Anda di halaman 1dari 12

KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DI INDONESIA

Lileh Linggarrani
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo
Email : raniranniya090@gmail.com

Abstrak : Isu kesetaraan dan keadilan gender mulai merebak di Indonesia


pada tahun 1990-an. Walaupun isu gender telah lama merebak di
Indonesia, namun banyak orang yang masih salah mengartikan tentang
konsep gender dan kesetaraan gender. Pengertian gender yang sering
disamakan dengan arti seks (jenis kelamin). Pemerintah nasional maupun
internasional telah melakukan berbagai upaya untuk menegakkan keadilan
antara laki-laki dan perempuan. Namun pada kenyataannya, kesetaraan
dan keadilan gender di indonesia masih belum sepenuhnya terwujud.
Kesetaraan gender ini dapat dijunjung tinggi melalui perubahan pola pikir
masyarakat yang berkembang saat ini. Pola pikir dan pemahaman yang
positif tentang kesetaraan gender akan membantu mengurangi kasus-kasus
ketimpangan gender di Indonesia dengan keterlibatan pemerintah di
dalamnya.
Kata Kunci : Gender; Kesetaraan Gender; Kesetaraan dan Keadilan Gender

A. PENDAHULUAN
Permasalahan gender di masyarakat sudah ada sejak manusia itu mulai
muncul di muka bumi ini. Namun pada awalnya ketika ilmu pengetahuan dan
teknologi belum maju seperti saat ini, isu gender belum mendapat perhatian
dan tidak dipermasalahkan baik oleh masyarakat secara umum maupun oleh kaum
feminis. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai budaya yang berkembang terkait
dengan peran atau pembagian kerja, tanggung jawab serta citra baku laki-laki
dan perempuan pada saat itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan sah-sah
saja. Seiring dengan perkembangan jaman yang diikuti oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi, perhatian masyarakat terutama kaum

1
feminis terhadap fenomena sosial yang terkait dengan isu gender mulai
menjadi fokus perhatian.1
Ambivalensi publik tentang isu-isu gender semakin kompleks ketika di-
hadapkan pada sebuah fenomena masa kini, bahkan di lingkar pegiatnya sendiri
terdapat 2 pandangan yang saling meng-counter. Pertama, berpandangan, gender
adalah konstruksi sosial, sehingga perbedaan jenis kelamin tidak perlu meng-
akibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tataran sosial, karenanya
segala peran dan fungsi bias gender harus dihilangkan. Kedua, berpandangan
bahwa perbedaan jenis kelamin akan selalu berdampak terhadap konstruksi
konsep gender dalam kehidupan sosial, sehingga akan selalu ada jenis-jenis peran
berstereotip gender.2
Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang
dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari
peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil
pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan
belum dioptimalkan. Oleh karena itu, program pemberdayaan perempuan telah
menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.
Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan
ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat
dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender
dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga
bagi kaum laki-laki.3
Di Indonesia, perjuangan untuk memperbaiki nasib perempuan sudah muncul
sejak jaman penjajahan Belanda yang dipelopori oleh R.A Kartini yang
gerakannya dikenal dengan sebutan “emansipasi”. Gerakan ini pada

1
Ni Luh Arjani, “Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global,” INPUT
Jurnal Ekonomi dan Sosial 1 (2010): 113.
2
Nasitotul Janah, “Telaah Buku Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an Karya
Nasaruddin Umar,” Sawwa 12 (2017): 169.
3
Rustina, “Implementasi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga,” Musawa 9
(2017): 284.

2
prinsipnya juga merupakan gerakan untuk memperjuangkan nasib kaum
perempuan Indonesia yang pada saat itu eksistensinya sangat terpasung oleh
budaya patriarki sehingga perempuan tidak memperoleh akses terhadap
pendidikan, pekerjaan dan lain-lain.
Meskipun gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan sudah
berlangsung sejak lama, namun sampai saat ini ketimpangan gender di
berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti dalam hal pendidikan, ekonomi,
politik, sosial dan budaya masih cukup menonjol. Oleh karena itu untuk
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di masyarakat seperti yang sudah
dicanangkan melalui komitmen Millenium Development Goals (MDGs), maka
perlu dilakukan berbagai upaya penanganan yang serius.4
B. HAKIKAT GENDER
Kata gender dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Inggris,
yaitu “gender”. Jika dilihat dalam kamus bahasa Inggris, tidak secara jelas
dibedakan pengertian antara sex dan gender. Seingkali gender dipersamakan
dengan seks (jenis kelamin laki-laki dan perempuan).5
Untuk memahami konsep gender maka harus maka harus dapat dibedakan
antara kata gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian seks (jenis kelamin)
merupakan pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis kelamin
perempuan memiliki alat reproduksi, seperti rahim, saluran untuk melahirkan, dan
memproduksi sel telur.6
Sementara itu, konsep gender mengacu pada sifat yang melekat pada kaum
laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi, baik secara sosial maupun secara
kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, emosional, dan keibuan;
laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa. Berbeda dengan jenis kelamin, ciri
dan sifat gender dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang lemah lembut,
emosional, dan keibuan; ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa.
4
Arjani, “Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global,” 114.
5
Riant Nugroho, Gender dan Pengarus-utamaannya di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 1.
6
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), 8.

