarnya terjadi pada kelompok-
kelompok rentan atau kelompok minoritas. Kemunculan persoalan gender ini muncul

1
Citra Mustikawati, “Pemahaman Emansipasi Wanita (Studi Hermeneutika Makna Emansipasi Wanita
Dalam Pemikiran R.A. Kartini Pada Buku Habis Gelap Terbitlah Terang),” Jurnal Kajian Komunikasi 65,
no. 5 (2015): 65–70.
pada abad ke-19 di Prancis, ketika upah yang didapat oleh laki-laki dan perempuan
saat bekerja sangat berbeda. Hal inilah yang kemudian memunculkan ketidakadilan
antara perempuan dan laki-laki. Faktor biologis juga dijadikan sebagai titik tolak awal
kemunculan gender.2
Dalam peperangan dan konflik bersenjata, masyarakat sipil selalu menghadapi
rasa takut dan tidak aman atas rusaknya mata pencaharian, adanya tindakan
pengusiran, kehilangan keluarga, dan kematian. Hal yang lebih buruk dialami oleh
sebagian besar wanita pada masa Perang Dunia II. Mereka harus menghadapi
tindakan pelecehan seksual dan pemerkosaan. Hal ini yang mendorong penetapan
sejumlah kebijakan perlindungan terhadap wanita oleh Perhimpunan Bangsa-bangsa
(PBB). Seiring berkembangnya zaman, wanita mendapatkan peranan yang lebih
intensif dalam mendorong upaya penanganan konflik bersenjata dan memelihara
perdamaian pasca perang.3
Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuan sosial untuk menjelaskan
perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan
yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil.
Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur adukan
ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender).
Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang
pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada diri manusia
perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender dinamis dan tepat
serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Perbedaan konsep gender
secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam
masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran,

2
T. Handayani and D. Ilyas, “Isu Gender : Potret Relasi Masa Lampau, At a Glance,” Jurnal Ilmu
Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama 15, no. 2 (2014): 35–48.
3
Nita Triana, “Perlindungan Perempuan Dan Anak Ketika Perang Dalam Hukum Humaniter
Internasional,” Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender dan Anak 4, no. 2 (2009): 320–334,
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/view/236.
tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas. 4
Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran gender semakin gencar disuarakan,
baik oleh kalangan laki-laki maupun kaum perempuan.
Meskipun upaya untuk meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender dalam
pendidikan dan tatanan sosial terus dilakukan, nyatanya masalah ini belum menjadi
usang. Diskriminasi terhadap gender masih terus ada dan terekspresi dalam setiap
kesempatan yang ada. Lahir dan berkembangnya stereotip yang menempatkan
perempuan sebagai makhluk yang lemah dibandingkan laki-laki menyebabkan
ketidakadilan gender terus muncul di kalangan masyarakat. Budaya patriarki
mendorong kaum perempuan untuk terus tertindas dan tereksploitasi.5
Keberadaan ajaran agama sering kali dituduh sebagai justifikasi atas
kesenjangan ini, salah satunya ajaran agama islam. Berdasarkan data sejarah, tulisan
ini menegaskan bahwa penyebab kesenjangan gender bukanlah agama melainkan
penafsiran orang terhadap teks ajaran karena dipengaruhi oleh kultur patriarki Islam.
Sebenarnya sangat mengusahakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan
melarang terjadinya kesenjangan. Bahkan, Islam adalah agama yang pertama kali
mengumandangkan pembelaan atas perempuan untuk setara dengan laki-laki. 6 Salah
satu misi Islam adalah pembebasan manusia dari berbagai bentuk anarki dan
ketidakadilan. Islam sangat menekankan pada keadilan disemua aspek kehidupan.
Keadilan ini tidak akan tercapai tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan
marjinal dari penderitaan. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an, bahwa orang-orang
yang beriman diperintahkan untuk berjuang membebaskan golongan masyarakat
lemah dan tertindas.7

