Anda di halaman 1dari 19

HAND OUT

Mata Kuliah : Askeb Perempuan & Anak dgn Kondisi Rentan


Jumlah SKS : 3 SKS
Pokok Bahasan : Kebutuhan Khusus Pada Permasalahan Budaya
Sub Pokok Bahasan : 1. PemIlihan Jenis Kelamin
2. Vaginal birth after caesarean
3. Persiapan persalinan & kelahiran pd kebutuhan khusus
4. Perawatan anak pada ibu berkebutuhan khusus
5. Promosi kenormalan pada ibu berkebutuhan khusus
6. Asuhan pada perempuan berkebutuhan khusus
Penempatan : SMT V Reguler & SMT II Non Reguler Sarjana Kebidanan
Dosen : Cucu Nurmala, S.ST.,M.Keb
Pertemuan ke : 4-5 Setelah UTS
Daftar Pustaka
1. Abdul Jalil dan St. Aminah. Gender dalam Perspektif Budaya dan Bahasa. Jurnal Al-
Maiyyah, Volume 11 No. 2 Juli -Desember 2018. haz_mina@yahoo.co.id
2. Novita Ardiyanti. Modul Asuhan Kebidanan Pada Perempuan Dengan Kondisi Rentan.
Politekknik Kesehatan Medan.
3. Fini Fajrini. Analisis Hubungan antara Pengetahuan, Psikologi dan Pengalaman bersalin
Ibu dengan Pemilihan Proses PersalinanNormal atau Caesarea Pada Pasien Melahirkan di
RSIA Hermina Ciputat . Jurnal Kedokteran dan Kesehatan . 2016: ISSN 0216-3942
4. Risma Aliviani Putri , Puji Lestari. Pengasuhan Tumbuh Kembang Balita Pada Wanita
Penyandang Disabilitas di Kabupaten Semarang. Indonesian Journal of Midwivery (IJM)
Vol 1: No 1 (2018) ISSN 2615-5095 (online).
5. Rani Kartika. Pola Pengasuhan Anak pada Orang Tua Tuna Netra (Studi Kasus Klinik
Pijat Tuna Netra Barokah). JPIS : Volume 27, Nomor 2, Desember 2018.
6. Andre Pratama, Armaini2. Pola Asuh Orang Tua Disabilitas Tunanetra dan
Implementasinya Terhadap Pembentukkan Karakter Anak Awas. Jurnal Penelitian
Pendidikan Kebutuhan Khusus. Volume 9 Nomor 2 Tahun 2021 ISSN: Online 2622-5077
7. Komnas HAM. Kajian Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Bagi Kelompok Rentan di
Indonesia. 2020: ISBN: 978-623-94599-2-5
8. Sunesni1, Dian Furwasyih. Assesmen Tingkat Kepuasam dan Persepsi Asuhan Antenatal
Pada Ibu Ibu Tunanetra Di Kota Padang (Studi Kasus). Jurnal Kesehatan Mercusuar; E-
ISSN - 2654-9751 Vol 3 No 2 Oktober 2020.

A. PEMILIHAN JENIS KELAMIN

Setiap manusia dalam Islam laki-laki dan perempuan tentunya memiliki kedudukan yang
sama dalam menjalankan hakikat dan tujuan, fungsi, serta peran manusia diciptakan.
Peran gender dalam kehidupan masyarakat yang dikenal dalam ilmu sosiologi mengacu
pada sekumpulan ciri khas yang berkaitan dengan peran identitas sosial dalam
bermasyarakat, sehingga mengenal maskulin dan feminitas dalam konteks budaya dan
pengelompokan dalam ilmu bahasa (linguistik).
1. Konsep Gender
Gender atau jenis kelamin. Dalam Nasaruddin umar Webster’s New World
Dicktionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dimaknai sebagai perbedaan yang
bersifat sosial budaya dan merupakan nilai yang mengacu pada hubungan sosial yang
memberikan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dikarenakan perbedaan
biologis yang menjadi kodrat, dan oleh masyarakat dan menjadi budaya dalam
kehidupan bermasyarakat.
WHO (world health organization) memberikan batasan gender sebagai seperangkat
peran, perilaku, kegiatan, dan antribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan
perempuan. Ketika jenis kelamin lebih bersifat biologis dan nature, maka berbeda
dengan gender. Gender secara terminilogi adalah perbendaan yang lebih didasarkan
pada aspek sosiologis dan kultural. Pemahaman yang masih mencampuradukan
konsep jenis kelamin dengan gender di tengah masyarakat melahirkan berbagai
implikasi negatif, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hal ini disebabkan jenis
kelamin lebih merupakan takdir atau kodrat Allah swt., sementara gender adalah
kontruksi sosial-budaya yang lebih merupakan ikhtiar manusia.
Dalam pandangan Agama Islam segala sesuatu diciptakan Allah SWT dengan
kodrat firman Allah swt., dalam QS al-Qamar/49 “Sesungguhnya segala sesutu yang
kami ciptakan dengan qadar” pendapat ahli tentang qadar diartikan sebagai ukuran-
ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu” dan itulah yang disebut
sebagai kodrat. Dengan demikian laki-laki dan perempuan sebagai makhluk ciptaan
Allah swt., baik individu dengan jenis kelamin berbeda memiliki kodratnya masing-
masing
2. Konsep Gender dan Budaya
Kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhaya yang merupakan bentuk
jamak dari dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal. Ada pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budi
dan daya, budi merupakan unsur rohani sedangkan daya merupakan unsur jasmani
manusia. Dengan demikian budaya merupakan hasil dan daya dari manusia.
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang
jelas tentang bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya bertindak. Pada
umumnya laki-laki adalah orang yang lebih kuat, lebih aktif, serta ditandai dengan
kebutuhan yang besar mencapai tujuan dominasi, otonomi, dan agresi. Sebaliknya
perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih menaruh perhatian,
pada afiliasi, berkeinginan untuk mengasuh, serta mengalah. Pandangan umum yang
demikian akhirnya melahirkan citra diri baik tentang laki-laki maupun perempuan.
Citra diri yang demikian inilah yang kemudian disebut banyak orang sebagai stereotip.
Sistem kepercayaan masyarakat tentang gender lebih merupakan pada asumsi yang
kebenarannya dapat diterima sebagian saja karena kepercayaan orang dalam suatu
masyarakat tidak selalu dapat menunjukkan kenyataan yang akurat dan yang
sebenarnya. Olehnya itu ada kemungkinan mengandung kesalahan dalam memberikan
interpretasi atau biased perception. Namun, tidak semua yang aspek yang diberi lebel
maskulin diberi lebel untuk laki-laki, dan lebel feminim untuk perempuan dapat
diterima dan diberlakukan dalam kehidupan suatu masyarakat.
Budaya masyarakat memaknai gender sebagai pembagian peran antara laki-laki
dan perempuan. Secara anatomi antara laki-laki dan permpuan berbeda, namun mereka
terlahir dengan peran dan tanggungjawab yang sama, akan tetapi dalam
perkebangannya dalam budaya masyarakat memiliki perbedaan diantara keduanya.
Ketimpangan dalam kehidupan sosial membuat perempuan dinomor duakan dalam
berbagai hal yang terjadi berdasarkan realita kehidupan.
Pemahaman akan kebudayaan tentang perempuan dan perannya dalam kehidupan
sosial sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan zaman. Secara tidak langsung
dalam ilmu antropologi perkembangan perempuan dalam menjalankan perannya
sebagai manusia yang universalitas mengalami keterpinggiran. Perbedaan itu menjadi
sebuah kenyataan identitas dan kodrat Tuhan yang tidak dapat berubah.
Keterpinggiran ini lahir disebabkan sistem nilai dalam budaya tertentu dan suatu
kultur menjadi simbol budaya.
3. Paradigma Fungsionalisme Dalam Feminisme
Aliran Fungsional struktural atau sering disebut aliran Fungsionalisme, adalah
mazhab arus utama (mainstream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Rober
Merton dan Talcott Parsons. Teori ini memang tidak secara langsung menyinggung
kaum perempuan. Namun keyakinan mereka bahwa masyarakat adalah suatu sistem
yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan (Agama, pendidikan, struktur politik
sampai keluarga) dan masing-masing bagian secara terus menerus mencari
keseimbangan (equilibrium) dan harmoni dalam menjelaskan posisi mereka tentang
kaum perempuan. Interelasi itu terjadi karena konsensus. Pola yang non normatif
dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal tersebut terjadi, maka masing-masing
bagian berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan
kembali. Bagi penganut teori ini masyarakat berubah secara evolusioner. Konflik
dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan
keseimbangan. Oleh karena itu harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional
bernilai tinggi dan harus ditegakan sedangkan konflik harus dihindarkan.Teori ini
menolak setiap usaha yang menggoncangkan status quo, termasuk berkenan dengan
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pengaruh fungsionalisme
ini dapat kita lihat pada pemikiran Feminisme Liberal.
4. Paradigma Konflik Dalam Feminisme
Paradigma konflik percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki
kepentingan (interest) dan kekuasaan ( power) yang adalah pusat dari setiap hubungan
sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Yang termasuk dalam
paradigma konflik yaitu:
a. Feminisme Radikal
Munculnya aliran ini dilatarbelakangi oleh adanya kultur diskriminasi
sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 60-an. Penganut aliran ini
muncul sebagai bentuk perlawanan atas kekerasan seksual dan pornografi yang
terjadi pada waktu itu
Sejumlah penganut feminis radikal, menyebutkan ada dua sistem kelas
sosial: pertama, sistem kelas ekonomi didasarkan pada hubungan produksi, kedua,
Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem kelas seks
dianggap menyebabkan penindasan terhadap perempuan. Konsep patriarki
menunjuk pada kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum laki-laki, yang
didasarkan pada pemilikan dan control laki-laki atas kapasitas reproduksi
perempuan. Para penganut feminism radikal tidak melihat adanya perbedaan atara
tujuan personal dan politik, unsur-unsur sosial atau biologis, sehingga dalam
melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh
laki-laki, akar permasalahannya pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta
ideology patriarkinya. Berasal dari pemahaman ini, aliran feminism menganggap
bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual,
adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Lebih lanjut aliran feminism
radikal, menyebutkan bahwa patriarki adalah sumber ideology penindasan yang
merupakan sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior
dan privilege ekonomi
b. Feminisme Marxis
Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologis
sebagai dasar pembedaan gender. Bagi kaum ini penindasan perempuan adalah
bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Menurut marx, hubungan
antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis, serta
tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh
berbagai cara dan alasan karena mengutungkan. Pertama, eksploitasi pulang
kerumah, yaitu suatu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki yang
dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh laki-laki yang dieksploitasi
oleh kapitalis ini, setelah sampai dirumah terlibat hubungan kerja dengan istrinya.
Dalam analisis ini sistem dan struktur hubungan antara kapitalis,buruh, dan
istrinya akhirnya menguntungkan pihak kapitalis. Kedua, kaum perempuan
dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh murah.
Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap oleh mereka
menguntungkan sistem kapitalisme karena dua alasan, yaitu upah buruh
perempuan sering kali lebih rendah daripada upah buruh laki-laki. Rendahnya upah
buruh perempuan ini lebih diperparah karena adanya anggapan masyarakat bahwa
perempuan pekerja tidak berupah (unpaid worker).Selain itu masuknya perempuan
dalam sektor perburuhan juga menguntungkan sistem kapitalisme, karena
perempuan dianggap sebagai tenaga cadangan yang tak terbatas. Akibatnya, posisi
tawar buruh semakin rendah, dan sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh,
dan akhirnya akumulasi kapital menjadi semakin cepat. Sehingga banyak analisis
yang menyimpulkan bahwa salah satu musuh kapitalisme adalah feminisme
c. Feminisme Sosialis
Aliran ini menurut melakukan sintesa antara metode historis materialistic Marx
dan Engels dengan gagasan personal is political (kaum radikal). Bagi mereka
penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, dan tidak serta merta menaikkan
posisi perempuan (pandangan ini lahir dari 2 tipe gerakan sebelumnya yang secara
tidak langsung saling berkesinambungan atau simbiosis mutualisme) karena tanpa
kesadaran kelas juga menimbulkan masalah (dari tipe Marx). Oleh karena itu
kedua tipe sebelumnya perlu dikawinkan yaitu analisis patriarki dan analisis kelas,
dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus
dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang
mengakibatkan dominasi, subordinasi dan marginalisasi atas kaum perempuan