3
Perubahan ciri gender dapat terjadi dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke
tempat lain, atau dari suatu kelas ke kelas lain. Contohnya, di suku tertentu
perempuan lebih kuat daripada laki-laki.
Dari berbagai definisi tersebut dapat dipahami bahwa gender adalah suatu
konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah
suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang
bersifat kodrati. Dalam konteks tersebut, gender harus dibedakan dari jenis
kelamin (seks). Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural,
misalnya perempuan dikenal lembut dan cantik. Tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa gender adalah interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa gender pada hakikatnya lebih menekankan
aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non biologis lainnya. Hal ini berarti
bahwa gender lebih menekankan aspek maskulinitas atau feminitas seseorang
dalam budaya tertentu. Dengan demikian, perbedaan gender pada dasarnya
merupakan konstruksi yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan
dilegitimasi secara sosial dan budaya. Pada gilirannya, perbedaan gender dianggap
kodrati hingga melahirkan ketidakseimbangan perlakuan jenis kelamin.7
C. PERKEMBANGAN GENDER INTERNASIONAL DAN NASIONAL
Munculnya perhatian terhadap isu gender dan pemberdayaan perempuan
diawali oleh adanya kesadaran bahwa ternyata nasib kaum perempuan di
masyarakat tidak sebaik nasib lawan jenisnya. Oleh karena itu, gerakan untuk
memperbaiki nasib perempuan mulai muncul yang dipelopori oleh tokoh
feminis Mary Wollstonecraft dan John Stuart Mill. Dalam perkembangan
berikutnya diikuti oleh tokoh-tokoh feminis lainnya yang mempunyai visi dan
misi sejenis yakni mewujudkan kesetaraan. dan keadilan gender dengan

7
Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya terhadap
Hukum Islam,” Jurnal Al-Ulum 13 (2013): 337.

4
memperjuangkan nasib kaum perempuan. Gerakan feminis ini pada awalnya
berkembang di Negara Barat seperti di Inggris, Perancis, Amerika dan lain-lain,
dan dalam perkembangannya gerakan ini berkembang dalam tiga gelombang
besar yakni feminisme gelombang pertama, kedua dan ketiga.8
Feminisme gelombang pertama berkaitan dengan terjadinya Revolusi
Perancis (1789) dimana pada saat ini berkembang beberapa paham feminis
seperti; feminis Liberal, feminisme Radikal dan feminisme Marxis/Sosialis.
Dalam memahami keteropresian perempuan, masing-masing feminis ini
mempunyai pandangan yang berbeda. Feminisme Liberal memandang bahwa
keterbelakangan perempuan disebabkan karena adanya tradisi dan kebiasaan-
kebiasaan masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai mahluk yang
tersubordinasi bukan karena kondisi alamiah yang dimilikinya. Sementara itu,
feminisme Radikal memandang ketertindasan perempuan karena seksualitas
dan sistem gender yang akhirnya memunculkan sistem patriarkhi, sedangkan
feminisme Marxis memandang keteropresian perempuan disebabkan karena
struktur sosial, ekonomi dan politik yang erat kaitannya dengan sistem
kapitalisme.
Feminisme gelombang kedua dikembangkan oleh Simone de Beauvoir
yang gerakannya dikenal dengan feminisme Eksistensialis. Faham ini melihat
persoalan penindasan perempuan dimulai dengan adanya beban reproduksi di
tubuh perempuan. Menurutnya beban reproduksi yang ditanggung perempuan
dan tanggung jawab membesarkan anak membuat perempuan mempunyai
posisi tawar yang lemah terhadap laki-laki. Sementara feminisme gelombang
ketiga dikenal dengan feminisme Postmodern, feminisme Multikultural dan
Ekofeminisme.
Pada dasarnya semua paham feminisme ini bertujuan untuk melihat dasar
keterbelakangan perempuan yang kemudian ingin memperbaiki atau
mencarikan solusinya sehingga nasib perempuan menjadi lebih berdaya.
Demikian juga di Indonesia, perjuangan untuk memperbaiki nasib
perempuan sudah muncul sejak jaman penjajahan Belanda yang dipelopori oleh

