Anda di halaman 1dari 29

Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas Rahmat-Nya maka
saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Peran Gender dan Seks
Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi Perempuan”. Makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Kesehatan Perempuan dan Perencanaan Keluarga”
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan laporan ini.

Karawang, Februari 2019


Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sasaran Pembangunan Milenium /Millennium Development Goals
(MDGS) adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan
perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai
dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai
pada tahun 2015 ( wikipedia,2011) . Targetnya adalah tercapai kesejahteraan
rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan
tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam
Deklarasi Milenium dan diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh
147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000 tersebut.
Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di
New York tersebut dan menandatangani Deklarasi Milenium itu. Deklarasi
berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk
mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDGs) yaitu:
1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan
2. Mencapai pendidikan untuk semua
3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
4. Menurunkan angka kematian anak
5. Meningkatkan kesehatan ibu
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya
7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
Berdasarkan delapan tujuan MDGs, penulis tertarik untuk membahas
mengenai kesetaraan gender. Kesetaraan gender merupakan tuntutan setiap
perempuan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kesetaraan dalam
segala hal seperti pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.

1
Di negara-negara berkembang, masalah kesetaraan gender juga merupakan
masalah pelik yang dihadapi. Misalnya saja Korea Selatan yang memiliki
reputasi sangat bagus di mata dunia internasional, akan tetapi negara ini
masih tertinggal jauh dalam kesetaraan gender, terutama dalam bidang
pekerjaan dan pendapatan. Sebenarnya masih banyak negara lain di dunia ini
yang tengah menghadapi masalah yang serius seperti ini.
Apalagi di setiap negara penyetaraan gender tersebut berbeda-beda, ada
yang dalam bidang ekonomi, hukum, politik, sosial dan sebagainya.
Demikian juga halnya di Indonesia, pembawaan perempuan yang ramah,
lemah lembut, penurut dan kebiasaan mereka mengurusi pekerjaan rumahan
mengakibatkan perempuan dianggap sebagai orang rumah yang keberadaan
mereka di nomor duakan. Tidak jarang dalam sebuah keluarga, pengambilan
suatu keputusan selalu di dominasi suami.
Bahkan pendapat perempuan jarang dimintai dan terkesan tidak
dibutuhkan. Sehingga marginalisasi atau peminggiran menjadi buah dari
perlakuan buruk tersebut.

B. Tujuan Umum
Mengetahui bagaimana peran gender mempengaruhi kesehatan reproduksi
perempuan dan peran gender yang pantas disandang demi keharmonisan
kehidupan manusia.

C. Tujuan Khusus
Setelah memberikan penyuluhan dengan materi peran gender
mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan diharapkan mahasiswa
mampu:
1. Menyusun satuan acara penyuluhan dengan materi peran gender
mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan,
2. Memberikan penyuluhan mengenai peran gender mempengaruhi
kesehatan reproduksi perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gender

1. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”.
Berdasarkan definis dari WHO 2001, gender mengacu pada kesempatan
dan atribut ekonomi, sosial dan kultural yang diasosiasikan dengan peran
laki-laki dan perempuan dalam situasi sosial pada masa tertentu. Gender
sering pula disebut sebagai jenis kelamin sosial.
Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya
membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas,
dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya yang
terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural
expectations for women and men).
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender
adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender
dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social
constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
a. Pengertian Kesehatan Reproduksi
Secara sederhana reproduksi berasal dari kata re = kembali dan
produksi = membuat atau menghasilkan, jadi reproduksi mempunyai
arti suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan
demi kelestarian hidup. Menurut International Conference on
Population and Development (ICPD) Kairo 1994, kesehatan
reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara fisik, mental, dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau
kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem
reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.
b. Perbedaan Seks dengan Gender
Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka
seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-
laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks (dalam
kamus bahasa Indonesia juga berarti “jenis kelamin”) lebih banyak
berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi,
dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak
berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-
aspek non biologis lainnya.
Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas
(masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan
studi seks yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan
komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan
(femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang laki-
laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a
woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah
seks.
Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada
persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love-making activities),
selebihnya digunakan istilah gender.
2. Konsep Gender Secara Umum
Studi gender dimulai tahun 1960-an sejalan dengan munculnya
perhatian terhadap kebutuhan dalam mengembangkan paradigma
feminis. Pendekatan feminis ini timbul dari mulai dengan hadirnya
nuansa feminis dalam beberapa tulisan etnografi, yang kemudian
membangkitkan perhatian para ilmuwan wanita untuk mengukuhkan
pandangan mereka terhadap dunia yang selama ini dianggap tidak
cukup mewakili. Akan tetapi sampai sekarang arti gender sendiri
masih banyak ambigu dengan pemaknaan seks.
Seperti halnya tertera dalam beberapa kamus bahasa internasional.
Gender merupakan klasifikasi jenis kelamin, yakni jenis kelamin pria
dan wanita. Gender adalah jenis kelamin, yang mana jenis kelamin
pria dimiliki oleh pria dan jenis kelamin wanita dimiliki oleh wanita.
Sebelum memahami konsep gender harus kita pahami terlebih
dahulu perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep
gender. Pengertian tentang jenis kelamin merupakan penafsiran atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis
yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia
jenis pria adalah manusia yang memiliki penis dan memproduksi
sperma.
Sedangkan manusia jenis wanita adalah manusia yang memiliki
vagina, rahim dan alat untuk menyusui serta memproduksi telur.
Sementara itu, secara substansial pengertian gender merujuk pada
sifat-sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial ataupun kultural. Misalnya, perempuan
dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan.
Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa.
Dengan demikian, pengertian tentang gender hendaknya dipahami
sebagai suatu pembedaan jenis kelamin beserta ciri-ciri dan sifat yang
melekat pada ke dua jenis kelamin tersebut. Perempuan adalah ibu
rumah tangga yang mempunyai fungsi pengasuhan anak dan
pengurusan rumah tangga.
Ciri-ciri itu sendiri merupakan ciri-ciri yang dapat dipertukarkan.
Dalam arti ada pria yang emosional, lemah lembut dan keibuan.
Begitu juga sebaliknya ada wanita yang kuat, rasional, jantan dan
perkasa.
Perubahan ciri-ciri tersebut dapat terjadi dari tempat ke tempat,
dari waktu ke waktu dan dari kelas ke kelas tertentu. Semua hal yang
dapat dipertukarkan antara ciri-ciri pria dan wanita, yang dapat
berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari tempat ke tempat
lainnya serta dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal
dengan konsep gender.
3. Kesetaraan Gender
Jelas bagi kita bahwa jenis pekerjaan seseorang ataupun tempat
bekerja yang dipilih oleh seseorang bukanlah ukuran yang dapat
menunjukkan adanya kesetaraan gender. Kesetaraan gender
ditunjukkan dengan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki
dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di dalam
memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada di sekitarnya.
Kesetaraan gender memberikan penghargaan dan kesempatan yang
sama pada perempuan dan laki-laki dalam menentukan keinginannya
dan menggunakan kemampuannya secara maksimal di berbagai
bidang.
Tidak peduli apakah dia seorang ibu rumah tangga, presiden, buruh
pabrik, supir, pengacara, guru ataupun profesi lainnya. Jika kondisi-
kondisi tersebut tidak terjadi pada dirinya maka dia tidak dapat
dikatakan telah menikmati adanya kesetaraan gender. Inti dari
kesetaraan gender adalah menganggap semua orang pada kedudukan
yang sama dan sejajar (equality), baik itu laki-laki maupun
perempuan.
Dengan mempunyai kedudukan yang sama, maka setiap individu
mempunyai hak-hak yang sama, menghargai fungsi dan tugas masing-
masing, sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa berkuasa,
merasa lebih baik atau lebih tinggi kedudukannya dari pihak lainnya.
Kesetaraan gender adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang
diinginkan tanpa ada tekanan dari pihak lain, kedudukan dan
kesempatan yang sama di dalam pengambilan keputusan dan di dalam
memperoleh manfaat dari lingkungan.

4. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender


Ketidakadilan atau diskriminasi gender sering terjadi dalam
keluarga dan masyarakat serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk,
yaitu:
a. Stereotip/Citra Baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis
kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya
menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena
perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas
bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak, kaum
perempuan ramah dianggap genit; kaum laki-laki ramah dianggap
perayu. Sedangkan laki-laki dianggap tegas, perempuan dinggap
emosional dan tak bisa menahan diri.
b. Subordinasi/Penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah
satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan
posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh:
Sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga
perempuan dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang
ada di belakang”. Selain itu juga pekerja perempuan sedikit
diposisi pengambil keputusan dan penentu kebijaksanaan.
c. Marginalisasi adalah proses peminggiran akibat perbedaan jenis
kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Contohnya perempuan
sebagai pencari tambahan disektor produksi/publik sering
dibedakan pendapatannya (upah perempuan lebih kecil dari laki-
laki).
d. Beban Ganda/Double Burden, adalah adanya perlakuan terhadap
salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh
lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
Walapun perempuan telah masuk dalam peran publik/meniti
karier, peran dalam rumah tangga masih besar.
e. Kekerasan/Violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun
psikologis seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya
menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik
(pelecehan seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah
tangga, tempat kerja, tempat-tempat umum.
5. Seks dan Peran-Peran Gender
Setiap manusia lahir dengan tubuh laki-laki atau perempuan.
Perbedaan antara keduanya semata-mata bersifat ragawi, dan ini
dinamakan jenis kelamin. Jenis kelamin bisa dianggap tidak akan
berubah seumur hidup.
Sejak lahir sebagai berjenis kelamin perempuan atau laki-laki
masyarakat mengajarkan peran gender yang dianggap sesuai untuk
anda lakukan mengingat jenis kelamin. Jenis kelamin adalah sifat-sifat
bawaan sejak lahir, sedangkan peran gender baru ditanamkan setelah
kita bergaul dalam masyarakat sejak kanak-kanak. Jenis kelamin
adalah pemberian dari Tuhan, sedangkan peran gender adalah
pemberian masyarakat.
Satu contoh yang sering kita jumpai adalah pembagian tugas
sehari-hari dalam suatu keluarga. Sebagian masyarakat mengajari
anggota-anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan untuk
melayani keluarga dan mengurus rumah tangga, memasak,
menghidangkan makanan, mencuci, dan lain-lain. Sedangkan kaum
laki-laki diajarkan bekerja mencari nafkah biasanya diluar rumah
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Karena peran-peran gender buakn bawaan sejak lahir hanya ciptaan
masyarakat maka peran-peran gender di satu daerah berbeda dengan
di daerah lain. Bahkan dalam suatu masyarakat pun peran-peran
gender bisa beraneka ragam. Ini tergantung pada tingkat pendidikan,
ras/suku, atau perempuan yang bersangkutan.

6. Peran Gender Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi


Kepercayaan-kepercayaan yang merugikan tentang seksualitas
perempuan. Apa makna “menjadi perempuan” atau “menjadi laki-laki
dalam suatu masyarakat, mencakup pula kepercayaan-kepercayaan
tentang seksualitas masing-masing yakni perilaku seksual dan
bagaimana perasaan masing-masing jenis kelamin tentang tubuhnya
sendiri. Inilah yang berpengaruh terhadap kurangnya kendali
perempuan atas kesehatan reproduksinya sendiri.
Selain kurangnya kesempatan dan pilihan serta kurangnya
penghargaan atas diri sendiri. Kepercayaan-kepercayaan itu juga
menjadikan perempuan rentan terhadap problema kesehatan
reproduksi.
Berikut adalah beberapa keyakinan yang merugikan tentang
seksualitas perempuan.
a. Tubuh Perempuan itu Memalukan
Segera setelah kita lahir ayah dan ibu mulai mengajari kita
mengenai tubuh kita. Biasanya orangtua secara tidak langsung
mengajarkan ini. Anak perempuan yang sedang tumbuh punya
rasa ingin tahu tentang seluk-beluk tubuhnya dan ingin tahu
mengapa genital (alat kelamin)nya berbeda dengan anak laki-laki.
Namun tidak seperti anak laki-laki, ia akan dimarahi bila
bertanya-tanya seperti itu. Ia akan diberitahu bahwa anak
perempuan yang baik tidak akan bertanya-tanya begitu. Kalau ia
menyentuh genitalnya sendiri dan ketahuan, ia akan dimarahi.
Ayah,ibu atau anggota keluarga lain mengajarkan padanya
bahwa alat kelamin perempuan kotor atau memalukan dan harus
selalu disembunyikan jangan pula disentuh. Tanggapan orangtua
terhadap keingintahuannya menyebabkan ia merasa bahwa
tubuhnya memalukan. Akibatnya ia akan sulit menanyakan
perubahan-perubahan tubuhnya memasuki masa puber, tentang
haid, tentang seks. Hasil kepercayaan yang keliru ini sangat
merugikan. Sebenarnya tubuh perempuan bukan sumber
kekotoran atau memalukan. Tubuh perempuan merupakan sesuatu
untuk dikenali, dicintai, dan dihargai.
b. Tubuh perempuan itu adalah milik laki-laki
Banyak masyarakat memperlakukan perempuan seolah-
olah hanya barnag milik ayah dan suaminya. Sewaktu masih
kanak-kanak atau remaja, perempuan dianggap sebagai milik
ayahnya, dan si ayah boleh mengawinkannya dengan siapa saja
sesuai kehendaknya tanpa mempedulikan keinginan si anak.
Setelah kawin suami memperlakukan istri semaunya karena
perempuan itu miliknya.
Sebagian perempuan dikawinkan di usia dini untuk
memastikan bahwa mereka masih perawan. Ini bisa menyebabkan
banyak problema kesehatan baik dia maupun bayinya kelak.
Tetapi yang perlu diketahui bahwa tubuh perempuan bukan milik
laki-laki manapun.
Tubuh itu kita seorang. Jadi kita lah yang berhak
memutuskan kapan,bagaimana, dengan siapa akan berhubungan
seks.
c. Hasrat seksual perempuan lebih kecil daripada laki-laki
Kebanyakan perempuan diajari untuk patuh dan melayani
kebutuhan seksual suami karena itulah tugasnya sebagai istri.
Kalau dia adalah “perempuan baik-baik” tutur keluarga ia akan
selalu bersedia menjalani hubungan seks bila suami meminta.
Tapi jangan sampai ia menginginkan hubungan seks karena hanya
perempuan “nakal” yang menginginkan hubungan seks.
Kepercayaan ini merugikan kesehatan reproduksi
perempuan. Padahal hasrat atau nafsu seksual merupakan bagian
alamiah dari kehidupan manusia manapun. Perempuan memiliki
hasrat serupa dengan laki-laki, dan juga menginginkan
kenikmatan yang sama. Ini alamiah bukan sesuatu yang
melenceng dan bukan pelanggaran atas kodrat.

