Anda di halaman 1dari 14

kesenjangangender

dalamduniapendidikan
Kamis, 13 November 2014

tugasmakalahsosiologigender
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah mendorong kemajuan
di semua bidang kehidupan termasuk kemajuan dalam bidang teknologi informasi, telah
membuka kesempatan bagi umat manusia untuk akses terhadap informasi global yang
mengakibatkan terjadinya gejala dunia tanpa batas (borderless world). Peristiwa yang terjadi
di suatu belahan dunia dapat dengan mudah dan cepat diketahui oleh masyarakat di belahan
dunia lainnya, pergerakan dan perkembangan ide di suatu tempat dapat dengan mudah
diketahui bahkan diikuti oleh masyarakat di bagian dunia lainnya. Demikian juga dengan
masalah kesenjangan gender, hal ini sudah menjadi isu kebijakan yang universal dan telah
menjadi suatu gerakan hampir di semua penjuru dunia, di mana dalam merumuskan
kebijaksanaan di berbagai negara harus mempertimbangkan aspek kesetaraan gender.
Dalam sejarah perkembangan pada sebagian besar belahan dunia,

kesenjangan gender belum dipermasalahkan karena seolah-olah menjadi hal yang sangat
wajar dan alamiah. Namun, akhir-akhir ini masalah gender menjadi isu kebijakan yang
semakin mencuat ke permukaan dan semakin mendapat tempat dalam pengambilan
keputusan pada lembaga-lembaga internasional seperti UNICEF, UNESCO, HAM dan
sebagainya, termasuk di beberapa negara. Kondisi ini menuntut agar semua negara, termasuk
Indonesia, memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan peningkatan kesetaraan
gender. Kesenjangan gender yang terjadi di sebagian besar belahan dunia berlangsung dalam
segala bidang, salah satunya yaitu di bidang pendidikan.

Gejala kesenjangan gender di bidang pendidikan terjadi lebih buruk pada negaranegara berkembang. Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses lembagalembaga pendidikan, sekolah atau lembaga pendidikan luar sekolah. Lebih dari itu,
perempuan belum mampu memainkan peran yang seimbang dibanding lawan jenisnya dalam
proses pengambilan keputusan di bidang pendidikan, baik melalui lembaga-lembaga resmi
maupun melalui keluarga. Akibat lebih jauh, perempuan belum dapat menikmati hasil dan
manfaat pendidikan untuk memberdayakan kehidupan mereka dibandingkan dengan yang
telah dicapai oleh laki-laki.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka secara umum yang akan menjadi pembahasan
dalam makalah ini adalah kesenjangan gender dalam dunia pendidikan,dengan sub masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kesenjangan?
2. Apa yang dimaksud dengan gender?
3. Apa yang dimaksud dengan pendidikan?
4. Apa yang menyebabkan terjadinya kesenjangan gender?
5. Apa yang dimaksud dengan kesenjangan gender di bidang pendidikan?
6. Apa yang dimaksud isu gender dalam pendidikan nasional?
7. Apa saja tujuan pembangunan pendidikan yang digenderkan?
8. Mengapa pendidikan penting bagi wanita Indonesia?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan tentang kesenjangan.
2. Untuk menjelaskan tentang gender.
3. Untuk menjelaskan tentang pendidikan.
4. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kesenjangan gender.
5. Untuk menjelaskan tentang kesenjangan gender di bidang pendidikan.
6. Untuk menjelaskan tentang isu gender dalam pendidikan nasional.
7. Untuk mengetahui tujuan pembangunan pendidikan yang digenderkan.
8. Untuk mengetahui peran pendidikan bagi wanita Indonesia.
D. Manfaat

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari makalah ini dapat dilihat dari dua manfaat
yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi mahasiswa
program studi pendidikan sosiologi mengenai materi Kesenjangan Gender dalam Dunia
Pendidikan dalam mata kuliah Sosiologi Gender.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Diharapkan dari Pembuatan Makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa pendidikan sosiologi dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai pendidik di
masa dan menjadi bekal apabila menjadi guru sosiologi dikemudian hari.
b. Bagi Masyarakat
Diharapkan dari Pembuatan makalah ini dapat memberikan pengetahuan bagi
masyarakat dan kaum awam mengenai berbagai macam kesenjangan gender yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat, khususnya dalam dunia pendidikan, sehingga dapat menyiapkan
cara untuk mengantisipasi jika permasalahan tersebut terjadi.