4
Herien Puspitawati, “Konsep, Teori Dan Analisis Gender Oleh : Herien Puspitawati Departemen Ilmu
Keluarga Dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia- Institut Pertanian Bogor Indonesia. PT IPB Press .
Bogor .,” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 4, no. 1 (2013): 1–13.
5
Yuni Sulistyowati, “Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Pendidikan Dan Tata Sosial,” IJouGS:
Indonesian Journal of Gender Studies 1, no. 2 (2021): 1–14.
6
Yusuf Wibisono, “Konsep Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam,” Al-Mabsut: Jurnal Studi Islam
Dan Sosial (2013): 9–10.
7
Laila Naddzifah, “Kesetaraan Gender Dalam Islam,” Jurnal Isania 2, no. 1 (2022): 29–40.
Dalam konteks pendidikan Islam, kedudukan antara pria dan wanita adalah
setara. Keduanya dianggap sebagai seorang muslim yang memiliki hak dan liabilitas
untuk menuntut ilmu melalui pendidikan yang ditempuhnya. Islam mengajarkan bagi
keduanya, baik pria maupun wanita untuk sama-sama berperan dalam pendidikan
tanpa membedakan kelas atau status sosial. Oleh karena itu keduanya penting untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, pendidikan setinggi-tingginya. Hal ini dapat
kita lihat di berbagai sumber literatur ajaran Islam, terutama Al-Qur’an dan Hadis. 8

PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian terdahulu merupakan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya yang mungkin berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti. Peneliti terdahulu juga menjadi salah satu bahan pertimbangan sehingga
dapat memberi referensi dalam menulis ataupun mengkaji penelitian yang dilakukan.
Berikut penelitian yang menjadi acuan dan referensi dalam melakukan kajian
penelitian :
1. Laila Nadzifah, Jurnal Isania (Vol. 2 No. 1 2019), tentang “KESETARAAN
GENDER DALAM ISLAM”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mewujudkan
relasi gender yang setara, perlu dihilangkan relasi yang tidak adil dan
kesenjangan yang besar antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek
kehidupan tanpa mengabaikan kodrat perempuan. Ketimpangan gender harus
dihapuskan secara total agar perempuan dapat berdiri setara dengan laki-laki
hingga tidak ada lagi prioritas atas orang lain yang berdasarkan diskriminasi jenis
kelamin.
2. Chichi ‘Aisyatud Da’watiz Zahroh, Jurnal Al-Qalam (Vol. 20 No.1, 2019).
Tentang “PENDIDIKAN GENDER DALAM PENGKAJIAN ISLAM (KAJIAN
KRITIS TOKOH FATIMA MERNISSI)”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui persoalan ketimpangan gender yang bersumber dari doktrin agama
Islam dapat diatasi dengan menggunakan metodologi baru dalam memahami teks
8
Mohammad Muchlis Solichin, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Kesetaraan Gender,” Tadris 1, no. 1
(2006): 51–60.
keagamaan yang dianggap penyimpangan gender. Ketidakadilan gender semakin
menguat ketika laki-laki membawa status sebagai pelindung perempuan
sedangkan perempuan yang lemah lembut menjadi orang yang dilindungi,
dinafkahi dengan tugas terbatas di rumah. Perbedaan keduanya disebabkan oleh
fungsi dan tugas utama yang dibebankan Allah terhadap masing-masing jenis
kelamin itu. Banyak teori telah dikemukakan oleh ahli tentang awal terjadinya
konsep gender dan faktor yang melestarikannya pada masa selanjutnya.
Globalisasi yang semakin mengkritiskan perempuan, membuat perempuan
memerlukan apresasi dalam rangka perbaikan peradaban manusia modern dan
kontemporer. Wilayah mainstrem ini menjadi perhatian masyarakat dunia.
Gender dipertanyakan tentang keberadaan perempuan dalam peradaban global,
politik, pendidikan, dan pendidikan Islam. Sehingga pemikiran tokoh sangat
diperlukan untuk mencari jalah tengah suatu masalah tentang gender yaitu tokoh
pejuang kesetaraan wanita yaitu Fatima Mernissi.
3. Adian Husaini, Rahmatul Husni, Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam (Vol. 15 No.
2, 2015). Tentang “PROBLEMATIKA TAFSIR FEMINIS: Studi Kritis Konsep
Kesetaraan Gender”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengelaborasi sejumlah
produk reintepretasi al-Qur’an model Hermeneutika versi kaum perempuan
tetapi juga menunjukkan sejarah ideologi feminisme serta ketidaktepatan
penggunaan tafsir hermeneutika. Feminisme berangkat dari ideologi kebencian
sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan perempuan yang terjadi dalam
peradaban Barat di masa lalu. dalam Islam, bukanlah produk budaya, melainkan
wahyu. Islam tidak memiliki sejarah penindasan terhadap kaum perempuan,
bahkan memposisikan perempuan dalam posisi yang mulia. Perbedaan peran
yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan ditujukan agar keduanya dapat
bermanfaat secara maksimal di dunia, untuk saling bekerja sama dan melengkapi
demi mencapai kebahagiaan dunia.
4. Erlinda Matondang, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara (Vol. 10, No. 2, 2020).
Tentang “WANITA DALAM STRATEGI PERANG: Tinjauan Emansipasi dan
Perlindungan Wanita”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis isu yang
seharusnya menggunakan dua konsep (perlindungan wanita dan strategi perang)
untuk memahami cara pandang militer terhadap posisi wanita dan satu teori
(feminisme) untuk memahami cara pandang wanita terhadap peranannya dalam
militer saat perang berlangsung. Melalui penelitian ini, kita dapat mempunyai
pemahaman yang lebih luas tentang peranan wanita dalam strategi perang karena
tujuan utamanya adalah melihat kemungkinan perubahan kebijakan terhadap
perlindungan wanita dalam perang seiring dengan situasi terkini.