7. Mengubah Peran-Peran Gender yang Merugikan Perempuan


Menghabiskan waktu cukup lama untuk mengubah segenap peran
gender yang merugikan perempuan karena gagasan atau kepercayaan
tentang itu sudah tertanam di masyarakat. Namun bukan berarti peran-
peran itu kebal terhadap perubahan. Bila semua orang telah
menyadarai bahwa peran-peran gender yang baruakan memperbaiki
kondisi kesehatan perempuan sehingga ia akan lebih banyak
menyumbang kesejahteraan masyarakat, peran-peran gender yang
merugikan akan ditinggalkan.
Untuk mengawali perubahan ini ada beberapa cara yang dapat kita
lakukan:
a. Kembangkan kesadaran tentang apa arti peran-peran gender,
bagaimana peran-peran itu diajarkan turun-temurun oleh
orangtua, masyarakat, dan media massa (radio, televisi, koran,
majalah).
b. Teliti tiap gender dan tentukan peran-peran mana saja yang
merugikan dan harus dirubah.
c. Buatlah rencana-rencana perubahan.
d. Pendidikan mengenai seksualitas.

Perbedaan Gender dan Seksualitas (Menurut Chisput, 2012)

No Karakteristik Gender Seks

1. Sumber pembeda Manusia (masyarakat) Tuhan

2. Visi, Misi Kebiasaan Kesetaraan

3. Unsur pembeda Kebudayaan (tingkah laku) Biologis (alat


reproduksi)

4. Sifat Harkat, martabat dapat Kodrat, tertentu


dipertukarkan tidak dapat
dipertukarkan

5. Dampak Terciptanya norma- Terciptanya nilai-


norma/ketentuan tentang nilai :
“pantas” atau “tidak kesempurnaan,
pantas” laki-laki pantas kenikmatan,
menjadi pemimpin, kedamaian dll.
perempuan “pantas’ Sehingga
dipimpin dll. Sering menguntungkan
merugikan salah satu pihak, kedua belah pihak.
kebetulan adalah
perempuan

6. Ke-berlaku-an Dapat berubah, musiman Sepanjang masa


dan berbeda anra kelas dimana saja, tidak
mengenal
pembedaan kelas.
Menurut Badan Pemberdayaan Masyarakat (dalam Chisput, 2012)
Perbedaan antara Gender dan Jenis Kelamin adalah sebagai berikut:

Jenis Kelamin Gender

Tidak dapat berubah, contohnya alat Dapat berubah, contohnya peran dalam
kelamin laki-laki dan perempuan kegiatan sehari-hari, seperti banyak
perempuan menjadi juru masak jika
dirumah, tetapi jika di restoran juru
masak lebih banyak laki-laki.

Tidak dapat dipertukarkan, contohnya Dapat dipertukarkan


jakun pada laki-laki dan payudara
pada perempuan

Berlaku sepanjang masa, contohnya Tergantung budaya dan kebiasaan,


status sebagai laki-laki atau contohnya di jawa pada jaman
perempuan penjajahan belanda kaum perempuan
tidak memperoleh hak
pendidikan.Setelah Indo merdeka
perempuan mempunyai kebebasan
mengikuti pendidikan

Berlaku dimana saja, contohnya di Tergantung budaya setempat,


rumah, dikantor dan dimanapun contohnya pembatasan kesempatan di
berada, seorang laki-laki/perempuan bidang pekerjaan terhadap perempuan
tetap laki-laki dan perempuan dikarenakan budaya setempat antara
lain diutamakan untuk menjadi
perawat, guru TK, pengasuh anak

Merupakan kodrat Tuhan, contohnya Bukan merupakan budaya setempat,


laki-laki mempunyai cirri-ciri utama contohnya pengaturan jumlah a nak
yang berbeda dengan cirri-ciri utama dalam satu keluarga
perempuan yaitu jakun.
Ciptaan Tuhan, contohnya perempuan Buatan manusia, contohnya laki-laki
bisa haid, hamil, melahirkan dan dan perempuan berhak menjadi calon
menyusui sedang laki-laki tidak. ketua RT, RW, dan kepala desa
bahkan presiden.

