Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perempuan merupakan makhluk yang diciptakan dengan berbagai kelebihan,
sehingga banyak topik yang diangkat dengan latar belakang perempuan.
Kelebihan-kelebihan perempuan tecakup dalam peran yang dilakukannya di
kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah yang timbul akibat
peran perempuan. Pembahasan mengenai perempuan dengan sejuta problematika
melahirkan pemikiran beberapa ahli yang menghasilkan teori-teori sosial
mengenai sisi perempuan seperti feminisme (gender) dengan beberapa paradigma
(Faqih, 2012: 80-98).
Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, perempuan menjadi tumpuan
bagi pembangunan bangsa ini. Pahlawan yang membela Indonesia pada masa
kolonialisme dan imperialisme tidak hanya terlahir dari kaum lakilaki saja. Peran
perempuan sebagai pahlawan pembela tanah air pun tidak dapat dipungkiri lagi
kebenarannya. Hal tersebut membuat banyak ahli sosial mengadopsi teori-teori
perubahan sosial dari abad ke-18 yang menyatakan bahwa perempuan dapat
menjadi aktor pembawa kelangsungan pembangunan bangsa. Tenaga wanita
cakap dan wanita ideal dibutuhkan secara mutlak di era pembangunan, yaitu
wanita yang dapat menjalankan peranan rangkapnya (peran ganda) (Aswiyati,
2016: 2).
Berkaitan dengan perkembangan zaman, masyarakat sekarang membutuhkan
peran perempuan dalam segala aspek, pendidikan, sosial ekonomi, hukum, politik,
dan lainlain. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh tuntutan bangsa-bangsa atas nama
masyarakat global bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan bagaimana bangsa
tersebut peduli dan memberi akses yang luas bagi perempuan untuk beraktifitas di
ranah publik. Tulisan ini berangkat dari diskusi kelompok oleh mahasiswa dan
dari pengamatan selama membimbing mahasiswa strata satu (S1) dalam penulisan
tugas akhir atau skripsi, di beberapa diskusi yang dilakukan mahasiswa, makna
peran (role) dalam kajian sosiologi masih belum dipahami dan sering
dipertukarkan dengan makna fungsi. Kemudian ketika makna peran itu

1
ditempatkan berdasarkan gender, ada kebingungan pada mahasiswa bagaimana
melihat adanya peran laki-laki dan peran perempuan dalam masyarakat dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut. Hal tersebut bisa saja
disebabkan oleh pertama pemahaman tentang kesetaraan peran antara laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat belum banyak diketahui atau dalam kajian
gender belum meluasnya pemahaman masyarakat tentang peran berdasarkan
gender. Selama ini antara kedua jenis kelamin tersebut yang lebih dilihat pada
perbedaannya seperti pada fisik, pekerjaan, pengambilan keputusan, akses pada
bidang ekonomi dan politik, dan ketika hal itu dilihat pada jenis kelamin
perempuan, mahasiswa mengalami kerancuan untuk mengidentifikasikan. Kedua,
belum menjadi penekanan untuk mengkaji makna ‘peran’ dalam konsep sosiologi
secara mendalam dalam setiap mata kuliah karena ‘peran’ dianggap makna yang
biasa dan banyak digunakan dalam setiap aspek kegiatan manusia bahkan dalam
pembangunan sehingga tidak mengetahui bahwa ada indikator secara sosiologis
untuk digunakan dalam kajian ilmiah.

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana sejarah perjuangan perempuan lokal, nasional dan
internasional?
 Bagaimana pengenalan perempuan terhadap kajian multiperspektif?
 Apa sajakah hak-hak perempuan dan anak?
 Apa sajakah peran perempuan dalam kehidupan keluarga, bangsa dan
Negara dalam perkembangan peradaban manusia?

1.3 Tujuan
 Mengetahui sejarah perjuangan perempuan lokal, nasional dan
internasional.
 Memahami pengenalan perempuan terhadap kajian multiperspektif.
 Mengetahui apa saja hak-hak perempuan dan anak.
 Mengetahui apa saja peran perempuan dalam kehidupan keluarga, bangsa
dan Negara dalam perkembangan peradaban manusia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perjuangan Perempuan Lokal, Nasional, dan Internasional


2.1.1 Lokal
Dalam dimensi tekstual ini peneliti melihat teks terkait feminisme dalam
konten koran Perempoean Bergerak edisi Mei 1919-Desember 1920. Peneliti
menelusuri bagaimana antarkata atau antar kalimat digabung sehingga
membentuk pengertian/wacana. Semua elemen penelitian ini dipakai dengan
tujuan untuk melihat tiga aspek. Pertama aspek ideasional/representasi yang
merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, yang
umumnya membawa muatan ideologis tertentu. Analisis ini pada dasarnya ingin
melihat bagaimana sesuatu ditampilkan dalam teks/berita yang bisa mengandung
seperangkat ideologis tertentu. Representasi ini menurut Fairlough ditelaah dalam
tiga hal, yakni bagaimana seseorang, kelompok dan gagasan ditunjukkan dalam
anak kalimat, dalam kombinasi anak kalimat serta dalam rangkaian antar kalimat.
Aspek ideasional/representasi yang berkaitan dengan pandangan feminisme
ditemukan peneliti dalam teks Koran Perempoean Bergerak. Dalam edisi pertama
tanggal 15 Mei 1919, berjudul Kehadapan yang ditulis Redactrice, Boetet
Satidjah. “Feminisme kita ini hendaklah kita toedjoekan menoeroet djalan nan
elok, dan bersih soepaja pergerakan kita ini tiada terhambat hambat; adat dan
agama nan elok itoe djangan kita lampawi, Pada saudara-saudara laki-laki saja
poehoenkan soepaja toean fikirkan, bahasa toean-toean moelai dipandang oleh
bangsa Hollander sebagai Indische broeder, djadi saja harap toean toeandjang
feminisme kami soepaja kami perempoean-perempoean akan dipandang oleh
Hollander dari Lia Anggia, Sejarah Pers Perempuan di Sumut (Studi Analisis
Wacana Kritis Perspektif Feminis 66 Hollandsche vrouw sebagai Indische
zuster.”

3
Mengacu pada pengertian feminisme dalam Oxford English Dictionary
(OED) feminism berarti advokasi hak-hak perempuan atas dasar kesetaraan jenis
kelamin, (Black, Naomi, 1989). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, hanya
ditemukan istilah feminism yang berarti gerakan perempuan yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki (Bahasa, Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan, 1989) Dalam pengertian
lain, Feminisme adalah gerakan untuk mengakhiri seksisme, ekspolitasi seksis dan
penindasan. (Hooks, 2000). Dimana seksisme dapat merujuk pada kepercayaan
atau sikap yang berbeda: kepercayaan bahwa satu jenis kelamin atau seks lebih
berharga dari yang lain. Selama ini budaya patriarki telah menempatkan lelaki
lebih tinggi derajatnya dibandingkan kaum perempuan.
Dalam konten Koran Perempoean Bergerak tersebut dapat dilihat bahwa
pada masa itu, perempuan sudah menyadari dan berjuang untuk menuntut
persamaan hak di antara perempuan dan laki-laki. Namun feminisme yang
dimaksud redaksi merupakan feminisme yang bertujuan agar perempuan
menyadari bahwa bukan hanya pendidikan yang akan membantu mereka
beradaptasi sesuai tuntutan kehidupan modern, tetapi juga pengetahuan yang lebih
lengkap tentang aturan -aturan agama. (Cora, 2018).
Hal ini berkenaan dengan kondisi masyarakat tradisional di Indonesia
yang pada masa itu masih kental dipengaruhi oleh agama dan adat. Sehingga
meskipun perempuan menuntut persamaan hak untuk mendapatkan pendidikan
yang sama dengan laki-laki, hal itu tetap saja tujuannya untuk meningkatkan
kualitas perempuan dalam urusan domestik. Seperti tulisan Sitti Sahara berjudul
Peridaran Alam, edisi Agustus 1919 ; “Ajolah bangsakoe perempoean marilah
kita bergerak poela menoentoet ilmoe kepandaian boeat mengambil hak kita.
Lebih daholoe saja berseroe dengan soeara jang sajoep-sajoep sampai kepada
jang moelia bangsakoe laki-laki, berilah kebebasan bagi kami perempoean, akan
pergi menoentoet ilmoe kepandaian. Akan tetapi, djangan poela bangsakoe laki-
laki menoedoeh kami bangsa perempoean akan minta bebas mentjari soemi,
hanjalah minta bebas menoentoet ilmoe kepandaian, dan perihal sekitar hak
kemanoesiaan.” Begitu juga Sitti Danilah dalam edisi Oktober 1919, menuliskan
artikel berjudul Sendjata dalam Peperangan, terlihat jelas kalau urusan mendidik

4
anak menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh ibu. “Menoeroet fikiran saja,
kepintaran bagi perempoean tiada pernah akan Jurnal Simbolika, 5 (1) April 2019:
59-85 67 terboeang, karena ialah jang wajib membuka dan mendidik dan
mengadjarkan adat sopan santoen kepada anaknja. Inilah satoe kewadjiban jang
amat penting atas segala orang perempoean, dan ialah jang amat penting atas
segala orang perempoean dan ialah jang terlebih besar sekali menanggoeng
kesalahan apabila anaknja djadi seorang jang bodoh bebal, bertjela dan berlakoe
tiada senonoh”. Perjuangan perempuan di Sumut pada masa kolonial bertujuan
untuk meningkatkan harkat kaum perempuan. Misalnya lewat penyelenggaraan
kursuskursus pendidikan rumah tangga, kesehatan, keterampilan, seperti menjahit,
masak-memasak dan sebagainya.
Dengan kata lain, gerakannya masih bersifat non politis dan baru dalam
batas kedaerahan atau kesukuan untuk mempertinggi kedudukan sosial kaum
perempuan. Sehingga dapat mengangkat kaum perempuan dari
keterbelakangannya khususnya dalam pendidikan, dan membebaskan kaumnya
dari kungkungan tradisi yang menindas. (Anto,J, 2009)
Hal ini dapat dilihat dalam gagasana yang ditulis Noerlela, Bilaloeng
Kroseniaan Bindjei, dalam tulisannya berjudul Bangsakoe Perempoean, edisi
September 1919 ; “Ja Allah, bersalahan benar dengan prasangka saja, roepanja
kami jang beramboet pandjang ini tiada disamakan haknya dengan laki-laki Beri
apakah kiranja bangsakoe jang beramboeat pandjang itoe kesenangan dan
kepertjajaan seperti saudarakoe laki-laki soepaja dapat mereka itoe menambahi
kepandaianja, karena boekan kepandaian dapoer sadja jang ada dalam doenia
jang lebar ini, karena hal dapoer Hindia moedah dipeladjari dengan seketjap
mata dapat dipeladjari ta’kan kami sampai ketinggalan dari hak dapoer itoe,
sebab itoelah pekerdjaan jang haroes kami ketahoei moelamoela”. Gagasan yang
sama juga terlihat dalam Sitti Aisjah Chairani dan Fatima Asmabi berjudul
Meisjesschool Georoegoe, edisi Juni 1920 ; “Di sini kami poenja seroean, kepada
sekalian moerid perempoean, radjinlah wai menoentoet kepandaian, djangan
matjam perempoean doeloean. Tjontohlah wai europeeschenjonja, tjontoh
sekalian kepandaianja, ketjoeali Vrijheidanja, pada kita belum pantasnja.”

5
Perempuan Indonesia diharapkan dapat mencontoh perempuan-perempuan
Eropa, terutama soal kepandaiannya, kecuali kebebasannya. Sebab sesuai ajaran
agama dan adat hal itu belum sepantasnya dilakukan oleh perempuan yang
menganut budaya timur. Penegasan ini terlihat dalam tulisan Direksi berjudul
beroending edisi Juli 1919; “Peratoeran bangsa barat tidak perloe kita ambil sama
sekali sebab kebiasaan bangsa barat salahnja ada banyak jang tidak dapat kita
tiroe, ada banyak sekali peraturan bangsa barat jang berlawanan dengan adat dan
agama kita, akan tetapi hal memberi anak lelaki dan perempoen menoentoet
ilmoe, mendjaga kesihatan dengan memakei Vroedvrouw, doktor Lia Anggia,
Sejarah Pers Perempuan di Sumut (Studi Analisis Wacana Kritis Perspektif
Feminis 68 dan soentik tjatjar, itoelah tiada larangan”. Gagasan dan pemikiran
feminisme dalam konten Perempoean Bergerak ini banyak dipengaruhi gagasan
feminisme liberal yang berkembang pada abad ke-18 dan abad ke-19 atau disebut
juga feminisme gelombang pertama. Feminisme liberal sangat menitikberatkan
perjuangannya pada ide keunikan manusia yang otonom yang mampu membuat
pilihan-pilihan bebas karena rasionalitasnya. (Arivia, 2006). Sehingga persamaan
hak dalam pendidikan ini menjadi penting. Seperti ditegaskan Mary
Wollstonecraft dalam A Vindication of the Rights of Women ; Jika nalar adalah
kapasitas yang membedakan manusia dari binatang, maka kecuali jika perempuan
bukan binatang liar (gambaran yang ditolak sebagian besar laki-laki untuk
diterapkan kepada ibu, istri dan anak perempuan mereka), perempuan dan lakilaki
sama mempunyai kapasitas ini. Karena itu, masyarakat wajib memberikan
pendidikan kepada perempuan, seperti juga kepada anak laki-laki, karena semua
manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan
kapasitas nalar dan moralnya. Sehingga mereka dapat menjadi manusia yang utuh
(otonom). (Tong, 1998:21).
Namun Mill yang menggagas The Subjection of Women berpendapat
bahwa setelah perempuan mendapat pendidikan penuh dan hak pilih, kebanyakan
perempuan akan memilih untuk tetap berada dalam ranah pribadi, tempat fungsi
primer mereka adalah ‘memperindah dan mempercantik diri’. (Tong, 1998:24).
Sehingga Mill dalam pembahasan Arivia (2006) pembagian kerja seksual
ditentukan pada kesepakatan bersama yang didasari oleh kebiasaan lazim. Seperti

6
seorang laki-laki ketika memilih sebuah profesi, seorang perempuan memilih
untuk mengurus rumah tangga, keluarga yang merupakan panggilan tugas dalam
sebagian besar hidupnya. Wacana yang digaugkan dalam konten Perempoean
Bergerak ini juga berkaitan dengan pergerakan feminisme di Indonesia pada
priode tahun 1919-1920 yang dapat dikategorikan sebagai pergerakan feminisme
tahap pertama. Pada tahap pertama memunculkan persoalan hak memilih dalam
pemilihan pejabat publik, hak pendidikan yang dikemukakan pada zaman
Belanda. Tahap kedua memunculkan persoalan politis yang berada pada basis
massa dan perkumpulan untuk memajukan baik keterampilan maupun politik
perempuan yang ditemui pada masa orde lama.
Tahap ketiga, pada masa orde baru, Jurnal Simbolika, 5 (1) April 2019:
59-85 69 memunculkan wacana tugas-tugas domestifikasi perempuan
sebagaimana yang diinginkan negara. Dan, pada tahap keempat, di era reformasi,
memunculkan pergerakan liberal yang bertemakan anti kekerasan terhadap
perempuan. (Arivia, 2006). Terkait persoalan keterlibatan perempuan dalam hak
memilih, hal ini juga dituliskan oleh Roehana, dengan judul Pendahoeloean, edisi
September 1920. Dia menuliskan beberapa poin penting yang diharapkannya
dapat disetujui oleh para pembaca, salah satunya adalah poin, “Sopaja bangsa
perempoean hindia dapat bersoera dalam Raadraad (dewan) negeri.” Selanjutnya
aspek relasional tekstual, yaitu bagaimana pola hubungan antara penulis dengan
khalayak; antara partisipasi publik (tokoh) dengan khalayak, dan antara penulis
dengan partisipan publik ditampilkan dalam teks. Aspek ini ditemui peneliti
dalam rubrik khusus dari redaksi yakni Beroending.
Dalam rubrik ini, direksi maupun redaksi menjadikannya sebagai wadah
untuk membicarakan hal-hal yang penting mengenai gerakan perempuan.
Mengajak kaum perempuan keluar dari keterbelakangan dan keterpurukan. Rubrik
ini ditemui dalam lima edisi yakni Juli, Oktober, November, Desember tahun
1919 dan edisi Juni 1920. Seperti rubrik beroending edisi Juli 1919. Di sini
redaksi mengajak kaum perempuan untuk memperbaiki nasib dengan cara
menuntut ilmu. “Wahai Kaoemkoe pehak perempoean saja memperingatkan
djikalau boekan kita sendiri mesti memperbaiki nasib kita dengan sekeres-
kerasnja, dan bila kita asik masoek dengan kelemahan kita dan ketjantikan kita,

7
soedah tentoelah kita akan tinggal terjitjir selamalamanya.” Selain itu, masih
dalam rubrik dan edisi yang sama dituliskan ; Perempoean misti djadi goroe
nummer satoe dalam roemah, sebab itoelah sebaik-baiknja perempoean semoela
anak patoet djoega di bersekolahkan sebagaimana saudara-saudaranja lakilaki.”
Dalam rubrik beroending edisi Oktober juga masih menyinggung ajakan
agar perempuan dapat meraih pendidikan yang setara namun tetap harus
mengingat akan agama dan adat. Rubrik Beroending pada edisi November 1919
terlihat redaksi mengkritisi permasalahan poligami. “Meskipoen lelaki diidjinkan
oleh agama kita Islam boleh berbilang istri tapi agama Islam mengatakan haram
berbilang istri djikaloe tiada berlakoe adil, ja adil, sekali lagi adil, jang ini waktoe
ada dibibir moeloet pihak lelaki katanja akan ditjarinja.” Selanjutnya pada edisi
Desember 1919, rubrik ini menggungat persoalan banyaknya masyarakat pribumi
yang menikah dengan bangsa lain. Dituliskan Lia Anggia, Sejarah Pers
Perempuan di Sumut (Studi Analisis Wacana Kritis Perspektif Feminis 70 bahwa
penyebab hal ini terjadi karena empat hal; pertama oleh pergaulan, oleh
kemiskinan, oleh karena sakit hatinja dan oleh karena paksaan. Rubrik
Beroending terakhir terdapat pada edisi Juni 1920 yang memuat tentang ulasan
esai dari koran Merdeka tanggal 3 Juni 1920 yang berjudul ‘Disingkirkan kaoem’,
Esai ini memuat kisah seorang gadis asal Kota Gedang yang diusir dari kampung
karena sudah menikah dengan orang luar kota Gedang (orang Jawa) dan dinilai
melanggar adat setempat. Kejadian ini menjadi renungan direksi dengan
mempertanyakannya kepada pembaca, “Apakah kejadian yang begitoe rupa
adanya di waktoe zaman perobahan ini sadja? Apakah karena bersekolah soedah
kedjadian jang demikian?. Esai berjudul Beroending lebih potensial untuk
dimaknai sebagai tawaran strategi atau upaya diplomasi yang ditempuh
perempuan untuk merebut hakhaknya yang berbenturan dengan konstruksi
patriarki. (Sari, S, 2018).
Sedangkan untuk aspek identitas tekstual ini berkaitan dengan bagaimana
jurnalis/penulis mengidentifikasi dirinya dalam teks, sebagai bagian dari khalayak
atau kelompok dominan untuk menempatkan dirinya secara mandiri. Aspek
identitas ini dapat dilihat dalam konten Koran Perempoean Bergerak dimana
gerakan perempuan pada masa itu sama sekali tidak berniat untuk mendapatkan