PEMBAHASAN
Pengertian Gender
Kata Gender, yang biasa dibaca “jender” bukanlah hal yang asing lagi.
Sekalipun demikian kebanyakan orang masih belum memahami istilah gender dengan
pemahaman yang benar. Sebab, dalam kamus bahasa Indonesia antara gender dengan
seks belum mempunyai perbedaan pengertian yang transparan. Secara etimologis,
kata gender berasal dari bahasa Inggris “gender” yang berarti “jenis kelamin”. 9Dalam
hal ini dipertegas bahwa secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis.
Jenis kelamin biologis (seks) merupakan pemberian Tuhan, kita dilahirkan sebagai
seorang laki-laki atau seorang perempuan. Seks lebih banyak berkonsentrasi kepada
aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi hormon dalam tubuh,
anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender dalam
arti tersebut mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut non-
biologis. Antara kata gender dan seks (jenis kelamin) memang harus dibedakan. Jenis
kelamin menunjuk pada pembagian dua kelamin yang berbeda dan merupakan
penentuan secara biologis yang permanen serta tidak akan berubah.10

9
Vina Salviana and D. Soedarwo, “Pengertian Gender Dan Sosialisasi Gender,” Sosiologi 1, no. 1
(2016): 1–32, http://repository.ut.ac.id/4666/1/SOSI4418-M1.pdf.
10
Mahbub Junaidi, “Pendidikan Multikultular Dan Pendidikan Inklusi Gender,” Jurnal Pendidikan Islam
7, no. 2 (2017): 130–145.
Menurut Ismah Salman gender merupakan suatu konsep tentang klasifikasi
sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim) yang dibentuk secara sosial
kultural. Pengetian tersebut diatas dipertegas oleh Mansour Fakih yang mengatakan
bahwa gender adalah “Suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural.11
Konsep gender mengacu kepada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab,
fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat
bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan
dibesarkan. Di masyarakat, laki-laki selalu digambarkan dengan sifat-sifat maskulin,
seperti perkasa, berani, rasional, keras dan tegar. Sebaliknya perempuan digambarkan
dengan sifat-sifat feminin, seperti lembut, pemalu, penakut, emosional, penyayang
dan rapuh. Unsur maskulinitas selalu dinilai positif dan lebih unggul dari unsur
feminitas. Lebih fatal lagi, bahwa maskulinitas dan feminitas tersebut dianggap
sebagai suatu ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah atau dengan kata lain sebagai
suatu hal yang kodrati, padahal sesungguhnya hal tersebut merupakan hasil
konstruksi sosial. Buktinya, dalam realitas sosiologis di masyarakat ditemukan tidak
sedikit laki-laki yang penakut, emosional, pemalu, dan lemah lembut. Sebaliknya,
cukup banyak perempuan yang kuat, berani, perkasa, pantang menyerah, rasional, dan
sangat tegar. Dengan kata lain, konstuksi gender bukanlah kodrati, melainkan
bentukan sosial sehingga konsep ini dapat berubah dari waktu ke waktu dan juga
dapat berbeda antara suatu daerah dengan daerah lain. Ringkasnya, masyarakatlah
yang membentuk maskulinitas dan feminitas pada diri seseorang. Kemudian
disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruk melalui kultural, dilanggengkan oleh
interpretasi budaya, norma, tradisi, mitos, hukum, bahkan juga agama, sehingga
seolah-olah semuanya itu merupakan kodrat atau pemberian Tuhan yang harus
diterima apa adanya, dan tidak boleh dipertanyakan lagi.12