B. Budaya yang Berpengaruh Terhadap Gender


Ann Oakley (dalam Sutihan 2004) mengatakan bahwa gender merupakan
alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum
perempuan secara umum. Gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Perbedaan gender antara laki-laki
dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, yaitu proses
sosialisasi, penguatan, konstruksi sosial budaya, bahkan melalui kekuasaan
negara. Sedemikian panjang dan lamanya proses “genderisasi” secara sosial
budaya tersebut, lambat laun perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan
sebagai konstruksi sosial budaya menjadi seolah-olah merupakan ketentuan
dari Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis yang tidak dapat diubah lagi,
seperti halnya jenis kelamin. Artinya, ada anggapan sebagian besar
masyarakat bahwa kodrat laki-laki dan perempuan adalah hasil konstruksi
sosial dan budaya atau gender. Di dalam suatu budaya, stereotip gender
mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang
bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai
dengan ketentuan sosial tersebut.
Masyarakat sebagai suatu kelompok, menciptakan perilaku pembagian
gender untuk menentukan apa yang mereka anggap sebagai suatu keharusan,
untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, urusan
domestik seperti mencuci, memasak dan merawat anak seringkali dianggap
sebagai kodrat wanita dan begitulah seharusnya, sedangkan bekerja di luar,
memiliki jaringan yang banyak, dan menjadi seorang pemimpin adalah takdir
dari laki-laki. Padahal peran gender semacam itu adalah hasil konstruksi sosial
budaya dalam masyarakat. Peran-peran gender domestik bisa pula dilakukan
oleh laki-laki, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, jenis pekerjaan bisa
dipertukarkan dan tidak bersifat universal. Dari sinilah gender stereotip
berasal dan menciptakan karakter-karakter feminism dan maskulin.
Dalam perkembangannya, menurut Mansour Fakih (dalam Suhra 2013)
perbedaan gender akan melahirkan manifestasi ketidakadilan antara lain:
terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan,
terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin, pelabelan negatif
(stereotype), kekerasan (violence), menanggung beban kerja domestik lebih
banyak dan lebih lama (double burden), pada umumnya yang menjadi korban
adalah perempuan dengan adanya tradisidan keyakinan masyarakat bahwa
perempuanlah yang bertugas dan memelihara kerapian rumah, serta tanggung
jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.
Suhra (2013) mengungkapkan, konsep gender yang mengatakan sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural, misalnya perempuan dikenal lembut dan cantik,
adalah interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa gender pada hakikatnya lebih menekankan aspek
sosial, budaya, psikologis, dan aspek non biologis lainnya. Hal ini berarti
bahwa gender lebih menekankan aspek maskulinitas atau feminitas seseorang
dalam budaya tertentu. Dengan demikian, perbedaan gender pada dasarnya
merupakan konstruksi yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan
dilegitimasi secara sosial dan budaya. Pada gilirannya, perbedaan gender
dianggap kodrati hingga melahirkan ketidakseimbangan perlakuan jenis
kelamin.