8
posisi jauh di atas kaum lakilaki atau menandingi laki-laki. Hal ini termuat dalam
koran Perempoean Bergerak edisi Mei 1919, berjudul Salam Redactrice yang
ditulis oleh Directrice. “Lachirnja Perempoean Bergerak tidak bermaksoed djahat,
tapi sebaliknja akan menjokong kemadjoean pihak perempoean jang bersetoedjoe
dengan kemaoean sekarang, dan kalau bisa akan membantoe pergerakan
saudarasaudara lelaki djoega, pendeknja kemadjoean pihak perempoean akan
berdiri disisinja pergerakan pihak saudara-saudara lelaki bangsa kita karena
sebagaimana pembatja tahu boekan sadja pihak lelaki jang mengingini akan
kemajoean tanah ajer kita Hindia, tapi djoga pihak perempoean ada mempoenjai
keinginan akan kemadjoean tanah Hindia, jang mana maksoed itoe bisa
disampaikan sadja djikalau lelaki dan perempoean soedah sama berada dalam
tjatoer padang pergerakan kemadjoean”.
Begitu juga dalam edisi April 1920, judul Kembali Lagi, ditulis R. Salim
menegaskan kalau kemajuan kaum perempuan tak lain adalah bertujuan untuk
menyempurnakan rumah tangga. “Pihak laki-laki mentjari kemadjoean boeat
ra’jat dan pehak perempoean mentjari kemadjoean hendak menyempornakan hal
beroemah tangga dan hendak membaiki haknja.” Dimensi Praktik Produksi Teks
(Meso-struktural) Jurnal Simbolika, 5 (1) April 2019: 59-85 71 Koran
Perempoean Bergerak digawangi oleh perempuan yang berpendidikan setingkat
SMP dan SMA.
Membongkar dapur redaksi koran ini dan melihat siapa saja sosok dan
latar belakang tokoh-tokohnya hanya dapat dilakukan dan ditelusuri peneliti dari
berbagai literatur yang ada serta wawancara dengan beberapa tokoh sejarawan dan
pers di Sumut.
Di awal penerbitan koran ini terutama pada edisi Mei-Juni, koran ini turut
dibidani oleh lelaki yakni Parada Harahap yang bertindak sebagai Pemimpin
Redaksi dan Abdul Rachman sebagai administratur. Namun pada edisi Juli 1919
kedua nama tersebut tidak terlibat lagi dalam proses penerbitan surat kabar
perempoean bergerak. Redactrice koran ini langsung dipegang oleh Boetet
Satidjah atau Satiaman merupakan orang yang sama, dia adalah istri dari Parada
Harahap, wartawan paling revolusioner di Indonesia. (Harahap. Akhir, Matua
(2016).

9
Sedangkan nama redaksi lainnya seperti Anong S Hamidah diketahui
hanya berasal dari Medan. Sementara dalam buku Garis-garis besar
perkembangan ‘Kuta’ menjadi kota besar Medan ; 112- 113, ditulis Chairul
Bariah merupakan Putri guru Indra Bungsu di Pangkalan Brandan), Siti Zahara
(puteri guru Djaparlagutan, Matang Glumpang, Dua Biroen. Sebagai Direksi atau
maksudnya penerbit tercatat Tengku A. Sabariah, seorang guru wanita dari
keluarga dekat Tengku R Sabaruddin, Direktur Setia Bangsa. Sementara dalam,
(Harahap. Akhir, Matua (2016).
Sejarah Kota Medan (15) : yang berjudul, Benih Merdeka bukan Didirikan
Tengkoe Radja Sabaroedin menuliskan kalau TA Sabarijah lebih dikenal sebagai
istri dari Tengkoe Radja Sabaroedin. Susunan redaksi koran ini juga berganti-
ganti. Pada edisi Juni 1919, surat kabar ini diperkuat dengan Rabiatoel Adwie
sebagai matoer. Kemudian pada Oktober 1919 masuk K. Wondokoesoemo
merupakan Hulponderwijzeres yakni guru bantu di sekolah Kartini, Malang
sebagai redaksi boeat menerima karangankarangan dari Djawa. Begitu juga pada
bulan Desember 1919, nama Boetet Satidjah tidak lagi terlihat sebagai redactrice.
Ketika itu koran Perempoean Bergerak hanya dikomandoi oleh Medewarksters.
Bulan Mei 1920, susunan Lia Anggia, Sejarah Pers Perempuan di Sumut (Studi
Analisis Wacana Kritis Perspektif Feminis 72 redaksi koran Perempoean
Bergerak semakin sedikit, tidak terlihat lagi nama A.S Hamidah.
Namun pada edisi September 1919 dan edisi khusus melihat gerakan
perempuan Amerika pada terbitan Oktober 1920, pada susunan redactrice tampak
nama Sitti Rohana en Satiaman Parada Harahap. Begitu juga pada edisi November
1920 yang merupakan sambungan edisi mengenai gerakan perempuan di
Amerika. Keduanya pun berkolaborasi memimpin surat kabar tersebut hingga
Desember 1920. Sitti Rohana merupakan nama asli dari Roehana Kudus. Dalam
informasi yang dituliskan pada Koran Perempoean Bergerak edisi September
1919, Dia adalah Guru Kepala di sekolah Derma di Medan. Rohana merupakan
pendiri koran Soenting Melaju dan Sekolah Kerajinan Amai Setia.

10
Dalam buku Roehana Koeddoes, Fitriyanti ; 99 dituliskan pada tahun
1920, Roehana pindah ke kota Medan dan kembali mengajar di sekolah Dharma.
Di tengah kesibukan mengajar ini, dia menulis di koran Perempoean Bergerak
yang diterbitkan oleh Satiaman Parada Harahap. Rohana juga merupakan kakak
tiri dari Sutan Sjahrir dan bibi dari penyair Chairil Anwar. Selain latar belakang
redaksi, peneliti juga mencoba untuk menelusuri latar belakang penulis-penulis
yang ada di koran ini. Beberapa sosok yang dapat ditelusuri peneliti, para penulis
di koran ini merupakan kalangan terpelajar, seperti Sitti Roekiah merupakan
Hulponderwijzeres (guru bantu) di M.G Doea, A. Wahab Az (gewwezen, HIS
Padang) atau mantan/jebolan Hollands Inlandsche School, Padang.
Oepik Amin yang merupakan Hulponderwijzeres atau guru bantu di
Mereudoe Atjeh, Sitti Aisjah Chairani dan Fatima Asmadi yang merupakan siswa
dari Meisjesschool Georoegoe (atjeh). Istri TK Sabaroedin yang merupakan
Presidente Setia Istri, suaminya Tengku Radja Sabaroedin merupakan President
Sjarikat Islam cabang Medan. Begitu juga penulis Poetjoet-Poetjoet Chadidja,
Tiawah, Aseo dan Fatimah merupakan murid sekolah Beuratjan Mereudeu Atjeh.
Koran ini juga memuat tulisan Sitti Danilah siswa Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (setingkat SMP) di Medan, dia merupakan adik kandung dari Agus
Salim, mantan Menlu RI. Surat kabar Perempoean Bergerak juga memuat artikel
mengenai suara perempuan dari golongan etnis Tionghoa di Medan. Hal ini
dilatari karena banyaknya etnis tionghoa yang menjadi buruh perkebunan di
Medan. Terdapat sebanyak tiga edisi koran ini memuat Jurnal Simbolika, 5 (1)
April 2019: 59-85 73 tentang soeranja fihak perempoean Tionghoa. (Oktober,
November dan Desember 1919).
Dalam Liza Tanura (2013), koran Perempoean Bergerak merupakan koran
pertama di Medan yang berani terangterangan menuliskan nama asli penulis
dalam setiap tulisan yang bertemakan sindiran, hasutan dan kebencian kepada
kolonialisme di Sumut. Hal ini sangat berbeda dengan koran Pewarta Deli yang
terlebih dahulu terbit sebelum Perempoean Bergerak.

11
Para penulis Pewarta Deli menulis dengan mencamtumkan nama samaran
bukan nama aslinya. Hal ini disesuaikan dengan peraturan Besluit Kerajaan
Belanda tanggal 19 Maret 1906 yang memaklumatkan setiap percetakan dipikul
tanggungjawab selama merahasiakan siapa penulis karangan atau tulisan dalam
surat kabarnya. Namun hal ini tidak berlaku dalam Perempoean Bergerak. Dalam
hubungan relasi di antara perempuan dan laki-laki dalam penerbitan koran ini
terlihat jelas meskipun koran ini digawangi oleh perempuan. Namun, pada tahap
awal koran ini berdiri turut dibidani laki-laki seperti Parada Harahap. Dalam
Koran Perempoen Bergerak terbitan pertama edisi Mei 1919, secara jelas
Redactrice, Boetet Satidjah menuliskan kalau dia meminta Parada Harahap untuk
memimpin koran tersebut. Ditulisnya, “Dengan perantaran ajah saja, maka saja
soedah meminta soepaja toean, Parada Harahap, Red. De Crani en Benih Merdeka
soeka memimpin organ kita ini.” Melalui edisi pertama ini, Directrice mengakui
kalau mereka (perempuan) masih dalam tahap belajar dalam dunia jurnalistik.
Dituliskan dalam judul Permohonan Kalam, edisi Mei 1919, “Dan djanganlah
loepa wahai kaoemkoe pihak perempoean bahoea soerat boelanan kita ini
dipangkoe oleh satoe redactrice jang baroe mentjoeba masoek pada kalangan
journalisie”. Turut dituliskan Directrice pada edisi ini kalau posisi perempuan
masih sangat lemah pada masa itu. “Wahai Kaoemkoe pihak perempoean, marilah
kita beramai-ramai menjokong ini soerat boelanan di mana tempat kita
membentangkan pikiran kita, pemandangan kita, pengrasaan kita jang selama ini
kita semboenyikan karena kelemahan kita”. Begitu juga dalam salam redaksi pada
edisi pertama Mei 1919 ini dituliskan ; “Lachirnja PB tidak bermaksoed djahat,
tapi sebaliknja akan menjokong kemadjoean fihak perempoean jang bersetoedjoe
dengan kemaoean sekarang, dan kalau bisa akan membantoe pergerakan
saudarasaudara lelaki djoega. Pendeknya kemadjoean fihak perempoean akan
berdiri disisinja pergerakan fihak saudara-saudara lelaki bangsa kita Lia Anggia,
Sejarah Pers Perempuan di Sumut (Studi Analisis Wacana Kritis Perspektif
Feminis 74 karena sebagaimana pembatja tahoe boekan sadja fihak lelaki jang
mengingini akan kemadjoean tanah ajer kita Hindia, tapi djoega fihak perempoean
ada mempoenjai keinginan akan kemadjoean tanah Hindia, jang mana maksoed
itoe bisa disampaikan, sadja djikalau lelaki dan perempoean soedah sama berada

12
dalam tjatoer padang pergerakan kemadjoean”. Berdasarkan tulisan dari redaksi
Koran ini dapat dilihat kalau pada saat itu redaksi masih belajar untuk masuk pada
dunia jurnalistik, sehingga untuk membuat koran tentunya membutuhkan pihak
lelaki dalam hal ini Parada Harahap yang sudah lebih dulu berpengalaman di
dunia jurnalistik. Sehingga jelas pada saat membidani koran ini meskipun
dilakukan bersama, tapi jurnalis perempuan masih tergantung terhadap jurnalis
laki-laki. Barulah setelah koran ini berdiri, baik Parada maupun Abdul Rachman
sebagai administratur menyerahkan kepengurusan kepada pihak perempuan.
Seperti yang dituliskan Abdul Rachman pada edisi Agustus 1919 ; “Sebagaimana
toean-toean pembatja melihat pada kepada orgaan ini maka saja telah tidak
terseboeat lagi selakoe administratie, lain tidak sebabnja, karena ini soerat chabar
ada bernama perempoean bergerak, mendjadi menoentoet itoe saja berlepas diri,
dengan pengharapan besar, biarlah pihak perempoean sadja jang berkedja dan
mengoeroeskan ini soerat chabar”.
Dalam literatur Garis-garis besar perkembangan ‘Kuta’ menjadi kota besar
Medan ; 112-113 dituliskan terkait hubungan ini, Parada berjasa menarik minat
kaum wanita ke dunia pers. Sesudah beberapa nomor terbit Perempoean Bergerak
ditinggalkannya oleh Parada Harahap untuk diasuh terus oleh wanita sendiri
dengan Siti Rohana sebagai pemimpin redaksinya. Parada kembali ke Padang
Sidempuan untuk memimpin mingguan ‘Pustaha’. Ketergantungan redaksi
perempuan dalam mendirikan koran Perempoean Bergerak juga terlihat dari
pemilihan tempat percetakan Koran Perempoean Bergerak ini yang sama dengan
percetakan koran Benih Merdeka yang terbit bulan Januari 1916. Koran ini
dicetak di NV. Drukkerij “Setia Bangsa”, milik asli Indonesia dengan pemegang
saham tunggal Tengku Raja Sabaruddin, bekas Wedana Master Cornelis
(Jatinegara).
Pemilihan percetakan ini erat kaitannya dengan hubungan Directrice koran
Perempoean Bergerak TA Sabariah dengan Tengku Raja Sabaruddin yang
sebelumnya disebut sebagai kerabat dekat dan disebut juga sebagai istri dari
Direktur percetakan tersebut. Koran Perempoean Bergerak ini lahir dari semangat
bersama antara laki-laki dan perempuan agar dapat mencapai kemajuan. Hal ini
bisa dilihat dari Gerakan Perempuan melalui surat kabar Jurnal Simbolika, 5 (1)

13
April 2019: 59-85 75 Perempoean Bergerak di Medan 1919, Liza Tanura (2013;
4), terbitnya koran Perempoean Bergerak merupakan kerjasama yang baik antara
Parada Harahap dengan seorang guru yang bernama Tengku A. Sabariah yang
kemudian menjabat sebagai direksi/directrice. Namun dalam konten-konten teks
yang ditulis oleh laki-laki, terlihat jelas kalau kalau kaum laki-laki yang sejatinya
menjadi partner bagi perempuan yang seimbang menilai perempuan masih lemah
dan perempuan selayaknya berada pada ranah domestik. Padahal dalam konsep
gender menurut Mansour Fakih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
(1996), konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misal, perempuan
dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Padahal ciri dan sifat itu sendiri
merupakan sifat yang dapat dipertukarkan.
Konten bias jender atau kondisi yang menunjukkan adanya keberpihakan
terhadap laki-laki daripada perempuan ini dapat dilihat dari tulisan Pemimpin
Redaksi, Parada Harahap pada edisi pertama yang menyebutkan; “Memperbaiki
nasib saudara-saudara dan mempertinggikan derajat toeantoean soepaja tidak
rendah dipandang lelaki yang sepatoetnya saling hargamenghargai”. Kemudian
dalam tulisan Parada yang berjudul Abad Bertoekar, Zaman Berganti itu
dilanjutkan lagi dengan kalimat, “O, saudara koe perempoeanperempoean?.
Saudara sangat perloe mendapat peladjaran jang semporna dari sekolah, boekan
sadja tjoema beladjar boeat menoelis, membatja, memasak, merenda, tapi banjak
lagi lain-lain hal jang saudara mesti peladjari. Ingatlah wahai saudarasaudara,
toean-toean nanti akan menjadi goeroe jang teroetama apabila toean telah
mendjadi ibu, maka barang pastilah koerang semporna pendjagaan seorang goeroe
jang ta’ berpengertian jaitoe djika toean-toean telah djadi iboe dengan
ta’mempoenjai kepandaian jang perloe toean-toean tjoerahkan kepada moerid
sedjati toean” (anak).
Dalam tulisan ini, Parada Harahap menilai meskipun perempuan
mendapatkan pelajaran yang sempurna di sekolah, memiliki hak yang sama
dengan kaum laki-laki dalam pendidikan tapi tak lain hal itu tujuannya untuk
kembali ke ranah domestik yakni menjaga anak. Mansour Fakih dalam Analisis

14
Gender dan Transformasi Sosial, (1996: 21), bias jender yang mengakibatkan
beban kerja tersebut sering kali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan
atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai
jenis ‘pekerjaan perempuan’, seperti semua Lia Anggia, Sejarah Pers Perempuan
di Sumut (Studi Analisis Wacana Kritis Perspektif Feminis 76 pekerjaan
domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan
yang dianggap sebagai ‘pekerjaan lelaki’, serta dikategorikan sebagai ‘bukan
produktif’ sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Begitu
juga dengan tulisan A. Wahab AZ pada edisi Juli 1919, alumni HIS Padang ini
awalnya menilai kalau perempuan sudah seimbang dengan laki-laki. “Hampir di
setiap post kantor di Sumatera atau di tanah djawa dan pada kantor jang lain-lain,
kelihatan satoe doea gadis boemipoetra bekerdja tegak berdiri di sisi saudaranja
laki-laki.
Dari dalil jang kedua ini dapat kita ketahoei bahwa bangsa perempoean
itoe meskipoen bersifat lemah, toch sanggoep djoega berlomba-lomba dalam
pengoelaan hidoep. Asal dia djoega diberi opvoeding dan onderwijs seperti laki-
laki, dan banjak tanda-tanda jang lain lagi.Serta dilanjutkannya dengan kalimat,
Ibarat dari saudaranja laki-laki jang telah terdaholoe sedikit madjoe dari padanya.”
Menarik juga jika melihat bias jender tulisan Mohammad Daroes dari Kisaran
pada edisi Perempoean bergerak, Januari 1920 menuliskan ; “Perempoean itoe
soenting permainan doenia, jang terlebih oetama terlaloe amat indah dan besar
faidahnja dalam hal peratoeran alam jang luas ini, perempoean itu sepantoean
boenga dan perhiasan jang elok dalam pemandangan djadi boenga goebahan
dalam alat keramaian”.
Tulisan ini pun langsung mendapatkan respon dari directrice dan redaksi
Perempoean Bergerak. Dalam edisi yang sama, directrice langsung menuliskan;
“Apakah kami pehak perempoen tidak poela dapat menoeliskan adapoen lakilaki
itoe sepantoen boenga dan perhiasan jang elok dalam pemandangan djadi boenga
goebahan dalam alat keramaian? Dan tidak begitu sadja tapi djoega djadi ratjoen
meroesaki dan meharoe biroe dalam doenia ini. Apakah soedah diloepakan jang
segala keboeroekan pehak perempoean hanja dari moelotnja lakilaki, tapi kalau
dalam kaoem perempoean selaloe ada perkataan lakilaki itoelah jang bertabiat