8
Arjani, “Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global,” 113.

5
R.A Kartini yang gerakannya dikenal dengan sebutan ”emansipasi”.
Gerakan ini pada prinsipnya juga merupakan gerakan untuk memperjuangkan
nasib kaum perempuan Indonesia yang pada saat itu eksistensinya sangat
terpasung oleh budaya patriarki sehingga perempuan tidak memperoleh akses
terhadap pendidikan, pekerjaan dan lain-lain.
Dalam mengatasi persoalan gender, telah dilakukan berbagai upaya baik
di tingkat internasional, maupun nasional. Di tingkat internasional pada tahun
1950 dan 1960-an telah di deklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi
sosial PBB (ECOSOC) dan diakomodasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun
1968 melalui pembentukan Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia
(KNKWI).
Selanjutnya, pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban
berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan menyatakan
agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaan
deklarasi tersebut. Oleh karena deklarasi tersebut sifatnya tidak mengikat, maka
komisi PBB tentang Kedudukan Wanita kemudian menyusun rancangan
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.9
Pada tahun 1975 di Mexico City, PBB menyelenggarakan Konfrensi
Wanita Internasional yang menghasilkan antara lain deklarasi persamaan
antara perempuan dan laki-laki dalam hal: pendidikan dan pekerjaan. Tiga tahun
kemudian yakni tahun 1978 pemerintah Indonesia menindaklanjutinya dengan
membentuk Menteri Muda Urusan Peranan Wanita (Men.UPW). Melalui
lembaga negara ini Pemerintah Indonesia melaksanakan aksi penanggulangan
permasalahan perempuan dan gender yang terjadi di masyarakat.
Pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis Umum PBB telah
menyetujui konvensi tersebut. Karena ketentuan konvensi pada dasarnya
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka

9
Ratih Probosiwi, “Perempuan dan Perannya dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial,”
NATAPRAJA 3 (2015): 45.

6
pemerintah RI dalam Konferensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-
Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah
menantatangani konvensi tersebut. Penandatanganan itu merupakan penegasan
sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember 1979 pada waktu
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan pemungutan suara atas
resolusi yang kemudian menyetujui konvensi tersebut. Dalam pemungutan suara
itu Indonesia menyatakan setuju sebagai perwujudan untuk ikut berpartisipasi
dalam usaha menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita karena isi
konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 yang menetapkan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan. Selanjutnya konvensi ini ditetapkan dalam
bentuk undang-undang yakni Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.10
D. KONSEP KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan
siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis.
Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan
laki-laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan
masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara
matematis dan tidak bersifat universal.11
a. Pengertian
1) Kesetaraan gender : kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati
status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan
secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala
bidang kehidupan.
2) Keadilan gender : suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui
proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan
berperan bagi perempuan dan laki-laki.12

10
Arjani, “Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global,” 115.
11
Rustina, “Implementasi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga,” 287.
12
Ni Nyoman Sukerti dan Ayu Agung Ariani, Buku Ajar Gender dalam Hukum (Bali: Pustaka
Ekspresi, 2016), 1.

7
b. Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender
1) Akses : Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki pada
sumberdaya pembangunan. Contoh: memberikan kesempatan yang sama
memperoleh informasi pendidikan dan kesempatan untuk meningkatkan
karir bagi PNS laki-laki dan perempuan.
2) Partisipasi : Perempuan dan laki-laki berpartisipasi yang sama dalam proses
pengambilan keputusan. Contoh : memberikan peluang yang sama antara
laki-laki dan perempuan untuk ikut serta dalam menentukan pilihan
pendidikan di dalam rumah tangga; melibatkan calon pejabat struktural baik
dari pegawai laki-laki maupun perempuan yang berkompetensi dan
memenuhi syarat “Fit an Proper Test” secara obyektif dan transparan.
3) Kontrol : perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang sama pada
sumber daya pembangunan. Contoh : memberikan kesempatan yang sama
bagi PNS laki-laki dan perempuan dalam penguasaan terhadap sumberdaya
(misalnya : sumberdaya materi maupun non materi daerah) dan mempunyai
kontrol yang mandiri dalam menentukan apakah PNS mau meningkatkan
jabatan struktural menuju jenjang yang lebih tinggi.
4) Manfaat : pembangunan harus mempunyai manfaat yang sama bagi
perempuan dan laki-laki. Contoh : Program pendidikan dan latihan (Diklat)
harus memberikan manfaat yang sama bagi PNS laki-laki dan perempuan.13
Jadi kesetaraan gender adalah menerima dan menilai secara setara :
a. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan
b. Perbedaan peran yang dipegang oleh laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat
c. Memahami bahwa perbedaan kondisi hidup laki-laki dan perempuan pada
dasarnya karena fungsi melahirkan pada perempuan
d. Menerima perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai hikmah
e. Kesetaraan gender tidak sinonim dengan persamaan

