Setiap manusia dalam Islam laki-laki dan perempuan tentunya memiliki kedudukan yang
sama dalam menjalankan hakikat dan tujuan, fungsi, serta peran manusia diciptakan.
Peran gender dalam kehidupan masyarakat yang dikenal dalam ilmu sosiologi mengacu
pada sekumpulan ciri khas yang berkaitan dengan peran identitas sosial dalam
bermasyarakat, sehingga mengenal maskulin dan feminitas dalam konteks budaya dan
pengelompokan dalam ilmu bahasa (linguistik).
1. Konsep Gender
Gender atau jenis kelamin. Dalam Nasaruddin umar Webster’s New World
Dicktionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dimaknai sebagai perbedaan yang
bersifat sosial budaya dan merupakan nilai yang mengacu pada hubungan sosial yang
memberikan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dikarenakan perbedaan
biologis yang menjadi kodrat, dan oleh masyarakat dan menjadi budaya dalam
kehidupan bermasyarakat.
WHO (world health organization) memberikan batasan gender sebagai seperangkat
peran, perilaku, kegiatan, dan antribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan
perempuan. Ketika jenis kelamin lebih bersifat biologis dan nature, maka berbeda
dengan gender. Gender secara terminilogi adalah perbendaan yang lebih didasarkan
pada aspek sosiologis dan kultural. Pemahaman yang masih mencampuradukan
konsep jenis kelamin dengan gender di tengah masyarakat melahirkan berbagai
implikasi negatif, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hal ini disebabkan jenis
kelamin lebih merupakan takdir atau kodrat Allah swt., sementara gender adalah
kontruksi sosial-budaya yang lebih merupakan ikhtiar manusia.
Dalam pandangan Agama Islam segala sesuatu diciptakan Allah SWT dengan
kodrat firman Allah swt., dalam QS al-Qamar/49 “Sesungguhnya segala sesutu yang
kami ciptakan dengan qadar” pendapat ahli tentang qadar diartikan sebagai ukuran-
ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu” dan itulah yang disebut
sebagai kodrat. Dengan demikian laki-laki dan perempuan sebagai makhluk ciptaan
Allah swt., baik individu dengan jenis kelamin berbeda memiliki kodratnya masing-
masing
2. Konsep Gender dan Budaya
Kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhaya yang merupakan bentuk
jamak dari dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal. Ada pendapat lain mengatakan budaya berasal dari kata budi
dan daya, budi merupakan unsur rohani sedangkan daya merupakan unsur jasmani
manusia. Dengan demikian budaya merupakan hasil dan daya dari manusia.
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang
jelas tentang bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya bertindak. Pada
umumnya laki-laki adalah orang yang lebih kuat, lebih aktif, serta ditandai dengan
kebutuhan yang besar mencapai tujuan dominasi, otonomi, dan agresi. Sebaliknya
perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih menaruh perhatian,
pada afiliasi, berkeinginan untuk mengasuh, serta mengalah. Pandangan umum yang
demikian akhirnya melahirkan citra diri baik tentang laki-laki maupun perempuan.
Citra diri yang demikian inilah yang kemudian disebut banyak orang sebagai stereotip.
Sistem kepercayaan masyarakat tentang gender lebih merupakan pada asumsi yang
kebenarannya dapat diterima sebagian saja karena kepercayaan orang dalam suatu
masyarakat tidak selalu dapat menunjukkan kenyataan yang akurat dan yang
sebenarnya. Olehnya itu ada kemungkinan mengandung kesalahan dalam memberikan
interpretasi atau biased perception. Namun, tidak semua yang aspek yang diberi lebel
maskulin diberi lebel untuk laki-laki, dan lebel feminim untuk perempuan dapat
diterima dan diberlakukan dalam kehidupan suatu masyarakat.
Budaya masyarakat memaknai gender sebagai pembagian peran antara laki-laki
dan perempuan. Secara anatomi antara laki-laki dan permpuan berbeda, namun mereka
terlahir dengan peran dan tanggungjawab yang sama, akan tetapi dalam
perkebangannya dalam budaya masyarakat memiliki perbedaan diantara keduanya.
Ketimpangan dalam kehidupan sosial membuat perempuan dinomor duakan dalam
berbagai hal yang terjadi berdasarkan realita kehidupan.
Pemahaman akan kebudayaan tentang perempuan dan perannya dalam kehidupan
sosial sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan zaman. Secara tidak langsung
dalam ilmu antropologi perkembangan perempuan dalam menjalankan perannya
sebagai manusia yang universalitas mengalami keterpinggiran. Perbedaan itu menjadi
sebuah kenyataan identitas dan kodrat Tuhan yang tidak dapat berubah.
Keterpinggiran ini lahir disebabkan sistem nilai dalam budaya tertentu dan suatu
kultur menjadi simbol budaya.