15
boesoek.” Respon pun berlanjut pada edisi Februari 1920, redaksi menuliskan ;
“Demikianlah sebabnja tidak rata pehak kita perempoean menoedjoe zaman
kemadjoean karena kaoem kita pihak laki-laki, selamanja tidak timbang, goena
boeat kemadjoean pehak kita perempoean.” Respon masyarakat sejak munculnya
koran Perempoean Bergerak boleh dibilang memuaskan. Tercatat koran ini
mampu merangkul sekitar 391 orang pelanggan baik perempuan dan laki-laki
dengan total abondemen untuk waktu berlangganan yang berbeda, sebesar f.14,50,
sebuah angka yang luar biasa untuk masa itu. (Seabad Pers Perempuan, 58).
Hal ini juga bisa dilihat dari tersebarnya pembaca tidak hanya berasal
Jurnal Simbolika, 5 (1) April 2019: 59-85 77 dari Sumut, melainkan juga dari luar
Sumatera Utara yang dapat ditelusuri dari rubrik Chabar administratie. Termasuk
dengan beragamnya penulis dari luar daerah Sumut. Sebagai koran pelopor
gagasan perempuan di Sumut, Koran Perempoean Bergerak memang cukup
berani. Bisa dilihat dari ilustrasi surat kabar itu; dua perempuan bertelanjang kaki
mengenakan baju kurung, matanya tertutup kain hitam, dengan sedikit bagian
dadanya terbuka. Dua orang perempuan itu tampak sedang melangkah terbelit tali
kawat berduri. Perempuan itu juga dipenuhi lilitan bunga yang membuat mereka
tidak mendapatkan kebebasan atau sama dengan keindahan palsu (imitation). Di
antara kedua perempuan itu ada gambar ular membelit di tongkat yang kanan
kirinya diberi sayap. Ilustrasi ini menceritakan kehidupan kaum perempuan yang
dibelenggu banyak hal, sehingga melalui koran inilah diharapkan perempuan
dapat memperbaiki nasibnya dan mencapai kemajuan. (Toelisanja Pehak
Perempoean, Sartika Sari dalam Sirkam Zine, 6).
Kebulatan tekad awak redaksi untuk melepaskan diri dari belenggu budaya
patriarki dalam ilustrasi tersebut terlihat tidak konsisten jika ditilik dari perubahan
tata letak (layout/perwajahan) Koran Perempoen Bergerak terjadi perubahan pada
edisi April 1920. Edisi tersebut hanya menampilkan langsung kotak redaksi dan
sama sekali tidak lagi terlihat ada ilustrasi dua orang perempuan yang
sebelumnya. Padahal dalam media perwajahan atau layout memegang peranan
sangat vital dalam segala bentuk desain komunikasi visual, karena layout sangat
berkaitan dengan penaatan keseluruhan elemen visual dalam desain, (Graham,
2005). Dalam konteks desain grafis, layout adalah sebuah metode dalam

16
menyusun atau mengorganisasi keseluruhan elemen visual dalam desain yang
terdiri dari grafis, tipografi dan ruang dalam satu kesatuan desain yang
mendukung fungsi media sebagai alat komunikasi. Sehingga perubahan tata letak
akan berpengaruh besar terhadap penyampaian komunikasi kepada pembaca.
Terjadinya perubahan perwajahan koran ini menurut peneliti berkaitan dengan
semakin minimnya redaksi perempuan pada edisi April dan Mei 1920 sehingga
terlihat melemahkan posisi redaksi. Tidak terlihatnya nama Pemimpin Redaksi,
begitu juga sejak Desember 1919, Boetet Satidjah tidak lagi menjadi redaksi.
Bahkan pada bulan Mei 1920, AS Hamidah juga tidak lagi terdapat
namanya di kolom redaksi. Motor koran tersebut ketika itu hanya dijalankan oleh
CH Barijah, Siti Lia Anggia, Sejarah Pers Perempuan di Sumut (Studi Analisis
Wacana Kritis Perspektif Feminis 78 Sahara, Rabiatoel Adwie (mateour) dan TA
Sabarijah dan Mevr. K Woendokoesoma. Terkait hal ini, dalam edisi Mei 1920,
Directrice TA Sabarijah menuliskan kalau perubahan itu terjadi semata untuk
menghindarkan cela dari masyarakat yang menilai kalau koran tersebut ingin
mengambil gerakan diluar batas atau ingin kepada vrijheid (kebebasan). Secara
jelas terlihat dari perubahan ilustrasi sebelumnya mendapat cela dari masyarakat
yang menilai kalau koran Perempoen Bergerak menginginkan kebebasan.
“Pembatja tak oesah djadi keliroe bila kepala karangan ini ada itoe matjamnja;
karena boeat sesoeatoe pergerakan jang dilakukakan oleh bangsa apa djoega
dalam doenia ini.
Soedah boleh dipastikan, rewelnja boekan sedikit, malahan tempo-tempo
ada besar sekali bahajanja.” “Hingga dari beberapa pehak ada terbit tjela bagi
kaoemkoe perempoean jang dikatanja ingin kepada vrijheid; dan oleh karena
verijheid itoe soedah djadi terdjeroemoes kedjoerang kehinaan”. (Koran
Perempoean Bergerak, Mei 1920). Dimensi Praktik Sosial Budaya (Makro-
struktural) Dalam dimensi ini, konteks sosial yang ada di luar media
mempengaruhi bagaimana wacana tersebut muncul dalam media. Dimensi ini pun
dianalisis dengan tiga level yakni level situasional dimana teks berita dihasilkan
dalam kondisi atau suasana yang khas, sehingga ada kemungkinan satu teks
berbeda dengan teks lain untuk satu kasus. Kedua level Institusional yakni adanya
pengaruh institusi organisasi dalam produksi wacana, di antaranya ; pengiklan,

17
oplah/rating dan persaingan antar media. Serta ketiga level sosial dimana wacana
yang muncul dalam media ditentukan pula oleh faktor perubahan masyarakat.
Dalam dimensi situasional terbitnya koran Perempoean Bergerak ini
sebagai upaya kaum perempuan di masa itu untuk melakukan pergerakan dengan
mengajak kaum perempuan yang lain agar mampu membebaskan diri dari
ketidakadilan dalam keadaan sosial mereka agar kaum perempuan dapat
menikmati kemajuan zaman terutama dalam hal pendidikan, sosial, ekonomi dan
politik seperti apa yang dinikmati oleh kaum laki-laki sebelumnya. Situasi ini
diperkuat dengan kebijakan Politik Etis yang dilakukan Belanda di masa itu
melalui amanat Ratu 1901 yang diartikan sebagai peningkatan campur tangan
negara dalam urusan ekonomi. Rencana ekonomi ini dibarengi dengan sebuah
program yang ambisius dalam pendidikan, bangunan prasarana seperti irigasi,
perundang-undangan, dan perhatian pada kesehatan rakyat. (Saskia, Jurnal
Simbolika, 5 (1) April 2019: 59-85 79 penghancuran gerakan perempuan di
Indonesia, 1999). Setelah diterapkannya Politik Etis oleh pemerintah kolonial
Belanda, kesempatan bersekolah bagi penduduk pribumi semakin terbuka.
Dalam Suara Perempuan Sumatera; Pers Perempuan di Sumatera Utara
pada zaman kolonial 1919-1942 yang ditulis oleh Dr. Wannofri Samry, bahwa
dari Onderwijs statistik oveer net school jaar (1938-1939) diketahui sudah ada
sekitar 1.801.674 penduduk pribumi yang bersekolah. Sebanyak 456.809
diantaranya adalah kaum perempuan. Jumlah ini pun terus meningkat sebelum
pendudukan Jepang, dimana sebanyak 2.101.769 sudah bersekolah dan sebanyak
588.394 orang diantaranya adalah perempuan. Perkembangan pendidikan itu juga
menjangkau penduduk Sumatera yang mana pada tahun 1939 ada sebanyak
348.010 penduduk pribumi bersekolah dan 112.893 orang diantaranya adalah
kaum perempuan.
Pentingnya perempuan mengecap pendidikan terlihat dari konten yang
ditulis baik dari redaksi maupun penulis di luar redaksi. Pentingnya pendidikan
bagi kaum perempuan menjadi fokus utama dalam isu-isu yang dimuat di koran
ini. “Dahoeloe (15 tahoen) jang telah laloe boleh dikatakan beloem ada anak
perempoean di oskust ini jang bersekolah. Djangan tidak kata iboe saja adalah
seorang doea orang sadja, itoepoen tjoema anak-anak goroe jang mengadjar di

18
sekolah itoe, jang dijadikannya tjermin boeat tjonto penarik hati jang lain.”
“Tetapi kaloe dibandingkan banjaknya anak perempoean jang bersekolah dengan
laki-laki terpaksa kita menarik nafas dan berkata: helah..nasibnja anak perempoen
dan sebentar itoe kegirangan tadi djadi hilang, karena sebagian ketjil sadja paling
tinggi 10 pct dari banjaknya laki-laki.”(Chairoel Barijah, Juni 1919, Pertimbangan
oentoek kakak dan adik) S. Halimah dalam edisi September 1919 dengan esai
berjudul Perhiasan juga menuliskan ajakan agar perempuan dapat mengecap
pendidikan. “Oleh sebab itoelah, wahai sekalian handai tolankoe! Marilah kita
bergerak bersama-sama menoentoet pengadjaran jang sempoerna soepaja
sampoerna hidoep kita di atas doenia jang maha loeas ini” Selain persoalan
pendidikan, beberapa tulisan dalam koran ini fokus pada peningkatan kesehatan
perempuan.
Dalam tulisan Beroending edisi Juli 1919, perempuan disadarkan untuk
lebih mempercayai dokter daripada pengobatan dukun. “Doekoen Kampung biasa
menolong orang sakit dengan semboer-semboeran dan djampi-djampi, tapi doctor
memakai obat-obatan jang berokoer dan bertimbang, inipoen semoea di kala
mengata djoega boekan? Ja, tapi pelan lama ada banjak kaoem koeno jang
memakai Vroedrow dan Doctor.” Lia Anggia, Sejarah Pers Perempuan di Sumut
(Studi Analisis Wacana Kritis Perspektif Feminis 80 Selain itu, koran ini juga
menuliskan bahwa di Medan akan dibuka sekolah Doekun Beranak atau sekolah
bidan yang mendatangkan guru dari Belanda, upaya ini dilakukan untuk menekan
angka kematian ibu dan anak.
Dalam dimensi ini, peneliti juga menemukan perempuan di masa itu
berhadapan dengan masa Perkebunan Deli di Medan. Ekspansi kapitalisme
perkebunan di Sumatera Timur dimulai tahun 1862 ketika pengusaha Belanda,
Jacob Nienhuys mendesak Sultan Deli agar memberi konsensi penyewaan tanah
tersebut untuk diusahakan sebagai perkebunan tembakau. Deli kemudian menjadi
konglomerasi pemukiman kulit putih yang dikelilingi Cina dan Jawa, yang
umumnya bukan penduduk asli tanah Deli. Dalam tulisan Sitti Roekiah berjudul
Ajam beranak itik (Perempoean Hindia djadi Njai), edisi Mei 1919 secara jelas
mengajak perempuan pribumi untuk tidak mau dijadikan njai oleh bangsa asing.
“Adoehai sekalian perempoean bangsakoe anak Hindia Nederland! Kiasan dan

19
ibarat dengan tjeritera jang ringkas dari pada ajam beranak itik yang di atas ini,
jadilah soeatoe sindiran bagi kita perempoean, jang soeka mendjadi njai kepada
bangsa asing, oempama djadi njai orang Tionghoa, Benggali, Keling, orang poetih
dan sebagainja. Seorang perempoean bangsa kita, didjadikan njai oleh seorang
Belanda, bila kita peroleh anak, di belakang hari anak kita itoe, lahir dan batinnja
ia mengakoe dirinja Belanda djoega, meskipoean darahnja njata dari 50 pCt darah
Belanda dan 50 pCt darah Hindia.” Begitu juga tulisan Mariam berjudul Kawin
dengan bangsa lain, edisi Desember 1919 mengkritisi perkawinan campur pada
masa itu. “Jang mendjadikan djeleknja perkawinan tjampoer dan banjak nja
bangsa kita jang telah terdjeroemoes dalam djoerang itoe ialah : bahwa kapital
jang berdosa telah meroesakkan kemana kita mereboet kemerdekaan kita,
merampas aloes kesenangan kita, melenjapkan kemoeliaan kita, memoesouh
igama kita dan telah menghantjoerkan dinding batas kebangsaan kita.” Roehana
Koeddus dalam tulisannya pada edisi September 1920 juga mengecam perlakuan
pemeirntah kolonial yang eksploitatif dan tidak berpihak pada perbaikan
masyarakat Indonesia terutama kaum perempuan. “…dimana kemelaratan dan
kesoesahan jang diderita oleh kaoem dan bangsanja Hindia soedah hampir
meliwati jang moetinja ditanggoeng sebagai hidoepnja sesoeatoe bangsa jang
berada dalam djajahannja (kolonie) jang soeboer dan dapat perlindoengan jang
halal dari Radja2 dan pemerintahnja atoe jang berwajib melondoengi mereka
sebagai ra’jat jang membajar bea padjak dan belastingnja oentoek pemeliharaan
dirihak milik dan keselamatan kehidoepanja.”
Dalam dimensi Institusional koran ini banyak dipengaruhi oleh
Europesche Vrouwen en Juffvroum (Forum istri-istri dan wanita (lajang) Eropa),
dengan Jurnal Simbolika, 5 (1) April 2019: 59-85 81 kerjasama untuk merajut
jejaring memberitakan kabar dan arus pergerakan feminisme di Eropa. Hal ini
juga dituliskan oleh Boetet Satidjah dalam edisi Mei 1919, “Saja harap pada no
jang kedoea dari orgaan ini bolehlah membawa chabar bahasa feminisme kita ini
akan ada ditoendjang djoega oleh Europesche Vrouwen en Jufrouwen.” Pengaruh
kerjasama ini terlihat jelas dalam konten yang ditulis oleh redaksi, seperti artikel
mengenai Kehidoepan dan Pekerdjaan Perempuan di Amerika dalam edisi
Oktober 1920 yang mendapat porsi hingga tiga halaman. Bahkan dilanjutkan

20
dalam edisi November 1920 berjudul sambungan AS dan Desember 1920 tentang
Soeara Perempoean di AS. Artikel yang ditulis lebih banyak menginformasikan
bagaimana perempuan di luar berjuang untuk meraih persamaan hak dalam
berbagai bidang. “Di Amerika tiadalah pernah kedjadian hal jang seroepa itoe.
Perempoen di sana boleh mendapat apa jang dimintanja asal ia berkendak betoel-
betoel.
Djoega di persidangan wakil ra;jat memperkatakan apa apanja, oempama
oendang-oendang jang haroes diperboeat atau dioebah, orang perempoean toeroet
djoega hadir. Djadi boekan sadja perempoean Amerika itoe berperasaan social,
politik poen ditjampoeri djoega”.(edisi Oktober 1920) Di Amerika juga di eropa
perempoean jang terpelajar tidak maoe lagi tinggal di roemah sadja dengan
memakan pentjarian soeaminja, dia maoe mentjari bersama-sama dengan
soeminja. (edisi Oktober 1920) Perempoean Amerika pandai bekerdja, tidak maoe
tinggal malas, sama-sama bekerdja oentoek keperloean negeri mengerdjakan
pekerdjaan jang besar pahalanja, tentoelah ia akan mendjadi teladan jang baik
oentoek perempoean di tanah lain.(November 1920) Selain itu, dalam konten
koran ini, direksi terlihat khusus menuliskan dua esai mengenai pergerakan yang
terbit pada April dan Mei 1920.
Edisi April 1920 menuliskan, “Wahai kaoemkoe perempoean apakah
kiranja orang laki-laki sadja, di zaman perobahan ini jang madjoe dalam
pergerakan jang ditoejoenja itoe, dengan tida dijampoeri kaoem kita perempoean?
Tida, soedaraku! Memang didalam bangsa mana djoega bila kaoem perempoean
tida toeroet tjampoer soedah tentoe apa djoega mendjadi tawar. Begitu juga pada
edisi Mei 1920, direksi menuliskan ; “Dengan tidak meloepakan kepada
perobahan, kita madjoe kemoeka sebagai merajap, tapi memakai ketegoehan hati
dalam tjara bangsa kita perempoean boemipoetra jang tidak melampaui watas,
sebagai mana dikata oleh kebanjakan soera jang seroepanja soedah tidak mengerti
maksoedmaksoed apa jang kita maksoedkan”.
Munculnya pergerakan perempuan di masa itu dipengaruhi dengan
berdirinya berbagai organisasi perempuan di tanah air. Ini terjadi karena hubungan
yang Lia Anggia, Sejarah Pers Perempuan di Sumut (Studi Analisis Wacana Kritis
Perspektif Feminis 82 makin banyak antara mereka yang menjadi anggota