13
Herien Puspitawati, “Pengenalan Konsep Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender,” Institut
Pertanian Bogor, 2015, 16.

8
f. Kesetaraan gender berarti sederajat dalam keberadaan, sederajat dalam
keberdayaan dan keikutsertaan disemua bidang kehidupan domestik dan
publik.14
E. KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DI INDONESIA
Pencapaian kesetaraan gender di Indonesia tidak semudah membalik telapak
tangan. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan Inpres tentang
pengarusutamaan gender, bukan berarti gerakan kesetaraan gender dapat berjalan
progressif. Tidak heran jika merujuk pada laporan-laporan internasional terkait isu
ini, perkembangan Indonesia dalam isu kesetaraan gender kurang
menggembirakan. Laporan The Global Gender Gap 2014 yang diluncurkan
World Economic Forum (WEF) memaparkan posisi Indonesia ada di posisi 97
dibawah negara miskin seperti Vietnam, dan Laos. Sedang pada 2015 dari 145
negara yang disurvei, posisi Indonesia berada para ranking 92, jauh di bawah
Philipina, yang menempati posisi 9. WEF mencatat ketimpangan gender di
Indonesia masih cukup lebar dengan skor 0,681.15
Kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia masih menjadi tantangan
utama pembangunan. Walaupun pembangunan selama ini dianggap telah berlaku
adil tanpa membeda-bedakan siapa pun, pada kenyataannya, perempuan dan anak
perempuan masih mengalami ketidakadilan dari pembangunan. Ketidakadilan
yang dialami perempuan dan anak perempuan ini kemudian tercermin dari adanya
ketidaksetaraan pencapaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan, di
hampir seluruh aspek pembangunan yang diukur dalam IKKG.
Nilai IKKG tahun 2007 untuk Indonesia secara umum adalah 0,793. Nilai
ini mencerminkan bahwa tingkat pencapaian kesetaraan dan keadilan gender di
Indonesia dalam lima aspek pembangunan yang diukur, yaitu kesehatan
reproduksi, pencapaian pendidikan, partsipasi ekonomi, keterwakilan dalam
jabatan publik, serta perlindungan terhadap kekerasan, adalah sebesar 79,3 persen.
Dilihat dari sisi yang lain, nilai ini memberikan indikasi adanya 20,7 persen
kerugian/kegagalan pencapaian pembangunan manusia akibat dari adanya
14
Santoso Tri Raharjo, Nandang Mulyana, dan Resti Fauziah, “Pengetahuan Masyarakat Desa
tentang Kesetaraan Gender,” Prosiding KS : Riset & PKM 2 (2015): 262.
15
Yekti Hesti Murthi dkk., Mewujudkan Kesetaraan Gender (Jakarta: Infid, 2017), 8.