BAB II

KAJIAN TEORI
A. Konsep Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial adalah suatu keadaan ketidakseimbangan sosial yang ada dalam
masyarakat yang menjadikan suatu perbedaan yang sangat mencolok. (Alvin Christian, 2011:
http://alvinchristian7.blogspot.com)
Kesenjangan sosial sering kali kita jumpai di lingkungan sekitar kita. Kesenjangan itu
sendiri memiliki pengertian suatu keadaan dimana terlihat perbedaan yang sangat mencolok.
Contohnya, kehidupan si miskin dan si kaya. Adanya ketidak pedulian terhadap sesama ini
dikarenakan adanya kesenjangan yang terlalu mencolok antara yang kaya dan yang
miskin. Banyak orang kaya yang memandang rendah kepada golongan bawah, apalagi jika
ia miskin dan juga kotor, jangankan menolong, sekedar melihat pun mereka enggan.

B. Konsep Gender
Menurut Yanti Muhtar (dalam Ace Suryadi dan Ecep Idris, 2010: 33), gender dapat
diartikan sebagai jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran
sosial berdasarkan jenis kelamin.
Disebut jenis kelamin sosial karena merupakan tuntutan masyarakat

yang sudah menjadi budaya dan norma sosial masyarakat yang membedakan peran jenis
kelamin laki-laki dan perempuan, walaupun tidak ada hubunngannya dengan kondisi
tampilan dan fungsi fisik yang secara kodrati memang ada perbedaan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa gender merupakan jenis kelamin sosial, yang berbeda dengan jenis
kelamin biologis.
Pengertian gender, secara umum mengacu kepada pemilahan peran sosial atau
konstruksi sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan oleh etika budaya
setempat yang dikaitkan dengan pandangan kepantasan peran sosial menurut jenis kelamin
secara biologis. Pada dasarnya gender hanya merupakan persepsi masyarakat saja yang
mengonstruksikan peran sosial perempuan harus begini dan peran sosial laki-laki harus
begitu, sehingga kondisi ini tidak berlaku universal. Peran sosial antara laki-laki dan
perempuan untuk kondisi sosial budaya di daerah tertentu bisa berbeda dengan daerah yang
lain bahkan bisa berlaku sebaliknya.
C. Konsep Pendidikan
Pengertian pendidikan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pendidikan menurut
pandangan orang Yunani adalah pedagogik, yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi
melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan
merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Sedangkan orang Jerman
melihat pendidikan sebagai Erzeihung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan
kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam M. Syukri dan Marwati, 2010: 24),
pendidikan berasal dari kata didik (mendidik), yaitu: memelihara dan memberi latihan
(ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan
mempunyai pengertian: proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses
perbuatan, cara, mendidik.