21
perkumpulan dalam pertemuanpertemuan yang diadakan maupun dengan
dipergunakannya majalah atau penerbitan berkala sebagai sarana modern yang
sudah dianggap selayaknya. Selain majalah Poetri Mardika termasuk juga
Perempoean Bergerak di Medan. (Suryochondro, 1984). Pada masa itu, semua
organisasi yang mendirikan surat kabar bertujuan untuk meningkatkan martabat
perempuan dengan memberikan pendidikan.
Organisasi ini membuka ‘sangkar’ perempuan bangsawan atau perempuan
dari golongan atas dan menengah yang biasanya dipingit di dalam rumah. Melalui
organisasi perempuan dapat bertemu dengan teman-teman sekaumnya dan mereka
akhirnya memperjuangkan emansipasi bersama-sama. (Cora: 2008). Koran
Perempoean Bergerak ini juga dipengaruhi oleh iklan-iklan yang diterbitkan. Dari
iklan yang dimuat koran ini dominan mensasar kebutuhan kaum perempuan,
mulai dari kain batik, kain songket, perhiasan seperti emas, buku cerita, lonceng
angin kereta dan lainnya. Hanya satu iklan yang terlihat diperuntukkan bagi kaum
laki-laki yakni iklan pisau cukur.
Namun koran ini tidak banyak memuat iklan, keberlangsungannya
ditopang dari pembayaran ambodemen dari para pelanggan yang tersebar di
Sumut maupun di luar daerah. Kondisi ini juga mempengaruhi tulisan-tulisan
yang dimuat dan berasal dari penulis di berbagai daerah. Di sisi lain, koran ini
juga dipengaruhi dari artikel-artikel yang dimuat koran lain seperti koran Sinar
Hindia di Semarang atau artikel dari Deli Courant. Misalnya, ulasan yang ditulis
Directrice tentang kejadian jang ngeri pada edisi Agustus 1920, tulisan ini
mengutip artikel Deli Courant. “Dari soerat kabar Deli Courant 10 ini boelan, kita
koetip satu toelisan, jang dikoetipnja poela dari soerat kabar Java Bode jang terbit
di Batavia.”(Agustus 1920) Dimensi level sosial dipengaruhi oleh perubahan
masyarakat di masa itu.
Dalam tulisan Parada Harahap, Abad Bertoekar Zaman Berganti pada edisi
Mei 1919 mengajak masyarakat untuk melakukan perubahan karena zaman yang
sudah bertukar. “Orang-orang pandai selaloe menjeboetkan abad ini abad jang
menerbitkan banjak kemadjoean manoesia jang berdiam dimoeka boemi ini,
betapa tidak orang gelarkan abad ini abad kemadjoean, sebab di abad jang ke XX
inilah toemboehnja beberapa matjam gerakan, perobahan, enz.” Begitu juga

22
Directrice menulis dalam Salam redaksi edisi Mei 1919 ; Jurnal Simbolika, 5 (1)
April 2019: 59-85 83 “Soedah galisnya peredaran alam akan berobah-obah
menoeroet kemaoean zaman maka oleh sebab itoelah djoega perempoean bergerak
diterbitkan oentoek kemaoean zaman sekarang, jang mana soedah patoetnja dan
lajaknya pehak perempoean akan toeroet menginyam boeah lezat jang bernama
kemadjoean.” Melalui dua tulisan ini terlihat bahwa pada masa itu baik laki-laki
dan perempuan menyadari akan zaman yang sudah bertukar, sehingga harus
dilakukan perubahan untuk mencapai kemajuan bersama. Kemajuan ini pun
disadari akan dapat terwujud jika kaum perempuan dan laki-laki berada pada
percaturan yang sama.
2.1.2 Nasional
Munculnya gerakan kaum perempuan di Indonesia pada abad XIX tidak
terlepas dari pengaruh dari gerakan perempuan yang berada di belahan dunia. Di
Indonesia pengaruh tersebut muncul dalam bentuk keragaman ideologi, yang
berkembang pada masa Nasionalisme Indonesia yang menyebabkan terbentuknya
berbagai organisai pergerakan nasional Indonesia. Salah satunya yaitu gerakan
kaum perempuan, Indonesia dalam bidang pendidikan. Seperti hanya pada masa
kolonial Belanda, dunia pendidikan banyak terbatas diperoleh oleh orangorang
Belanda serta kaum priyayi atau bangsawan.
Perkembangan pendidikan dengan model barat keras berjalan di Indonesia
pada masa itu. Hal tersebut menyebabkan bertambah Perjuangan Gender ….. –
Syahrul Amar 109 banyaknya jumlah pelajar dari kaum pribumi pada lembaga
pendidikan atau sekolah barat, khususnya dari kalangan priyayi. Kalangan
terpelajar bangsa Indonesia semakin terbukti melihat adanya perbedaan yang
sangat mendasar antara bangsa Eropa dan bangsa Indonesia, seperti dalam
tingkatan stratifikasi dan gaya hidup.
Kondisi kalangan pribumi atau bangsa Indonesia itu sendiri yang masih
terbelakang, kuno serta kolotnya kehidupan tradisional yang dialami pada masa
itu. Hal ini membawa perubahan pandangan pada kalangan terpelajar, bahwa
tradisi nmulai dipandang bukan lagi sebagai suatu yang wajar yang harus
dijunjung tinggi, melainkan tradisi adalah hambatan terhadap suatu kemajuan
yang ingin dicapai. Pada masa itu tatanan adat dan tradisi cukup kuat

23
membelenggu kehidupan di segala bidang bangsa Indonesia. Kalangan terpelajar
yang dapat mengenyam pendidikan terbatas pada kaum laki-laki sementara kaum
perempuan belum seluruhnya dapat menikmati pendidikan. Kenyataan ini
membuat dimensi dominasi lakilaki atas perempuan hanya ditempatkan sebagai
pendamping suami yang hanya bertugas menyiapkan kebutuhan rumah tangganya.
Berdasarkan keprihatinan terhadap kondisi kaum perempuan Indonesia tersebut,
beberapa tokoh perempuan muncul sebagai pelopor kebebasan dan kesetaraan.
Langkah ini dikenal dengan nama gerakan emansipasi wanita.
Gerakan emansipasi wanita ini dipelopori oleh seorang anak bupati Jepara
yaitu Raden Ajeng Kartini. Raden Ajeng Kartini memiliki cita-cita yang tinggi
untuk mengangkat kaum perempuan, sehingga setara dengan kaum laki-laki
terutama dalam hal pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat dari tulisan-tulisannya
yang berbentuk surat-surat yang ditujukan kepada sahabat-sahabatnya di Belanda.
Kumpulan surat-surat Kartini tersebut kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku
yang berjuduul Habis Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1911. Dalam buku
tersebut diangkatlah bagaimana sikap atau pandangan orang tua terhadap putra-
putrinya. Ketaatan dan kepatuhan kepada adat, termasuk kaidah-kaidah tata susila,
sopan santun, serta tata cara yang mengatur hubungan sosial.
Pada abad 19 jumlah putra-putri kaum pribumi yang bersekolah pada
lembaga pendidikan Eropa semakin besar. Hal ini sangat wajar berdasrkan lokasi
sosialnya, bangsawan pribumi menjadi pelopor modernisasi masyarakat
Indonesia. Tidak mengherankan pula dari kalangan itu muncul prakarsa untuk
mendirikan sekolah bagi kaum wanita yang diasuh oleh para warga ningrat itu
sendiri. Untuk itu kaum wanita selain mendapat pelajaran untuk mengasah
kecerdasan dan keterampilannya. Selain itu juga dapat membangun sopan santun
dan kesusilaan karena wanita mendapat pendidikan pada lingkungan sekolah dan
lingkungan keluarganya. Maka sudah sewajarnya kaum perempuan mendapat
panggilan suci dalam pendidikan. Jadi kunci kemajuan kaum perempuan
Indonesia adalah adanya kombinasi antara pendidikan Barat dengan pendidikan
Timur.

24
Perjuangan Gender ….. – Syahrul Amar 110 Munculnya Doktrin Gender di
Indonesia Suatu pergerakan timbul biasanya dipicu oleh adanya semangat yang
kuat untuk mengadakan perbaikan ke arah yang lebih adil, karena struktur sosial
yang dianggap timpang. Begitu juga gerakan perempuan. Secara historis gerakan
perempuan diberbagai negara di dunia umumnya disebabkan oleh kondisi sosial
politik setempat. Pada intinya gerakan perempuan ini bangkit dalam rangka untuk
memperbaiki tatanan pemerintahan sekaligus kultural masyarakat yang cukup
kondusif menciptakan gejala ketimpangan perlakuan antara perempuan dan
lakilaki. Di Indonesia sendiri pada abad XIX gerakan kaum perempuan terfokus
pada menuntut untuk hak persamaan dalam bidang pendidikan.
Perempuan pada waktu itu terkekang dengan budaya setempat yang tidak
membolehkan kaum perempuan untuk memiliki pendidikan yang tinggi seperti
kaum laki-laki. Perempuan bertugas menurut pada suami dan mengurus pekerjaan
rumah tangga lainnya. Perempuan sebagai the second sex yang bahkan tercermin
dalam ungkapan-ungkapan yang lebih mengutamakan laki-laki. Ungkapan
Suwargo nunut neroko katut, yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan
istri hanya tergantung pada suami adalah contoh dimana perempuan dianggap
tidak berperan dalam kehidupan.
Situasi kebudayaan dengan semangat yang tercermin dalam ungkapan itu
sangat dominan hingga pergantian abad ke-20. Sejarah menunjukkan bahwa hal
itu harus berakhir karena datangnya kebudayaan modern. Contohnya ketika para
pemuda Jawa yang terpelajar sudah tidak tahan pada dengan kondisi pada waktu
itu, kemudian para pemuda tersebut mendirikan Budi Utomo, dan yang terjadi
adalah pemberontakan kebudayaan. Pemberontakan tersebut sangat penting dalam
sejarah Indonesia, karena menjadi tanda bangkitnya nasionalisme dan sekaligus
mundurnya kebudayaan Jawa. RA. Kartini yang telah berjuang mengangkat kaum
perempuan dengan istilah Emansipasi Wanita melalui peningkatan dalam bidang
pendidikan, telah mengalami kemajuan yang luar biasa dalam pergerakan kaum
perempuan. Perkembangan tersebut tidak hanya dalam bidang pendidikan saja
tetapi dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dengan dibuktikan adanya
pergerakan kaum perempuan dalam bidang-bidang tersebut. Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjamin semua warga negara mempunyai hak dan kedudukan

25
yang sama bagi pergerakan perempuan untuk memperbaiki nasib dan
meningkatkan kedudukannya. Untuk itulah kaum perempuan selalu berupaya
melakukan yang terbaik untuk kaumnya, tentunya dengan membentuk organisasi-
organisasi wanita. Tuntutan-tuntutan organisasi tersebut akhirnya didengar oleh
pemerintah.
Kepedulian pemerintah terhadap tuntutan pergerakan wanita dibuktikan
dengan disediakannya jabatan menter muda urusan Peranan Wanita pada tahun
1978; yang kemudian ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan
Wanita. Dalam GBHN tahun 1978 menyatakan bahwa wanita mempunyai hak,
kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya
Perjuangan Gender ….. – Syahrul Amar 111 dalam segala kegiata pembangunan.
(Riant Nugroho, 2008: 133).
Sekarang ini Kementriannya disebut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Berdasarkan pemaparan tersebut di atas bahwa munculnya
gender di Indonesia berawal dari adanya tradisi budaya yang kuat yang mengikat
kaum perempuan pada waktu itu. Perempuan dianggap sebagai the second sex
yang hanya bertugas membantu suami saja. Hal tersebut yang mendorong adanya
pemberontakan oleh kaum perempuan itu sendiri terhadap budaya mereka, dengan
munculnya RA Kartini sebagai pelopor pemberontakan tersebut. Dengan
memajukan perempuan dalam bidang pendidikan. Akhirnya muncullah berbagai
pergerakan kaum perempuan dalam berbagai bidang seperti, sosial, politik,
budaya pertahanan dan sebagainya.
Untuk itulah gerakan perempuan adalah pondasi dasar munculnya gender di
Indonesia. Gerakan perempuan adalah salah satu usaha untuk mencapai keadilan
dan kesejahteraan dalam masyarakat dunia, dan Indonesia khususnya. Tentunya
dengan adanya dukungan oleh kaum laki-laki dan wanita dari berbagai generasi,
organisasi, dan lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta serta oleh dunia
internasional sehingga kaum perempuan mampu hidup adil dan sejahtera. Tokoh-
tokoh Perempuan Indonesia yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan. Raden
Ajeng Kartini Cita-Cita dan Perjuangan RA Kartini Cita-cita Raden Ajeng Kartini
tidak lepas dari bagaimana keadaan masyarakat pada waktu itu. Secara garis besar
keadaan masyarakat aatau bangsa Indoensia dan khususnya kaum wanita masih

26
sangat terbelakang. Disamping itu mereka masih terkurung dengan kokohnya oleh
adat nenek moyangnya, menurut pandangan Kartini, adat yang dipaksakan itu
adalah merupakan suatu tradisi yang kaku dan mati. Wanita Indonesia di abad
XIX itu, semata-mata dibebani kewajiban mengurus, mengatur rumah tangga dan
mendidik serta mengasuh anakanaknya. Mereka sama sekali tidak mengenal dan
mempunyai hak apapun sebagai manusia, kecuali mereka harus taat, tunduk dan
patuh kepada ayah, ibud an saudara-saudaranya yang lebih tua.
Semenjak kecil gadis sudah dididik tentang bagaimana mereka harus berbakti
kepada suaminya. Mereka harus menyerah dalam segala persoalan dan harus
selalu bersabar. Bahkan menurut adat pada waktu itu, kedudukan atau derajat
wanita dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Hal yang demikian ini
menyebabkan laki-laki menjadi laba akan hak. Mereka menjadi tinggi hati dan
hanya dirinya sendiri yang dipikir. Oleh karena itu mereka tidak memiliki
kebebasan sebagaimana yang dimiliki kaum laki-laki. Kebebasan untuk keluar
rumah, kebebasan bersekolah, kebebasan untuk bekerja di luar rumah, dan lebih-
lebih menduduki jabatan dalam masyarakat, semua itu tidak dimiliki oleh kaum
wanita.
Demikian juga adat Perjuangan Gender ….. – Syahrul Amar 112 istiadat yang
lain seperti adat sopan santun, adat perkawinan dan sebagainya ditaati dan
dilaksanakan dengan tertibnya oleh kaum perempuan (Tashadi, 1986 : 64).
Keadan masyarakat yang demikian itu dialami pula oleh RA Kartini. RA Kartini
sebagai seorang gadis yang dilahirkan di lingkungan priyayi, merasakan keadaan
itu lebih berat daripada yang dialami oleh gadis-gadis kebanyakan. Ayah ibunya
yang termasuk golongan bangsawan, maka barang tentu akan memegang teguh
nenek moyangnya RA Kartini hidup di lingkungan keluarga yang telah maju
maka jiwa kemajuan yang ada pada keluarganya itu ternyata dapat diwarisi oleh
RA Kartini. Bobot kemajuan yang ada pada RA Kartini sudah mulai nampak
semenjak RA Kartini masih kanak-kanaknya itu, sudah ada keinginan pada
dirinya untuk bebas dan berdiri sendiri jiwa kemajuan yang adfa pada dirinya. Itu
makin lama makin bertambah subur. Lebih-lebih setelah RA Kartini menikmati
bangku sekolah, banyak membaca buku, melihat langsung keadaan masyarakat
dan nasib yang dialaminya sendiri.

27
Ia menyadari bahwa kaum dan bangsanya masih jauh terbelakang, dan
semakin berat penderitaan yang dialami oleh kaum dan bangsanya. Sebagai
seorang wanita muda berumur kurang lebih dua puluh tahun yang hidup dalam
iatan adat yang masih kuat serta alam penjajahan, RA Kartini telah emmikirkan
nasib kaum dan bangsanya, RA Kartini tidak hanya berusaha untuk membebaskan
kaumnya dari tradisi yang sangat mengikat, tetapi juga mendesak kepada
pemerintah agar meninjau kembali kebijaksanaan politiknya dan mengadakan
pembaharuan yang berguna bagi rakyat. RA Kartini bertekad bulat hendak
mengangkat kembali kedudukan kaumnya yang rendah.
Di samping itu juga RA Kartini berkeinginan hendak memajukan bangsanya.
Dengan melihat kondisi masyarakat yang seperti itu, RA Kartini banyak
memikirkan pesoalan yang menjadi pusat perhatiannya. Misalnya soal nasib kaum
wanita, pendidikan, kesenian, kesehatan dan sebagainya. Apa yang dirasakan
masyarakatnya dirasakan pula oleh RA Kartini. Jiwa RA Kartini telah bersatu
pada dengan masyarakatnya. Oleh akrena itu apa yang menjadi cita-cita Kartini
sebenarnya merupakan citacita dari masyarakatnya. Perjuangan RA Kartini
Mengenai perjuangan RA Kartini dalam jiwa dan dirinya, tida berarti bahwa RA
Kartini hnaya memeperjuangkan dirinya sendiri dan terbatas pada masyarakatnya.
Misalnya apa yang diperjuangkan dalam diri dan jiwanya itu, khsuusnya
menyangkut kepentingan kaum wanita dan umat manusia umumnya. Dalam
melaksanakan cita-cita itu Kartini mengalami perjuangan yang berat terutama
dalam menghadapi ayah, ibu dan keluarganya.
RA Kartini mempunyai keyakinan bahwa pada suatu saat akan datang
masanya anak laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang sama derajatnya.
Untuk mewujudkan cita-cita itu, RA Kartini juga memperjuangkan kepada
pemerintah Hindia Belanda. RA Kartini mendesak agar pemerintah memberikan
bantuan dan mengadakan pembaharuan yang berguna bagi rakyat. Beliau juga
meminta kepada Perjuangan Gender ….. – Syahrul Amar 113 pemerintah agar
membantu mendirikan sekolah uang diperlukan oleh anak-anak Indonesia.
(Tashadi, 1986 : 90. Perjuangan Kartini dalam Pendidikan Perjuangan RA Kartini
dalam dunia pedidikan sangat erat kaitannya dengan perjuangan emansipasi kaum
wanita. RA Kartini sangat memperhatikan pendidikan. Karena keadaan