11
Mansour Fakih, “Analisis Gender & Transformasi Sosial,” 2013.
12
Siti Musdah Mulia, Islam Dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta : Kibar Press, 2007).
Gender merupakan konstruksi sosial tentang bagaimana menjadi laki-laki dan
perempuan sebagaimana tuntutan masyarakat. Gender erat kaitannya dengan
pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang
ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan
perempuan menurut norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Ketika
konstruksi sosial itu kemudian dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah
karena ‘dianggap’ kodrati dan alamiah. Banyak upaya telah dilakukan oleh berbagai
lembaga untuk meningkatkan peran serta perempuan, bahkan lembaga negara sejak
awal secara eksplisit telah menjamin persamaan hak dan kedudukan setiap warga
negara, untuk laki-laki dan perempuan. Dalam konstitusi dasar negara UUD 1945,
telah dikemukakan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 jaminan negara atas
persamaan hak bagi setiap warga dalam hukum dan pemerintahan, pekerjaan dan
penghidupan yang layak pada Pasal 27 ayat (2), usaha bela negara pada Pasal 30 dan
memperoleh pendidikan pada Pasal 31. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi
berbagai konvensi dunia dan menandatangani sejumlah deklarasi internasional
berkaitan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.13
Konsep Kesetaraan Gender
Salah satu tema utama dan sekaligus menjadi prinsip pokok dalam ajaran
agama Islam adalah persamaan antara manusia tanpa mendiskriminasikan perbedaan
jenis kelamin, negara, bangsa, suku dan keturunan: semuanya berada dalam posisi
sejajar. Perbedaan yang digarisbawahi dan kemudian dapat meninggikan atau
merendahkan kualitas seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketaqwaan kepada
Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Hujurat : 1314
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
(terdiri) dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di

13
Juhdi Amin, “Permasalahan Gender Dalam Perspektif Islam,” BUANA GENDER : Jurnal Studi Gender
dan Anak 4, no. 1 (2019): 1–15.
14
KEMENAG RI
antara kamu adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
dan maha melihat.”
Tuhan menciptakan manusia, baik laki-laki dan perempuan, dalam prinsip
hubungan kemitraan. Demikian juga dalam konteks keluarga, hubungan suami-istri,
mereka diciptakan untuk saling melindungi, dan diibaratkan seperti pakaian.
Beberapa ayat lain mengungkapkan bahwa hak dan tanggung jawab sebagai manusia
adalah sama dan tidak dibedakan, baik laki-laki dan perempuan, di hadapan Allah, di
antara sesama manusia, maupun dalam keluarga. Dari beberapa ayat itu jelas bahwa
Islam menunjunjung tinggi keadilan, kesejajaran, dan menolak segala diskriminasi
atas jenis kelamin. Islam menempatkan perempuan sama dengan laki-laki, yang
diukur menurut Allah hanyalah tingkat kualitas taqwa.
Kesetaraan gender merupakan kondisi perempuan dan laki-laki menikmati
status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh
hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Definisi
dari USAID menyebutkan bahwa “Gender Equality permits women and men equal
enjoyment of human rights, socially valued goods, opportunities, resources and the
benefits from development results.” (kesetaraan gender memberi kesempatan baik
pada perempuan maupun laki-laki untuk secara setara/sama/sebanding menikmati
hak-haknya sebagai manusia, secara sosial mempunyai benda-benda, kesempatan,
sumberdaya dan menikmati manfaat dari hasil pembangunan).15
Kesetaaraan gender (gender equality) berartiposisi yang sama antara laki-laki
dan perempuan dalam memperoleh akses,partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam
aktivitas kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat maupun berbangsa dan
bernegara. Keadilan gender (gender equity) adalah suatu proses menuju selaras,
seimbang, serasi, tanpa diskriminasi. Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di