5. Perempuan Dalam Budaya Patriarki


Perempuan adalah kelompok yang menurut konteks biologis berbeda dengan
dengan laki-laki, dan berbedaan tersebut dianggap menjadi dasar perbedaan di banyak
hal lainnya. Perempuan kemudian dipandang dalam berbagai pengertian, label yang
dilekatkan mulai dari kemampuannya, tugas-tugasnya dan sesuatu yang disebut
“kodrat” membuat perempuan mendapat posisi dibelakang. Dengan berbagai sterotipe
masyarakat yang sudah terbentuk tersebut membuat lingkup gerak perempuan menjadi
sangat terbatas. Perempuan sebagai kelompok yang ter suborganisasi tidak mempunyai
ruang yang memadai untuk mengoptimalkan potensi yang ia miliki dan meralisasikan
apa yang ia inginkan.
Konsep dasar yang digunakan sebagai pedoman dalam pola tingkah laku manusia
menyebabkan perempuan tersubordinasi secara universal yang disebabkan adanya
pemahaman dalam masyarakat antara perempuan yang dilekatkan dengan alam dan
laki-laki yang dikaitkan dengan budaya. Pengklasifikasian didasarkan pada fnngsi
biologis manusia. Meski pada saat ini nilai-nilai tersebut sudah mulai meluntur seiring
dengan perkembangan zaman, namun secara umum budaya seperti ini selanjutnya
disebut budaya patriarki, masih banyak kita jumpai di daerah Indonesia.
Kata patriarki berasal secara harfiah berarti “kekuasaan” bapak atau “patriarkh”
mulanya patriariki digunakan untuk menyebut satu jenis “keluarga yang dikuasi oleh
kaum laki-laki” , yaitu rumah tangga besar patriarch yang terdiri dari kaum perempuan
dan laki-laki muda, anak-anak, budak dan pelayan rumah tangga yang semuanya
dibawah kekuasaan laki-laki penguasa (bapak). Menurut Bahchin istilah patriarki
digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki.
Konsep patriarki pada awalnya dinakan oleh max waber untuk mengacu pada
bentukan system social yang mengagungkan dominan peran ayah dalam linkup
keluarga dan lingkup public seperti ekonomi. Kemudian kaum feminisme radikal
mempertegas bahwa dominasi laki-laki berada disemua bidang misalnya politik,
agama, dan jenis kelamin (seksualitas). Pada umumnya, alasan jenis kelamin
digunakan untuk membenarkan superioritas dan control laki-laki terhadap perempuan.
Akibatnya penindasan tersebut telah membuat perempuan tersubordinasi. Patriarki
memilah secara kaku peran social laki-laki dan perempuan ke dalam wilayah public
dan domestic. Publik domestic diidentikan dengan perempuan dan tanggung jawabnya
dalam pengasuhan anak. Sementara lingkup public diidentikan dengan laki-laki yang
berkaitan dengan hiraki dan dibentuk secara terpisah dari hubungan ibu dan anak,
sehingga laki-laki dapat bebas untuk membentuk organisasi yang hirarkis karena tidak
terikat dalam masalah pengasuhan anak.
Dari segi sosiologi sumber kuasa paling penting yang mendasari patriarki adalah
“kewenangan” yaitu hak dari seseorang yang menguasai kedudukan social tertentu
untuk membuat keputusan bagi pihak lain (hal yang disetujui orang lain). Patriarki
adalah system social yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama dalam
organisasi social, baik dalam keluarga maupun dalam publik .
Adapun hal yang yang berpengaruh terhadap perempuan dengan adanya budaya
patriarki adalah munculnya ketidaksetaraan gender, yang membuat perempuan
terpinggirkan/mendapat posisi di belakang laki-laki.
B. VAGINAL BIRTH AFTER CAESAREAN
Ada kalanya wanita dan pasangan ingin melahirkan normal setelah melahirkan
caesar.  Alasannya beragam, karena alasan ekonomi (lebih murah), ingin proses
penyembuhan lebih cepat atau sekadar merasakan sensasi melahirkan secara alami.
Ada beberapa anggapan wanita yang pernah melahirkan caesar, tidak bisa lagi
melahirkan normal. Itu tidak sepenuhnya benar. Ada yang namanya vaginal birth after
cesarean (VBAC), yakni prosedur persalinan normal setelah caesar. Dilansir dari WebMD,
media kesehatan terkemuka di dunia, sebuah penelitian menunjukkan sekitar 75% wanita
berhasil menjalani prosedur VBAC. Studi ini juga menunjukkan bahwa tingkat komplikasi
setelah melahirkan lebih rendah daripada ibu hamil yang merencanakan operasi caesar
untuk yang kedua kalinya. 
1. Pengertian
Vaginal after birth cesarean (VBAC) adalah istilah yang digunakan untuk prosedur
kelahiran normal setelah seseorang pernah menjalani operasi caesar atau c-section di
kehamilan sebelumnya. 
Vaginal Birth After Caesarean Section (VBAC) adalah persalinan pervaginam
pada seorang ibu hamil yang sebelumnya mempunyai riwayat seksio sesarea.
Perencanaan VBAC menunjuk ke setiap maternal yang memiliki riwayat seksio
sesarea dan berencana untuk melahirkan pervaginam dibandingkan seksio sesarea
ulangan elektif. (SOGC Guidelines for Vaginal Birth After Previous Caesarean Birth,
2012)
Menurut American Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), metode
VBAC bisa menjadi pilihan yang aman dan tepat, karena tingkat keberhasilan VBAC
sudah banyak dibuktikan oleh banyak ibu hamil yang pernah melahirkan caesar
sebelumnya. 
Penting diketahui bahwa VBAC dapat bekerja dengan baik pada wanita yang baru
satu kali menjalani caesar. Untuk diperlukan serangkaian tes terlebih dahulu untuk
menentukan apakah Anda kandidat VBAC yang ideal. Namun, tetap harus waspada
dengan risiko VBAC yang mungkin dialami.
2. Wanita yang boleh melahirkan VBAC
a. Kepala bayi berada di bawah/Presentasi kepala
b. Berat badan bayi < 3500 gram
c. Ketebalan segmen bawah Rahim (melalui USG)
d. Tulang panggul cukup besar
e. Tidak memiliki kondisi medis kronis yang memengaruhi tingkat keberhasilan
VBAC, seperti fibroid dan plasenta previa. 
f. Melahirkan secara ceasesar baru satu kali
3. Wanita yang tidak boleh melahirkan VBAC
a. Pernah melahirkan caesar lebih dari satu kali.
b. Rendahnya indeks massa tubuh (BMI) selama kehamilan.
c. Usia kehamilan sangat singkat, yaitu kurang dari 18 minggu. 
d. Sedang hamil bayi kembar tiga atau kelipatan lebih tinggi.
e. Bayi makrosomia, yaitu berat badan lahir bayi lebih dari 4.000 gram.
f. Pernah melahirkan caesar dengan jenis sayatan vertikal atau bentuk T
g. Pernah mengalami rahim robek (ruptur uteri) di kehamilan sebelumnya.
h. Hamil di usia yang terlalu tua, sehingga tidak memungkinkan untuk prosedur
VBAC.
i. Pernah menjalani operasi rahim sebelumnya, seperti pengangkatan tumor rahim
jinak (fibroid).
j. Usia kehamilan Anda sudah lebih dari 40 minggu, sehingga membutuhkan
tindakan operasi caesar.
4. Manfaat VBAC
Wanita hamil sebaiknya mempertimbangkan apa saja manfaat VBAC, di antaranya:
a. Menghindari Pembedahan
b. Menghindari risiko dan komplikasi yang berhubungan dengan pembedahan
c. Durasi pemulihan yang lebih singkat. Waktu rawat inap yang dibutuhkan setelah
VBAC lebih pendek daripada setelah operasi caesar berulang. Melakukan prosedur
VBAC membantu Anda lebih cepat melanjutkan aktivitas normal dan mengurangi
biaya melahirkan. 
d. Mengurangi risiko pada kehamilan berikutnya. Jika Anda berencana memiliki
keluarga besar, VBAC dapat membantu Anda untuk mengurangi risiko kelahiran
caesar, seperti kerusakan jaringan parut yang menyulitkan pembedahan dan
menyebabkan plasenta previa pada kehamilan.
e. Risiko komplikasi persalinan lebih rendah. Persalinan normal mengurangi risiko
perdarahan, pembekuan darah, infeksi, dan cedera pada organ perut seperti
kandung kemih atau usus. 
5. Risiko VBAC
Prosedur VBAC kerap dikaitkan dengan komplikasi yang lebih rendah daripada
operasi caesar, tetapi ada kemungkinan terburuk dari VBAC, yaitu kegagalan ibu
menjalani persalinan normal dengan sempurna. 
Kegagalan tersebut bisa menyebabkan rahim robek (ruptur uteri) karena bekas
sayatan operasi caesar sebelumnya kembali terbuka. Jika kondisinya seperti ini,
terpaksa dokter akan mengambil tindakan operasi caesar guna mencegah komplikasi
lebih lanjut yang meliputi infeksi, perdarahan hebat, hingga bayi cacat.