28
pendidikan di Indonesia pada waktu itu sangat kurang dan menyedihkan. Pada
waktu itu anakanak Indonesia banyak yang terlantar dan buta huruf, dan sedikit
sekali yang mengenal bangku sekolah.
Mereka itu terdiri dari anak-anak yang berasal dari golongan tertentu dan
yang mempunyai kesempatan untuk memasuki sekolah, sedangkan anak-anak
yang miskin dibiarkan buta huruf dan bodoh. Berdasarkan data yang ada pada
waktu, anak-anak gadis yang masuk sekolah sangat umum, seperti pada tahun
1879 di sekolah kelas dua di pulau Jawa dan Madura ada 713 orang anak gadis,
dalam tahun 1889 di semua sekolah partikelir (swasta) seluruh Indonesia ada 2891
orang anak gadis, dan dalam tahun 1898 di sekolah Gubernemen kelas satu
(sekolah Belanda) di Pulau Jawa, hanya 11 orang anak gadis. Berdasarkan data
tersebut jelas terlihat bahwa masih banyak sekali anak gadis yang belum
mengenyam pendidikan dan gedung sekolah yang didirikan waktu itu masih
sedikit jumlahnya. Melihat keadaan yang seperti itu, RA Kartini bercita-cita ingin
menjadi guru agar dapat mendidik gadis-gadis Indonesia. Dalam hal pendidikan di
sekolah, Kartini menganjurkan agar anak-anak diberi pendidikan modern.
Hal ini tidka berarti akan membelandakan atau mengeropakan orang
Indoensia. Tetapi mereka tetap sebagai orang Indoensia yang cinta pada tanah
airnya dan berjiwa Indonesia. Maksudnya ialah bawa segi-segi pendidikan yang
baik dari luar itu yang diambil kemudian dipadukan dengan segi yang baik pula di
Indonesia. Demikianlah keinginan atau cita-cita RA Kartini baik dalam
memajukan pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Keinginanya tersebut ditulis
dalam suratnya tertanggal 1902, yaitu yang ditunjukkan kepada Ny. Abendanon,
yang bunyinya: ”Kami sekali-kali tiada hendak menjadikan murid-murid kami
jadi setengah orang Eropa, atau orang Jawa ke Belanda-Belandaan. Maksud kami
dengan mendidik bebas ialah terutama sekali akan menjadi orang Jawa itu, orang
jawa sejati, orang jawa yang berjiwa karena cinta dan gembira akan tanah air dan
bangsanya, yang senang dan gembira melihat kebagusan, bangsa dan tanah airnya
dan .... kesukarannya”.
Dalam salah satu suratnya yang lain Kartini berpendapat juga yang
mengatakan bahwa: ”Bila barang sesuatu yang bagus daripada bangsa yang satu
dicampur dengan barang sesuatu yang bagus daripada bangsa lain, maka akan

29
timbul sesuatu yang lebih baik dan lebih bagus dari perempuan itu” (Tashadi,
1986 : 30). Maksud dari surat tersebut adalah menganjurkan agar kaum dan
bangsanya mau mengambil dan meniru hal-hal yang positif dari barat. RA Kartini
lebih menganjurkan agar pendidikan budi pekerti diperhatikan. Pendidikan budi
pekerti Perjuangan Gender ….. – Syahrul Amar 114 memegang peranan penting,
karena sesuatu bangsa yang tidak berbudi dan bermoral itu akan mundur. Pada
permulaan abad ke-20, di Indonesia hanya ada beberapa sekolah guru dan sebuah
sekolah dokter Jawa, sedangkan di setiap Kabupaten dan kecamatan hanya ada di
sekolah dasar tingkat dua. Pelajaran di sekolah antara lain diajarkan membaca,
menulis, bahasa melayu, bahasa Indonesia, dan bahasa Belanda yang diberikan
juga.
Namun pemerintah Belanda tidak menghendaki rakyat Indonesia menjadi
pandai. RA Kartini tidak dapat menyetujui pandangan yang sempit seperti itu,
beliau mencela dengan tajamnya pemerintah Hindia Belanda, beliau menuntut
agar pemerintah Hindia Belanda segera emngubah politiknya dan mengadakan
pembaharuan-pembaharuan yang berguna bagi rakyat, untuk itu RA Kartini
berusaha mendirikan sekolah sendiri, yang pada hakekatnya bertujuan untuk
memperbaiki keadaan pendidikan sekolah yang didirikan oleh RA Kartini
khususnya diperuntukkan para gadis (Tashadi, 1986 : 82). Usaha RA Kartini
dalam mendirikan sekolah yang disebut dengan sekolah gadis. Sekolah gadis
tersebut mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat, dan hal tersebut sangat
diharapkan oleh masyarakat. Hari demi hari muridnya bertambah banyak terutama
anak-anak gadis. RA Kartini mengajar dari pukul 08.00 – 12.30.
Mata pelajaran yang diajarkan adalam membaca, menulis, menjahit, merenda,
memasak dan sebagainya. Cara yang dipakai mengajar. Dengan demikian murid-
muridnya tidak akan merasa terikat oleh pelajaran yang diberikan kepadanya.
Sayang sekali RA Kartini tidak dapat lebih lama lagi menyambangkan tenaga dan
pikirannya. Untuk kemajuan sekolahnya. RA Kartini tidak dapat bergaul dengan
murid-murid yang amat dicintainya, RA Kartini harus berpisah dan memasuki
suatu kehidupan yang baru yakni kehidupan berumah tangga. Tetapi walaupun
demikian, apa yang sudah dirintis dan dijalankan Kartini tidak sia-sia. Sekolah
yang didirikan itu terus hidup dan bahkan berkembang ternyata jejak Kartini

30
dengan mendirikan "Sekolah Gadis" di Jepara itu, membawa pengaruh terhadap
perkembangan pendidikan daearh-daerah lainnya. Sejak saat itu, mulailah masa
baru bagi pendidikan kaum wanita di Pulau Jawa. Kemudian secara berturut-turut
didirikan, sekolah kepandaian putri atau sekolah gadis di Batavia (Jakarta)
Madiun, Semarang, Bogor, Malang, Cirebon, Surabaya, Surakarta dan Rembang.
Perjuangan Kartini dalam Lapangan Kebangsaan RA Kartini masih keturunan
bangsawan Jawa, tetapi ternyata kebangsawanan yang ada pada keluarganya itu
tidak berpengaruh ke dalam jiwanya. Di dalam salah satu suratnya,
Kartini mengatakan bahwa hanya ada dua macam bangsawan, yaitu
bangsawan pikiran dengan Bangsawan Budi. Selanjutnya RA Kartini berpendapat
bahwa Bangsawan dan berbudi adalah dua perkataan yang mempunyai arti yagn
sama Kartini lebih memuji dan menghormati orang Perjuangan Gender ….. –
Syahrul Amar 115 yang berbudi dan berjiwa mulia, dari pada orang yang selalu
membanggakan gelar kebangsawanannya. Sebagai seorang wanita yang lahir pada
zaman penjajah. Pada usia muda, RA Kartini sudah memiliki kesadaran nasional.
Hal ini dapat terlihat dari surat-suratnya yang dapat membuktikan adanya
kesadaran nasional di dalam diri RA Kartini.
Walaupun RA Kartini hidup di alam penjajahan, ternyata RA Kartini telah
berani melahirkan pendapat tentang adanya penjualan candu opium dari
pemerintah Hindia Belanda. Pendapatnya ini dikemukakan di dalam suratnya
yang tertanggal Jepara, 25 Mei 1899, kepada Nona Zeehandealar, yang isi
suratnya sebagai berikut: Di dalam masyarakat Bumi Putra, syukurlah belum lagi
perlu kami memerangi setan minuman. Tetapi, saya kuatir, apabila nanti,
peradaban Barat telah berkedudukan yang tetap di sini kami akan terpaksa pula
berjuang dengan kejahatan itu. Di negeri saya ini adalah suatu kutuk, lebih jahat
dari pada minuman keras itu! Candu alangkah sengsaranya negeri bangsaku oleh
benda laknat itu, tiada dapat dikatakan.
Candu itu penyakit sampar dari Jawa, bahkan lebih ganas daripada sampar
itu. Benar juga kata orang. Candu itu tidaklah jahat, selama ada uang pembeli
racun itu, tetapi bila tidak dapat mengisap lagi, tidak ada uang pembelinya, sedang
badan sudah menjadi hamba madat, maka ada sangat berbahayalah orang itu. Oleh
perut lapar orang jadi pencuri, tetapi oleh ke tagihan akan candu orang menjadi

31
pembunuh. Dalam suratnya itu selanjutnya dikemukakan keinginan RA Kartini
untuk menghapuskan penjualan Candu di Indonesia oleh pemerintah Hindia
Belanda. Karena menurut pendapatnya, candu dapat merusak dan melemahkan
kesehatan rakyat Indonesia.
Di samping itu juga akan memperjelek perekonomian. RA Kartini dengan
tegas menuntut pemerintah India Belanda agar segera menghapus penjualan candu
di Indonesia. Dalam suratnya yang lain RA Kartini mengecam dan menyerang,
politik pemerintah Hindia Belanda. Seperti suratnya sebagai berikut: Orang-orang
Belanda selalu mentertawakan dan mencemoohkan kebodohan rakyat kami.
Tetapi bila rakyat kami ingin maju maka selalu dihalang-halangi dan bahkan
seringkali diancam. Sekarang tahulah aku, mengapa orang Belanda tiada suka,
kami orang Jawa maju. Apabila rakyat kami telah berpengetahuan, maka niscaya
rakyat kami tidak mau begitu saja tunduk dan diperintah. (Sulastin, 1979: 100).
Dewi Sartika Perjuangan Dewi Sartika di Bidang Pendidikan Sekembalinya Dewi
Sartika di Bandung, hasratnya untuk membuka sekolah bagi gadisgadis remaja
semakin besar. hal ini didorong oleh keadaan keluarganya sendiri.
Dewi Sartika menyaksikan penderitaan ibunya sendiri akibat ditinggalkan
oleh ayahandanya, karena harus menjalani hukuan buang di Ternate. Sejak 1902,
Dewi Sartika dihadapan anggota keluarganya yang perempuan, merenda,
memasak, menjahit, membaca, menulis menjadi materi pelajaran saat itu
(Wiriaatmadja, 1985 : 66). Martanegara (1893- 1918) adalah seorang Bupati yang
berfikir majur (progresif) zamannya. Dewi Sartika berkonsultasi dengan bupati
Martinegara Perjuangan Gender ….. – Syahrul Amar 116 untuk mendirikan
sekolah. Pada mulanya Bupati Martanegara tidak menyetujui niat Dewi Sartika
untuk membuka sekolah untuk anak-anak perempuan, karena menurut
pendapatnya akan mendapat tantangan yang keras dari masyarakat.
Sekolah untuk perempuan yang diusahakan seorang putri priyayi jelas
bertentangan dengan adat dan kode kebangsawanan. Akan tetapi penolakan ini
tidak mengecilkan hati Dewi Sartika, berulang kali permohonan itu diajukan.
akhirnya Bupati menyetujuinya dan pada tanggal 16 Januari 1904 didirikanlah
"sekolah istri" (sekolah istri = sekolah gadis), untuk jenisnya yang pertama kali di
Indonesia. tempatnya di Paseban Kabupaten Bandung sebelah barat terdiri dari 2

32
elas dengan dua puluh orang murid, dengan tiga orang pengajar yaitu Dewi
Sartika, Ibu Purma dan Ibu Uwit. (Komandoko, 2006 : 104). Setahun kemudian,
pada tahun 1905, sekolah emnambah kelas, sehingga kemudian pindah ke jalan
Ciguriang, Kebon Cao. Di tempat yang sekarang masih dipergunakan sebagai
tempat belajar sekolah-sekolah yayasan Dewi Sartika. Lokasi baru ini dibeli Dewi
Sartika dengan uang tabungan pribadinya, sera bantuan dana pribadi dari Bupati
Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa
kita bahwa perempuan memiliki kemmapuan yang tak ada bedanya dengan laki-
laki.
Tahun 1910 menggunakan harta benda, untuk memperbaiki sekolahnya lagi,
sehingga bisa lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Penyempurnaan dalam rencana pelajaran dilakukan. Pedomannya adalah pola
pendidikan yang dilaksanakan di sekolah dasar pemerintah waktu itu, dengan
meneankan pada pelajaran-pelajaran keterampilan wanita seperti : 1) menjahit, 2)
menambal, 3) menyulam, 4) merenda, 5) memasak, 6) menyajikan makanan, 7)
PPPK, 8) memeihara bayi, 9) belajar agama (Wiriaatmadja, 1985 : 74). Pada
tahun 1906 Dewi Sartika menikah dengan R. Kd. Agah Sariawinata seorang guru
kemudian menjadi kepala sekolah. Sekolah Kelas Satu Karang Pamulang.
Perkawinan ini tidaklah menjadi penghalang bagi cita-cita dan karier Dewi
Sartika, bahkan sebaliknya suaminya memberikan pengertian dan bantuan
sepenuhnya kepada istrinya.
Tentang perkawinan ini Cora Vreede de Stuers dalam Wiriaatmadja (1985 :
81) menyatakan sebagai berikut: ”Ketika ia menikah dengan RA. Suriawinata
pada tahun 1906, Dewi Sartika tdak berhenti bekerja. Sebaliknya, sebelum wafat
beberapa tahun kemudian, suaminya dengan aktif bekerja sama dengan istrinya.
Sehingga pada tahun 1912 Dewi Sartika berhasil membangun sembilan sekolah
untuk anak-anak gadis. Suatu jumlah yang mengagumkan, mewakili 50 persen
dari semua sekolah gadis di tanah Sunda” Perhatian dari masyarakat dan
pemerintah sudah mulai tampak, terutama sesudah sekolah istri diganti namanya
pada tahun 1910 menjadi "Sekolah keutamaan istri" rencana pelajaran sekolah
keutamaan istri disesuaikan dengan rencana pelajaran sekolah kelas dua pelajaran
keterampilan wanita masih diutamakan. Pengurus keutamaan istri memperlebar

33
kegiatannya dengan membuka sekolah baru. Pada tahun 1913 dibuka sekolah
keutamaan istri II Perjuangan Gender ….. – Syahrul Amar 117 di Bandung, dan
sekolah sekolah keutamaan Isri lainnya di kota-kota di Pasundan dan
Minangkabau. Perinciannya adalah sebagai berikut : Tasikmalaya, 1913, Padang
Panjang 1915, Sumedang1916, Cianjur 1916, Ciamis 1917, Cicurug 1918,
Kuningan 1922, Sukabumi 1926 (Wiriaatmadja, 1985 : 81).
Sekolah keutamaan istri sedang mengembangkan sayapnya dan mendapat
perhatian banyak dari masyarakat dan pemerintah, juga dari luar kota, ternyata
dari caatan yang dibuat oleh Direktur Pengajaran dan Peribadatan (G.A.J. Hazeu)
pada kesempatan mengunjungi sekolah tersebut. sekoalh keutamaan istri Bandung
juga mendapat kehormatan dengan kunjungan Gubernur Jendral Idenburg pada
tahun 1911 dan Nyonya Van Limburg Stirum apda tahun 1916. Perjuangan di
Bidang Sosial Pada tahun 1911 Dewi Sartika menghadiri undangan Sarekat Islam
yang sedang mengadakan pertemuan, dan Dewi Sartika memberikan ceramah
tentang pendidikan wanita. Juga pada tahun 1914, atas sponsor Sarekat Islam, di
Bandung diadakan pertemuan Perkumpulan "Madjoe Kemoeljaan" untuk
memberantas pelacuran.
Mengenai lapangan kerja bagi wanita dan perbedaan upah buruh wanita
dengan pria, serta kesejahteraan buruh wanita, Dewi Sartika mempunyai
pandangan yang jauh mendahului pandangan pelopor wanita angkatannya.
Menurut pendapat Dewi Sartika pendidikan sekolah saja, bagi wanita tidak cukup.
Lebih perlu lagi perluasan pendidikan kejuruan, yang akan memberikan
kecakapan dan keterampilan khusus bagi wanita, sehingga ia mampu bekerja
sesuai dengan kecakapannya. bidang pekerjaan sepeti bidan, penata, tukang batik,
pemegang bako, penanam bunga, intinya pekerjaan yang selama ini dianggap oleh
masyarakat kita tidak pantas untuk wanita dan hanya diperuntukkan bagi kaum
pria, akan sangat menggembirakan apabila dibuka pendidikannya bagi wanita.
Penghargaan untuk Dewi Sartika Dengan berbagai cara Dewi Sartika
memperkenalkan sekolah yang dipimpinnya, baik kepada masyarakat luas
maupun kepada pihak pemerintah. usaha ini dimaksudkan untuk mendapat simpati
dan dukugnan, juga untuk memasyarakatkan pendidikan gadis yang dipimpinnya.
Setelah melewati masa-masa yang serba sulit selama perang dunia I berlangsung,

34
pada tahun 1922, pemerintah Hindia Belanda menganugerahkan bintang perak
kepada Raden Dewi Sartika sebagai penghargaan atas jasa-jasanya bagi
pendidikan anak gadis. Pada tahun 1929 bersamaan dengan genap 25 tahun
berdirinya Sekolah keutamaan istri mula-mula bernama sekolah istri, memerintah
memberikan hadiah berupa gedung baru, sebuah bangunan permanen terbuat dari
bahan batu. perayaan peringatan dan pembukaan gedung baru ini dihadiri oleh
banyak pembesar yang menyatakan selamat kepada Dewi Sartika yang selama 25
tahun bertugas sebagai pendidik tanpa cacat cela, setelah itu sekolah keutamaan
istri terkenal dengan nama "Sekolah Raden Dewi" (Wiriaatmadja, 1985: 95).
Perjuangan Gender ….. – Syahrul Amar 118 Peringatan 35 tahun berdirinya
Sekolah Raden Dewi, pada tanggal 16 Januari 1939 diadakan secara besar-
besaran, yang dihadiri oleh para pembesar.
Pada upacara peringatan 35 tahun berdirinya Sekolah Raden Dewi ini pula
Dewi Sarika mendapat bintang emas dari pemerintah. sebagai penghargaan atas
jasa-jasa yang telah dilakukannya bagi masyarakat. Bintang emas ini berarti
penghargaan yang lebih tinggi daripada bintang perak yang telah diperoleh Dewi
Sartika pada tahun 1922. Beberapa kali tawaran untuk berbicara dalam forum
umum diajukan, untuk membicarakan masalah kemasyarakatan khususnya di
bidang pendidikan. karena kegiatan-kegiatannya dalam masalah kemasyarakatan
ini, Dewi Sartika bersama-sama delapan orang penulis wanita lain diminta
memaparkan pendapat mereka tentang beberapa persoalan wanita oleh sebuah
komisi yang dibentuk pemerintah untuk menyelidiki keterbelakangan rakyat
dalam kesejahteraan dan kemakmuran.
2.1.3 Internasional
Perjuangan Pengakuan Hak Pilih Perempuan di Amerika Serikat, Pada bulan
Mei 1787 diadakan konferensi Konstitusi yang dihadiri oleh 55 perwakilan dari
13 negara bagian kecuali Rhode Island, mereka telah memperjuangkan
kemerdekaan dari Inggris. Mereka adalah loloni Inggris yang berkumpul karena
dua alasan penting. Pertama , cita – cita bersama mengenai kebebasan ekonomi
pada tahun 1607, koloni Inggris pertama yang disebut sebagai Jamestown di
Virginia. Kedua, adalah dikarenakan adanya keinginan bersama mengenai
kebebasan bergama, hal ini berasal ketika tahun 1602, kapal Mayflower berlabuh

35
di Massachisetts, membawa orang – orang Pilgrin dari Inggris. Mereka adalah
pelarian dari kekuasaan gereja yang berlebihan di Inggris. Gereja menguasai
hampir setiap kehdiupan warga Inggris.
Deklarasi kemerdekaan terjadi pada tanggal 4 Juli 1776, dimana dalam
deklarasi tersebut termuat cita – cita bersama masyarakat Amerika Serikat yang
telah dibuat oleh para pendiri Amerika. Di dalamnya termuat mengenai hak yang
dimiliki oleh setiap warga negara, dan tanggung jawab pemerintah untuk
melindunginya. Hal ini untuk menentang anggapan yang selama ini beredar dalam
sistem monarki, dimana terdapat orang – orang yang mereka telah dipilih oleh
Tuhan dan tidak perlu dipertanyakan lagi.
John Locke memandang bahwa Tuhan telah memberikan manusia
keistimewaan dari hewan yaitu hak yang telah ada di dalam diri manusia atau
yang disebut sebagai natural rights , dimana tidak ada pembeda. Keberagaman
bangsa Amerika juga merupakan tantangan dalam mencapai persatuan. Mereka
diberi hak oleh Undang – undang Dasar abad ke-18 untuk memilih dan menguasai
pemerintah pusat, mewakili asal usul, kepercayaan, dan kepentingan, yang
berbeda – beda. Kebanyakan penduduk Amerika datang dari Inggris, tapi ada juga
bangsa Swedia, Norwegia, Perancis, Belanda, Prusia, Polandia, dan banyak
lainnya yang telah berimigrasi ke dunia baru “Amerika”.
Para pembuat Undang – undang Dasar menyadari bahwa dunia akan bergerak
ke arah yang berbeda dari jaman dimana mereka hidup. Karenanya, mereka
memasukkan ke dalam Undang – undang Dasar sebuah ketentuan untuk
melakukan amandemen jika kondisi soial, ekonomi, atau politik memintanya. Dua
puluh tujuh amandemen telah dilalui sejak UUD tersebut diratifikasi dan
kelenturanya terbukti sebagai salah satu kekuatan yang istimewa. Dengan adanya
rancangan konstitusi Amerika pada tahun 1787, kekuasaan memerintah ada di
tangan rakyat, bukan melalui keturunan seperti monarki atau kekuatan senjata,
tetapi melalui pemilihan yang bebas dan terbuka oleh rakyat Amerika Serikat
(http://www.bbc.co.uk/news/ magazine-20231337).