C. Diskriminasi Gender
1. Pengertian Gender
Hakikatnya, manusia memiliki kedudukan yang setara.Laki-laki
maupun perempuan. Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan
martabat yang sama. Kalaupun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda,
itu semua agar keduanya saling melengkapi.Namun dalam perjalanan
kehidupan manusia, banyak terjadi perubahan peran dan status atas
keduanya, terutama dalam masyarakat. Proses tersebut lama kelamaan
menjadi kebiasaan dan membudaya. Dan berdampak pada terciptanya
perlakuan diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin. Selanjutnya,
muncul istilah gender yang mengacu pada perbedaan peran antara laki-
laki dan perempuan yang terbentuk dari proses perubahan peran dan
status tadi baik secara social ataupun budaya.
Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap
individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras,
agama,umur, atau karakteristik yang lain. Diskriminasi juga terjadi dalam
peran gender.Sebenarnya inti dari diskriminasi adalah perlakuan
berbeda.Akibat pelekatan sifat-sifat gender tersebut, timbul masalah
ketidakadilan (diskriminasi) gender.
a. Bentuk bentuk diskriminasi gender
1) Marginalisasi
Proses peminggiran atau penyisihan yang mengakibatkan
dalam keterpurukan. Hal ini banyak terjadi dalam msyarakat di
Negara berkembang seperti penggusuran dari kamoung
halaman, eksploitasi.Namun, pemiskinan atas prempuan
maupun laki-laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan
salah satu bentuk ketidak adilan yang disebabkan
gender.Sebagai contoh, banyak pekerja prempuan tersingkir
dan menjadi miskin akibat dari progam permbangunan seperti
intersifikasi pertanian yang hanya menfokuskan petani laki-
laki.Prempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan
pertanian dan industry yang lebih memerlukan ketrampilan
yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu
perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula
dikerjakan secara manual oleh prempuan diambil alih oleh
mesin yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Contoh lain marginalisasi:
a) Design teknologi terbaru diciptakan untuk laki laki, dengan
postur tun.
b) Mesin mesin digerakkan membutuhkan tenaga laki laki.
c) Bay sister adalah perempuan.
d) Perusahaan garmen banyak membutuhkan perempuan.Direktur
banyak oleh laki laki.
2) Sub ordinasi
Sub ordinasi pada dasaranya adalah keyakinan bahwa salah
satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama
disbanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada
pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran prempuan
lebih rendah dari laki-laki.Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran
ajaran agama mupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan
kaum prempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki.Kenyataan
memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masayarkat yang
membatasi ruang gerak terutama prempuan dalam kehidupan.
Contoh sub ordinasi :
a) Persyaratan melanjutkan studi untuk istri hatus ada ijin suami.
b) Dalam kepanitiaan perempuan paling tinggi pada jabatan
sekretaris.
3) Pandangan stereotip
Adalah penandaan atau cap yang sering bermakna negative.
Pelabelan negative secara umum selalu melahirkan ketidakadilan.
Salah satu stereotype yang berkembang berdasarkan pengertian
gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin prempuan,
misalnya :
a) Pekerjaan dirumah seperti mencucui, memasak, membersihkan
rumah diidentikkan dengan pekerjaan perempuan atau ibu
rumah tangga.
b) Laki laki sebagai pencari nafkah yang utama, harus
diperlakukan dengan istimewa di dalam rumah tangga,
misalnya yang berkaitan dengan makan.
ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga
terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat
pemerintah dan Negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia
dianggap tegas, tetapi bila prempuan marah atau tersinggng
dianggap emosional dan tidak dfapat menahan diri. Standar nilai
terhadap perilaku prempuan dan laki-laki berbeda, namun standar
nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan prempuan. Label
kaum prempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugilkan, jika
hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis
atau birokrat. Smentra label laki-laki sebagai pencari nafkah utama,
(breadwinner) ,mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh
prempuan dianggap sebagai Sambilan atau tambahan dan
cenderung tidak diperhitungkan.

4) Kekerasan
Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap prempuan
sebagai akibat perbedaan muncul dalam berbagai bentuk.Kata
kekerasan merupakan terjemahan dari violence artinya suatu
serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
seseorang.Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut
serangan fisik saja seperti perkosaa, pemukulan dan penyiksaan
tetapi bersifat non fisik seperti pelecehan seksual sehingga secara
emosional terusik.
Adapun contoh-contoh tindak kekerasan yaitu :
a) Suami memperketat istri dalam urusan ekonomi keluarga.
b) Suami melarang istri bersosialisasi di masyarakat
c) Istri mencela pendapat suami di depan umum.
d) Istri merendahkan martabat suami di hadapan masyarakat
e) Suami membakat/ memukul istri.