6. Persiapan Sebelum melahirkan VBAC


Apabila sudah memutuskan untuk melahirkan secara VBAC, persiapkan diri dengan:
a. Mempelajari apa itu VBAC, manfaat, risiko, dan prosedur persalinan.
b. Merencanakan kelahiran bayi di rumah sakit dengan fasilitas yang lengkap.
c. Memastikan tidak ada masalah dengan plasenta atau tali pusar dan posisi bayi
dalam keadaan normal.
d. Membiarkan persalinan dimulai secara alami tanpa persalinan induksi untuk
mengurangi kemungkinan operasi caesar. Sebab induksi persalinan dapat
menyebabkan pecahnya sayatan operasi caesar sebelumnya. Sebaiknya Anda
menjalani proses persalinan sealami mungkin agar lebih aman dan lancar.
e.  Ibu hamil hanya perlu melakukan olahraga ringan untuk menjaga kesehatan serta
berat badan selama kehamilan. Kondisi yang sehat akan mengoptimalkan tubuh
ibu dan bayi sebelum menghadapi prosedur VBAC. Misalnya olahraga
dengan gym ball yang berfungsi melenturkan area pinggang, pinggul, serta miss V,
sehingga proses melahirkan lebih cepat tanpa perlu berlama-lama merasakan
kontraksi. 
f. Tingkatkan kepercayaan diri. Keberhasilan VBAC tergantung kesiapan fisik dan
mental ibu hamil. Saat persiapan, buang rasa takut dan khawatir.

Pengalaman melahirkan sebelumnya dapat mempengaruhi seseorang ibu untuk


memilih proses persalinan apa yang diinginkan. Bila seorang ibu merasa trouma
dengan pengalaman melahirkan secara normal bisa jadi untuk persalinan berikutnya
akan memilih untuk melahirkan Sectio caesarea, begitu pula sebaliknya. Sedangkan
bila merasa nyaman dengan melahirkan normal maka akan memilih untuk melahirkan
normal begitu pula sebaliknya. Yang sering terjadi adalah seorang ibu yang
pengalaman pertama melahirkan sectio caesarea akan cendrung akan melahirkan sectio
caesarea kembali dengan alasan kesehatan. Persalinan sectio caesarea dengan irisan
perut dan rahim secara vertikal membuat ibu hamil rentan mengalami perobekan pada
rahim saat mengejan pada proses persalinan normal yang dapat berpotensi
menyebabkan perdarahan. Oleh karena itu, untuk menghindari morbiditas dan
mortalitas pada ibu dengan riwayat sectio caesarea terutama sectio caesarea dengan
irisan vertikal, maka persalinan sectio caesarea menjadi pilihan
7. Perencanaan VBAC (New Zealand Guidelines, 2004 dalam Queensland Maternity and
NeonatalGudeline,2009)