Ahmed (dalam Nanang Martono, 2011: 195) mendefinisikan pendidikan sebagai suatu
usaha yang dilakukan individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaankebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu
mereka dalam meneruskan aktivitas kehidupan secara efektif dan berhasil.
Ki Hajar Dewantara (dalam M. Syukri dan Marwati, 2010: 24) mengartikan
pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak,
agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras
dengan alam dan masyarakat.
Sedangkan Mulyana (dalam Sofyan Sauri, 2010: 27-28) berpendapat bahwa:
Pendidikan sebagai wahana untuk memanusiakan manusia terikat oleh dua misi penting,
yakni hominisasi dan humanisasi. Sebagai proses hominisasi, pendidikan berkepentingan
untuk memposisikan manusia sebagai makhluk yang memiliki keserasian dengan habitat
ekologinya. Manusia diarahkan untuk mampu memenuhi kebutuhan biologis seperti makan,
minum, sandang, tempat tinggal, perkerjaan, berkeluarga, dan kebutuhan biologis lainnya
dengan cara-cara yang baik dan benar. Dalam proses hominisasi seperti itu, pendidikan
dituntut mampu mengarahkan manusia pada cara-cara pemilihan dan pemilahan nilai sesuai
dengan kodrat biologis manusia. Pendidikan sebagai proses humanisasi mengarahkan
manusia untuk hidup sesuai dengan kaidah moral karena hakikatnya manusia adalah makhluk
yang bermoral.
D. Faktor Penyebab Kesenjangan Gender
Dalam model GAP, faktor-faktor kesenjangan gender dikategorikan ke dalam empat
aspek, yaitu akses, partisipasi, kontrol dan manfaat. Namun tidak semua aspek tersebut dapat
dipaksakan untuk menjelaskan masing-masing kesenjangan gender yang terjadi secara
empiris dalam sektor pendidikan. Dengan kata lain faktor-faktor sebab kesenjangan gender
akan sangat tergantung dari situasinya masing-masing.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan gender berkaitan dengan perolehan
kesempatan belajar pada setiap jenjang pendidikan, diantaranya:
a.

Perbedaan angka partisipasi pendidikan di SD sudah mencapai titik optimal yang tidak
mungkin di atasi hanya dengan kebijakan pendidikan, sehingga perbedaan itu menjadi
semakin sulit ditekan ke titik yang lebih rendah lagi. Kesenjangan ini lebih dipengaruhi
faktor-faktor struktural karena fasilitas pendidikan SD sudah tersebar relatif merata. Faktorfaktor struktural itu diantaranya adalah nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga yang
lebih menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih penting. Faktor ini berlaku terutama
di daerah-daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada keluarga-keluarga
berpendidikan rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak laki-laki.

b. Pada SLTP dan SM, perbedaan angka partisipasi menurut gender lebih banyak terjadi pada
daerah-daerah yang masih kekurangan fasilitas pendidikan, terutama di daerah-daerah

pedesaan dan luar Jawa. Kesenjangan pendidikan di SLTP ke atas relatif lebih kecil
dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga karena siswa dan mahasiswa
yang datang dari keluarga sosial ekonomi tinggi sudah lebih besar proporsinya. Dengan
demikian, pengadaan dan distribusi sumber-sumber pendidikan SLTP, SM dan PT masih
menjadi faktor penting untuk mengurangi kesenjangan gender. (Ace Suryadi & Ecep Idris,
2010: 158-159)
Berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan gender berkaitan
dengan kurikulum dan proses pendidikan, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.

Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan sangat rendah


karena aspek mereka juga rendah dalam menempati jabatan-jabatan birokrasi pemegang
kebijaksanaan. Proporsi kepala sekolah perempuan secara konsisten kecil dibandingkan
dengan laki-laki pada setiap jenjang pendidikan.

b. Laki-laki lebih dominan dalam mempengaruhi isi kurikulum sehingga proses pembelajaran
cenderung lebih bias laki-laki (male bias). Gejala ini dapat diamati dari buku-buku pelajaran
yang sebagian besar penulisnya adalah laki-laki.
c.

Isi buku pelajaran yang membahas status perempuan dalam masyarakat akan banyak
memberikan pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam proses pendidikan. (Ace Suryadi
& Ecep Idris, 2010: 159-160)
Kesenjangan gender yang terjadi dalam jurusan-jurusan keahlian atau kejuruan dalam
sistem pendidikan nasional, dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:

a.

Pengaruh faktor struktural; yakni yang menyangkut nilai, sikap, pandangan dan perilaku
masyarakat yang secara dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih jurusanjurusan yang lebih dianggap cocok untuk perempuan seperti perawat, kesehatan, teknologi
kerumahtanggaan, psikologi, guru sekolah dan sejenisnya baik di pendidikan menengah
maupun di pendidikan tinggi.

b. Faktor kesenjangan antar gender mengenai latar belakang pendidikan perempuan dan lakilaki pada waktu yang lalu. Perempuan tertinggal jauh dalam memperoleh kesempatan
pendidikan sejak 20-25 tahun yang lalu, sehingga jenis-jenis keahlian utama yang
mendukung produktivitas industri lebih dikuasai laki-laki sesuai dengan jurusan-jurusan atau
program studi yang dipilih sejak pendidikan menengah dan tinggi.
c.