36
Secara teori hal ini sudah sangat jelas, akan tetapi dalam prakteknya tidaklah
demikian. Yang memperumit masalah sejak awal adalah syarat memilih : siapa
yang boleh ikut memilih dan siapa yang tidak. Bagi para pendiri hanya orang –
orang yang punya andil di masyarakat saja yang berhak memutuskan siapa yang
memerintah. Mereka percaya bahwa karena pemerintah didirikan untuk
melindungi hak milik dan kebebasan pribadi, maka hanya mereka yang
mempunyai hak milik dan kebebasan sajalah yang boleh memilih. Ini berarti, pada
waktu itu hanya golongan laki – laki kulit putih beragama protestan yang berhak
memilih (Targonski, 1989:41).
Kaum wanita, orang miskin, pembantu, orang katolik, yahudi, budak dari
Afrika, dan orang indian semuanya tidak berhak. “Kaum wanita, seperti halnya
budak dan pembantu, statusnya ditentukan oleh ketergantungan
mereka” kata sejarawan Michael Schudson. “Kewarganegaraan hanya berlaku
buat mereka yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri”. Karena batasan – batasan
ini, hanya sekitar 6 persen saja penduduk Amerika saat itu yang akhirnya memilih
George Washington menjadi presiden pertama pada 1789. Pada awalnya
masyarakat Amerika bangga karena mereka dapat menghapuskan sistem kerajaan,
akan tetapi seiring jalannya waktu sistem yang ada di negara ini hanya ditujukan
untuk golongan atas. Hanya orang – orang kaya dan punya koneksi luas yang
biasanya mampu merebut jabatan di dunia politik tanpa mendapat perlawanan
yang berarti.
Dari masa kolonial, para wanita yang tidak menikah sudah menikmati hak –
hak yang sama dengan pria, meskipun adat istiadat menghendaki mereka harus
cepat menikah. Dengan ikatan perkawinan, para wanita kehilangan identitas
mereka sendiri menurut hukum. Para wanita tidak memiliki hak pilih, dan
pendidikan mereka di abad ke 17 dan 18, sebagian besar terbatas pada pelajaran
membaca, menulis, musik, menari, dan jahit menjahit (Targonski, 1989:154).
Perubahan sosial yang terjadi pada perempuan di awal tahun 1800an, diikuti
dengan pemikiran mengenai kesetaraan, dan mengakibatkan kelahiran gerakan
untuk memperjuangkan hak pilih wanita. Sebagai contoh, perempuan
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, dan ikut tergabung ke dalam gerakan
– gerakan reformasi, yang melibatkan

37
Kajian Historis Sejarah Pergerakan Hak Pilih Wanita di Amerika Serikat
mereka pada dunia politik. Hal ini yang kemudian memunculkan pertanyaan –
pertanyaan dari kalangan perempuan mengapa mereka tidak diizinkan juga untuk
memilih.
Kebangkitan kaum perempuan dimulai ketika Francis Wright, seorang
pengajar dan wartawan Skotlandia, mengunjungi Amerika. Dia secara terbuka
mendukung hak – hak wanita sepanjang Amerika Serikat selama tahun 1820an.
Saat itu, wanita sering dilarang berbicara di tempat umum. Namun Wright juga
tidak hanya berbicara lantang, ia juga mengejutkan banyak orang dengan
pandangan – pandangan tentang hak – hak wanita mencari keterangan mengenai
keluarga berencana dan perceraian. Pada tahun 1840-an, sekelompok wanita
Amerika tampil membentuk gerakan pertama hak – hak perempuan. Yang
terkemuka dalam kelompok istimewa ini adalah Elizabeth Cady Stanton.
Pada tahun 1848 Cady Stanton dan Lucretia Mott, juga seorang pembela hak
– hak wanita, mengadakan suatu konvensi hak – hak wanita yang pertama dalam
sejarah dunia di Senece Falls, New York (http://
www.americanprogress.org/issues/women/ report/2012/12/12/47916/how women-
changed -the-outcome-of-the-election/). Para delegasi tersebut membuat deklarasi
yang menuntut persamaan dengan pria di mata hukum, hak untuk memilih, dan
mendapat kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan. Di tahun yang
sama, Ernestine Rose, seorang imigran asal Polandia, berperan penting dalam
meloloskan undang – undang di negara bagian New York yang mengizinkan
wanita yang sudah menikah memiliki properti atas nama mereka sendiri. Salah
satu UU pertama jenis ini di Amerika, Undang – undang properti wanita menikah,
memacu para dewan legislatif di negara bagian lain untuk memberlakukan undang
– undang yang serupa.
Konvensi yang diadakan pada tanggal 19 sampai 20 Juli 1848 di Seneca
Falls New York ini kemudian diikuti berangusur – angsur oleh gerakan wanita
lainnya (http:// history.house.gov/Exhibitions-andPublications/WIC/Historical-
Essays/No-Lady/ Womens-Rights/). Hampir 100 orang menghadiri konvensi
tersebut. Pada konvensi ini di kritik mengenai pembukaan Undang – undang
dimana wanita dan lai – laki dibuat sama derajatnya. Akan tetapi dalam

38
prakteknya tidaklah demikian. Pada tahun 1850 mereka berjuang dalam hal
kebebasan ekonomi. Kemudian mereka tidak berhasil mendesak kongres untuk
mencantumkan hak pilih untuk wanita dalam amandemen keempat belas dan lima
belas mengenai hak warga negara dan kebebasan hak suara.
Pada gelombang civil war, mereka berusaha agar isu yang dibawa tidak
terlalu marginal. Perang sipil terjadi pada tahun 1861 – 1865) akibat adanya
perbudakan, tiga amandemen Konstitusi Amerika Serikat berubah secara
signifikan cakupan dan sifat demokrasi Amerika. Amandemen ke tigabelas
diratfikasi pada tahun 1865, menghaus perbudakan. Amandemen ke empat belas,
yang disahkan pada tahun 1868, menyatakan bahwa semua orang yang lahir atau
dinaturalisasikan di Amerika adalah waga negara Amerika Serikat dan negara
bagian dimana dia tinggal, dan hak hidup, kemerdekaan, kepemilikan, dan
perlindungan hukum yang adil harus ditegakkan oleh pemerintah federal
Amandemen kelima belas, diratifikasi pada tahun 1870,melarang pemerintah
federal atau pemerintah negara bagian melakukan diskriminasi terhadap calon
pemilih berdasarkan ras, warna kulit, atau status terdahulunya sebagai budak.
Jenis kelamin tidak disebutan di dalam amandemen tersebut. oleh karena itu,
kaum wanita tetap dilarang memberikan suara. Perluasan hak pilih yang
memperbolehkan mantan budak untuk ikut pemilu memberikan nafas baru bagi
kampanye gerakan kaum wanita untuk ikut memberikan suara.Dan mereka
membuat NWSA untuk memperjuangkan hak pilih wanita yang tidak dibahas di
dalam amandemen yang kelima belas.
Lucy Stone, seorang aktivis pembela perempuan membuat sebuah asosiasi
yang bernama American Woman Suffrage Association (AWSA), dan menolak
rancangan yang diajukan oleh NWSA karena dianggap terlalu rasial
(http://history.house.gov/ Exhibitions-and-Publications/WIC/Historical
Essays/No-Lady/Womens-Rights/). Walaupun di tingkat senat, Aaron Sargen
telah mengenalkan adanya rancangan amandemen mengenai hak pilih wanita,
akan tetapi bentuk nyata dari amandemen tersebut belum terwujud. Pada kurun
waktu tahun 1800an, terjadi persaingan antara NWSA dan AWSA, dimana
kumpulan dana yang dimiliki oleh AWSA lebih banyak akan tetapi hanya pada
lingkup negara bagian. NWSA yang memilki pusat di New York lebih

39
menekankan perjuangan yang meluas dimana meminta dukungan dari para
pemilih dan laki – laki untuk mendukung perjuangan mereka.
Titik balik terjadi pada tahun 1880 dan 1890, kedua asosiasi AWSA dan
NWSA bergabung menjadi satu bernama National Americn Woman Suffrage
Association (NAWSA). Dipimpin oleh Stanton dan Anthony. NAWSA mulai
membentuk gerakan lain dibawahnya seperti Women’s Trade Union League, the
Woman’s Christian Temperance Union (WCTU), and the National Consumer’s
League. Selama dua dekade berikutnya, NAWSA bergerak sebagai organisasi non
partisan yang difokuskan pada mendapatkan suara dalam serikat, meskipun masih
terdapat beberapa persoalan didalamnya ada keberhasilan yang diraih oleh
organisasi ini. Pada tahun 1869 negara bagian pertama yang mengakui hak pilih
wanita adalah Wyoming. Tiga negara berikutnya adalah Colorado pada tahun
1893, Utah pada tahun 1896, dan Idaho pada tahun 1896. Pada rentan tahun 1910
dan
1914 terdapat empat negara bagian yang melegalkan hak pilih wanit dalam
pimilhan umum. Keempat negara tersebut adalah Washington, California,
Arizona, Kansas, dan Oregon.
Pada tahun 1913, Alice Paul, seorang aktivis muda yang memiliki
pengalaman dalam gerkan hak pilih membentuk National Woman Party sebagai
bentuk saingan dari Congressional Union (Dahl, 2000:89). Paul lebih menekankan
lebih militan dengan lebih banyak mengajak masa pendukung dan menekan
pemerintah Woodrow Wilson untu mengamandemen undang – undang mengenai
hak pilih wanita. Pada tahun 1917, Presiden Wilson mendesak kongres untuk
meloloskan amandemen hak suara. Prestasi juga diperoleh pada tahun itu dimana
Jeanetta Rankin diangkat sebagai wanita pertama yang melayani di tingkat
legislatif nasional. Paul mengadakan kampanye untuk menyarakan agar adanya
hak pilih wanita dalam amandemen. Hal ini masih mengalamai kegagalan (Dahl,
2000: 90).
Perang sipil terjadi pada tahun 1861 – 1865) akibat adanya perbudakan, tiga
amandemen Konstitusi Amerika Serikat berubah secara signifikan cakupan dan
sifat demokrasi Amerika. Amandemen ke tigabelas diratfikasi pada tahun 1865,
menghaus perbudakan. Amandemen ke empat belas, yang disahkan pada tahun

40
1868, menyatakan bahwa semua orang yang lahir atau dinaturalisasikan di
Amerika adalah waga negara Amerika
Serikat dan negara bagian dimana dia tinggal, dan hak hidup, kemerdekaan,
kepemilikan, dan perlindungan hukum yang adil harus ditegakkan oleh
pemerintah federal.
Amandemen kelima belas, diratifikasi pada tahun 1870, melarang pemerintah
federal atau pemerintah negara bagian melakukan diskriminasi terhadap calon
pemilih berdasarkan ras, warna kulit, atau status terdahulunya sebagai budak.
Jenis kelamin tidak disebutan di dalam amandemen tersebut. oleh karena itu,
kaum wanita tetap dilarang memberikan suara. Perluasan hak pilih yang
memperbolehkan mantan budak untuk ikut pemilu memberikan nafas baru bagi
kampanye gerakan kaum wanita untuk ikut memberikan suara. Pada tanggal 10
Januari 1918 House of Representative meloloskan adanya amandemen mengenai
hak pilih wanita, akan tetapi tidak dololoskan oleh Kongres. Dua tahun kemudian,
pada tanggal 26 Agustus 1920, amandemen kesembilan belas mengenai hak pilih
penuh wanita dalam pemilihan umum (Targonski, 1989:127).

2.2 Pengenalan Perempuan dalam Kajian Multiprespektif (Biologi,


Psikologi, Sosial Budaya, Ekonomi, dan Politik)
2.2.1. Keterlibatan dalam bidang Politik
Keterlibatan kaum perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan
sampai saat ini yang terjadi di lapangan cukup signifikan. Pada level lokal paling
tidak terdapat beberapa figur perempuan yang menunjukkan bukti bahwa
perempuan telah mampu memberikan kontribusi atas terwujudnya keserasian
sosial melalui keterlibatannya dalam sektor politik dan pemerintahan.
Keterlibatan kaum perempuan dalam bidang pemerintahan, paling tidak
tercermin dari tiga figur perempuan yang dipercaya sebagai ketua RT yaitu
Rusmiati yang menjabat sebagai ketua RT.1 dusun I, Musriati sebagai ketua RT.2
dusun II dan Tutik sebagai ketua RT 2 dusun IV. Sebagai ketua RT ibu Rusmiati
dan ibu Musriati, tentu di samping harus melaksanakan sebagai tugas sebagai ibu
rumah tangga dan mengurusi anakanaknya keduanya tentu harus juga mengurusi
warga di lingkungan RTnya. Menurut keterangan beberapa warga yang sempat

41
peneliti temui, umumnya mereka menganggap bahwa berkat kegigihan keduanya
berbagai kegiatan warga masyarakat dapat terlaksana dengan baik hingga saat ini.
Salah seorang pengurus PKK kepada peneliti mengatakan; Ibu Rusmiati ini
memang hebat pak orangnya, meski ia harus mengurus suami dan anak-anaknya,
beliau selalau menyempatkan diri bahkan seringkali mendorong kami pengurus
PKK untuk tidak bosan-bosannya mengadalan pelatihan-pelatihan ketrampilan
pada warga kami, kususnya para ibu-ibu dan para remaja putrinya.
Bahkan jujur aja pak klao tidak karena ibu RT yang selalu memotifasi kami,
mungkin kami bosen juga mengumpulkan warga sini pak... tapi berkat teguran
dan sapaan dari Bu RT kami pun akhirnya menjadi semangat melaksanakan
berbagai kegiatan. Dan al hamdulillah sebagaimana yang bapak liat kami
seringkali mengadakan kegitan pelatihan semacan ini.
Pengakuan yang sama disampaikan oleh salah seorang pengurus pengajian
ibu-ibu bahwa kegiatan pengajian “reboan” mengalami perkembangan karena
didukung dan diawasi langsung oleh Musniati sebagai ketua RT.2 dusun II. Salah
seorang pengurus pengajian yang sempat bertemu dengan peneliti mengatakan;
Alhamdulillah pak, pengajian ibu-ibu yang dilakukan secara rutin di lingkungan
RT. 2 dusun II, sejak ketua RTnya dipegang oleh ibu Musriati, kegiatannya
mengalami perkembangan. Klo waktu dulu, paling-paling yang datang pengajian
sepuluh sampai limabelas orang pak, tapi sebagaimana yang bapak liat pada
pengajuian tadi hampir mencapai seratus orang.

2.2.2. Keterlibatan dalam bidang Sosial Secara sosiologis


Pertemuan merupakan unsur utama dalam membangun interaksi antar
berbagai elemen masyarakat. Sebagaimana di daerah-daerah lain, keberadaan
kaum perempuan di Sukaraja sangat memungkinkan untuk secra aktif dalam
berbagai pertemuan. Perempuan tidak terbatas berperan dalam bidang
pemerintahan saja namun juga merambah dalam bidang sosial. Peran sosial
demikian dapat ditelusuri dari keterlibatan perempuan dalam berbagai kegiatan
sosial. Melalui berbagai forum pertemuan, kaum perempuan memperkut
eksistensinya baik secara pribadi maupun secara kelembagaan. Forum pertemuan
berlaka yang dijadwalkan oleh lembaga sosial PKK, memungkinkan lembaga-

42
lembaga sosial lebih aktif dan termotivasi mengadakan kegiatan dalam komunitas
dari yang berskala kecil hingga besar yang melibatkan seluruh elemen
masyarakat.
Kelompok PKK tingkat RT yang dipelopori langsung oleh ketua RT di
dusun satu, dusun dua dan dusun empat memiliki program yang terencana.
Mereka mengadakan kegiatan berkala yang sifatnya mingguan, bulanan, tiga
bulanan dan tahunan. Bahkan aktifitas mereka tidak terbatas di tingkat RT tetapi
secara lebih luas hingga tingkat desa bahkan kecamatan. Menurut ibu Tuti, ketua
RT.2 dusun empat, kegiatan mingguan diadakan setiap hari sabtu siang yang
biasanya diikuti oleh ibu-ibu dilingkungan RT dua. Sedangkan kegiatan bulanan
kegiatannya secara bersamaan dengan warga RT timngkat dusun. Sementara
kegiatan tiga bulanan berlangsung di balai desa yang biasa diikuti oleh warga
kelurahan Sukaraja. Adapun kegiatannya umumnya berupa penyuluhan dan
pelatihan ketreampilan serta pengajian keagamaan. Bersamaan dengan kegiatan
tersebut baik pada tingkat RT, dusun maupun tingkat kelurahan umumnya
diadakan arisan.
Intensitas keterlibatan perempuan dalam berbagai even pertemuan yang
ditandai oleh suasana penuh keakraban penuh denngan canda tawa seakan terlihat
tidak ada sekat yang memisahkan meski mereka berasal dari etnik yang bebeda.
Keakraban dan keharmonisan hubungan mereka biasanya tidak sebatas dalam
forum kegiatan saja, akan tetapi umumnya berlanjut dalam kehidupan keseharian.
Kunjungan yang dilakukan warga satu dengan yang warga lain di saat ada hajat
merupakan bukti betapa pertemuan rutin yang diadakan warga berpengaruh
terhadap interaksi sosial yang berlangsung secara luas. Keterlibatan kaum
perempuan dalam bidang sosial baik melalui kegiatan rutin yang diprogramkan
oleh lembaga sosial maupun kegiatan yang sifatnya spontan yang seringkali
dilakukan masing warga secara perseorangan ketika mempunyai hajat Intensitas
keterlibatan kaum perempuan dalam berbagai kegiatan demikian tentu saja
memiliki pengeruh yang signifikan dalam mewujudkan keharmonisan interaksi
sosial lintas etnik yang ada di Sukaraja.