C. PERSIAPAN PERSALINAN & KELAHIRAN PADA KEBUTUAN KHUSUS


1. Pengertian Persalinan
Persalinan adalah proses fisiologi dimana uterus akan mengeluarkan atau berupaya
mengeluarkan janin dan placenta setelah kehamilan 20 minggu atau lebih dan dapat
hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau jalan lain dengan bantuan atau tanpa
bantuan.
2. Persiapan Persalinan
Persiapan diartikan sebagai suatu program instruksi yang bertujuan tertentu dan
berstruktur (Matterson, 2001). Persiapan persalinan bertujuan untuk menyiapkan
semua kebutuhan selama kehamilan maupun proses persalinan. Persiapan persalinan
adalah segala sesuatu yang disiapkan dalam hal menyambut kelahiran anak oleh ibu
hamil. Persiapan persalinan 10 pada trimester III meliputi faktor resiko ibu dan janin,
perubahan psikologi dan fisiologi, tanda tanda bahaya dan bagaimana meresponnya,
perasaan mengenai melahirkan dan perkembangan bayi, tanda-tanda saat hendak
melahirkan, respon terhadap kelahiran, ukuran-ukuran kenyamanan situasi kelahiran
cesar dan perawatan yang terpusat pada keluarga.
Persiapan persalinan merupakan salah satu program pada desa Siaga yaitu desa
yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan
untuk mencegah dan mengatasi masalah masalah kesehatan, bencana dan
kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Dalam program desa siaga dimana para
bidan desa, tokoh masyarakat, ikut aktif berperan menangani kesehatan dan membantu
persalinan kepada ibu hamil dan ibu melahirkan dan melakukan pemeriksaan ibu.
(Depkes, 2004).
Persiapan persalinan mempunyai beberapa hal, menurut Bobak, Lowdermild,
Jensen ada 4 hal,yaitu :fisik, psikologis, finansial, kultural.
3. Persiapan Persalinan dan Kelahiran Dalam Permasalahan Budaya Proses
Persalinan
Persalinan dapat terjadi secara alami dengan atau tanpa pertolongan, namun
banyak hal mungkin terjadi dalam proses persalinan yang dapat membahayakan jiwa
ibu dan bayi misalnya perdarahan, partus lama, eklamsi, infeksi dan lain-lain . Salah
satu contohnya, Lima tema budaya yang menjadi akar perilaku ibu-ibu Suku
Amungme dan Suku Kamoro (Mimika papua) dalam penanganan persalinannya
adalah sebagai berikut:
a. Tema budaya pertama, penduduk mempercayai bahwa darah dan kotoran
persalinan dapat menimbulkan penyakit yang mengerikan bagi laki-laki dan anak-
anak, karena itu ibu bersalin harus dijauhkan atau disembunyikan. Pada penduduk
yang masih tinggal di pedalaman lokasi penyingkiran ibu bersalin ini berada di
luar radius 500 meter dari perkampungan. Di desa pemukiman baru ini meskipun
mereka sudah tinggal selama lebih dari 10 tahun, masih tetap ada akar budaya jijik
atau takut terhadap perempuan yang sedang bersalin. Hal ini terlihat dari tempat
ibu-ibu melakukan persalinan di rumah bisa; di dalam kamar mandi, di dapur, di
bawah rumah, atau di tempat khusus yang dibuat di belakang rumah hutan (bivak).
Ini menunjukkan bahwa meskipun sudah tinggal di pemukiman baru, ibu tetap
tidak berani melanggar tradisi dengan mengurung diri di bagian belakang rumah
sementara suami dan anak-anak menunggu di ruang depan rumah.
Kepercayaan ini sangat memojokkan posisi perempuan dan sangat merugikan
kesehatannya, saat perempuan yang berjuang untuk tugas reproduksi yang
berbahaya tidak mendapat perhatian dari suaminya. Cara penanganan persalinan
juga sering bertentangan dengan cara pelayanan kesehatan modem misalnya posisi
jongkok di toilet, pemotongan dan pengikatan tali pusat dengan tali rafia atau akar
pohon.
b. Tema budaya kedua, perempuan tabu membuka aurat paha di depan orang yang
belum dikenal meski untuk pengobatan atau persalinan. Kepercayaan ini makin
memperkuat ibu-ibu untuk tidak berani meminta melakukan persalinan di rumah
sakit, klinik, Puskesmas meskipun jaraknya dekat dan tidak membayar sama
sekali. Dia khawatir disalah artikan oleh suami bahwa dia mau melanggar tradisi
memanjakan diri makan tidur sementara dirumah, tetangga atau suami yang
mencarikan makanan bagi diri dan anak-anaknya. Bila ada indikasi yang
mengharuskan untuk minta bantuan pihak lain, maka perlu dirembukkan dulu atau
minta izin suami dan keluarganya karena ini merupakan tanggung jawab semua
kerabat. Bagi suku Kamoro prinsip ini merupakan prinsip Iwoto (kasih sayang atau
kepedulian terhadap keluarga).
c. Tema budaya ketiga, penduduk meyakini bahwa asap kayu bakar membawa
kekuatan bagi orang yang sakit atau lemah terrnasuk ibu yang sedang melahirkan.
Untuk prinsip iwoto itu juga maka suami membantu dalam proses persalinan
istrinya dengan menghidupkan dan menjaga api kayu bakar apinya selalu hidup dan
asapnya bertiup mengarah ke tempat ibu dan bayi. Dalam proses persalinannya ibu
berusaha mendapat kekuatan dengan rnenghirup asap sebanyak-banyaknya, karena
yakin asap membawa kekuatan dari roh atau mbii untuk melancarkan persalinan.
Keyakinan ini secara fisik merugikan kesehatan ibu dan bayi yang memungkinkan
terjadinya sesak dan infeksi saluran nafas.
d. Tema budaya keempat, kematian ibu dipercayai karena ibu tersebut mendapat
kutukan dari tuan tanah (teheta) atau roh nenek moyang. Kemalangan yang
menimpa ibu karena ketidaktahuan dan tidak adanya bantuan pelayanan yang
seharusnya rnenjadi hak kesehatan reproduksinya dianggap wajar karena
kesalahannya sendiri. Prinsip ini membuat nasib kaum perempuan Papua makin
terpinggirkan. Peristiwa kematian ibu kurang mendapat perhatian selayaknya bagi
banyak penduduk pedesaan, mereka menganggap itu peristiwa yang wajar dianggap
mati syahid bahkan akan masuk syurga. Ada pula masyarakat menganggap
persalinan suatu peristiwa yang mengerikan, misalnya arwah ibu dapat menjadi
kuntilanak atau leak. Karena itu sering kematian itu disembunyikan atau tidak
dilaporkan.
e. Tema budaya kelima, adanya larangan bagi ibu untuk mandi sebelum pesta kerabat
yang biasanya diadakan 1-2 minggu setelah persalinan. Dalam kesempatan ini ibu
boleh mandi sendiri atau dimandikan ibu-ibu lain sambil bernyanyi beramai-ramai.
Setelah itu diberikan kebebasan bagi ibu untuk melakukan hubungan seksual
dengan suami. Selama belum diadakan pesta suami dilarang makan minum dan
tidur di rumah, hams di rumah keluarga yang lain atau di rumah tetangga. Akibat
negatif bagi kesehatan ibu dari larangan mandi ini yaitu akan timbul berbagai
macam penyakit infeksi yang juga dapat menular kepada bayinya. Hubungan
seksual 1-2 minggu setelah persalinan bagi tubuh ibu yang belum pulih sempurna
dapat menyebabkan kerusakan dan infeksi pada alat kelamin ibu. Ibu memaksakan
diri, tegang dan nyeri sehingga tidak bisa menikmati hubungan seks aman dan
menyenangkan yang merupakan hak reproduksinya.
Dari penjelasan diatas diketahui masih banyak tema budaya penduduk suku Amungme
dan suku Kamoro yang merugikan kesehatan ibu karena masih sarat dengan diskriminasi
gender dan mengabaikan hak-hak reproduksi perempuan. Cara cara pengobatan tradi-
sional kadang kadang bertentangan dengan pengobatan ilmiah dan perilaku ibu-ibu dalam
masa kehamilan, persalinan dan setelah persalinan dilandasi oleh beberapa tema budaya
yang sangat diskriminatif dan kurang mendukung kesehatan ibu.
Untuk mengubah budaya yang merugikan menjadi menguntungkan kesehatan ibu
bukan suatu ha1 yang mudah. Penggalian tema budaya yang diikuti dengan pendekatan
etnografi secara perlahan-lahan yang dilakukan tanpa menyinggung perasaan penduduk
dan tanpa mereka merasa dipersalahkan akan lebih berhasil daripada pelaksanaan program
program yang seragam bagi semua etnis di Indonesia yang sering tidak sesuai dengan
budaya setempat sehingga bisa mengalami kegagalan.
D. PERAWATAN ANAK PADA IBU BERKEBUTUHAN KHUSUS
1. Pengertian Pengasuhan
Pengasuhan adalah proses interaksi antara orang tua dan anak. Kenyataanya
pengasuhan tidak hanya dilakukan orang tua, namun oleh keluarga maupun
masyarakat. Pengasuhan orang tua dengan suasana penuh kasih sayang, menerima apa
adanya, menghargai potensi, memberi rangsangan yang optimal untuk segala aspek
perkembangan anak merupakan jawaban nyata bagi tumbuhnya generasi unggul di
masa depan.
Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa dalam pengasuhan terdapat beragam
aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat
bertahan hidup dengan baik. Pengasuh utama bagi anak adalah orang tua, karena itu
anak sangat membutuhkan orang tua sebagai pribadi yang utuh dan sempurna.
Berbeda dengan orang tua yang memiliki kekurangan fisik atau jasmani. Salah satu
contohnya adalah kelumpuhan pada kaki, maka orang tua tidak dapat dengan leluasa
menggendong anaknya, sehingga anaknya mungkin merasa kecewa bahwasanya dia
tidak dapat digendong seperti teman-temannya.Sama halnya dengan orang tua yang
mempunyai kekurangan fisik seperti tidak dapat melihat (tunanetra). Orang tua dengan
kekurangan seperti ini mempunyai pola asuh yang berbeda dengan orangtua pada
umumnya yang tidak memiliki kekurangan.
Selama ini stigma masyarakat dan diskriminasi terhadap penyandang Disabilitas
kurang begitu jelas, lebih-lebih dalam pekerjaan dan kehidupan sosial, penyandang
disabilitas sering dianggap tidak bisa melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Selama
ini banyak kasus orang tua memberikan pengasuhan yang terbaik bagi anak mereka
yang merupakan penyandang disabilitas. Pengasuhan yang mereka berikan kepada
anaknya sesuai dengan kondisi disabilitas yang mereka sandang. Pada kasus ibu
dengan disabilitas mental apabila dalam masa pengasuhan harus melalui proses
rehabilitasi untuk pemulihan agar tidak berakibat fatal pada anaknya.
2. Pola Asuh Anak Bagi Perempuan Penyandang Disabilitas
Disabilitas adalah sebuah konsep yang menjelaskan hasil dari interaksi antara
individu-individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual dengan
sikap dan lingkungan yang menjadi penghambat kemampuan mereka berpartisipasi di
masyarakat secara penuh dan sama dengan orang-orang lainnya. Pengakuan ini secara
tidak langsung menyatakan bahwa persoalan hambatan berpartisipasi harus menjadi
tanggung jawab masyarakat dan Negara juga.
a. Pola Asuh Authoritative Parenting (Pola asuh demokrasi)
Pola asuh orang tua dengan demoktaris membantu anak untuk belajar
tanggung jawab bagi mereka sendiri dan berpikir tentang konsekuensi atas perilaku
mereka sendiri. orang tua melakukan hal ini dengan jelas, harapan yang bisa
dijelaskan bagi anaknya dan menjelaskan mengapa mengharapkan anaknya untuk
melakukan sikap tertentu. Mereka mengawasi perilaku anak mereka untuk
meyakinkan bahwa mereka mengikuti aturan dan harapan. Mereka melakukan ini
dalam sikap kehangatan cinta (Lannelli Vincent, 2004).
Upaya orang tua demoktaris untuk mengarahkan kegiatan anak tetap dalam
rasionalitas, isu berorientasi pada cara. Orang tua lebih memberi secara verbal dan
menerima. Otonomi anak akan diri dan disiplin sangat diharapkan. Orang tua
memaksa perspektif sendiri sebagai orang dewasa, tetapi mengakui kepentingan
individu dan anak dengan cara khusus. Orang tua otoritatif hadir tidak hanya
menegaskan kualitas anak, tetapi juga menetapkan standar untuk melakukan masa
depan. Dia menggunakan alasan, kekuatan, dan membentuk aturan dan penguatan
untuk mencapai tujuannya, dan tidak mendasarkan keputusan di atas komponen
kelomok atau individu kepentingan anak (Baumrind, 1966).
b. Pola Asuh Authoritarian Parenting (Pola asuh otoriter)
Pola asuh otoriter memberi sedikit keterangan atau bahkan tidak memberikan
keterangan pada anak tentang alasan-alasan mana yang dapat dilakukan dan mana
yang tidak boleh dilakukan, mengabaikan alasan-alasan yang masuk akal dan anak
tidak diberikan kesempatan menjelaskannya, hukuman diberikan orangtua kepada
anak yang melakukan kesalahan, hadiah atau penghargaan (reward) jarang
diberikan kepada anak yang telah melakukan perbuatan baik atau telah
menunjukan prestasinya. Orang tua jenis ini tidak mengenal kompromi dan dalam
komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua jenis ini tidak memerlukan
umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.
Orang tua yang otoriter selalu mencoba mengendalikan dan memaksakan
pengendalian itu pada anak mereka. Orang tua menyusun aturan kaku untuk
mencoba menjaga pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan pada anak, dan
mereka umumnya melakukan ini tanpa banyak ekspresi kehangatan dan perasaan
(Baumrind, 1966). Mereka mencoba menyusun standar kaku dalam kepemimpinan
dan umumnya sangat kritis pada anak jika tidak sesuai dengan standar orang tua.
Mereka mencoba anknya patuh dan tidak menyediakan anak dengan pilihan atau
alternatif.
c. Pola Asuh Permissive Parenting Style (pola asuh permisif)
Pola asuh permisif membuat beberapa peraturan dan mengijinkan anak-
anaknya untuk memonitor kegiatan mereka sebanyak mungkin. Ketika mereka
membuat peraturan biasanya mereka menjelaskannya terlebih dahulu, orang tua
berdiskusi dahulu dengan anak dan orang tua tidak mau menghukum anak jika
melakukan pelanggaran. Orang tua membuat beberapa atau sedikit aturan yang
mereka buat sering tidak konsisten ditegakan. Mereka tidak ingin terikat pada
rutinitas. Dia ingin anaknya merasakan kebebasan. Mereka tidak menyusun
batasan yang jelas atau harapan terhadap perilaku anak mereka dan cenderung
menerima dalam kehangatan dan cinta walaupun kelakuan anak negatif (Lannelli
Vincent, 2004). Mereka cenderung menerima perilaku anak baik atau buruk dan
tidak banyak mengomentari apakah itu menguntungkan atau tidak.
Pengasuhan yang dilakukan pada ibu penyandang disabilitas seperti pengasuhan
pada umumnya, yang membedakan hanya adanya keterbatasan kondisi ibu yang
menyebabkan ibu disabilitas terkadang tidak bisa seperti ibu yang lain. Namun pada
dasarnya seorang ibu mempunyai rasa kasih sayang dan respon yang besar pada
anaknya dan akan sebisa mungkin menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Hal ini
yang menjadikan ibu penyandang disabilitas mampu memberikan pengasuhan yang
baik pada anaknya. Sekolah dan pengasuhan orang tua yang responsif mendukung
keberhasilan perkembangan keterampilan
3. Hambatan
Setiap keluarga pasti berhadapan dengan masalah-masalah baik yang berkaitan
dengan pasangan maupun hal yang berkenaan dengan pengasuhan anak, tidak sering
hambatan ini menjadi hal yang sangat mengganggu. Pada ibu penyandang disabilitas
hambatan yang dialami merupakan salah satu resiko disabilitas yang dimilikinya
namun bukan menjadi sesuatu yang harus disesali setiap saat. Hal ini sesuai dengan
Rahmawati (2012) bahwa orangtua penyandang disabilitas dalam hal ini pada cacat
tuna netra, mempunyai hambatan dalam mengasuh anak seperti tidak dapat
mengontrol secara penuh kegiatan anak sehari-hari dan adanya rasa kekhawatiran
terhadap kondisi anak dalam pergaulan sehari-hari. Namun penyandang tuna netra
mempunyai strategi atau upaya untuk mengatasi hambatan tersebut dengan menjalin
hubungan baik dengan tetangga dan lingkungan sekitar, menggunakan peran pihak
ketiga, dan dapat mengoptimalkan peran sumber daya manusia yang ada dalam
keluarga.
4. Dukungan
Dukungan keluarga maupun lingkungan menjadi salah satu kunci keberhasilan
pengasuhan wanita penyandang disabilitas sebagai ibu. Adanya dukungan dari
berbagai pihak akan menimbulkan rasa percaya diri informan terhadap pengasuhan
yang informan berikan pada anaknya dan bersikap optimis dan realistis dalam
menghadapi hambatan yang terjadi.
Hal ini sesuai dengan Hurlock (2012) bahwa pola kepribadian melalui konsep diri
didapat melalui dukungan dari teman terdekat maupun keluarga ikut mempengaruhi,
apabila konsep diri yang positif serta mendapat dukungan dari lingkungan terdekat
individu maka menumbuhkan rasa kepercayaan dalam diri sehingga individu dapat
bertanggung jawab terhadap tindakan yang telah diperbuat, berani mencoba hal baru,
selalu bersikap optimis dalam menghadapi kesulitan.
Hasil penelitian Farida (2011) menunjukkan bahwa Tanggung jawab kebersamaan
ayah dan ibu dalam menjalankan peran pengasuhan cukup tinggi. Ayah turut
memberikan kontribusi penting bagi perkembangan anak, pengalaman yang dialami
bersama dengan ayah, akan mempengaruhi seorang anak hingga dewasa nantinya.
Temuan mengenai rata-rata waktu yang digunakan ayah dalam berinteraksi dengan
anak adalah 6 jam. Secara kuantitas dapat dikatakan bahwa waktu ayah bersama anak
cukup memadai untuk melakukan aktifitas bersama dengan anak.
5. Pola Asuh Anak Wanita Tuna Netra