9
ketdaksetaraan gender terkait dengan kualitas hidup dan perlindungan terhadap
kekerasan di Indonesia.
Nilai IKKG tahun 2007 sebesar 0,793 memperlihatkan masih adanya
kesenjangan peran laki-laki dengan perempuan yang cukup signifkan dalam
pembangunan. Sehingga pembangunan yang dilakukan tanpa memperhatkan
adanya kesenjangan gender tidak akan pernah dapat menjamin adanya keadilan
bagi laki-laki dan perempuan dalam proses dan hasilnya. Bahkan, pembangunan
juga akan gagal untuk mencapai potensinya yang optimal. Penduduk perempuan
yang mencakup separuh penduduk Indonesia merupakan aset pembangunan yang
mendasar. Kegagalan untuk merealisasikan potensi separuh penduduk berart
kerugian bagi pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, pentngnya mengatasi
kesenjangan gender bukan saja terkait dengan masalah hak asasi manusia dan
keadilan, tetapi juga masalah efisiensi dalam pembangunan.16
Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam pembangunan tersebut
kemudian diperburuk lagi dengan adanya ketidaksetaraan pencapaian antar
wilayah akibat adanya variasi infrastruktur sosial, yaitu iklim regulasi dan institusi
sosial, antardaerah. Sehingga di tngkat provinsi kondisi kesetaraan dan keadilan
gender sangat bervariasi.
Pencapaian pembangunan kesetaraan dan keadilan gender tidak selalu
berhubungan positf dengan pembangunan manusia serta pembangunan ekonomi
daerah. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa yang relatif lebih maju pembangunan
manusianya serta pertumbuhan ekonominya, ternyata bisa lebih buruk pencapaian
kesetaraan dan keadilan gendernya dibanding provinsi lain di Indonesia bagian
timur sepert Papua dan Papua Barat. Demikian juga Bali, secara mengejutkan bisa
berada pada posisi terbawah, di tengah pembangunan manusia manusia dan
perkembangan industri pariwisata yang begitu maju.17
Jadi, kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia dalam bidang pedidikan
sudah sebagian besar sudah terlaksana. Namun di era pembangunan seperti saat

16
Fithriyah dkk., Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) & Indikator Kelembagaan
Pengarusutamaan Gender (IKPUG) (Jakarta: BAPPENAS, 2012), 17.
17
Fithriyah dkk., 18.

10
ini laki-laki masih mendominasi, hal ini dikarenakan banyak wanita yang masih
menyandang status ibu rumah tangga saja.
F. PENUTUP
Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan gender (KKG) bukanlah
merupakan suatu yang mudah, tetapi memerlukan perjuangan yang ekstra keras
karena hal ini berkaitan erat dengan perubahan nilai budaya atau konstruksi
sosial budaya yang telah melekat di masyarakat. Namun demikian, karena
semua nilai budaya yang ada di masyarakat adalah bentukan manusia, maka
pada prinsipnya hal ini bisa diubah tetapi memerlukan proses yang panjang.
Melalui upaya yang serius dan berkesinambungan maka secara lambat laun
ideologi gender yang bersifat merugikan salah satu jenis kelamin akan
dapat dikikis sehingga pada gilirannya kesetaraan dan keadilan gender di
masyarakat Indonesia akandapat terwujud. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan
gender berarti masyarakat kita telah mampu memenuhi salah satu kesepakatan
Millenium Development Goals (MDGs) yang telah menjadi komitmen
Internasional.

DAFTAR RUJUKAN

Arjani, Ni Luh. “Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global.”
INPUT Jurnal Ekonomi dan Sosial 1 (2010).

Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1999.

11
Fithriyah, Aini Harisani, Yohanna M.L. Gultom, Susiati Puspasari, dan Lilis Heri
Miscicih. Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) & Indikator
Kelembagaan Pengarusutamaan Gender (IKPUG). Jakarta: BAPPENAS,
2012.

Janah, Nasitotul. “Telaah Buku Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Al-


Qur’an Karya Nasaruddin Umar.” Sawwa 12 (2017).

Murthi, Yekti Hesti, Dian Kartikasari, Misiyah, Zumrotin K. Susilo, Siti Khoirun
Nikmah, dan Hamong Santono. Mewujudkan Kesetaraan Gender. Jakarta:
Infid, 2017.

Nugroho, Riant. Gender dan Pengarus-utamaannya di Indonesia. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2008.

Probosiwi, Ratih. “Perempuan dan Perannya dalam Pembangunan Kesejahteraan


Sosial.” NATAPRAJA 3 (2015).

Puspitawati, Herien. “Pengenalan Konsep Gender, Kesetaraan dan Keadilan


Gender.” Institut Pertanian Bogor, 2015.

Raharjo, Santoso Tri, Nandang Mulyana, dan Resti Fauziah. “Pengetahuan


Masyarakat Desa tentang Kesetaraan Gender.” Prosiding KS : Riset &
PKM 2 (2015).

Rustina. “Implementasi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga.”


Musawa 9 (2017).

Suhra, Sarifa. “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya


terhadap Hukum Islam.” Jurnal Al-Ulum 13 (2013).

Sukerti, Ni Nyoman, dan Ayu Agung Ariani. Buku Ajar Gender dalam Hukum.
Bali: Pustaka Ekspresi, 2016.

12

Anda mungkin juga menyukai