Faktor kebijaksanaan pendidikan, khususnya yang menyangkut sistem seleksi masuk ke


berbagai jurusan atau program studi dalam pendidikan.

d. Faktor kontrol dalam kebijaksanaan pendidikan jauh lebih dominan laki-laki, khususnya
dalam lembaga birokrasi di lingkungan pendidikan sebagai pemegang kekuasaan atau
kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan akademis kependidikan sebagai pemegang

kendali pemikiran yang banyak mempengaruhi kebijaksanaan pendidikan. (Ace Suryadi &
Ecep Idris, 2010: 160-161)

BAB III

PEMBAHASAN
A. Kesenjangan Gender dalam Dunia Pendidikan
Gambaran kesenjangan gender dikelompokkan ke dalam tiga permasalahan dasar
pendidikan, yaitu pemerataan, kesempatan belajar pada semua jalur, jenjang dan jenis
pendidikan, kurikulum dan proses pendidikan, serta penjurusan dan program studi dalam
pendidikan nasional.
Dalam hal pemerataan kesempatan belajar, beberapa kesenjangan dalam pendidikan
menurut gender dapat diamati sebagai berikut:
a.

Kesenjangan dalam perolehan kesempatan pendidikan menurut gender pada setiap jenjang
pendidikan tahun 1998 sedikit berubah polanya dibandingkan dengan 30 tahun lalu. Jika pada
tahun 1969, keadaan menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar
perbedaannya menurut gender, maka pada tahun 1998 keadaan menjadi semakin berbeda.
kesenjangan dalam angka partisipasi yang terbesar justru terjadi di SD dan PT, sementara itu

b.

kesenjangan dalam angka partisipasi relatif lebih kecil pada SLTP dan SM.
Pada akhir 1960-an, ketimpangan gender dalam perolehan kesempatan

pendidikan belum dianggap sebagai hal yang luar biasa dan sehingga belum mengundang
banyak perhatian para pengamat dan pengelola pendidikan.
c.

Program perluasaan pendidikan di SD sejak awal 1970-an berdampak cukup besar terhadap
perluasan kesempatan pendidikan pada jenjang di atasnya, dan oleh karena itu kesempatan
belajar semakin seimbang berdasarkan gender.

Semakin berkurangnya kesenjangan angka partisipasi pendidikan itu tidak berarti


bahwa persoalan gender dalam pendidikan selesai. Pertimbangan jumlah enrolmen dan angka
partisipasi hanyalah gejala empiris yang lebih mudah diamati. Masih banyak gejala
kesenjangan gender yang justru lebih berbahaya tetapi sifatnya tidak kasat mata (latent gaps),
khususnya menyangkut sejumlah pendidikan dan pembelajaran.
a.

Sejumlah gejala menunjukkan bahwa proses pembelajaran kurang sensitif gender dan bias
laki-laki. Laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan misalnya dalam
memimpin kelas, memimpin organisasi siswa, memimpin diskusi kelompok, bertanya dan
mengemukakan pendapat, dan sebagainya.

b. Laki-laki juga lebih banyak mengambil posisi yang lebih menentukan dalam pengelolaan
pendidikan baik dalam birokrasi pendididkan di daerah maupun dalam pengelolaan satuan
pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan lebih banyaknya laki-laki yang menduduki jabatan
struktural sejak tingkat pusat sampai dengan satuan pendidikan.
c.