43
2.2.3. Keterlibatan dalam bidang Agama dan adat istiadat.
Meski secara geografis desa Sukaraja berada pada wilayah perbatasan,
tidak jauh dari perkotaan, namun dalam aspek adat istiadat dan budaya
masyarakat masih tetap mempertahankan tradisi dari nenek moyang yang
diperoleh secara turun temurun. Berbagai tradisi ritual selamatan; daur hidup,
inisiasi, ritual selamatan sebelum dan sesudah kelahiran, khitanan, pernikahan dan
ritual setelah kematian, masih mewarnai tradisi lokal yang dilakukan oleh hampir
semua masyarakat. Dalam konteks pelestarian tradisi lokal, pada umumnya kaum
perempun terlibat dalam mensukseskan kegiatan ritual yang diadakan oleh
masyarakat, baik menyangkut hajat pribadi atau perseorangan maupun kelompok
masyarakat mulai dari ritual syukuran pindah rumah, ritual terhadap bayi yang
masih dalam kandungan, kelahiran, khitanan dan perkawinan hingga ritual yang
dilakukan ketika mendapatkan musibah kematian.

2.3 Hak- hak Perempuan dan Anak


2.3.1 Hak- hak Perempuan
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Setelah merdeka selama 44 tahun, Indonesia baru mempunyai undangundang
HAM pada tahun 1999. Berbeda dengan Amerika, Inggris maupun Perancis, yang
mempunyai bill of rights sejak awal kemerdekaannya, dan menjadikan bill of
rights mereka sebagai bagian tidak terpisah dari konstitusi. Konstitusi Indonesia
pada awalnya sangat sedikit sekali mengatur HAM. UU ini mengartikan HAM
sebagai, “...seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia” (Pasal 1 ayat (1)). Dengan adanya UU HAM, semua peraturan
perundang-undangan harus sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM
seperti diatur dalam UU ini. Diantaranya penghapusan diskriminasi berdasarkan
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Pelarangan diskriminasi diatur dalam
Pasal 3 ayat (3), yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi

44
manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Pasal 1 ayat (3) dan
Pasal 3 ayat (3) menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah
dilarang oleh hukum. Aturan hukum lainnya harus meniadakan diskriminasi
dalam setiap aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi, budaya dan hukum. Pasal-
pasalnya dalam UU HAM ini selalu ditujukan kepada setiap orang, ini berarti
semua hal yang diatur dalam UU HAM ini ditujukan bagi semua orang dari semua
golongan dan jenis kelamin apapun.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pada awalnya tidaklah dianggap sebagai
pelanggaran hak asasi perempuan. Letaknya pada ranah domestik menjadikan
KDRT sebagai jenis kejahatan yang sering tidak tersentuh hukum. Ketika ada
pelaporan KDRT kepada pihak yang berwajib, maka biasanya cukup dijawab
dengan selesaikan dengan kekeluargaan. Sebelum keluarnya UndangUndang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT), korban tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai.
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The
Rights of Women in Indonesian Laws and Regulations
Kasus KDRT, sebelum keluarnya UU PKDRT selalu diidentikan sebagai
sesuatu yang bersifat domestik, karenanya membicarakan adanya KDRT dalam
sebuah keluarga adalah aib bagi keluarga yang bersangkutan. Sehingga penegakan
hukum terhadap kasus KDRT pun masih sedikit. Penegakan hukum yang minim
terhadap kasus KDRT diakibatkan beberapa hal, diantaranya pemahaman terhadap
akar permasalahan KDRT itu sendiri baik dari perspekti hukum, agama maupun
budaya. Untuk itu upaya diseminasi hak asasi perempuan harus dilakukan secara
efektif untuk mengurangi jumlah korban yang jatuh akibat KDRT. Potret budaya
bangsa Indonesia yang masih patriarkhis, sangat tidak menguntungkan posisi
perempuan korban kekerasan. Seringkali perempuan korban kekerasan disalahkan
(atau ikut disalahkan) atas kekerasan yang dilakukan pelaku (laki-laki). Misalnya,
isteri korban KDRT oleh suaminya disalahkan dengan anggapan bahwa KDRT
yang dilakukan suami korban adalah akibat perlakuannya yang salah kepada
suaminya.

45
Stigma korban terkait perlakuan (atau pelayanan) kepada suami ini telah
menempatkan korban seolah seburuk pelaku kejahatan itu sendiri. Dengan
demikian dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus
kekerasan dalam rumah tangga3.Dengan ditetapkannya Undang-Undang PKDRT,
permasalahan KDRT yang sebelumnya dianggap sebagai masalah domestik
diangkat ke ranah publik, sehingga perlindungan hak korban mendapat payung
hukum yang jelas. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini tidak hanya
meliputi suami, isteri, dan anak, melainkan juga orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga dan menetap dalam rumah tangga serta orang yang membantu
rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pasal 2). Asas PKDRT
sendiri seperti dijelaskan dalam Pasal 3 adalah untuk: (1) penghormatan hak asasi
manusia; (2) keadilan dan kesetaraan gender; (3) nondiskriminasi; dan (4)
perlindungan korban. Adapun tujuan PKDRT sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 4 adalah untuk: (1) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
(2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (3) menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga; (5) memelihara keutuhan rumah tangga yang
harmonis dan sejahtera.3 Emilda Firdaus, Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Konstitusi, Kerjasama MKRI dengan
Fakultas Hukum Universitas Riau, Vol. 1, No. 1, 2008, h. 29. Hak Asasi
Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of
Women in Indonesian Laws and RegulationsHak Asasi Perempuan dalam
Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of Women in
Indonesian Laws and Regulations.

Kekerasan terhadap perempuan, secara lebih spesifik sering dikategorikan


sebagai kekerasan berbasis gender. Hal ini disebabkan kekerasan terhadap
perempuan seringkali diakibatkan oleh ketimpangan gender, yaitu dengan adanya
relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini
antara lain dapat terefleksikan dari kekerasan dalam rumah tangga yang lebih
sering dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih kepada korban yang

46
lebih lemah. Kekerasan berbasis gender juga terlihat pada kasus perkosaan yang
lebih sering dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan daripada sebaliknya.
Kekerasan berbasis gender ini memberikan penekanan khusus pada akar
permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, yaitu bahwa
diantara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender dimana dalam posisi dan
perannya tersebut pelaku mengendalikan dan korban adalah orang yang
dikendalikan melalui tindakan kekerasan tersebut. Inilah yang dimaksud dengan
ketimpangan historis dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan 1993. Kekerasan berbasis gender ini sebenarnya tidak hanya
difokuskan kepada perempuan sebagai korban, namun juga kepada pelayan laki-
laki, supir laki-laki atau bawahan laki-laki lainnya. Karena dasar dari kekerasan
berbasis gender ini adalah ketimpangan relasi kekuasaan, maka yang menjadi
penekanan adalah kekerasan yang dilakukan kepada pihak yang tersubordinasi
kedudukannya.
Adapun penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap
perempuan diantaranya: a. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku,
bahkan seringkali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang
dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang
menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan tindak kekerasan tersebut tanpa
suatu alasan yang mendasar. b. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap
perempuan masih bias gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada
perempuan yang menjadi korban kekerasan, ketidak-berpihakan tersebut tidak saja
berkaitan dengan substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan
perempuan atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang
mengatur nasib bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan”5.4
Niken Savitri, Kajian Teori hukum Feminis Terhadap Pengaturan Tindak Pidana
Kekerasan terhadap Perempuan dalam KUHP, Disertasi, Bandung: Universitas
Katolik Parahyangan, 2008, h. 90. 5 Zaitunah Subhan, Kekerasan terhadap
Perempuan, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2004, h. 14-15. Hak Asasi
Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of
Women in Indonesian Laws and Regulations

47
c. Ketentuan relasi gender dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
menyatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu
rumah tangga (Pasal 31 ayat (3)). Pasal ini jelas menempatkan seorang suami
sebagai satu-satunya kepala keluarga. Oleh karenanya dialah yang berhak
mengatas namakan kepentingan anggota keluarganya dalam setiap persoalan6.
Pasal ini merupakan salah satu Pasal yang mengandung bias gender7, karena
menempatkan perempuan (isteri) pada posisi yang lebih rendah, berpadu dengan
mitos yang melekatkan tanggung jawab pengendalian reproduksi pada perempuan
dengan tugas domestiknya, sehingga secara psikologis dan yuridis seorang suami
seakan-akan dibolehkan melakukan kekerasan kepada anggota keluarganya,
terutama kepada isteri dan anak-anaknya. Kekurangan dari undang-undang ini
adalah lingkup pengaturan yang dibatasi hanya dalam cakupan domestik, yaitu
mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan atau berada dalam satu domisili
yang sama, sehingga tidak dapat diberlakukan kepada korban yang tidak
memenuhi kategori lingkup domestik tersebut. Karenanya sulit untuk mengatakan
bahwa secara umum semua bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis,
ekonomi maupun kekerasan seksual (terutama terhadap korban perempuan) sudah
mendapat pengaturan di dalam hukum pidana Indonesia.
Meskipun demikian, dalam pandangan yang progresif, hakim dapat
mempertimbangkan diaturnya jenis-jenis kekerasan tersebut di dalam UU PKDRT
dari perspektif perlindungan terhadap korban kekerasan, sebagai salah satu acuan
dalam memutus suatu perkara kekerasan terhadap perempuan. 3. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Undang-undang Nomor Tahun
2006 tentang kewarganegaraan ini menggantikan Undang-undang Nomor 62
Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Undang-undang No. 62 Tahun 1958
secara filosofis, yuridis, dan sosiologis dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Secara
filosofis, UU 62/58 masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan
dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang
menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara, serta kurang 6

48
Komnas Perempuan, Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta:
SGIFF-CIDA-The Asia Foundation, 2002, h. 220-221.
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
The Rights of Women in Indonesian Laws and Regulations memberikan
perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan
konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS 1950 yang
sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan
kembali kepada UUD 1945. Dalam perkembangannya, UUD 1945 telah
mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi
manusia dan hak warga negara. Secara sosiologis, UU tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya
persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta
adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Diantara asas khusus yang menjadi dasar berlakunya UU Kewaganegaraan
adalah asas non diskriminatif, yaitu berupa tidak membedakan perlakuan dalam
segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras,
agama, golongan, jenis kelamin, dan gender. Asas lainnya adalah asas pengakuan
dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam segal hal ikhwal yang
berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan
hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.
Pengaturan yang menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin
diantaranya adalah dibolehkannya seorang isteri, yang melakukan perkawinan
campuran berbeda kewarganegaraan, untuk memilih kewarganegaraannya sendiri.
Isteri diperbolehkan memilih untuk tetap dalam kewarganegaraan Indonesia atau
pindah kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan suaminya, sekalipun hukum
negara asal suaminya, menuntut kewarganegaraan isteri mengikuti
kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut (Pasal 26 ayat (1) dan
(3)). Aturan dalam UU Kewarganegaraan sebelumnya (UU 62/1958)
mengakibatkan seorang isteri kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila
menikah dengan laki-laki WNA, karena harus mengikuti kewarganegaraan
suaminya.4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

49
Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) Perdagangan orang (trafficking in
person) sebenarnya merupakan hal yang sudah ada sejak lama. Perdagangan orang
ini sebenarnya berakar dari 8 Penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006
Bagian Umum.
Budaya perbudakan yang dipraktekkan sejak lama. Hal itu dapat dilihat,
ketika bangsa kulit putih menangkapi orang-orang kulit hitam (orang Negro) di
Afrika dan menjualnya ke pengusaha-pengusaha kulit putih di Amerika. Orang
kulit hitam yang dibeli tersebut, dijadikan budak oleh para pengusaha kulit putih
di Amerika. Para budak ini menjadi milik pengusaha yang membelinya, dan dapat
diperlakukan sekehendaknya. Sebagai budak, tentu mereka tidak mempunyai hak
apa pun. Para budak ini hanya mengabdi kepada majikannya, seorang manusia
tidak memiliki kebebasan hidup sebagaimana mestinya9. Di Indonesia dapat
dilihat pada waktu dijajah Belanda. Rakyat Indonesia ketika itu kedudukannya
tidak sama dengan orang-orang Belanda.
Pembedaan rakyat dalam golongan-golongan Eropa, Bumiputera dan Timur
Asing ditetapkan di dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S). Pembedaan
rakyat dalam golongan-golongan ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip hak
asasi manusia. Pasal 163 I.S ini menjadi dasar dari peraturan perundangundangan,
pemerintahan dan peradilan di “Hindia Belanda” dahulu. R. Supomo10
mengemukakan pembedaan ini pada pokoknya didasarkan pada jenis kebangsaan.
Karena itu, terjadi “rasdiskriminasi” (pembedaan-pembedaan bangsa) di dalam
perundang-undangan, pemerintahan dan peradilan “Hindia Belanda”. Jumlah
kasus perdagangan orang terus bertambah dari tahun ke tahun. Kedutaan Besar
(Kedubes) RI di Kuala Lumpur pernah melansir jumlah pengaduan dari warga
negara Indonesia (WNI) yang mengalami kasus perdagangan orang. Selama Maret
2005 hingga Juli 2006, data International Organization for Migration (IOM)
menunjukkan, sebanyak 1.231 WNI telah menjadi korban bisnis perdagangan
orang. Meskipun tidak selalu identik dengan perdagangan orang, sejumlah sektor
seperti buruh migran, pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja seks komersial
ditengarai sebagai profesi yang paling rentan dengan human trafficking11.
Definisi dari perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1)
UU PTPPO adalah: “Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan,

50
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi 9
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Jakarta:Grafiti, 1994, h. 11. 10 R. Supomo,
Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta:Pradnya Paramita,
1982, h. 23. rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk
tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Perdagangan orang adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena
menghilangkan hak dasar yang seharusnya dimiliki setiap orang, yaitu hak atas
kebebasan. Hal ini tentu saja melanggar berbagai instrumen hukum nasional
maupun internasional. Indonesia sendiri sebelum keluarnya UU PTPPO telah
memiliki beberapa aturan yang melarang perdagangan orang. Pasal 297 KUHP
misalnya, mengatur larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum
dewasa. Selain itu, Pasal 83 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(UUPA), juga menyebutkan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik
anak untuk sendiri atau dijual. Namun peraturanperaturan tersebut tidak
merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas. Bahkan Pasal 297
KUHP memberikan sanksi terlalu ringan dan tidak sepadan (hanya 6 tahun
penjara) bila melihat dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan
orang. Karena itu, sudah semestinya ada sebuah peraturan khusus tentang tindak
pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum formil dan
materiil sekaligus. UU itu harus mampu mengurai rumitnya jaringan perdagangan
orang yang berlindung di balik kebijakan resmi negara. Misalnya penempatan
tenaga kerja di dalam dan LN. Demikian juga pengiriman duta kebudayaan,
perkawinan antarnegara, hingga pengangkatan anak. Keberadaan undang-undang
ini merupakan bukti keseriusan Indonesia untuk mengurangi bahkan
menghapuskan perdagangan orang (trafficking in person). 5. Undang-Undang
Politik Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang terakhir
telah diubah dengan Undang-Undang 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,

51
DPD, dan DPRD yang terakhir diganti dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, kedua Undang-
undang ini merumuskan aturan tentang bentuk diskriminasi positif (affirmative
action) berupa kuota 30% bagi perempuan di ranah politik Indonesia.
Tindakan Khusus Sementara (Affirmative Action),yang diistilahkan dengan
keterwakilan perempuan. Ani Widyani Soetjipto12mendefinisikan secara umum
affirmative action sebagai tindakan pro-aktif untuk menghilangkan perlakuan
diskriminasi terhadap satu kelompok sosial yang masih terbelakang. Koalisi
Perempuan Indonesia13, mengatakan bahwa affirmative action merupakan
kebijakan, peraturan atau program khusus yang bertujuan untuk mempercepat
persamaan posisi dan kondisi yang adil bagi kelompok-kelompok yang
termarjinalisasi dan lemah secara sosial dan politik, seperti kelompok miskin,
penyandang cacat, buruh, petani, nelayan dan lain-lain, termasuk di dalamnya
kelompok perempuan. Shidarta14 mengemukakan bahwa tindakan affirmatif
(affirmative action) diartikan sebagai upaya meningkatkan hak atau kesempatan
bagi orang yang semula tidak/kurang beruntung (disadvantaged) agar dapat
mengenyam kemajuan dalam waktu tertentu.
Affirmative action juga dapat dijadikan sebagai suatu koreksi dan
kompensasi atas diskriminasi, marginalisasi dan eksploitasi yang dialami oleh
kelompok-kelompok sosial yang tertinggal. Koreksi tersebut dilakukan dalam
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya kesetaraan dan
keadilan di semua bidang kehidupan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan,
pertahanan dan keamanan, yang kemungkinan besar sudah lama tidak pernah
dinikmati oleh kelompok sosial yang tertinggal. Apabila hal ini dihubungkan
dengan ketertinggalan kaum perempuan, maka dalam mengejar ketertinggalan
tersebut dapat dilakukan dengan affirmative action.