15
Chichi ‘Aisyatud Da’watiz Zahroh, “Pendidikan Gender Dalam Pengkajian Islam (Kajian Kritis Tokoh
Fatima Mernissi),” Jurnal Al Qalam 20, no. 1 (2019): 51–63.
Daerah, disebutkan kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi yang adil
dan setra dalam hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki.16
Sistem gender akan terus mengalami perubahan seiring perubahan pola
interaksi masyarakat, dengan demikian pola interaksi tersebut menghasilkan sistem
yang merombak struktur sosial tanpa terkecuali terlebih peran laki-laki dan
perempuan, tetapi proses berjalannya sistem tersebut diharapkan dapat melahirkan
kesetaraan gender meskipun terdapat perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan
yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan karena
mereka sering ditempatkan pada posisi yang kedua diatas peran laki-laki, dominasi
laki-laki pada sistem sosial dilihat dari potensi penempatan yang memungkinkan
dilakukannya dengan sempurna karena laki-laki dikenal sebagai sosok yang pekerja
keras, kuat dan rasional sehingga dalam teori gender dikenal sebagai sistem
patriarki.17
Sistem gender yang memarjinalkan salah satu pihak tidak dapat terus menerus
dilanggengkan karena dapat membuat perempuan semakin termarjinalkan dari sistem
sosial karena ada semacam stereotip (pelabelan) terhadap perempuan yaitu lemah
lembut hanya mampu mengurus urusan rumah tangga sehingga tidak memiliki tempat
pada sistem sosial oleh karena penempatan mereka selalu pada posisi tidak penting
sehingga tidak mampu tampil bahkan dalam keluarga, mereka tidak berhak
mengambil keputusan karena yang berhak mengambil keputusan hanyalah laki-laki
pada dasarnya prioritas dalam keluarga hanya mementingkan kepentingan laki-laki
saja, perbedaan ini merefleksikan sistem patriarki yang menciptakan sistem sosial
yang menantang dimana perempuan seringkali mendapati mereka berada pada posisi
subordinasi.
Tanda kesetaraan gender ini tidak dapat dipisahkan, karena saling terkait dan
berhubungan,saling mempengaruhi secara dialektis, indikasi keadilan gender selalu
16
Ade Kartini and Asep Maulana, “Redefinisi Gender Dan Seks,” An-Nisa’ : Jurnal Kajian Perempuan
dan Keislaman 12, no. 2 (2019): 217–239.
17
Muhammad Firman et al., “Kesetaraan Gender Dan Perdamaian Global: Mendorong Partisipasi
Perempuan Dalam Negosiasi Perdamaian,” Journal on Education 05, no. 04 (2023): 17641–17657.
dikaitkan dengan laki-laki dan perempuan, dimana Perempuan sedikit demi sedikit
menjadi terbiasa pada suatu kondisi tertentu akhirnya menganggap pekerjaan yang
mereka lakukan tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan kekerasan,
meskipun ada sebuah konstruksi dan pengaturan ketidakseimbangan, perbedaan
gender dibuat yang diakui dan tidak pernah lagi dapat dirasakan bahwa ada sesuatu
yang menyimpang, masalah itu bercampur dengan tidak adanya kepentingan, itulah
sebabnya ada begitu banyak kelas pekerja, menginstruksikan individu yang perlu
mengikuti sistem dan struktur. Pandangan ini memiliki naungan yang wajar,
khususnya mengakui adanya segalah ragam dalam aktivitas publik antara laki-laki
dan perempuan, keragaman kapasitas per pergaulan sosial, harus ada bagian individu
yang layak menjadi pionir, dan orang-orang yang menjadi sekretaris atau individu
standar, jelas, situasi seseorang dalam konstruksi hierarki (jenjang) akan menentukan
kapasitasnya, yang masing-masing unik, bagaimanapun, perbedaan dalam pekerjaan
ini bukan untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi untuk
mencapai tujuan organisasi sebagai satu kesatuan. Jelas, konstruksi dan kapasitas ini
tidak akan pernah terlepas dari dampak budaya, standar, dan nilai yang mendasari
kerangka sosial.
Penilaian masyarakat tergantung pada cara pandang mereka, karena
masyarakat memiliki cara pandang yang berbeda sehingga memunculkan berbagai
macam persepsi dalam menanggapi stereotip. Akan tetapi untuk memahami peran
laki-laki dan perempuan kita dapat melihat dengan analisis gender, Analisis gender
sebagai alat untuk melihat sistem dan struktur sosial yang tidak terjebak pada
pemahaman reduksionisme yang hanya melihat perempuan sebagai pihak yang
dirugikan, akan tetapi lebih melihat relasi antara laki-laki dan perempuan sebagai
aktor yang berperan pada sistem sosial.18
Kesetaraan gender tidak dapat dipahami hanya melihat satu sudut pandang
saja akan tetapi perlu adanya sudut pandang dengan meneliti, melihat dan