3. Paradigma Fungsionalisme Dalam Feminisme
Aliran Fungsional struktural atau sering disebut aliran Fungsionalisme, adalah
mazhab arus utama (mainstream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Rober
Merton dan Talcott Parsons. Teori ini memang tidak secara langsung menyinggung
kaum perempuan. Namun keyakinan mereka bahwa masyarakat adalah suatu sistem
yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan (Agama, pendidikan, struktur politik
sampai keluarga) dan masing-masing bagian secara terus menerus mencari
keseimbangan (equilibrium) dan harmoni dalam menjelaskan posisi mereka tentang
kaum perempuan. Interelasi itu terjadi karena konsensus. Pola yang non normatif
dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal tersebut terjadi, maka masing-masing
bagian berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan
kembali. Bagi penganut teori ini masyarakat berubah secara evolusioner. Konflik
dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan
keseimbangan. Oleh karena itu harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional
bernilai tinggi dan harus ditegakan sedangkan konflik harus dihindarkan.Teori ini
menolak setiap usaha yang menggoncangkan status quo, termasuk berkenan dengan
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pengaruh fungsionalisme
ini dapat kita lihat pada pemikiran Feminisme Liberal.
4. Paradigma Konflik Dalam Feminisme
Paradigma konflik percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki
kepentingan (interest) dan kekuasaan ( power) yang adalah pusat dari setiap hubungan
sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Yang termasuk dalam
paradigma konflik yaitu:
a. Feminisme Radikal
Munculnya aliran ini dilatarbelakangi oleh adanya kultur diskriminasi
sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 60-an. Penganut aliran ini
muncul sebagai bentuk perlawanan atas kekerasan seksual dan pornografi yang
terjadi pada waktu itu
Sejumlah penganut feminis radikal, menyebutkan ada dua sistem kelas
sosial: pertama, sistem kelas ekonomi didasarkan pada hubungan produksi, kedua,
Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem kelas seks
dianggap menyebabkan penindasan terhadap perempuan. Konsep patriarki
menunjuk pada kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum laki-laki, yang
didasarkan pada pemilikan dan control laki-laki atas kapasitas reproduksi
perempuan. Para penganut feminism radikal tidak melihat adanya perbedaan atara
tujuan personal dan politik, unsur-unsur sosial atau biologis, sehingga dalam
melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh
laki-laki, akar permasalahannya pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta
ideology patriarkinya. Berasal dari pemahaman ini, aliran feminism menganggap
bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual,
adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Lebih lanjut aliran feminism
radikal, menyebutkan bahwa patriarki adalah sumber ideology penindasan yang
merupakan sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior
dan privilege ekonomi
b. Feminisme Marxis
Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologis
sebagai dasar pembedaan gender. Bagi kaum ini penindasan perempuan adalah
bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Menurut marx, hubungan
antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis, serta
tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh
berbagai cara dan alasan karena mengutungkan. Pertama, eksploitasi pulang
kerumah, yaitu suatu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki yang
dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh laki-laki yang dieksploitasi
oleh kapitalis ini, setelah sampai dirumah terlibat hubungan kerja dengan istrinya.
Dalam analisis ini sistem dan struktur hubungan antara kapitalis,buruh, dan
istrinya akhirnya menguntungkan pihak kapitalis. Kedua, kaum perempuan
dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh murah.
Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap oleh mereka
menguntungkan sistem kapitalisme karena dua alasan, yaitu upah buruh
perempuan sering kali lebih rendah daripada upah buruh laki-laki. Rendahnya upah
buruh perempuan ini lebih diperparah karena adanya anggapan masyarakat bahwa
perempuan pekerja tidak berupah (unpaid worker).Selain itu masuknya perempuan
dalam sektor perburuhan juga menguntungkan sistem kapitalisme, karena
perempuan dianggap sebagai tenaga cadangan yang tak terbatas. Akibatnya, posisi
tawar buruh semakin rendah, dan sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh,
dan akhirnya akumulasi kapital menjadi semakin cepat. Sehingga banyak analisis
yang menyimpulkan bahwa salah satu musuh kapitalisme adalah feminisme
c. Feminisme Sosialis
Aliran ini menurut melakukan sintesa antara metode historis materialistic Marx
dan Engels dengan gagasan personal is political (kaum radikal). Bagi mereka
penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, dan tidak serta merta menaikkan
posisi perempuan (pandangan ini lahir dari 2 tipe gerakan sebelumnya yang secara
tidak langsung saling berkesinambungan atau simbiosis mutualisme) karena tanpa
kesadaran kelas juga menimbulkan masalah (dari tipe Marx). Oleh karena itu
kedua tipe sebelumnya perlu dikawinkan yaitu analisis patriarki dan analisis kelas,
dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus
dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang
mengakibatkan dominasi, subordinasi dan marginalisasi atas kaum perempuan