5) Beban kerja
Beban kerja yang dilakukan oleh jenis kelamin terlalu lebih
banyak. Bagi perempuan di rumah mempunyai beban kerja lebih
besar dari pada laki laki, 90% pekerjaan domestic/rumah tangga
dilakukan oleh perempuan belum lagi jika dijumlahkan dengan
bekerja di luar rumah.
Dalam proses pembangunan, kenyataannya prempuan
sebagai sumber daya insane masih mendapat pembedaan perlakuan
terutama bila bergerak dalam bidang public. Dirasakan banyak
ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum
laki-laki di satu sisi.
a) Bias Gender.
Bias gender yaitu suatu keadaan yang menunjukkan adanya
keberpihakan kepada laki-laki daripada
perempuan.Pembangunan dikatakan bias gender manakala
hasil daripada pembangunan tersebut lebih memihak kepada
laki-laki atau perempuan.Contoh : Kasus Aborsi ilegal.
Perempuan mengalami hukuman karena tindakan aborsi
sementara laki-laki yang menghamilinya bebas dari tuntutan
masyarakat dan produk hukum itu sendiri.
b) Netral Gender.
Netral gender adalah suatu keadaan yang memandang tidak
ada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam pembangunan.
Contoh : pada saat penyusunan peraturan atau kebijakan
pembangunan menganggap kebutuhan, peluang, hambatan dan
akses antara laki-laki dan perempuan adalah sama sehingga
tidak membutuhkan perlakuan yang berbeda.
c) Responsif Gender.
Responsif gender adalah suatu keadaan memberikan
perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan-
perbedaan antara perempuan dan laki-laki pada masyarakat
yang diwujudkan dalam sikap dan aksi untuk mengatasi
ketidakadilan yang terjadi karena perbedaan-perbedaan
tersebut.
d) Ketimpangan gender
Ketimpangan gender terjadi bila ada ketidaksetaraan atau
diskriminasi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Ketidaksetaraan atau diskriminasi tersebut dapat disebabkan
oleh beberapa bentuk tindakan, seperti :(1) Steriotipi.
Menempatkan perempuan sebagai mahluk yang lemah, mahluk
yang perlu dilindungi, mahluk yang tidak penting, mahluk
yang tidak punya nilai ekonomi, orang rumahan, bukan
pengambil keputusan, dsb; (2) Subordinasi. Perempuan
posisinya di bawah laki-laki, dan ada anggapan perempuan itu
emosional atau irasional sehingga perempuan tidak cakap
memimpin, tidak boleh mengambil keputusan, tidak
mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja atau
berproduksi, tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk
pendidikan, dll. (3) Marginalisasi.Perempuan adalah mahluk
yang terpinggirkan, tidak diperhatikan atu diakomodasi dalam
berbagai hal, yang menyangkut kebutuhan, kepedulian,
pengalaman.Perempuan merupakan pihak yang dirugikan; (4)
Violence. Kekerasan atau serangan yang dilakukan baik secara
fisik maupun integritas mental psikologis seseorang yang
dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya dialami
oleh perempuan. Bentuk dari kekerasan ini seperti
pemerkosaan, pemukulan, pelecehan seksual, penciptaan
ketergantungan, prostitusi, pornografi, pemaksaan sterilisasi
program keluarga berencana(KB); (5) Beban
Majemuk.Perempuan bekerja lebih beragam daripada laki-
laki, dan lebih panjang waktu kerjanya, seperti fungsi
reproduktif, pengelola rumah tangga, dan bekerja di luar
rumah.
e) Keadilan Gender (Gender Equity).
Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil
terhadap laki-laki dan perempuan. Keadilan gender adalah
medistribusikan manfaat dan tanggung jawab antara laki-laki
dan perempuan yang didasari atas pemahaman bahwa laki-laki
dan perempuan mempunyai perbedaan kebutuhan dan
kekuasaan. Misalnya : laki-laki adalah kepala dalam rumah
tangga, sedangkan perempuan adalah pengatur dalam rumah
tangga. Perbedaan ini perlu dikenali dan diperhatikan untuk
dipakai sebagai dasar atas perbedaan perilaku yang diterapkan
bagi laki-laki dan perempuan (WHO).
f) Kesetaraan Gender (Gender Equality).
Kesetaraan adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya
sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi
dalam kegiatan politik, ekonomi, social budaya, pertahanan
dan keamanan nasional serta kesamaan dalam menikmati hasil
pembangunan tersebut. Kesetaraan gender adalah tidak adanya
diskriminasi perempuan dan laki-laki dalam peluang, alokasi
sumberdaya, manfaat dan akses terhadap pelayanan kesehatan
(WHO). Kesetaraan laki-laki dan perempuan tercapai
manakala terjadi kesetaraan dalam kekuasaan dan pengaruh,
kesetaraan dalam peluang dan kebebasan untuk bekerja atau
berusaha, kesetaraan dalam tingkat (pendidikan, ambisi,
internet, bakat dan kemampuan), kesetaraan dalam berbagi
tanggung jawab urusan rumah tangga dan merawat anak,
kesetaraan dalam bebas dari tekanan, intimidasi, kekerasan
terhadap perempuan di rumah maupun ditempat kerja
(UNFPA).
g) Pengarasutamaan Gender (PUG).
Pengarasutamaan gender adalah suatu proses penelaahan
implementasi terhadap perempuan dan laki-laki dari setiap
kegiatan, program, kebijakan, undang-undang di setiap bidang
dan tingkat. Pengasutamaan gender adalah suatu strategi untuk
memasukkan isu dan pengalaman perempuan dan laki-laki ke
dalam suatu dimensi yang integral dalam rancangan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, kebijakan dan program
dalam setiap bidang, agar perempuan dan laki-laki mendapat
manfaat yang sama. Sasaran akhir pengarasutamaan gender
adalah mencapai kesetaraan gender.
h) Karakteristik pengarasutamaan gender :
(1) Bertujuan mencapai kesetaraan gender dan menghapuskan
kesenjangan gender; (2) Adanya pertimbangan terhadap peran
dan hubungan gender serta dampak terhadap ketidaksetaraan
gender; (3) Menggunakan strategi dan pendekatan yang
tanggap gender ke dalam kebijakan dan proses perencanaan
program pembangunan.
i) Tujuan pengarasutamaan gender:
Tujuan pengarasutamaan gender di bidang kesehatan adalah
memastikan bahwa semua kebijakan dan program kesehatan
maupun menciptakan dan memelihara kondisi kesehatan yang
optimal baik untuk perempuan maupun laki-laki dari semua
kelompok umur, secara adil dan setara dengan mengatasi
berbagai hambatan yang terkait gender.
j) Strategi pengarasutamaan gender :
(1) Pengumpulan data kesehatan yang diuraikan menurut jenis
kelamin : laki-laki dan perempuan dengan memasukkan aspek
gender ke dalam pengumpulan data, antara lain melalui sensus,
survey nasional dan system informasi kesehatan, diseminasi
informasi spesifik gender, melaksanakan penelitian yang
menunjang; (2) Advokasi dan sensitisasi para penentu
kebijakan dan pengelola program, serta petugas kesehatan pada
umumnya dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman
para penentu kebijakan dan pengelola program, serta
implikasinya terhadap peran dan fungsi masing-masing di tiap
tingkatan. Mengembangkan materi dan media komunikasi
untuk untuk untuk advokasi dan sensititasi; (3)
Pengarasutamaan gender ke dalam kebijakan dan program di
tiap tingkatan dengan melakukan analisis kebijakan dengan
pendekatan perspektif gender, memberikan perhatian khusus
pada hal-hal yang menunjukkan kesenjangan derajat atau
masalah kesehatan yang besar antara laki-laki dan perempuan.
Mencarikan upaya untuk mengurangai kesenjangan tersebut
melalui kebijakan, pengaturan alokasi biaya, modifikasi
program dan legalisasi; (4) Operasionalisasi pengarasutamaan
gender melalui pengembangan kapasitas pengelola program
untuk mendesain program berwawasan gender, memantau
perkembangan program berwawasan gender dan dampaknya
terhadap kesenjangan gender; (5) Mobilisasi sumber-sumber
dan kemitraan yang dilakukan dengan bekerjasama antara
sektor terkait untuk koordinasi/sinkronisasi upaya
pengarasutamaan gender. Bekerjasama dengan LSM, NGO,
agen donor dan pihak lain. Strategi tersebut dapat
dikembangkan menjadi kegiatan yang lebih rinci sesuai
dengan kebutuhan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seks dan gender adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Banyaknya
pandangan sosial dan budaya yang diberikan kepada gender dan peran-peran
yang ada di dalamnya memiliki sisi positif dan negatif. Gender diciptakan oleh
suatu budaya dan digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan, dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Pada banyak budaya dan
lingkungan, gender memiliki kesenjangan, sedangkan dalam agama Islam,
laki-laki dan perempuan memiliki hak dan keadilan yang sama, meskipun
memiliki perbedaan yang jelas di antara keduanya.
Gender merujuk pada sifat-sifat yang melekat pada laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial ataupun kultural. Dengan
mengetahui dan memahami pengertian gender dan seks, seseorang diharapkan
tidak lagi mencampuradukkan pengertian kodrat (ciptaan Tuhan) dan non-
kodrati (buatan masyarakat yang bisa berubah sepanjang jaman). Konstruksi
sosial dapat terjadi karena pada dasarnya sikap dan perilaku ia dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal, yaitu konstruksi biologis, konstruksi sosial,
dan konstruksi agama.
DAFTAR PUSTAKA