18
Muhammad Rusydy, “Modernitas Dan Globalisasi: Tantangan Bagi Peradaban Islam,” Jurnal Tajdid
17, no. 1 (2018): 91–108.
menganalisis. Untuk mewujudkan kesetaraan gender kita perlu memahami masalah
laki-laki dan perempuan agar dapat melihat dari berbagai macam sudut pandang, hasil
sudut pandang tersebut dapat melihat hubungan dan keterkaitan dari berbagai macam
aspek kehidupan manusia dengan memfokuskan masalah kesetaraan gender sebagai
topik utama yang bersumber pada data dan informasi yang ada. Kesetaraan gender
tercipta ketika laki-laki dan perempuan yang sudah mempunyai kesamaan kondisi
dan posisi untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya agar mampu berperan dan
berpartisipasi.19 Oleh karena itu analisis tersebut diharapkan dapat mewujudkan
kesetaraan gender di tengah kebijakan yang berbeda dalam memandang peran laki-
laki dan perempuan atas kebijakan yang responsif sesuai situasi, kondisi dan
dukungan yang terjadi, cropanzano dan Mitchell menjelaskan bahwa dukungan sosial
dapat dikaji dari bentuk dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan
informatif dan dukungan penilaian, oleh karena itu untuk mendorong perempuan ke
arah berkemajuan perlulah ada transformasi sosial tanpa meninggalkan hak dan
kewajiban.
Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, masalah gender masih menjadi kontroversi. Di antara kaum
muslim ada kelompok yang memandang tidak ada masalah gender dalam Islam.
Mereka justru memberi label negatif pada hal-hal yang berhubungan dengan gerakan
perempuan, buku-buku, artikel serta pendapat dalam seminar yang membahas tentang
keadilan gender dalam Islam. Namun kelompok lain yang bersebrangan mengatakan
ada permasalahan gender dalam Islam, dan muncul sebagai gerakan yang mendukung
hal tersebut. Wacana tersebut banyak dikembangkan pada level akademis maupun
aksi sosial, mengingat ketidakadilan gender seringkali dijustifikasi oleh nilai-nilai
keagamaan, sehingga untuk mengubahnya menjadi semakin riskan karena acap kali

19
Rijal Pahlevi, “Faktor Pendukung Dan Tantangan Menuju Kesetaraan Gender,” Jurnal Iman dan
Spiritualitas 3, no. 2 (2023): 259–268.
mereka yang meneriakkan kesetaraan tersebut dianggap telah melanggar nilai-nilai
fitrah agama.20
Gender digunakan untuk membedakan status laki-laki dan perempuan pada
sistem sosial masyarakat, status tersebut dibentuk oleh konsep sosial, budaya dan
kultur, konsep tersebut merupakan hasil cipta pemikiran masyarakat sehingga
menjadi sebuah sistem yang mereka jalankan tetapi konsep tersebut dapat diubah oleh
masyarakat itu sendiri karena pada dasarnya gender bukanlah hasil konstruksi
biologis yang tidak dapat diubah, gender adalah suatu sifat yang melek at pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Berikut ini
standar dalam menganalisis prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam al-Qur’an : 21
a. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT
Salah satu tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada
Allah, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Adz-Dzariyat : 56
‫َو َم ا َخ َلْقُت ٱْلِج َّن َو ٱِإْل نَس ِإاَّل ِلَيْعُبُدوِن‬
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan manusia
sebagai hamba tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.
b. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah dibumi
Manusia diciptakan oleh Allah selain sebagai hamba yang tunduk dan patuh untuk
mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi. Dalam Q.S al-
An’am : 165
‫َٰٓل‬
‫َو ُهَو ٱَّلِذ ى َجَع َلُك ْم َخ ِئَف ٱَأْلْر ِض َو َر َفَع َبْع َض ُك ْم َفْو َق َبْع ٍض َد َر َٰج ٍت ِّلَيْبُلَو ُك ْم ِفى َم ٓا َء اَتٰى ُك ْم ۗ ِإَّن َر َّب َك َس ِريُع‬
‫ٱْلِع َقاِب َو ِإَّن ۥُه َلَغ ُفوٌر َّر ِح يٌم‬
Ayat tersebut sangatlah jelas bahwa yang dimaksud dengan khalifah dalam
ayat tersebut tidak menunjukkan kepada salah satu jenis kelamin ataupun
kelompok etnis tertentu, maka setiap manusia baik itu laki-laki maupun
perempuan mempunyai hak yang sama di bumi ini. Selain itu, di dalam ayat
tersebut menjelaskan bahwa prestasi individual baik dalam bidang spriritual