Orang tua yang menyandang tunanetra tentu saja mempunyai suatu pola atau pun
cara tertentu dalam mendidik dan mengasuh anak-anak mereka. Meskipun mereka
tidak terlahir dengan kondisi normal seperti manusia lainnya. Namun orang tua
tunanetra tetap akan berusaha membina keluarga dan anaknya agar menjadi pribadi
yang baik dan membanggakan orang tua. Berbeda dengan orang tua yang sehat dan
bugar secara jasmani dapat mendampingi, mengawasi dan membimbing anak dalam
melakukan kegiatan seperti belajar atau bermain, juga dapat membantu mengatasi
kesulitan yang dihadapi anak dalam melakukan suatu kegiatan.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, jenis pola asuh yang digunakan orang
tua tuna netra ada dua yaitu demokratis dan otoriter. Pola asuh demokratis digunakan
orang tua tunanetra sehari-hari ketika melakukan diskusi ringan dengan anak,
mendengarkan keluh kesah yang dihadapi anak, serta mendengarkan keinginan atau
harapan dan cita-cita anak. Pola asuh authoritative atau demokratis adalah pola asuh
yang memberikan ruang dan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat,
dan melakukan apa yang diinginkan anak namun tetap dalam batasan dan pengawasan
orang tua.
Orang tua tunanetra dalam pola asuh demokratis selalu memberikan bimbingan
dan arahan dengan penuh pengertian. Hal ini sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh (Baumrind, 1966) bahwa ‘Pola asuh otoritatif atau demokratis
adalah gaya pola asuh yang mendorong anak untuk mandiri, namun masih
menempatkan batas kendali pada tindakan mereka..
Dalam hal pengasuhan anak orang tua tunanetra ini menerapkan pola asuh sama
halnya dengan orang tua yang normal pada umumnya. Pola asuh tunanetra kepada
anaknya yang sering dipakai adalah pola asuh demokratis dan otoriter.
Adapun kendala-kendala yang dialami oleh orang tua tunanetra yakni mengawasi
kegiatan atau pergaulan anak dan membantu anak dalam belajar atau menyelesaikan
tugas-tugas sekolah, misalnya dalam mengawasi kegiatan anak dan memberikan
pelajaran tambahan kepada anak. Ada dua upaya yang dilakukan oleh orang tua
tunanetra dalam mengatasi kendala pola asuh yakni. Pertama melakukan tindakan
preventif (memberikan peringatan kepada anak) dan represif adalah dengan
memberikan hukuman-hukuman kecil
6. Kajian Jurnal : Andre Pratama, Armaini. Pola Asuh Orang Tua Disabilitas Tunanetra
dan Implementasinya Terhadap Pembentukkan Karakter Anak Awas. Jurnal Penelitian
Pendidikan Kebutuhan Khusus. Volume 9 Nomor 2 Tahun 2021 ISSN: Online 2622-
5077
Pertama, karakter religius merupakan sikap patuh terhadap pelaksanaan ajaran
agama yang di anutnya. Nilai karakter religius yang ditanamkan oleh orang tua
tunanetra berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua tunanetra bahwa dalam
penanaman sikap religius terhadap anak dilakukan dengan cara, melaksanakan sholat,
mengaji, kemudian mengucapkan salam ketika keluar masuk rumah, dan membaca
doa ketika akan makan.
Kedua, karakter tanggungjawab merupakan sikap sesorang individu dalam
melaksanakan tugasnya baik yang berhubungan dengan diri sendiri, masyarakat,
maupun lingkungan (Hasanah, 2016: 76). Dengan demikian, untuk dapat menanamkan
sikap tanggungjawab kepada anak dapat dilakukan dengan membagi tugas terhadap
anak hal tersebut bertujuan membentuk kepercayaan pada diri anak agar dapat
menyelesaikannya dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara di dalam penerapan
sikap tanggungjawab dari orang tua tunanetra terhadap anaknya adalah dengan
membiasakan anak meletakkan kembali barang-barang pada tempatnya yang telah
digunakan oleh anak.
Ketiga, disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku patuh terhadap
berbagai peraturan yang ada baik di lingkungan rumah maupun masyarakat. Hal ini
sejalan dengan hasil wawancara orang tua yang menyebutkan bahwa dalam
membentuk sikap disiplin kepada anak dengan membiasakan anak melaksanakan
sholat tepat pada waktunya. Menurut (Nenci Permata Sari, 2016: 5) berdasarkan hasil
penelitiannya menjelaskan bahwa dalam membentuk perilaku disiplin kepada anak
orang tua dengan menetapkan dengan baik waktu tidur anak kemudian dalam
memberikan aturan hendaknya memberikan dengan jelas dan sederhana agar mudah
kerjakan anak, aturan tersebut hendaknya dijalankan oleh orang tua dengan konsisten.
Empat, mandiri merupakan sikap yang tidak memiliki kebergantungan terhadap
orang tua maupun orang sekitar. Anak mampu melaksanakan sendiri berbagai kegiatan
yang dapat dilakukan oleh anak seusianya. Hal ini penting dilakukan oleh orang tua
dimana dengan keterbatasan yang dimiliki sudah selayaknya orang tua membentuk
sikap mandiri kepada anak. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara bahwa dalam hal
pembentukkan sikap kemandirian terhadap anak di bentuk dengan membiasakan anak
untuk melakukan aktivitas sehari-hari sendiri sesuai dengan batas kemamapuan dan
tahapan perkembangan anak (Rika Sa’diyah, 2017: 35).
Lima, jujur merupakan perilaku yang mencerminkan kepercayaan terhadap
perkataan maupun perbuatan (Hasanah, 2016: 76). Dalam menanamkan karakter jujur
terhadap anak orang tua perlu menjadi tauladan bagi anak jika dalam kehidupan
sehari-hari orang tua berkata jujur kepada anak maka anak juga akan berkata jujur
kepada orang tua. Berdasarkan hasil wawancara dalam membentuk karakter jujur
terhadap anak orang tua membiasakan untuk berkata apa adanya ketika terjadi sesuatu.
Enam, hormat dan santun merupakan sikap menghargai orang lain dengan berlaku
baik sedangkan santun merupakan cara berbahasa dan berprilaku lemah lembut
terhadap diri sendiri, orang tua, dan orang lain. berdasarkan hasil wawancara
menyebutkan bahwa dalam membentuk karakter hormat dan santun kepada anak telah
dilakukan dengan anak tidak boleh membantah dan berbicara nada yang keras kepada
orang tua.
Ketujuh, kasih sayang merupakan sikap cinta yang ditunjukkan oleh orang tua
untuk tetap mencintai anaknya dengan tidak memanjakan anak. Hal ini berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan bahwa dalam kasih sayang orang tua tidak
mengikuti semua keinginan anak, orang tua hanya memberika apa yang dibutuhkan
oleh anak.
Kedelapan, peduli sikap kepedulian merupakan sikap yang menunjukkan untuk
selalu memberikan batuan terhadap sesama maupun terhadap lingkungan agar
terhindar dari kerusakan. Hasil wawancara pembentukkan karakter kepedulian
terhadap sesama dan lingkungan di bentuk oleh orang tua dengan membantu teman
jika terjadi sesuatu, membantu orang lain, dan membiasakan anak untuk membuang
sampah pada tempatnya.
Kesembilan, kerjasama merupakan sikap berbagi peran terhadap aktivitas yang
ada. Berdasarkan hasil wawancara dalam membentuk karakter kerjasama orang tua
tunanetra membiasakan anak untuk membantu orang tua. Hal ini didukung dengan
hasil pengamatan bahwa anak kedapatan membantu mendampingi orang tua ketika
pergi ke warung, pergi bercukur, dan pergi ke pasar.
Kesepuluh, percaya diri hal ini merupakan pembentukkan sikap yang dilakukan
oleh orang tua agar anak merasa percaya atas kemampuan yang dimiliki anak.
Dikarenakan orang tua memiliki hambatan dalam hal percaya diri orang tua
menanamkan sikap percaya diri terhadap anak untuk tidak minder dengan keadaan
orang tua kepada teman-teman
Kesebelas, kreatif dalam membentuk sikap kreatif anak berdasarkan hasil
wawancara orang tua adalah dengan memfasilitasi kegemaran anak dalam mewarnai,
seperti menyediakan pensil warna dan buku-buku agenda yang berisikan gambar.
Kedua belas, kerja keras merupakan upaya bersungguh-sungguh dalam
menyelesaikan tugas serta berbagai hambatan dalam kegiatan belajar. dalam
pembentukkan sikap kerja keras yang ditanamakan oleh orang tua tunanetra
berdasarkan hasil wawanca adalah dengan membiasakan anak untuk menyelesaikan
tugas hingga selesai.
Ketiga belas, baik dan rendah hati merupakan sikap gemar membantu, menghargai,
tidak menyombongkan diri, dan suka menebar kebaikan. Dalam pembentukkan
karakter baik dan rendah hati terhadap anak berdasarkan hasil wawancara orang tua
dalam membentuk karakter baik dan rendah hati terhadap anak jika anak memiliki
barang tidak boleh memamerkan kepada temannya.