BKKBN. 2002. Analisis Gender. Jakarta: BKKBN Pusat


BKKBN & UNFPA. 2000. Fakta Isu Gender dalam Pembangunan Indonesia
Tahun 2000. Jakarta: BKKBN & UNFPA.
Fakih, Mansour. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sasaran_Pembangunan_Milenium (diakses tanggal
04 Februari 2012 pukul: 16.00 WIB)
Hornby, As. Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English. Berlin:
Oxford University Press, 1994.
Murfitriati, dkk. 2006. Bahan Bacaan 2, Gender dalam Kesehatan Reproduksi:
Isu Global Gender. Jakarta: Pusat Gender dan PKP, BKKBN Pusat.
Burns, August. 2009. Kesehatan Reproduksi Perempuan dan Metode KB yang
Tepat Untuk Anda. Yogyakarta: INSISTPress.
Kuper, Adam dan Jessica Kuper. “gender”, Ensklopedi Ilmu-Ilmu Sosial Jilid 1.
Jakarta: Rajawali, 2000.
Trismiati. “Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria Dan Wanita Akseptor
Kontrasepsi Mantap Di RSUD Dr. Sadjito Yogyakarta”. Jurnal Psyche. (Juli,
2004)I: 6.
Kusujiarti, Siti. “Antara Ideologi Dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika
Hubungan Gender Dalam Masyarakat Jawa”, dalam Sangkan Paran Gender. ed.
Irwan Abdullah.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Anda mungkin juga menyukai