Walaupun angka partisipasinya lebih rendah, perempuan lebih mampu bertahan ketimbang
laki-laki, karena angka bertahan (retention rate) siswa perempuan ternyata lebih tinggi pada
semua jenjang pendidikan. Angka putus sekolah siswa perempuan selalu lebih kecil,
khususnya pada SMU, SMK, dan PT. Siswa perempuan juga lebih banyak yyang bisa
menyelesaikan sekolah sampai lulus dibandingkan dengan laki-laki, khususnya pada jenjang
pendidikan menengah dan tinggi. Angka kelulusan siswa perempuan dan mahasiswi selalu
lebih tinggi daripada laki-laki, terutama yang sangat menonjol pada SMU (94,1 % > 91,9 %),
SMK (92,3 % > 84,8 %), dan PT (20,4 % > 14,7 %).
Ketidaksetaraan gender menjadi semakin jelas terlihat dari gejala pengelompokan
gender ke dalam jurusan, bidang kejuruan atau bidang-bidang keahlian yang berbeda-beda
menurut jenis kelamin. Gejala ini berdampak buruk terhadap persaingan yang kurang sehat
dalam hubungan antargender yang mengakibatkan seluruh potensi peserta didik tidak akan
dikembangkan secara optimal.

a.

Laki-laki lebih dominan dalam memilih jurusan dan mempelajari kemampuan atau
keterampilan dalam bidang-bidang kejuruan teknologi dan industri sehingga dengan jenis
keterampilan kejuruan yang dipelajarinya itu, laki-laki seolah-olah secara khusus
dipersiapkan untuk menjadi pemain utama dalam dunia produksi. Sementara itu, perempuan
lebih dipersiapkan untuk melaksanakan peran pembantu, misalnya ketatausahaan dan
teknologi kerumahtanggaan.

b. Jumlah siswa perempuan yang memilih jurusan IPA atau Matematika di SMU lebih kecil
proporsinya sehingga mereka lebih sulit untuk memasuki berbagai jurusan keahlian di
perguruan tinggi, misalnya dalam berbagai bidang teknologi dan ilmu-ilmu keras (hard

sciences). Pada kedua jenis jurusan keahlian itu, proporsi mahasiswi hanya mencapai 19,8 %.
Di lain pihak mahasiswi lebih dominan dalam jurusan-jurusan keahlian terapan bidang
manajemen (57,7 %), pelayanan jasa dan transportasi (64,2 %), bahasa dan sastra (58,6 %),
serta psikologi (59,9 %).
c.

Pada lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) perempuan lebih dominan pada
program diploma yang menyiapkan guru SLTP ke bawah (68,2 %) dan program sarjana yang
menyiapkan guru sekolah menengah (55,7 %). Gejala ini menunjukkan, perempuan lebih
banyak yang dipersiapkan untuk menjadi guru pendidikan dasar dan menengah. Keadaan ini
juga ditunjukkan dengan jumlah seluruh guru perempuan (dari TK sampai dengan SM) yang
lebih besar (50,8 %) daripada jumlah guru laki-laki (49,2 %). Sebaliknya, tenaga dosen di
dominasi oleh laki-laki dengan proporsi 70 % pada berbagai tingkatan jabatan dosen di PT,
dan semakin tinggi jabatan dosen semakin kecil proporsi dosen perempuan.

d. Kesenjangan gender menurut jurusan, bidang kejuruan, dan program keahlian pendidikan ini
tercermin pula dalam proporsi pegawai negeri sipil (PNS). PNS perempuan hanya menempati
proporsi 35,4 %, dan semakin tinggi golongan jabatan semakin kecil proporsi perempuannya.
Hampir semua keahlian PNS dipegang oleh laki-laki kecuali beberapa keahlian seperti
farmasi (57,7 %), Bahasa dan Sastra (45 %), dan Psikologi (61,1 %).
B. Isu Gender dalam Pendidikan Nasional
Isu gender dalam pendidikan masing-masing berkaitan dengan tiga permasalahan
pokok, yakni diantaranya:
a.