E. PROMOSI KENORMALAN PADA IBU BERKEBUTUHAN KHUSUS


1. Pengertian Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, sehingga mereka
melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi kesehatan. Dan
batasan ini tersirat unsur-unsur input (sasaran dan pendidik dari pendidikan), proses
(upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain) dan output (melakukan
apa yang diharapkan). Hasil yang diharapkan dari suatu promosi kesehatan adalah
perilaku kesehatan, atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang
kondusif oleh sasaran dari promosi kesehatan.
WHO Promosi Kesehatan adalah proses untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu untuk
mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, dan sosial, maka
masyarakat harus mampu mengenal serta mewujudkan aspirasinya, kebutuhannya, dan
mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial budaya dan
sebagainya).
Agar promosi kesehatan dapat berjalan secara sistematis, terarah dan terencana
sesuai konsep promosi kesehatan bahwa individu dan masyarakat bukan hanya sebagai
objek/sasaran yang pasif menunggu tetapi juga sebagai pelaku maka perlu pengelolaan
program promosi kesehatan mulai dari pengkajian, perencanaan, penggerakan
pelaksanaan, pemantauan dan penilaian. Dan agar promosi kesehatan berjalan secara
efektif dan efesien maka pesan harus sesuai dengan karakteristik serta kebutuhan /
masalah sasaran. Sasaran utama promosi kesehatan adalah masyarakat khususnya
perilaku masyarakat. Karena terbatasnya sumber daya, akan tidak efektif apabila
upaya atau kegiatan promosi kesehatan langsung dialamatkan kepada masyarakat, oleh
karena itu perlu dilakukan pentahapan sasaran promosi kesehatan.
2. Tujuan Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan merupakan suatu proses yang bertujuan memungkinkan
individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatan dan meningkatkan kesehatannya
berbasis filosofi yang jelas mengenai pemberdayaan diri sendiri. Proses pemberdayaan
tersebut dilakukan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat serta sesuai dengan sosial
budaya setempat. Demi mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik dari fisik,
mental maupun sosial, masyarakat harus mampu mengenal dan mewujudkan aspirasi
dan kebutuhannya, serta mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (Kemenkes,
2011).
3. Peran Bidan Dalam Promosi Kesehatan
Peranan bidan yang tampak nyata adalah sebagai role model masyarakat, sebagai
anggota masyarakat, motivator , fasilitator, tentunya kompetensi seperti ini yang akan
dikembangkan lebih lanjut melalui pendidikan dan pelatihan bagi para bidan. Peranan
yang harus di lihat sebagai “main idea” untuk membentuk sebuah peradaban dan
tatanan seebuah pelayanan kesehatan.
a. Peran Sebagai Advokator : Advokasi adalah suatu pendekatan kepada seseorang/
badan organisasi yang di duga mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu
program atau kelancaran suatu kegiatan. Advokasi dapat dilakukan terhadap
pengambilan keputusan dari program atau sektor terkait masalah maternal
neonatal. Bidan melakukan upaya agar pembuat keputusan mempercayai dan
meyakini bahwa program yang ditawarkan perlu mendapatkan dukungan melalui
suatu kebijakan. Target pembuat keputusan, pembuat kebijakan, pimpinan agama,
pemuka adat, LSM, media dll.
Advokasi merupakan proses menciptakan dukungan, membangun konsensus,
membantu perkembangan suatu iklim yang menyenangkan dan suatu lingkungan
yang suportif terhadap suatu sebab atau issu tertentu melalui serangkaian tindakan
yang direncanakan dengan baik.
Contoh bentuk kegiatan : Seminar, Bidan menyajikan masalah kesehatan di
wilayah kerjanya, Bidan menyampaikan masalah kesehatan menggunakan media
dalam bentuk lisan, artikel, berita, diskusi, penyampaian pendapat untuk
membentuk opini publik.
Persyaratan Advokasi :
Credible, artinya program yang ditawarkan harus dapat meyakinkan para
penentu kebijakan.
Feasible, artinya program tersebut harus baik secara teknis, politik, maupun
ekonomi
Relevant, artinya program tersebut harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Urgent, artinya program tersebut memiliki tingkat urgensi yang tinggi
High priority, artinya program tersebut memiliki prioritas yang tinggi
b. Peran Sebagai Edukator Memberikan pendidikan kesehatan dan konseling dalam
asuhan dan pelayanan kebidanan di setiap tatanan pelayanan kesehatan agar
mereka mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka.
Sebagai pendidik bidan memiliki 2 tugas yaitu sebagai pendidik dan penyuluh
kesehatan bagi klien serta pelatih dan pembimbing kader. Bidan memberi
pendidikan dan penyuluhan kesehatan kepada klien (individu, keluarga, kelompok,
serta maryarakat) tentang penanggulangan masalah kesehatan, khususnya yang
berhubungarn dengan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana.
Fungsi bidan sebagai educator : Melaksanakan pendidikan kesehatan dan
konseling dalam asuhan dan pelayanan Kebidanan, Membina kader dan kelompok
masyarakat, Mentorship dan preseptorsip bagi calon tenaga kesehatan dan bidan
baru, dan memberikan informasi kesehatan pada perempuan sepanjang daur
kehidupannya.
c. Peran Sebagai Fasilitator : Adalah peranan yang berkaitan dengan upaya dalam
menstimulasi dan mendukung upaya-upaya masyarakat sehingga mempermudah
kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam bidang kesehatan. Istilah fasilitator
berasal dari kata fasilitasi yang berarti sarana, maka “memfasilitasi” berarti
memberikan sarana agar tercapai tujuan . Sarana tersebut biasanya adalah untuk
memperlancar proses kegiatan seperti memfasilitasi proses agar kegiatan berjalan
dengan lancar. Bidan mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan,
mengkondisikan iklim kelompok yang harmonis, serta menfasilitasi terjadinya
proses saling belajar dalam kelompok.
Fasilitator harus terampil mengintegrasikan tiga hal penting yaitu :
Optimalisasi fasilitasi, waktu yang disediakan dan optimalisasi partisipasi
masyarakat.
Nilai-nilai universal dalam fasilitasi : Demokrasi, tanggung jawab, kerjasama,
kejujuran, kesamaan derajat.
d. Peran Sebagai Motivator : Upaya yang di lakukan bidan sebagai pendamping adala
menyadarkan mendorong kelompok untuk mengenali potensi dan masalah, dan
dapat mengembangkan potensinya untuk memecahkan itu. Tetapi Dalam
melaksanakan profesinya bidan memiliki peran sebagai pelaksana, pengelola,
pendidik, dan peneliti.
Sebagai motivator bidan berperan untuk menumbuhkan dan
mengembangkan . Kepercayaan diri masyarakat dalam hal kesehatan. Bidan
memotivasi masyarakat untuk melakukan aktivitas guna mencapai tujuan yang
direncanakan. Contoh kegiatan motivasi : bidan memberikan motivasi pada ibu
hamil untuk mengkonsumsi nutrisi yang baik, memotivasi ibu untuk memberikan
ASI Ekslusif.
F. ASUHAN PADA PEREMPUAN BERKEBUTUHAN KHUSUS
1. Perempuan dengan disabilitas
Tuna netra atau buta menempati urutan tertinggi untuk penyandang disabilitas di
Indonesia. Jumlahnya mencapai 3,5 juta jiwa pada tahun 2015. (Damayanti, 2015).
Menurut International Agency for The Prevention of Blindness, dua pertiga dari
penyandang tuna netra adalah perempuan. Perempuan tunanetra juga lebih sering
mengalami diskriminasi dibandingkan dengan kelompok lelaki tunanetra. Perempuan
tunanetra lebih sulit mengakses pendidikan, pelayanan kesehatan yang terjangkau,
kesempatan bekerja, dan mengalami isolasi dengan rasio lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok lelaki tuna netra. (Persatuan Tunanetra Indonesia, 2017).
perempuan dengan disabilitas sangat jarang mengunjungi fasilitas kesehatan. Hal
ini pun terjadi ketika hamil. Perempuan dengan disabilitas juga sangat jarang
melakukan kunjungan antenatal. Hal ini mengakibatkan buruknya kesejahteraan ibu
dan bayi serta outcome kehamilan jika dibandingkan dengan populasi pada umumnya,
termasuk lebih sering mengalami prematur dan bayi dengan berat lahir rendah.
(Homeyard, Montgomery, Chinn, & Patelarou, 2016) Stigma yang berkembang di
masyarakat tentang ketidakmampuan perempuan tunanetra untuk menjadi seorang ibu,
menyebabkan perempuan tuna netra enggan untuk melakukan kunjungan antenatal
ketika hamil. Selain itu, seringkali tenaga kesehatan tidak mempunyai kompetensi
yang adekuat untuk memberikan pelayanan antenatal kepada perempuan tuna netra.
Masalah dalam berkomunikasi ketika memberikan pendidikan kesehatan tentang
kehamilan menjadikan pelayanan antenatal tidak berkualitas. (Malouf, Henderson, &
Redshaw, 2017).
Kajian jurnal : Sunesni1, Dian Furwasyih. Assesmen Tingkat Kepuasam dan
Persepsi Asuhan Antenatal Pada Ibu Ibu Tunanetra Di Kota Padang (Studi Kasus).
Jurnal Kesehatan Mercusuar; E-ISSN - 2654-9751 Vol 3 No 2 Oktober 2020.
penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan cross sectional yang
menggambarkan persepsi dan pengalaman ibu – ibu tuna netra tentang pelayanan
antenatal yang diterima selama hamil. Informan penelitian adalah ibu – ibu tuna netra
yang sedang hamil atau pernah melahirkan (16 orang). Pengumpulan data dilakukan
dengan metode wawancara menggunakan daftar pertanyaan.
Hasilnya : Sebagian kecil (12,5%) informan menyatakan tidak puas terhadap
pelayanan kehamilan yang didapatkan di fasilitas kesehatan. Hal ini terutama
disebabkan oleh tidak adanya media pengganti buku KIA untuk ibu tunanetra, cara
berkomunikasi tenaga kesehatan yang tidak informatif, informasi yang disampaikan
tidak menjawab kebutuhan ibu tunanetra, tidak ada tenaga kesehatan pendamping