Hal ini sesuai dengan pendapat Ani Widyani Soetjipto15 yang mengatakan
bahwa tujuan utama affirmative action terhadap perempuan, adalah untuk
membuka peluang kepada perempuan agar mereka yang selama ini sebagai
kelompok marjinal bisa terintegrasi dalam kehidupan secara adil. Menurutnya, ciri

52
semua tindakan affirmative action adalah sifatnya sementara. Maksudnya adalah
bahwa “ketika kelompok-kelompok yang dilindungi itu telah terintegrasi dan
tidak lagi terdiskriminasi, kebijakan ini bisa dicabut karena lahan persaingan dan
kompetisi telah cukup adil bagi mereka untuk bersaing bebas”.12 Ani Widyani
Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2005, h. 99. 13 Koalisi Perempuan Indonesia, Tindakan Khusus Sementara :
Menjamin Keterwakilan Perempuan, Pokja Advokasi Kebijakan Publik
Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, Oktober 2002, h. 2. 14
Shidarta, Konsep Diskriminasi Dalam Perspektif Filsafat Hukum, (Dalam “Butir-
butir Pemikiran Dalam Hukum” memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief
Sidharta,SH), Bandung: Refika Aditama, 2008, h. 116. 15 Ani Widyati Soetjipto,
Op.Cit, h.105.
Perjuangan perempuan dalam meningkatkan representasi perempuan di legislatif
melalui affirmative action dapat dilakukan dengan melibatkan kaum perempuan
lebih banyak aktif di partai politik. Memberdayakan perempuan dalam partai
politik adalah merupakan langkah paling awal untuk mendorong agar kesetaraan
dan keadilan bisa dicapai antara laki-laki dan perempuan di dunia publik dalam
waktu tidak terlalu lama. Langkah ini diperlukan agar jumlah perempuan di
lembaga legislatif bisa seimbang jumlahnya dengan laki-laki. Pada affirmative
action, yang dianalisa adalah persoalan diskriminasi di tingkat kelompok sosial
tertentu. Dalam konsep ini, tindakan non-diskriminatif itu harus memperhatikan
karakteristik yang ada dalam institusi-institusi seperti gender atau ras.16 Secara
tekstual kata affirmative action tidak ditemukan dalam UUD 1945 maupun
peraturan pelaksanaannya. Landasan konstitusional untuk affirmative action di
Indonesia adalah Pasal 28 H ayat (2) dan 28 I ayat (2) UUD 1945. Hal itu dapat
ditafsirkan dari kata “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus …dst” dan“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas
dasar apa pun …dst”. Memberi kemudahan dan perlakuan khusus dalam
membebaskan orang dari perlakuan diskriminatif dapat dilakukan melalui
tindakan affirmatif17. Dengan demikian, tindakan affirmatif mempunyai dasar
konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 46 menjelaskan

53
tentang keharusan sistem Pemilihan Umum, kepartaian, pemilihan anggota badan
legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif meningkatkan
partisipasi keterwakilan perempuan. Peningkatan sumberdaya perempuan di
dalam partai politik diharapkan dapat mempermudah pemenuhan kuota 30%
tersebut. Namun, pencantuman sistem kuota dalam peraturan perundang-
undangan akan menjadi mubajir apabila kaum perempuan itu sendiri tidak mau
berjuang dengan meningkatkan kemauan dan kemampuannya dalam bidang
politik. 6. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG)
Inpres Nomor 9 Tahun 2000 ini, memberikan petunjuk adanya keseriusan
pemerintah dalam upaya untuk menghilangkan bentuk diskriminasi dalam 16 Ibid,
h. 100-101. 17 Tri Lisiani Prihatinah, Perspektif Jender terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi tentang Dihapuskannya Kebijakan Afirmatif Perempuan di
Parlemen pada Pemilu Tahun 2009, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10, No. 2, Mei
2010, h. 160.
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The
Rights of Women in Indonesian Laws and Regulations
Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015728
seluruh sendi kehidupan bernegara. Dalam konsideran Inpres ini disebutkan dua
hal, yaitu: a. Bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas
perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dipandang
perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses
pembangunan nasional;b. Bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh
proses pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan
fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah;
Inpres ini menjadi dasar adanya berperspektif gender bagi seluruh kebijakan dan
program pembangunan nasional, tanpa kecuali. Baik kebijakan di pusat maupun di
daerah haruslah berperspektif gender, apabila tidak maka kebijakan tersebut harus
diganti.7. Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah
dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005 Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap
Perempuan atau Komnas Perempuan adalah mekanisme nasional untuk

54
penegakkan Hak Asasi Manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan lahir
dari rahim pergulatan gerakan perempuan Indonesia dan merupakan jawaban
pemerintah RI terhadap tuntutan gerakan perempuan agar negara
bertanggungjawab terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan selama
konflik dan kerusuhan Mei 1998. Presiden Habibie meresmikan pembentukan
Komnas Perempuan melalui Keppres Nomor 181 tahun 1998, yang kemudian
diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2005. Pembentukan Komnas Perempuan
berdasarkan Pasal 1 Perpres Nomor 65 Tahun 2005 adalah, “Dalam rangka
pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan serta
penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap
perempuan”. Adapun tujuan dari Komnas Perempuan sesuai Pasal 2 adalah untuk:
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan
di Indonesia;
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The
Rights of Women in Indonesian Laws and Regulations
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The
Rights of Women in Indonesian Laws and Regulations
Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 729
b. meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan.
Komnas Perempuan adalah salah satu lembaga negara yang bersifat independen.
Adapun tugas dari Komnas Perempuan sesuai Pasal 4 Perpres Nomor 65 Tahun
2005 adalah: a. menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan
serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;b. melaksanakan
pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan
hak-hak asasi manusia perempuan;c. melaksanakan pemantauan, termasuk
pencarian fakta dan pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta penyebarluasan
hasil d. pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang

55
mendorong pertanggungjawaban dan penanganan; e. memberikan saran dan
pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta
organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan
kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan; f.
mengembangkan kerja sama regional dan intemasional guna meningkatkan upaya-
upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi
manusia perempuan. Mengacu pada mandat Perpres Nomor 65 th. 2005 maupun
Rencana Strategis Komnas Perempuan 2007-2009, kelima subkomisi serta
perangkat kelembagaan lainnya Kesekjenan, Dewan Kelembagaan, Gugus Kerja
dan Panitia Ad Hoc) telah melaksanakan program & kegiatan yang mencakup
enam (6) area atau isu utama, yaitu: (1) Pemantauan & pelaporan HAM
perempuan; (2) Penguatan penegak hukum & mekanisme HAM nasional; (3)
Negara, agama dan HAM perempuan; (4) Mekanisme HAM internasional; (5)
Peningkatan partisipasi masyarakat; dan (6) Kelembagaan
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The
Rights of Women in Indonesian Laws and Regulations
Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015730
B. Aturan Hukum dalam Rangka Mewujudkan Prinsip Keadilan dan Kesetaraan
Gender Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang tidak adil
(ketidakadilan gender) tidaklah merupakan perjuangan perempuan melawan laki-
laki, melainkan perjuangan melawan sistem dan struktur ketidakadilan
masyarakat,berupa ketidakadilan gender. Untuk mengakhiri sistem yang tidak adil
ini ada beberapa agenda yang perlu dilakukan, yakni : 1. Melawan hegemoni yang
merendahkan perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi idiologi.
Melakukan dekonstruksi artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang
menyangkut nasib perempuan di mana saja. ... dst.2. Melawan paradigma
developmentalism yang berasumsi bahwa keterbelakangan kaum perempuan
disebabkan karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan18. Melawan
hegemoni yang merendahkan harkat dan martabat perempuan patut dilakukan,

56
sebab hegemoni itu sebenarnya hanya merupakan konstruksi ataupun rekayasa
sosial. Diantara caranya adalah dengan melakukan konstruksi hukum, yang
memberi dasar bagi perempuan dalam melawan hegemoni yang tidak adil dijamin
dalam berbagai instrumen hukum, baik dalam instrumen hukum internasional
maupun nasional. Di antara cara untuk dapat mewujudkan kesetaraan bagi
perempuan dengan meningkatkan jumlah perempuan yang menjadi anggota
parlemen, karena pembentukan suatu peraturan perundang-undangan dipengaruhi
oleh anggota parlemen itu sendiri. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan
keanggotaan perempuan di parlemen harus terus dilakukan. Karena sampai saat
ini jumlah anggota DPR perempuan belum pernah mencapai angka 30%19. Untuk
itu, perlu dirumuskan mekanisme yang dapat menjamin keterwakilan perempuan
di sektor publik semakin meningkat di masa mendatang. Disamping ketentuan-
ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan
2.3.2 Hak-hak Anak
Instrumen internasional mengenai perlindungan hak-hak anak
sebagaimana tertuang dalam Resolusi PBB 44/25  tertanggal, 20 November 1898
tentang Convention on the Rights of The Child  (Konvensi Hak-Hak Anak), yang
kemudian diatur dalam Resolusi PBB 1386/XIV, tanggal 20 Desember 1959
tentang Declaration of the Rights of the Chlid (Deklarasi Hak-Hak Anak, Tahun
1959), memuat  10 (sepuluh) asas pokok, yang meliputi :
1.      Anak berhak menikmati semua haknya sesuai ketentuan yang
terkandung dalam Deklarasi ini. Bahwa setiap anak tanpa kecuali harus
dijamin hak-haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain,
kebangsaan atau tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atau status lain,
baik yang ada pada dirinya maupun keluarganya;
2.      Anak berhak memperoleh perlindungan khusus, dan harus memperoleh
kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya
mampu untuk memgembangkan diri sercara fisik, kejiwaan, moral,
spiritual dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai
kebebasan dan harkatnya.
3.      Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan;

57
4.      Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh
dan berkembang secara sehat;
5.      Anak yang cacat fisik, mental dan lemah kedudukan sosialnya akibat
suatu keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan dan
perlakuan khusus;
6.      Agar supaya kerpibadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia
memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin ia dibesarkan
dibawah asuhan dan tangungjawab orang tuanya sendiri, dan
bagaimanapun harus diusahakan agar tetap berada dalam suasana yang
penuh kasih sayang. Sehat jasmani dan rohani;
7.      Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurang-
kurangnya pada ditingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapat
perlindungan yang dapat meningkatkan pengetahuan umumnya, atau yang
memungkinkannya atas dasar kesempatan yang sama guna
mengembangkan kemampuan, pendapat pribadinya dan perasaan
tanggungjawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi
anggota masyarakat yang berguna. Anak juga mempunyai kekebasan
untuk bermain dan berrekreasi yang diarahkan untuk tujuan pendidikan,
masyarakat dan pemerintah yang berwenang harus berusaha meningkatkan
pelaksanan hak ini.
8.      Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima
perlindungan dan ertolongan;
9.      Anak harus dilindungi dari sebagai bentuk kealpaan, kekerasaan,
penghisapan. Ia tidak boleh dijadikan subjek perdagangan, artinya anak
tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam
pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan atau pendidikannya, maupun
yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa atau akhlaknya;
10.   Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk
diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.

58
2.4 Peran dan Status Perempuan dalam Kehidupan Keluarga, Masyarakat,
dan Negara dalam Perkembangan Peradaban Manusia.
2.4.1 Peran Dalam Keluarga
Peran wanita untuk keluarga dalam dekade ini benar-benar kontroversial dan
dapat diperdebatkan yang menarik banyak perhatian terutama terkait dengan isu
gender. Dengan demikian, peraturan peluncuran pemerintah RI No 23 tahun 2004
tentang keputusan untuk meninggalkan kekerasan dalam keluarga yang terkait
dengan peraturan no 3 huruf b tentang kesetaraan jender. Kesetaraan perempuan
mengusulkan perempuan dan laki-laki memiliki status dan kondisi yang sama
untuk mendapatkan hak asasi manusia sepenuhnya, potensi dan kehidupan
keluarga secara proporsional. Sesuai dengan kasus sebelumnya, semakin banyak
wanita bekerja untuk membantu suami mereka dalam meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Selain itu, kebutuhan dan tuntutan hidup tumbuh tinggi yang mendorong
wanita untuk bekerja di luar rumah mereka.
Hal ini didukung oleh kondisi ekonomi global terutama kebutuhan pokok
keluarga yang hari demi hari harganya semakin tinggi. Mengenai konsep tersebut,
semakin banyak wanita yang bekerja membantu suami mereka untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga karena kebutuhan dan permintaan dalam
keluarga tumbuh tinggi. Selain itu, dalam keluarga, wanita dituntut untuk dapat
mengelola uang dengan baik dalam Peran dan kontribusi perempuan dalam
kontribusi terhadap kemajuan bangsa tidak dapat lagi dianggap remeh bahkan
dikesampingkan, karena sangat menunjang perekonomian keluarga. Penelitian ini
dilakukan di 13 desa dimana masyarakat suku Duanu bermukim. Sampel
penelitian ini menggunakan purposive sampling. Pembahasan penelitian ini
adalah Jenis Kelamin, Pekerjaan, Pencari nafkah keluarga dan Peran Perempuan
dalam perekonomian keluarga.
Dari penelitian ini dapat diketahui peran perempuan dalam penunjang
ekonomi keluarga, Pencari nafkah utama dalam keluarga adalah Ayah (Laki-laki),
Namun Peran Ibu (Perempuan) dalam perekonomian keluarga sangat besar,
karena perempuan turut membatu penghasilan keluarga. Peran perempuan
perekonomian keluarga tidak tunggal, karena pencari nafkah utama adalah Ayah
(Laki-laki), adapun persentase pencari nafkah dalam keluarga adalah: Ayah (laki-

59
laki) 48 persen; Ayah (laki-laki) dan Ibu(Perempuan) 18 persen; Ayah (laki-
laki), Ibu(Perempuan), Anak sebesar 9 persen; Ayah (laki-laki), Ibu(Perempuan),
Paman (laki-laki) sebesar 2 persen kaitannya dengan kondisi ekonomi yang
masih tidak stabil karena gaji suami tidak mampu memenuhi kebutuhan dan
kebutuhan keluarga.
2.4.2 Peran Dalam Masyarakat
Perempuan dalam menjalankan perannya dalam masyarakat tergantung pada
budaya masyarakat dimana ia tinggal. Dari sudut pandang peran antara laki-laki
dan perempuan, keduanya sama-sama melaksanakan peran dalam ranah domestik,
publik, dan sosial, namun dalam kenyataannya, peran domestik lebih banyak
ditanggung oleh perempuan. Dari serangkaian konsep-konsep yang dikutip dalam
tulisan ini juga memperlihatkan bahwa kepedulian tentang peran perempuan lebih
banyak berasal dari literatur yang ditulis perempuan. Ini memperlihatkan bahwa
perjuangan perempuan untuk meningkatkan perannya dalam masyarakat masih
dominan berjuang oleh dan dari perempuan sendiri.
2.4.3 Peran Dalam Bangsa dan Negara
peran perempuan dari berbagai aspek, baik itu dalam refroduksi, ekonomi,
sosial, politik dan kepemimpinan Islam bahwa selama ini perempuan ditempatkan
hanya sebagai anggota dalam hal kepengurusan, hal ini diungkapkan oleh
berbagai informan bahwa perempuan yang aktif di organisasi kemasyarakatan
serta tidak memiliki ciri-ciri pemberani seperti halnya dengan laki-laki. Alasan
inilah sehingga program kerja yang diusulkan perempuan tidak begitu banyak
untuk diterima dan implementasikan ke dunia politik yang ada. Sedangkan Posisi
perempuan dalam partai politik rata-rata bersifat stereotipe, hal ini dibuktikan dari
hasil penelitian melalui wawancara dengan alasan bahwa dengan maupun tidak
banyak dilibatkan dalam faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan
perempuan dalam partai politik adalah : pengaruh faktor pendidikan sangat besar
dan sangat menentukan keaktifan kaum perempuan dalam keterlibatannya sebagai
pengurus partai politik, karena semua tugas-tugas yang diembankan kepada
perempuan dapat dilaksanakan berkat adanya pendidikan yang dimiliki oleh
perempuan tersebut.
Kepemimpinan Perempuan dalam Era Modern - Husain Hamka | 115

60
Ini berarti bahwa ada relevansi antara tugas dengan pendidikan. Kendala yang
dialami perempuan dalam partai politik yaitu melalui beberapa persoalan antara
lain pendidikan, pekerjaan, keadilan dan kesetaraan gender, peran domestik,
budaya patriarki, agama dan hubungan kekeluargaan. Semua yang tercatat ini
adalah masalah yang sering dihadapi perempuan dalam aspek kehidupan di
masyarakat. Sehingga terkesan bahwa selama ini banyak perempuan yang tidak
mau terlibat dengan persoalan partai, dan kemudian kendala lain yang sering
terjadi di beberapa partai yaitu terjadinya diskriminasi terhadap perempuan
bahkan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dalam partai politik.
Perempuan yang memiliki keahlian atau kompetensi memimpin negara, boleh
menjadi kepala negara dalam konteks masyarakat modern karena sistem
pemerintahan modern tidak sama dengan sistem monarki yang berlaku di masa
klasik dimana kepala negara harus mengendalikan semua urusan kenegaraan.

61
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpuan
Sepanjang sejarah perjuangan perempuan baik lokal, nasional maupun
internasional, perempuan merupakan individu yang kuat, cerdas dan berpotensi
tinggi, dan aktif dalam berbagai bidang. Selain itu perempuan juga sangat
berpengaruh dan berperan penting bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara,
Oleh karena itu perempuan memiliki hak sesuai dengan kebutuhannya.

3.2 Saran
Dengan terselesaikannya makalah tentang sejarah perjuangan perempuan
dan peran serta perempuan dalam berbagai bidang serta kehidupan bermasyarakat
maka seharusnya semua orang dapat menghargai serta menghormati perempuan
sebagai makluk yang harus dilindungi dan memperlakukannya sesuai dengan hak
dan kewajbannya. Penulis menyadari bahwa makalah yang telah kami tulis
memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis
berharap agar para pembaca terutama para mahasiswa dapat memberikan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini sehingga
manfaat dari makalah ini dapat diperoleh dan diterapkan dalam kehidupan.

62
DAFTAR PUSTAKA

e-journal.hamzanwadi.ac.id
https://www.ciptamedia.org/uploads/karya/book/jurnal-simbolika-lia-anggia.pdf
http://www.indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/article/download/107/10
8
AT Utami - Insignia: Journal of International Relations, 2015 - jos.unsoed.ac.id
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/academica/article/viewFile/2247/1450
http://digilib.uinsgd.ac.id/4118/1/hak_asasi_perempuan_dalam_peraturan_perund
ang_undangan_Indonesia.pdf
https://www.jurnalperempuan.org/uploads/1/2/2/0/12201443/prosiding_final.pdf
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/marwah/article/viewFile/4135/2669
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/JPA/article/view/2744
http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/jsga/article/view/174
http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/muqoddimah/article/view/677
http://publishing-widyagama.ac.id/ejournal-v2/index.php/jk/article/view/304/299

63

Anda mungkin juga menyukai