Isu gender berkaitan dengan pemerataan kesempatan belajar


Isu gender yang berkaitan dengan pemerataan kesempatan belajar pada setiap jenjang
pendidikan yakni:

1. Perolehan kesempatan pendidikan pada awal 1970-an menunjukkan bahwa semakin tinggi
jenjang pendidikan semakin lebar kesenjangan menurut gender. Pola ini berubah pada waktuwaktu terakhir (2001) di mana kesenjangan gender paling besar terjadi pada pendidikan dasar
dan tinggi tetapi lebih seimbang pada SLTP dan pendidikan menengah.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan gender di SD lebih disebabkan oleh faktorfaktor struktural, yaitu perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya
dan ekonomi keluarga, yang lebih mementingkan pendidikan anak laki-laki ketimbang anak
perempuan.

b. Isu gender berkaitan dengan proses pengelolaan pendidikan dan pembelajaran

Isu gender berkaitan dengan permasalahan kesenjangan gender berkaitan dengan proses
pengelolaan pendidikan dan pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Kurikulum dan buku ajar yang belum berlandaskan pada peran gender secara seimbang akan
menyebabkan perempuan tidak mempunyai mentalitas sebagai warga masyarakat yang
produktif.
2. Pengaruh sosio-kultur masyarakat Indonesia masih menempatkan perempuan dalam posisi
yang kurang strategis dalam mengambil keputusan di bidang pendidikan dan pembelajaran.
3. Rendahnya angka partisipasi perempuan dalam pendidikan akan mengakibatkan pendidikan
menjadi kurang efisien.
c.

Isu gender berkaitan dengan pengelompokan siswa atau mahasiswa


Isu gender berkaitan dengan pengelompokan siswa atau mahasiswa dalam bidang
kejuruan, jurusan keahlian dan program studi pada pendidikan menengah dan tinggi adalah
sebagai berikut:

1. Dalam pembagian jurusan dan program studi telah memunculkan gejala pemisahan gender
(gender segregation) ke dalam bidang keahlian dan pekerjaan yang berlainan. Ini adalah
gejala diskriminasi gender secara sukarela (voluntarily discrimination). Hal ini muncul
karena kondisi sosio-kultur masyarakat terhadap peran-peran gender yang sudah
terlembagakan.
2. Penjurusan pada pendidikan menengah dan tinggi menunjukkan masih terdapatnya stereotipe
dalam pendidikan di Indonesia.
3. Terjadinya diskriminasi gender dalam jurusan-jurusan atau program studi tertentu akan
mengakibatkan tidak berkembangnya pola persaingan sehat menurut gender.
4. Mentalitas para pengelola dan pelaksana pendidikan yang masih dominan laki-laki
cenderung akan mempertahankan kesenjangan gender dalam waktu yang lama.
C. Tujuan Pembangunan Pendidikan yang Digenderkan
Dalam GBHN 1999 kebijaksaaan pendidikan nasional dirumuskan secara umum atau
dengan kata lain, tidak secara eksplisit mencantumkan isu gender. Namun tujuan pendidikan
seperti dikemukakan dalam sasaran umum di atas, isu gender juga termasuk ke dalam
substansi yang diperhitungkan dalam kebijaksanaan pemerintah di sektor pendidikan.
Dalam rangka meningkatkan kesetaraan gender dalam sistem pendidikan nasional,
beberapa tujuan pendidikan yang perlu digenderkan akan dirumuskan seperti di bawah ini:
1. Mewujudkan kesempatan pendidikan yang lebih luas pada semua jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan dengan memperhatikan kesetaraan gender.