khusus ibu tunanetra, dan tidak adanya jalur khusus bagi ibu tunanetra untuk mencapai
konter pelayanan yang diinginkan. Lebih dari separuh (54%) informan mempunyai
persepsi negatif terhadap pelayanan kehamilan yang diperoleh.
Pengadaan buku pemantauan kesehatan khusus bagi ibu tunanetra adalah satu hal yang
harus menjadi prioritas, sebab dengan adanya buku tersebut maka ibu tunanetra dapat
mengakses informasi kesehatan seputar masa reproduksi. Edukasi kesehatan yang
efektif akan meningkatkan tingkat pengetahuan ibu sehingga diharapkan outcome
kelahiran yang lebih baik. Selain itu, cara berkomunikasi dan pemberian informasi
yang jelas pada ibu tunanetra juga penting untuk menjadi perhatian, sehingga mereka
mendapatkan informasi yang sama dengan ibu yang normal. Kemudian, pengadaan
jalur khusus bagi ibu tunanetra di fasilitas pelayanan juga perlu dipertimbangkan,
sehingga terwujud fasilitas pelayanan kesehatan yang inklusif atau ramah disabilitas.
2. Layanan Kesehatan bagi penyandang disabilitas
Data statistik khusus penyandang disabilitas di Indonesia secara utuh belum
disusun oleh pemerintah. Namun demikian, data yang paling mendekati jumlah
penyandang disabilitas (dengan keterbatasan fisik, mental, intelektual, dan sensorik) di
Indonesia diperoleh melalui Survei Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2018 yakni
sebanyak 30,4 juta jiwa.
Pemenuhan hak atas kesehatan bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih
menemui banyak hambatan baik dari segi ketersediaan, aksesibilitas, dan kualitas.
Bentuk tindakan atau program afirmatif yang mengakomodasi kebutuhan penyandang
disabilitas secara umum belum terpenuhi.
Permasalahan aksesibilitas fisik ditemukan pada beberapa fasilitas kesehatan
seperti puskesmas dan rumah sakit yang masih belum ramah disabilitas. Pada beberapa
kasus, layanan kesehatan terletak di lantai atas, sementara tidak tersedia jalur
landai/ramp, lift atau fasilitas lain yang memudahkan penyandang disabilitas (ragam
tertentu, semisal disabilitas fisik) untuk dapat mengakses. Sesungguhnya telah dibuat
peraturan untuk mendukung aksesibilitas kelompok rentan dan secara khusus
penyandang disabilitas, seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan. Namun dalam praktiknya, seperti yang disampaikan oleh
para informan penelitian ini, masih banyak fasilitas kesehatan yang sulit diakses secara
fisik oleh penyandang disabilitas, termasuk lansia dengan kesulitan mobilitas. Selain
itu, masih terkait dengan aksesibilitas fisik, ditemui pula kendala dalam menjangkau
layanan kesehatan dari titik atau rumah para penyandang disabilitas. Transportasi ke
fasilitas kesehatan tidak dijamin pemerintah sehingga kelompok masyarakat miskin
sulit menjangkau layanan kesehatan, meski sebenarnya layanannya sendiri diberikan
secara gratis.
3. Layanan Kesehatan Perempuan Masyarakat Adat
Konsitusi telah mengamanatkan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 18B ayat (2) UUD RI 1945. Pengakuan dan penghormatan ini penting
sebagai langkah awal untuk memastikan aksesibilitas masyarakat adat terhadap
berbagai pelayanan publik, termasuk layanan kesehatan. Namun sampai saat ini,
belum ada regulasi yang menjamin adanya pengakuan legal masyarakat adat dari
Negara. Hal ini mengakibatkan masyarakat adat tidak masuk ke dalam sistem
administrasi kependudukan yang juga mengakibatkan masyarakat adat yang terkurangi
haknya bahkan terabaikan dalam penikmatan hak atas kesehatan, termasuk di
dalamnya, yaitu program JKN.
Menurut Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, terdapat empat poin kunci
mengenai kekhususan hak atas kesehatan bagi masyarakat adat yaitu: a) keterpencilan
akses geografis; b) keterpencilan karena resistensi budaya/tradisi; c) keterpencilan
karena cara hidup (contoh: berpindah-pindah); dan d) akses terhadap administrasi
kependudukan.
Kondisi geografis, berupa tempat tinggal masyarakat adat di perbukitan dan
pegunungan, yang cukup sulit untuk diakses mengakibatkan pelayanan kesehatan pada
masyarakat adat kurang optimal, sehingga untuk mengakses layanan kesehatan
tersebut dibutuhkan biaya tinggi, bahkan tidak dapat mengakses layanan kesehatan
yang telah disediakan pemerintah di daerah-daerah tertentu. Kondisi ini diperparah
oleh prasarana jalan yang belum memadai, serta keterbatasan sarana listrik, air,
komunikasi, perumahan bagi tenaga kesehatan, dan transportasi.
Tantangan masyarakat adat dalam mengakses dan mendapatkan pelayanan
kesehatan ibu dan anak terkait dengan faktor adat kebiasaan, kepercayaan dan faktor
sosial budaya. Faktor sosial budaya yang memengaruhi perilaku kesehatan ibu dan
anak sangat kompleks, antara lain:
a. Kepercayaan terhadap obat obatan tradisional dan tokoh yang dianggap dapat
menyembuhkan penyakit (dukun) yang sudah turun temurun.
b. Adanya anggapan tenaga kesehatan dianggap sebagai orang luar, sehingga tidak
dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat.
Praktik kesehatan nonmedis masih diterapkan oleh sebagian besar masyarakat
adat. Praktik kesehatan ini berasal dari pengetahuan lokal yang sudah turun-temurun
dan berkembang sebagai kearifan dan adaptasi selama ratusan tahun. Masyarakat Adat
menggunakan kecerdasan lokal sesuai keadaan dan kemampuannya yang telah
diturunkan dari waktu ke waktu. Peran orang terpercaya di tingkat lokal dengan
kecerdasan berbasis budaya lokal menjadi penting dalam perawatan kesehatan ibu dan
anak.
Salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur
pembangunan pelayanan publik bagi masyarakat adat adalah survei potensi desa
(podes). Menurut Podes tahun 2018, dalam hal pelayanan dasar seperti kesehatan,
ketersediaan dan kemudahan akses ke apotek meningkat sebesar 54% dari tahun 2014.
Sedangkan ketersediaan dan kemudahan akses ke rumah sakit dapat dilihat dalam
proporsi desa yang ada di rumah sakit, meningkat sebesar 20% dari tahun 2014. 150
Walaupun tidak representatif terhadap kondisi nyata pada masyarakat adat, namun
terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada ketersediaan fasilitas kesehatan di
desa-desa. Sama halnya dengan penyandang disabilitas, pendataan masyarakat adat
secara komprehensif di Indonesia belum pernah dilakukan. Pendataan selama ini
dilakukan oleh beberapa pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan pencatatan
masyarakat di desa namun tidak dapat menggambarkan keadaan real masyarakat adat
di Indonesia. Persoalan pendataan secara khusus terkait dengan administrasi
kependudukan, yang belum mencakup pendataan masyarakat adat yang berada di
kawasan terpencil ataupun kawasan hutan. Selain itu, selama ini pengakuan legalitas
masyarakat adat selama ini belum terakomodasi dalam regulasi yang ada di Indonesia.
Hal ini menyebabkan masyarakat adat tidak dapat mengakses berbagai pelayanan
publik termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan.
4. Situasi dan kondisi pemenuhan hak atas kesehatan bagi kelompok rentan dalam
aspek ketersediaan, aksesibilitas, dan mutu. (Komnas HAM, 2020)
a. Secara umum layanan kesehatan sangat bervariasi pada tiap daerah. Hal ini terkait
dengan desentralisasi dan otonomi daerah, di mana daerah memiliki kewenangan
mengelola urusan-urusan pemerintahan sebagaimana diatur oleh Undang-Undang
Pemerintahan Daerah.
b. Dalam mengakses layanan kesehatan dasar, masing-masing kelompok rentan
mengalami bentuk kerentanan yang berbeda-beda. Secara umum masih terdapat
adanya hambatan akses terhadap layanan kesehatan bagi masyarakat di wilayah
terpencil/tertinggal.
c. Kelompok perempuan masih harus berjuang melawan budaya patriarki yang masih
kental di Indonesia. Hal ini dapat secara langsung maupun tidak langsung
menghambat perempuan dalam mengakses hak atas kesehatannya, terutama hak
atas kesehatan seksual dan reproduksi. Masih banyak dilakukan praktik sunat
perempuan, juga stigmatisasi dan diskriminasi berdasarkan status pernikahan,
maraknya kasus kekerasan seksual, sulitnya akses terhadap layanan aborsi yang
aman, serta masih tingginya angka kematian ibu menjadi indikator yang
menjadikan perempuan sebagai salah satu kelompok rentan dalam hak atas
kesehatan. Kerentanan ini berakibat pada kesulitan mengakses hak atas kesehatan.
d. Penyandang disabilitas mengalami hambatan akses hak atas kesehatan bervariasi
tergantung pada ragam disabilitas yang dialami. Dalam hal aksesibilitas fisik,
misalnya, masih banyak ditemukan fasilitas kesehatan di tingkat primer yang
belum ramah disabilitas. Bagi penyandang disabilitas yang berada di fasilitas panti
sosial tidak memiliki akses legalitas (misalnya KTP) sehingga menghambat
mereka dalam mengakses layanan kesehatan dasar beserta jaminan sosial. Selain
itu, stigmatisasi atas penyandang disabilitas juga menciptakan hambatan tersendiri
bagi penyandang disabilitas untuk mengakses layanan kesehatan. Untuk disabilitas
mental atau intelektual, misalnya, sering kali mereka tidak memiliki hak
persetujuan (informed consent) terhadap tindakan kesehatan/medis atas dirinya.
e. Masih ditemukan tenaga kesehatan yang kurang kompeten yang dalam
melaksanakan tugasnya dan tidak memahami pelayanan yang berorientasi pada
hak, khususnya bagi kelompok rentan (friendly services).
f. Masih belum berkembangnya dukungan, termasuk pengawasan kualitas (quality
control) atas beragam kearifan lokal terkait pengobatan-pengobatan tradisional.

Semoga Bermanfaat ……………..


Seni HIDUP bukanlah mengendalikan apa yang terjadi pada kita, tetapi
menggunakan apa yang terjadi pada kita

Anda mungkin juga menyukai