20
Taufan Anggoro, “Konsep Kesetaraan Gender Dalam Islam,” Afkaruna 15, no. 1 (2019): 129–135.
21
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2001).
maupun karir professional tidak harus dimonopoli oleh satu pihak (jenis kelamin)
saja, akan tetapi setiap laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang
sama dalam meraih prestasi.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa apabila ayat-ayat
al-Qur’an dikaji secara mendalam tidak ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan
larangan bagi perempuan untuk beraktivitas dalam sektor publik (didalam rumah
maupun di luar rumah). Selain itu, Islam tidak pernah mengajarkan maupun
menganjurkan adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, mereka
mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Allah hanya mentakdirkan perbedaan fisik
(faktor biologis dan reproduksi) antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing
memiliki kelebihan.
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan
sebagai manusia. di hadapan Allah lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan
kedudukan yang sama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan
posisi perempuan sudah selayaknya diubah, karena al Qur’an selalu menyerukan
keadilan, keamanan dan ketenteraman, mengutamakan kebaikan dan mencegah
kejahatan. Ayat-ayat inilah yang digunakan maqasid al Syari'ah atau tujuan-tujuan
utama syari’at. Jika tidak ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.22

KESIMPULAN
Seiring berjalannya waktu dan perubahan budaya maka mindset masyarakat
juga harus bisa berubah. Dari anggapan ‘perempuan itu lemah dan hanya mengurus
domestik’ sedangkan ‘laki-laki berurusan pada publik’ menjadi mengerti bahwa
memasak dan mengurus anak itu adalah keterampilan, bukan kodrat. Dalam urusan
rumah tanggapun, antara suami dan istri itu harus bisa saling membantu satu sama
lain. Tak ada lagi pandangan aneh tentang suami yang pergi membeli beras di pasar.
Budaya dan pola pikir inilah yang harus kita terapkan, dari hal kecil agar terbiasa
22
Maslamah dan Suprapti Muzani, “Konsep-Konsep Gender Menurut Perspektif Islam,” Jurnal
SAWWA 9, no. 2 (2014): 275–286.
dengan perubahan yang lebih besar. Dengan begitu, laki-laki dan peremouan
memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan lain di luar untuk
memenuhi kebutuhan bermasyarakat dan mengembangkan diri.
Inti dari kesetaraan adalah tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang
didominasi. Keduanya harus saling memberi. Keadilan gender itu sesuai dengan
kebutuhan yang dimiliki oleh keduanya. Saat ini, masyarakat Indonesia perlu untuk
mengetahui, mengerti dan mau menjunjung kesetaraan agar dapat mewujudkan
pembangunan nasional dalam hal peningkatan kualitas sumber daya manusia serta
mewujudkan kesejahteraan. Proses ini memerlukan suatu strategi yang menempatkan
laki-laki dan perempuan pada posisi aktif sebagai aktor pembangunan.
Ketidaksetaraan gender melahirkan diskriminasi gender terutama bagi
perempuan. Oleh karena itu, definisi diskriminasi diatur dalam Pasal 1 Konversi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Pengertian
diskriminasi terhadap perempuan menurut Pasal 1 Konvensi Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan adalah setiap pembedaan, pengecualian, atau
kewenangan berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai maksud atau akibat
meremehkan pengakuan, pengalaman, atau pelaksanaan kebebasan mendasar dalam
suatu negara. bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang lainnya. Definisi ini
menegaskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan dapat terjadi dalam berbagi
aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, sosial, budaya, dan bidang lainnya. Oleh
karena itu, pentingnya untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam segala aspek
kehidupan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan memastikan
hak asasi menusia.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Juhdi. “Permasalahan Gender Dalam Perspektif Islam.” BUANA GENDER :


Jurnal Studi Gender dan Anak 4, no. 1 (2019): 1–15.

Anggoro, Taufan. “Konsep Kesetaraan Gender Dalam Islam.” Afkaruna 15, no. 1
(2019): 129–135.

Fakih, Mansour. “Analisis Gender & Transformasi Sosial,” 2013.

Firman, Muhammad, Sobali Suswandy, Denda Ginanjar, Melita Amalia, and Ratu
Kania. “Kesetaraan Gender Dan Perdamaian Global: Mendorong Partisipasi
Perempuan Dalam Negosiasi Perdamaian.” Journal on Education 05, no. 04
(2023): 17641–17657.

Handayani, T., and D. Ilyas. “Isu Gender : Potret Relasi Masa Lampau, At a Glance.”
Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama 15,
no. 2 (2014): 35–48.

Junaidi, Mahbub. “Pendidikan Multikultular Dan Pendidikan Inklusi Gender.” Jurnal


Pendidikan Islam 7, no. 2 (2017): 130–145.

Kartini, Ade, and Asep Maulana. “Redefinisi Gender Dan Seks.” An-Nisa’ : Jurnal
Kajian Perempuan dan Keislaman 12, no. 2 (2019): 217–239.

Maslamah dan Suprapti Muzani. “Konsep-Konsep Gender Menurut Perspektif


Islam.” Jurnal SAWWA 9, no. 2 (2014): 275–286.

Muhammad Rusydy. “Modernitas Dan Globalisasi: Tantangan Bagi Peradaban


Islam.” Jurnal Tajdid 17, no. 1 (2018): 91–108.

Mulia, Siti Musdah. Islam Dan Inspirasi Kesetaraan Gender. Yogyakarta : Kibar
Press, 2007.

Mustikawati, Citra. “Pemahaman Emansipasi Wanita (Studi Hermeneutika Makna


Emansipasi Wanita Dalam Pemikiran R.A. Kartini Pada Buku Habis Gelap
Terbitlah Terang).” Jurnal Kajian Komunikasi 65, no. 5 (2015): 65–70.

Naddzifah, Laila. “Kesetaraan Gender Dalam Islam.” Jurnal Isania 2, no. 1 (2022):
29–40.
Nasarudin Umar. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:
Paramadina, 2001.

Pahlevi, Rijal. “Faktor Pendukung Dan Tantangan Menuju Kesetaraan Gender.”


Jurnal Iman dan Spiritualitas 3, no. 2 (2023): 259–268.

Puspitawati, Herien. “Konsep, Teori Dan Analisis Gender Oleh : Herien Puspitawati
Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia- Institut
Pertanian Bogor Indonesia. PT IPB Press . Bogor .” Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora 4, no. 1 (2013): 1–13.

Salviana, Vina, and D. Soedarwo. “Pengertian Gender Dan Sosialisasi Gender.”


Sosiologi 1, no. 1 (2016): 1–32. http://repository.ut.ac.id/4666/1/SOSI4418-
M1.pdf.

Solichin, Mohammad Muchlis. “Pendidikan Agama Islam Berbasis Kesetaraan


Gender.” Tadris 1, no. 1 (2006): 51–60.

Sulistyowati, Yuni. “Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Pendidikan Dan Tata


Sosial.” IJouGS: Indonesian Journal of Gender Studies 1, no. 2 (2021): 1–14.

Triana, Nita. “Perlindungan Perempuan Dan Anak Ketika Perang Dalam Hukum
Humaniter Internasional.” Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender dan Anak 4, no.
2 (2009): 320–334.
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/view/236.

Wibisono, Yusuf. “Konsep Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam.” Al-Mabsut:


Jurnal Studi Islam Dan Sosial (2013): 9–10.

Zahroh, Chichi ‘Aisyatud Da’watiz. “Pendidikan Gender Dalam Pengkajian Islam


(Kajian Kritis Tokoh Fatima Mernissi).” Jurnal Al Qalam 20, no. 1 (2019): 51–
63.

Anda mungkin juga menyukai