2. Memacu peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan melalui pemberdayaan potensi


perempuan secara optimal baik dalam kedudukannya sebagai pengembang kurikulum,
penulis buku, pengelola pendidikan, pelaksana pendidikan maupun sebagai peserta didik.
3. Memperkecil ketimpangan gender pada jurusan, bidang kejuruan atau program studi yang
ada pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi untuk mewujudkan kesetaraan gender
dalam bidang keahlian profesionalisme.
Beberapa kebijakan sektor pendidikan nasional perlu lebih dijabarkan ke dalam
tujuan-tujuan yang lebih operasional yang lebih berwawasan gender. Beberapa usul
kebijaksanaan penyetaraan gender dalam sektor pendidikan dikemukakan berikut ini.
1. Meningkatkan kesadaran gender bagi para pengelola pendidikan, khususnya pejabat daerah,
kepala sekolah dan guru dalam peran-peran gender yang lebih seimbang dalam proses
pendidikan di sekolah.
2. Meningkatkan peluang bagi perempuan untuk memasuki semua jenis dan jenjang
pendidikan, melalui penetapan sistem kuota (jatah), serta sistem subsidi (misalnya beasiswa)
untuk perempuan khususnya untuk program-program studi atau jurusan yang bias laki-laki.
3. Meningkatkan kemampuan para pengembang kurikulum dan para penulis buku perempuan
secara lebih profesional, dan secara proporsional terhadap laki-laki.
4. Meningkatkan keseimbangan jumlah guru dan tenaga kependidikan menurut gender serta
partisipasi perempuan dalam kedudukannya sebagai pengambil keputusan di bidang
pengelolaan pendidikan nasional.
D. Perlunya Pendidikan Bagi Gadis-gadis Indonesia
Alasan-alasan, mengapa gadis-gadis Indonesia perlu sekali memperoleh pendidikan
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Membuka jalan bagi pendidikan anak yang direncanakan dan dilakukan secara sadar.
2. Memperkembangkan sifat-sifat hemat, rapi dan teratur dalam rumah tangga dan turut pula
membantu untuk mengurangi kecenderungan beranak banyak, ialah hal biasa melekat pada
rumah tangga kalangan bawahan.
3. Merintangi poligami dan perkawinan yang di satu pihak tidak diingini.
4. Mengurangi kematian dan penyakit di kalangan rakyat, karena wanita yang terdidik mau
menerima pengertian kebersihan.
5. Membuat hidup lebih nikmat dan membuat kaum pria yang maju lebih merasa kerasan di
rumah.

BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesenjangan sosial adalah suatu keadaan ketidakseimbangan sosial yang ada dalam
masyarakat yang menjadikan suatu perbedaan yang sangat mencolok. Pengertian gender,
secara umum mengacu kepada pemilahan peran sosial atau konstruksi sosial yang
membedakan peran antara laki-laki dan perempuan oleh etika budaya setempat yang
dikaitkan dengan pandangan kepantasan peran sosial menurut jenis kelamin secara biologis.
Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian: proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara, mendidik.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan gender dikategorikan ke
dalam empat aspek, yaitu akses, partisipasi, kontrol dan manfaat.
Akibat kesenjangan pendidikan menurut gender, perempuan yang terdiri atas setengah
penduduk dunia masih merupakan segmen masyarakat yang belum diberdayakan sehingga
kurang produktif.

B. Saran
Kesenjangan gender di bidang pendidikan dianggap merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak asasi manusia yang perlu dieliminasi melalui upaya-upaya yang sistematis dan
terprogram, oleh karena itu, setiap negara termasuk Indonesia, harus mencanangkan
komitmennya untuk mengurangi kesenjangan gender di bidang pendidikan. Komitmen
tersebut harus dipertegas di dalam kesepakatan Dakkar dalam bentuk sasaran-sasaran
kuantitatif yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu oleh setiap negara agar mencapai
kesetaraan gender dalam semua jenis jenjang pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Christian, Alvin. (2011). http://alvinchristian7.blogspot.com/2011/11/ kesenjangan-sosial.html [diakses
tanggal 27 September 2014, pukul 19.00 wib]
Martono, Nanang. (2011). Sosiologi Perubahan Sosial (Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
Poskolonial). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sauri, Sofyan. (2010). Merentas Pendidikan Nilai. Bandung: CV Arfino Raya.
Subadio, Maria Ulfah, & Ihromi, T.O. (1986). Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Suryadi, Ace, & Idris, Ecep. (2010). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Bandung: PT
Genesindo.
Syukri, M. & R. Marmawi. (2010). Pengantar Pendidikan. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Diposkan oleh Sulistyo Rini di 20.04
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidakadakomentar:
PoskanKomentar
Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Mengenai Saya

Sulistyo Rini
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog

2014 (1)
November (1)
tugas makalah sosiologi gender

Template Ethereal. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai