Anda di halaman 1dari 33

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN PEREMPUAN BERAZASKAN PANCASILA


Writen By : Iwan Kosasih

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam pandangan tradisional, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah, halus dan emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, berani dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki. Akibatnya, jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena mereka tersisihkan oleh dominasi laki-laki dengan male chauvinistic-nya. Dalam konteks pendidikan, Goldring dan Chen (1994) mengatakan bahwa para perempuan di Inggris Raya dan di manapun kebanyakan perempuan hanya berperan dalam profesi mengajar, namun relatif sedikit dan jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting pemegang otoritas dalam sejumlah sekolah menengah perguruan tinggi dan adminsitrasi lokal pendidikan. Sejalan dengan gerakan emansipasi dan gerakan kesetaraan gender yang intinya berusaha menuntut adanya persamaan hak perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, maka setahap demi setahap telah terjadi pergeseran dalam mempersepsi tentang sosok perempuan. Mereka tidak dipandang lagi sebagai sosok lemah yang selalu berada pada garis belakang, namun mereka bisa tampil di garis depan sebagai pemimpin yang sukses dalam berbagai sektor kehidupan, yang selama ini justru dikuasai oleh kaum laki-laki. Anda mungkin pernah menyaksikan acara Fear Factor, sebuah acara reality show di televisi (pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia) yang menyuguhkan tantangan yang sangat ekstrem kepada para pesertanya untuk berkompetisi memperebutkan sejumlah
Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

uang, Para peserta kadang-kadang terdiri dari gabungan laki-laki dan perempuan. Mereka berkompetisi melalui beberapa tantangan ekstrem untuk menguji ketahanan fisik dan psikisnya, seperti makan kecoa, berkubang dengan kotoran dan bangkai, dan berbagai jenis tantangan ekstrem lainnya (tentunya penyelenggara sudah memperhitungkan secara cermat standar keamanannya). Dari beberapa episode tayangan, ternyata tidak sedikit yang menjadi pemenangnya justru dari kalangan perempuan. Artinya, mithos yang selama ini perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, dengan menyaksikan tayangan acara televisi tersebut kita bisa melihat bahwa sebenarnya kaum perempuan pun bisa menunjukkan dirinya sebagai makhluk yang luar biasa kuat dan berani, dan tidak kalah dari kaum laki-laki. Secara esensial dalam manajemen dan kepemimpinan pun pada dasarnya tidak akan jauh berbeda dengan kaum laki-laki. Kita mencatat beberapa tokoh perempuan yang berhasil menjadi pemimpin, Margareth Tatcher di Inggris yang dijuluki sebagai Si Wanita Besi , Indira Gandhi di India, Cory Aquino di Philipina, Megawati di Indonesia dan tokohtokoh perempuan lainnya. Dalam konteks pendidikan, fenomena kepemimpinan perempuan memang telah menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti lebih jauh. Studi yang dilakukan Coleman (2000) menunjukkan kepala-kepala sekolah dan para manajer senior perempuan lainnya di Inggris dan Wales mengindikasikan mereka cenderung berperilaku model kepemimpinan transformatif dan partisipatif. Studi lainnya tentang kepala-kepala guru dan dan kepala-kepala sekolah perempuan di Amerika Serikat, Inggris Raya, Australia, Selandia Baru dan Kanada menunjukkan bahwa para manajer perempuan tampil bekerja secara kooperatif dan memberdayakan koleganya serta memfungsikan team work secara efektif (Blackmore, 1989; Hall, 1996; Jirasinghe dan Lyons, 1996). Hasil lain dari studi yang dilakukan Jirasinghe dan Lyons, (1996) mendeskripsikan tentang kepribadian pemimpin perempuan sebagai sosok yang lebih supel, demokratis, perhatian, artistik, bersikap baik, cermat dan teliti, berperasaan dan berhati-hati. Selain itu, mereka cenderung menjadi sosok pekerja tim, lengkap dan sempurna. Mereka juga mengidentifikasi diri dan mempersepsi dirinya sebagai sosok yang lebih rasional, relaks, keras hati,

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

aktif dan kompetitif. Dalam hal-hal tertentu terdapat perbedaan penting antara laki-laki dan perempuan dalam manajemen dan kepemimpinan, sebagaimana disampaikan oleh Shakeshaft (1989) berdasarkan hasil peninjauan ulang penelitian di Amerika Serikat, bahwa: Perempuan cenderung memiliki lebih banyak melakukan kontak dengan atasan dan bawahan, guru dan murid. Perempuan menghabiskan banyak waktu dengan para anggota komunitas dan dengan koleganya, walaupun mereka bukanlah perempuan. Mereka lebih informal. Mereka peduli terhadap perbedaan-perbedaan individual murid. Mereka lebih memandang posisinya sebagai seorang pemimpin pendidikan daripada seorang manajer, dan melihat kerja sebagai suatu pelayanan terhadap komunitas Terdapat suatu sikap kurang menerima terhadap para pemimpin perempuan dari pada laki-laki. Oleh karenanya, para pemimpin perempuan hidup dalam dunia yang terpendam dan gelisah. Mereka bisa mendapatkan kepuasan yang banyak dari instruksi supervisi dan sementara laki dari adminsitrasi. Dalam komunikasi, mereka dapat tampil lebih sopan dan tentatif daripada laki-laki, yang cenderung sederhana dalam memberikan statemen. Bahasa tubuh juga berbeda, yang menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan cenderung lebih menggunakan model manajemen

partisipatoris, dan menggunakan strategi-strategi kolaboratif dalam menyelesaikan konflik. Kendati demikian, sangat disayangkan dari berbagai penelitian tentang kesuksesan kepemimpinan perempuan dalam organisasi, khususnya organisasi pendidikan, tampaknya jarang sekali yang mengungkap tentang korelasi kesuksesan perempuan dalam memimpin organisasi dengan kehidupan keluarganya. Apakah mereka dapat sukses juga dalam memerankan dirinya sebagai seorang ibu atau seorang istri? Apakah para suami merasa bahagia dan tidak merasa kecil hati

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

dengan kesuksesan istrinya? Apakah putera-puterinya tidak menjadi terlantar? Mungkin diantara pembaca ada yang tertarik untuk menelitinya lebih lanjut.

Realitas menunjukkan bahwa peristiwa sejarah banyak dipengaruhi oleh persoalan kepemimpinan. Keberhasilan manajemen pemerintahan akan ditentukan oleh efektivitas kepemimpinannya, sehingga kepemimpinan atau leadership dapat dikatakan inti dari manajemen pemerintahan. Kepemimpinan merupakan sebuah proses yang saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan individu, mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama (Inu Kencana, 2003). Jadi kepemimpinan merupakan kehendak mengendalikan apa yang terjadi, pemahaman merencanakan tindakan, dan kekuasaan untuk meminta penyelesaian tugas, dengan menggunakan kepandaian dan kemampuan orang lain secara kooperatif (Donald, 1998). Dinamika manusia yang kemudian menampakkan diri dalam dinamika organisasi dan dinamika masyarakat sebagai keseluruhan merupakan salah satu faktor pendorong bagi berbagai jenis kemajuan yang hendaknya dicapai oleh umat manusia. Dorongan untuk maju timbul karena hasrat dan keinginan manusia meningkatkan kemampuannya untuk memuaskan berbagai jenis kebutuhannya yang semakin lama semakin kompleks (Sondang,1999). Semakin disadari bahwa terlepas dari meningkatnya pengetahuan dan keterampilan berkat pendidikan yang semakin tinggi, cara terbaik untuk memuaskan berbagai kebutuhan tersebut adalah dengan menggunakan berbagai jalur organisasi (pemerintahan). Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa semakin kompleks kebutuhan seseorang, semakin banyak organisasi yang diikutinya, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, agama, dan sosial. Berbarengan dengan meningkatnya kebutuhan untuk bergabung dalam berbagai organisasi, semakin berkembang pula persepsi yang berkisar pada pandangan bahwa dalam kehidupan organisasional perlu dijamin keseimbangan antara hak dan kewajiban seseorang. Dalam hubungan organisasi dengan para anggotanya, sering dirumuskan bahwa hak organisasi diperolehnya melalui penunaian kewajiban oleh para anggotanya dan sebaliknya hak para anggota organisasi merupakan kewajiban organisasi untuk memenuhinya. Pandangan demikian

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

mengejawantah pada tuntuatan adanya kepemimpinan yang adil dan demokratis dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang, 1999). Dalam hal kekuasaan, pemimpin bergantung pada pengikutnya, dan sampai batas tertentu, kemampuannya akan membuktikan hasil. Oleh karena itu, ia harus bias bekerja sama dengan mereka untuk mencapai sasaran yang telah disepakati (Donald, 1998). Pemerintahan mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam maupun ke luar. Oleh karenanya pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk

mengendalikan angkatan perang, kedua harus mempunyai kekuatan legislatif yang berfungsi membuat undang-undang, yang ketiga harus mempunyai kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan rakyatnya dalam rangka membiayai kebutuhan negara dalam rangka penyelenggaraan peraturan. Hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara. Persoalan gender akhir-akhir ini sedang menjadi wacana publik yang hangat dibicarakan oleh banyak kalangan. Persoalan ini menyangkut tentang kemitraan dan keadilan peran sosial antara laki-laki dan perempuan, yang dalam sepanjang manusia telah dikonstruksi oleh agama, adat, dan budaya. Dalam hal peran ini sering terjadi kekaburan dalam kehidupan sehari-hari antara ketimpangan peran kehidupan. Ada yang lebih berpegang pada adat, budaya daripada agamanya dan ada yang sebaliknya mereka lebih mengedepankan agama dari pada adat, dan budayanya. Perdebatan mengenai status hukum kaum perempuan yang terdapat dalam sunnatullah maupun ketentuan fitrah yang lain mulai dari instink, kasih sayang model berfikir serta ketentuan yang tidak bias dirubah lagi kecuali adanya kemampuan di dalam kerangka berfikir itu sendiri (tholchah, dalam Paradigma Gender 2003). Pada hakekatnya, esensi dari kepemimpinan nasional terletak pada moral, kualitas dan kapabilitasnya. Apalagi situasi dan kondisi politik Indonesia saat ini sangat rawan dengan terjadinya disintegrasi, dimana tingkat kemajemukan sangat tinggi. Karenanya, sangat diperlukan seorang negarawan yang menegakkan kepemimpinan lintas rasial, etnis agama, berwawasan kemanusiaan yang modern dan tidak mengeksploitasi perbedaan itu. B. Rumusan Masalah

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

Berdasarkan atas fenomena yang mengedepankan pada latar belakang pemikiran di atas, maka dalam analisis ini dapat dirumuskan permasalahnnya sebagai berikut: 1. Apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan, faktor sosial politik, budaya, dan agama terhadap prestasi kerja perempuan ? 2. Apa yang paling berpengaruh terhadap prestasi kerja perempuan dalam kepemimpinannya ?

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

BAB II PEMBAHASAN

A. Kondisi Perempuan Indonesia Dari data-data yang ada menunjukkan bahwa kondisi perempuan di Indonesia masih banyak memerlukan perhatian. Di bidang pendidikan

perempuan masih tertinggal dibandingkan mitra laki- laki. Sementara bahan ajar yang digunakan serta proses pengelolaan pendidikan masih bias gender, sebagai akibat dominasi laki-laki sebagai penentu kebijakan pendidikan (Soemartoyo, 2002). Di bidang ekonomi kemampuan perempuan untuk

memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah. Demikian pula halnya akses terhadap sumberdaya ekonomi, seperti teknologi, informasi pasar, kredit, dan modal kerja. Tingkat pengangguran pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Besarnya upah yang diterima perempuan lebih rendah dari pada lakilaki. Dengan tingkat pendidikan yang sama, pekerja perempuan hanya

menerima sekitar 50 persen sampai 80 persen upah yang diterima laki-laki. Selain itu banyak perempuan bekerja pada pekerjaan marginal sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan. Dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan perempuan dan anak-anak

merupakan kelompok yang paling rentan kena dampak. Di bidang pengambilan keputusan dan poitik perempuan hanya diwakili oleh 8,8 persen dari seluruh jumla anggota DPR. Jumlah perempuan yang menjabat sebagai hakim agung di Mahkamah Agung hanya 13 persen. Jumlah PNS perempuan 36,9 persen, dan dari jumlah tesebut hanya 15 persen yang menduduki jabatan struktural. Dengan kondisi yang demikian dapat dibayangkan bahwa peran perempuan sebagai pengambil kebijaksanaan relatif kecil dibanding peran laki-laki.

B. Peran Perempuan Dalam spesifik Lokal

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

1.

Peran Perempuan di Bidang Ekonomi Penelitian terdahulu menemukan kenyataan bahwa budaya, tipe

agriekosistem, dan status sosial ekonomi rumah tangga berpengaruh terhadap kontribusi perempuan pada kegiatan produksi pertanian (Hastuti, et.al., 1998). Selain itu masih banyak situasi yang menempatkan wanita pada posisi pertukaran yang relatif lemah, baik ditinjau dari aktivitas ekonomi, sosial, maupun kekuasaan baik di lingkungan keluarga/ rumah tangga maupun masyarakat luas. Di dalam industri tanaman pangan wanita pedesaan tetap berperan ganda sebagai penghasil pendapatan sekaligus penanggung jawab kegiatan rumah tangga, dan mampu memperbaiki kesejahteraan keluarga (Suratiyah, 1994). Oleh karena itu jika sistem pranata sosial budaya masih menempatkan perempuan pada kedudukan sosial ekonomi yang rendah, hal ini akan membatasi

perannya pada kegiatan pe-ngembangan pertanian (Pranaji, et.al., 2000). Sjaifudin (1992) menemukan kenyataan bahwa gender perempuan

mengalami marginalisasi dalam tiga demensi, yaitu: 1. Perempuan ditemukan bekerja pada lapisan terbawah dari semua sub sektor, pekerjaan-pekerjaan tersegragasi oleh gender, dan menampilkan pekerjaan yang tidak terampil dan dibayar termurah. 2. Baik perempuan pengusaha maupun buruh keduanya kurang akses terhadap sumber daya dibanding laki-laki 3. Perempuan dalam keterlibatan di sektor non pertanian tidak dalam kategori yang homogen. Ternyata pula bahwa pada umumnya kegiatan fisik dalam produksi pertanian dibagi menurut garis gender, walaupun dalam berbagai kondisi terdapat keragaman yang berkaitan dengan norma- norma lokal (Suradisastra, 1998). Misalnya Koentjaraningrat (1967) mengemukakan bahwa dikalangan

masyarakat Jawa, seorang suami adalah kepala keluarga, namun tidak berarti bahwa istri memiliki status lebih rendah karena ia bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Akan tetapi seorang anak laki-laki umumnya memiliki peran yang lebih kuat dan jelas sebagaimana yang ditunjukkan dalam pengalihan tanggung jawab dari ayah kepada anak laki-

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

laki seperti yang dilaporkan oleh Sievers (1974) yang mengamati etnis Sunda, yang merupakan masyarakat patrilineal dengan hierarki kuat. Di daerah Bugis di Sulawesi Selatan, ternyata terdapat norma yang cukup kuat bahwa wanita sama sekali tidak diperbolehkan bekerja di sawah, kecuali mengawasi pada saat panen. Sedang di daerah Sumatera barat yang menganut Budaya Matriarkat di mana wanita sebagai penguasa dan kepala atas keluarga, ternyata terdapat norma "pria sebagai kepala keluarga dan pengurus rumah tangga, sedang wanita sebagai pelaksana". Kenyataannya secara fisik perempuan di daerah ini melakukan hampir semua kegiatan usaha tani, bahkan banyak wanita yang melakukan kegiatan mencangkul yang secara umum merupakan peran gender pria. Selain itu terdapat norma "tinggi lantai dari palupuah", yang berarti bahwa istri tidak dapat memerintah suami. Di daerah ini pada umumnya pria menguasai tanaman

utama, dan wanita hanya mengontrol tanaman sampingan. Bahkan suami pulalah yang mengelola pendapatan rumah tangga, sehingga kalau istri memerlukan kebutuhan rumah tangga harus meminta ijin kepada suami. Di daerah istimewa Yogyakarta terdapat norma yang mengatakan "ngono ya ngono, ning ojo ngono". Hal ini berarti wanita boleh saja bekerja di bidang apapun, tapi jangan sampai melanggar batas-batas norma yang tidak pantas dilakukan (Hastuti, et.al., 1999). Misalnya kegiatan mencangkul, secara

normatif bukan pekerjaan wanita, dan kegiatan pemasaran hasil pertanian bukan pekerjaan pria. Di daerah Boyolali pria yang menjual hasil taninya disebut "cupar", yang merupakan sindiran yang sangat memalukan. Di dalam kegiatan agribisnis pada umumnya perempuan mempunyai peran yang relatif besar pada bidang pemasaran dibanding laki-laki (Irawan, et.al., 2001). Namun akses dan kontrol perempuan dalam kelembagaan yang mendukung agribisnis relatif masih rendah. Hal ini antara lain disebabkan karena kentalnya budaya yang membatasinya. budaya Meskipun demikian seringkali lingkungan fisik dan

ternyata

sangat berpengaruh terhadap peran gender. Hal ini terbukti

pada tranmigran yang berada didaerah Nusa Tenggara Barat yang berasal dari Jawa, pergi bersama-sama suami untuk mencangkul di lahan pertaniannya, dengan memakai celana panjang. Padahal perilaku yang demikian tidak

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

pernah dilakukan di daerah asalnya di Pulau Jawa (Pranaji, et.al., 1999). Seringkali peran gender tradisional perempuan dinilai lebih rendah dibanding peran gender laki-laki (Fakih,1996). Selain itu peran gender ternyata menimbulkan masalah yakni ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran dan perbedaan gender tersebut. Antara lain terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap perempuan. Banyak perempuan desa

tersingkirkan dan menjadi miskin akibat program pertanian revolusi hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. Begitu pula dengan program pembiayaan pertanian, training pertanian, dan seterusnya yang lebih ditujukan kepada petani laki-laki. 2. Peran Perempuan Dalam Program Pembangunan Konsep pembangunan yang diterapkan di seluruh dunia kini adalah konsep barat, yang pada intinya akan mengubah alam kehidupan tradisional menjadi modern yang diwujudkan dalam struktur ekonomi industri untuk menggantikan struktur ekonomi pertanian. Di dalam masyarakat seringkali perempuan menjadi warga kelas dua, dan menjadi obyek dari berbagai upaya perubahan yang disusun dalam kerangka berfikir yang mengacu pada asumsi yang sangat bias laki-laki. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjelaskan mengapa perempuan tertinggal atau ditinggalkan dalam proses pembangunan. Pada umumnya di dalam program-program pembangunan di tingkat provinsi, kabupaten maupun desa baik laki-laki maupun perempuan tidak dilibatkan dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan. Hampir semua program kebijaksanaan bersifat top down, sehingga masyarakat hanya tinggal sebagai pelaksana program tersebut. Norma-norma tradisional seringkali masih tetap dijadikan acuan di dalam menyususn program kebijaksanaan, dan terjadi penyeragaman kebijakan untuk pembangunan di pedesaan. Di tingkat desa akses laki-laki terhadap program pembangunan lebih besar di banding

perempuan, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel. 1

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

10

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

Akses dan Kontrol Laki-laki dan Perempuan di Dalam Program Pembangunan Pertanian di Provinsi Sumatera Barat dan D.I. Yogyakarta, Tahun 1999 Sumatera Barat Tingkat Perencanaan Pembangunan Pertanian
Tingkat Propinsi : Perencanaan Pengambilan Keputusan Pelaksanaan Tingkat Kabupaten : Perencanaan Pengambilan Keputusan Pelaksanaan Tingkat Desa : Perencanaan Pengambilan Keputusan Pelaksanaan Sumber : Hastuti, E.L., 2004

D.I. Yogyakarta Akses Lk Pr Kontrol Lk Pr

Akses Lk Pr

Kontrol Lk Pr

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Tdk Tdk Ya

Di dalam program penyuluhan pertanian (Sukesi, et.al., 1991) ditemukan kenyataan bahwa: 1. Akses perempuan ke penyuluhan pertanian, persepsi dan aspirasi perempuan perlu masih perlu ditingkatkan 2. Pada komoditi tebu perempuan bayak berperan pada kegiatan usaha tani, sedang pada komoditi kedelai keterlibatan perempuan relatif kecil. Etnis memberikan variasi pada pembagian kerja gender pada liam komodity yang diteliti 3. Dalam penyuluhan pertanian sasaran utama adalah laki-laki Demikian pula meskipun di bidang peternakan perempuan mempunyai peran yang cukup penting, namun partisipasinya di dalam progrm

penyuluhan relatif rendah (Homzah, 1987). Secara relatif program penyuluhan yang ditujukan kepada perempuan tani di pedesaan tidak didesain khusus untuk

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

11

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

menjangkau kelompok perempuan tani sesuai dengan fungsi dan peranannya, serta belum menerapkan pendekatan yang paling tepat untuk kelompok didik yang dituju (Sulaiman, 1997). Faktor sosial budaya yang mengakibatkan ketidaksetaraan gender dan merupakan kendala bagi perempuan telah mengakar kuat pada kehidupan sosial ekonomi dan budaya selama berabad-abad menyebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman gender. Secara umum baik akses dan kontrol perempuan pada kelembagaan dan

organisasi

yang bersifat formal maupun tradisional baru sebatas pada

kelembagaan yang erat hubungan dengan peran gender perempuan. Misalnya pada organisasi PKK, arisan, pengajian dan sebagainya. Bahkan terdapat

kecenderungan bahwa organisasi-organisasi yang dibentuk dan diperkenalkan oleh pemerintah baru dapat dijangkau oleh golongan rumah tangga mampu. Di lain pihak kegiatan-kegiatan pembangunan pemerintah di dalam pelaksanaaanya di tingkat desa, dan mungkin juga dalam konsepsinya di tingkat nasional baik secara eksplisit maupun implisit membuat pemisahan peran laki-laki dan asumsi yaang menguatkan

perempuan.

Antara

lain penyuluhan

pertanian, program kredit, perkumpulan-perkumpulan formal dan peranan pemimpin di dalamnya ditetapkan sebagai urusan laki-laki. Sedang urusan perempuan ditetapkan terbatas pada kegiatan-kegiatan yang menjurus ke bidang reproduksi seperti keluarga berencana, pendidikan gizi dan kesehatan, PKK, dan seterusnya (White dan Hastuti,1980). Hal ini menggambarkan bahwa kebijakan pemerintah belum peka gender, karena tidak sesuai dengan peran yang nyata di dalam masyarakat. Kebijakan yang sensitif gender adaah kebijakan yang mencerminkan kepentingan laki-laki dan perempuan secara

setara (Syaifudin, 1996). Di dalam lingkup publik, sumberdaya dialokasikan melalui kebijakan publik. Alokasi sumberdaya dalam lingkup publikpun terbukti tidak memberikan kesempatan yang sama berdasarkan gender. Pilihan-pilihan dan partisipasi perempuan dalam proses kebijakan sangat terbatas akibat proses sosialisasi yang selama ini ada, menyebabkan perempuan harus melalui banyak rintangan ketika akan memasuki aena politik dan kebijakan. Politik dan kebijakan dipercaya sebagai dunia laki-laki. Bahkan memasuki dunia ini masih

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

12

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

dianggap sebagai pelanggaran terhadap kodrat perempuan. Oleh karena itu berbagai program kebijakan dari pusat harus ditelaah apakah sesuai dengan kenyataan di dalam masyarakat. Norma yang selama ini sering digunakan sebagai acuan perlu ditinjau kembali, agar kebijakan yang yang diambil tepat sasaran. Penyeragaman kebijakan tidak dapat diterapkan karena peran gender berbeda baik antar tempat, waktu, dan kelas sosial ekonomi masyarakat.

C. Hambatan Sosial Budaya Yang Mempengaruhi Peran Perempuan Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi peran gender perempuan baik di dalam kegiatan rumah tangga maupun dalam masyarakat yang lebih luas. Beberapa faktor pembatas menurut Licuanan (dalam Suradisastra,1998) adalah sebagai berikut: 1. Status Sosial Status gender perempuan terutama yang berkaita dengan proses pendidikan, kesehatan, dan posisi memberikan dampak dalam proses pengambilan keputusan umumnya

tertentu

terhadap produktivitas mereka. Rumpang

lebar yang terjadi antara pencapaian pendidikan laki-laki dan perempuan, disertai kenyataan bahwa perempuan secara umum kurang memperoleh akses yang sama terhadap sumber daya pendidikan dan pelatihan telah

menciptakan konsekuensi kritis terhadap perempuan dalam peran produktif dan reproduktif mereka. 2. Hambatan Memperoleh Pekerjaan Peluang gender tertentu guna memperoleh pekerjaan sering dihubungkan denga norma tradisional. Pada umumnya pekerjaan gender perempuan dikaitkan dengan kegiatan rumah tangga. Pekerjaan gender perempuan juga sering diilai berkarakter rendah, bersifat marginal, dan mudah disingkirkan. Selain itu gender perempuan menghadapi hambatan mobilitas relatif. Dalam hal ini perempuan seringkali enggan bekerja jauh secara fisik, karena mereka diharapkan selalu berada dekat dengan anak-anaknya. 3. Status Pekerjaan Sering terjadi pembedaan posisi untuk gender yang berbeda. Perempuan sering

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

13

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

memperoleh posisi yang lebih rendah dari rekannya laki-laki. Demikian juga sering terjadi imbalan yang berbeda untuk jenis pekerjaan yang sama. Dari segi teknologi, gender tertentu seringkali mengalami lebih banyak dampak negatif dari pada dampak positifnya. 4. Beban Ganda Kaum perempuan memiliki peran ganda yang jauh lebih banyak

dibandingkan laki-laki. Masalah mempersatukan keluarga dengan pekerjaan bagi perempuan jauh lebih rumit dibandingkan dengan laki-laki, karena perempuan secara tradisional selalu diasumsikan untuk selalu berada dekat dengan anak-anaknya sepanjang hari, sekaligus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Akibatnya, perempuan pekerja mempunyai tuntutan peran

simultan dari pekerjaan dan keluarga. Sementara laki- laki hanya mempunyai tuntutan peran sekuental.

Disamping Faktor-faktor budaya yang bersifat normatif seperti tersebut diatas, terdapat faktor-faktor kondisi keluarga yang mempengaruhi peran perempuan (Hastuti, 1998). Beberapa faktor yang berpengaruh dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis regresi pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi Peran perempuan/ibu pada kegiatan produksi pertanian di Sumatera Barat dan D.I. Yogyakarta

Variabel 1. Luas garapan 2. Umur 3. Pendidikan 4. Tanggungan Keluarga 5. Balita 6. Jam kerja suami diusaha tani 7. Jam kerja istri diusaha tani 8. Jam kerja anak perempuan

Sumatera Barat 0,7823 1,0199 -0,5104 0,3582 -0,0436 -0,0407 0,2859 0,1339

D.I. Yogyakarta 0,5514 1,6286 0,0939 0,1885 0,0423 0,0048 0,5752 -0,1897

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

14

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

9. Pendapatan Rumah tangga


Sumber : Hastuti, et.al., 2008

0,0180

0,1323

Dari data-data pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa di daerah Sumatera Barat, luas lahan garapan menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 10 20 persen. Ini berarti bahwa semakin tinggi luas garapan, semakin tinggi curahan jam kerja ibu pada kegiatan produksi pertanian. Hal ini logis karena mencari tenaga kerja upahan di daerah ini relatif sulit, sebab hampir semua rumah tangga petani menggarap lahan meskipun sempit. Bahkan pada waktu sibuk di sawah masih terdapat pengerjaan lahan secara bergiliran (julo-julo).

Demikian pula di D.I. Yogyakarta semakin tinggi lahan garapan semakin besar curahan jam kerja ibu rumah tangga. Namun di daerah ini pengerjaan tanah sering dilakukan dengan cara berkelompok, terutama di daerah Bantul. Umur sangat berpengaruh terhadap peran gender wanita di daerah penelitian di Sumatera Barat, makin tua umur ibu rumah tangga makin berat peran gender ibu. Mungkin hal ini disebabkan karena semakin sedikit anggota keluarga yang dapat membantu kegiatan orang tua, karena anak- anaknya sudah menikah. Namun di D.I. Yogyakarta faktor umur tidak berpengaruh nyata. Tingkat pendidikan sama sekali tidak berpengaruh terhadap peran gender ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan karena kegiatan usahatani tidak memerlukan pendidikan formal, namun lebih memerlukan pengalaman. Sebagian besar

petani mendapat pengalaman berusaha tani dari orang tua atau tetangga. Tanggungan keluarga sangat berpengaruh bagi peran gender ibu rumah tangga di daerah Sumatera Barat. Pada rumah tangga yang mempunyai anak balita, peran gender wanita cenderung tinggi. Hal ini disebabkan karena mereka harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Namun di daerah Yogyakarta jumlah anak balita tidak berpengaruh terhadap peran gender ibu. Hal ini antara lain disebabkan karena anak balita dapat dibawa bekerja di sawah, atau dititipkan saudara yang tinggal dekat. Jam kerja istri di dalam kegiatan rumah tangga sangat berpengaruh terhadap peran gender ibu dalam kegiatan usahatani. Di Sumatera Barat menunjukkan hubungan positif, sedang di Yogyakarta menunjukkan hubungan negatif. Di Daerah Sumatera Barat 15

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

pada umumnya suami istri pergi bersama- sama ke ladang untuk mengerjakan kegiatan produksi pertanian. Mereka berangkat pada pagi hari, dan baru pulang pada sore hari. Sebelum berangkat ke ladang, para istri harus menyiapkan makanan untuk makan siang. Sudah barang tentu kegiatan ini sangat menyita waktu pekerjaan ibu rumah tangga. Di Yogyakarta pada umumnya petani

berangkat pagi-pagi, dan istirahat di siang hari. Oleh karena itu semakin tinggi ibu rumah tangga mencurahkan waktunya untuk kegiatan usaha tani, semakin sedikit waktu yang dicurahkan untuk kegiatan rumah tangga. Peran gender anak perempuan pada kegiatan usahatani sangat berpengaruh terhadap peran gender ibu rumah tangga, baik di daerah Sumatera Barat maupun di Yogyakarta. Namun semakin besar anak-anak perempuan yang dapat membantu kegiatan usaha tani, semakin besar pula peran gender ibu rumah tangga. Hal ini berarti bahwa kegiatan usaha tani merupakan kegiatan yang harus dilakukan bersama oleh seluruh anggota rumah tangga. Pendapatan rumah tangga tidak berpengaruh nyata terhadap peran gender ibu rumah tangga dalam kegiatan produksi pertanian. Hal ini disebabkan karena rumah tangga petani tidak hanya tergantung pada sumber pendapatan pertanian, namun

melakukan diversifikasi usaha untuk mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Di Indonesia Bagian Timur terdapat sejumlah masalah dalam pengembang-an karier sarjana perempuan di bidang IPTEK (Wulur,1992) yaitu: 1. Anak laki-laki lebih diutamakan untuk bersekolah, masih ada anggapan bahwa laki-laki lebih memerlukan pendidikan dari pada perempuan. 2. Dalam pola pendidikan, anak laki-laki sampai besar lebih mendapat rangsangan untuk menekuni bidang IPTEK 3. Ada pendapat stereotip bahwa IPTEK tidak cocok untuk perempuan, tidak sesuai dengan bakat perempuan 4. Anak perempuan tidak ada panutan dalam bidang IPTEK, nama-nama yang menonjol biasanya laki-laki (perempuan kurang mempunyai role-models) 5. Keluarga kurang mendukung pengembangan karier perempuan, pandangan masyarakat tidak menguntungkan 6. Ada angapan bahwa makin tinggi pendidikan perempuan, makin sulit

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

16

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

mendapat-kan jodoh 7. Perempuan lebih mengutamakan keluarga, dan pada umur produktif sering sibuk dengan urusan rumah tangga karena mengurus anak kecil, sehingga kurang waktu untuk studi atau pekerjaan 8. Dalam pembagian kerja di rumah tangga belum ada pemerataan tugas antara suami-istri. Hal ini terkait dengan konsep diri bahwa perempuan adalah di rumah, mengurus rumah tangga. Anak perlu mendapat perawatan, maka tidak adanya pemerataan pembagian tugas antara suami-istri menjadi penghambat bagi ibu rumah tangga untuk berperan di luar rumah tangga. Padahal berdasarkan berbagai penelitian oleh Kimbal (1981) dan sejumlah pakar lainnya disimpulkan bahwa perbedaan kemampuan alamiah kecil sekali. Hal ini sependapat dengan Suwarno (1995), bahwa seseorang dapat mengembangkan secara penuh baik sifat maskulin maupun sifat feminin pada dirinya, sehingga mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya secara penuh (Lips dan Colwill, 1978). Seseorang yang tanpa memandang jenis kelamin mampu mengembangkan unsur maskulin disebut mempunyai perilaku

androgini. Di daerah NTB meskipun terdapat perkembangan peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang bertujuan untuk mewujudkan kemitrasejajaran, namun dibanding daerah lain relatif lambat. Hal ini sebagai akibat dari hambatan faktor nilai-nilai budaya tradisional yang masih dianut masyarakat (Hanartani.1997). Oleh karena itu sedikit alasan untuk membatasi salah satu gender untuk menekuni bidang-bidang kegiatan yang ada di sektor publik di dalam masyarakat luas. D. Model Kepemimpinan Perempuan Frankel mengemukakan enam nilai yang menjadi model kepemimpinan perempuan yang menurutnya adalah model kepemimpinan yang diperlukan pada saat ini. Keenam nilai itu adalah penetapan arah, mempengaruhi orang lain, pembentukan tim, pengambilan resiko, kemampuan memotivasi, dan kecerdasan emosi. Membaca buku ini mengingatkan saya pada buku-buku psikologi populer yang pernah meledak di pasaran Indonesia maupun dunia, seperti Personality Plus

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

17

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

karangan Florence Littauer, atau Emotional Intelligence dari Daniel Goleman, karena dalam buku ini banyak sekali teori-teori kepemimpinan yang mendalam, namun disajikan dengan cara yang sangat mudah dimengerti. Buku ini juga dilengkapi test untuk mengukur seberapa baiknya Anda dalam keenam nilai di atas. Setelah mengetahui titik kelemahan dan kekuatan kita dalam nilai-nilai kepemimpinan itu, Frankel mengajari kita bagaimana membenahi kemampuankemampuan tersebut yang menurutnya pada dasarnya merupakan kapasitas alamiah seorang perempuan.

E. Feminisasi Kepemimpinan Frankel berpendapat, jika ada satu waktu dalam perjalanan sejarah di mana kepemimpinan perempuan benar-benar diperlukan, maka sekaranglah saatnya. Karena, masa kepemimpinan yang bercorak perintah dan kendali pada masa sekarang semakin tidak bisa dipertahankan. Saat ini, dibutuhkan kualitas-kualitas kepemimpinan yang banyak di antaranya kualitas-kualitas alamiah seorang perempuan. Selama berabad-abad, perempuan tanpa sadar menyempurnakan kualitas penting yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang sukses. Entah didapatkan dari lahir atau dari pola asuh, perempuan mahir membangun hubungan, mendorong dan memotivasi orang lain untuk berhasil, membentuk cara berkomunikasi mereka dengan hati-hati, serta menciptakan lingkungan yang saling percaya dan aman. Di sisi yang lain, fakta menunjukkan kepemimpinan perempuan masih sangat sedikit. Buku ini mengutip penelitian yang dilakukan Catalyst, kelompok penelitian perempuan terbaik di Amerika yang menemukan, walaupun perempuan merupakan 46,4 % dari tenaga kerja, hanya ada 8 CEO perempuan di perusahaan kategori Fortune 500. Serta, hanya 5,2 % perempuan yang termasuk dalam jajaran orang berpenghasilan tertinggi dan hanya 7,9 % yang menyandang jabatan tertinggi dalam perusahaan-perusahaan itu. Namun, isyarat akan adanya perubahan positif ditunjukkan oleh penelitian Catalyst yang lain, yang mendapati bahwa perusahaan dengan posisi manajemen senior sebagian besar dipegang oleh perempuan mempunyai laba atas ekuitas 35 % lebih tinggi, dan total laba atas investasi pemegang saham 34 % lebih tinggi. Dari data-data ini

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

18

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

kita dapat melihat peluang yang besar bagi perempuan untuk memaksimalkan potensinya sebagai pemimpin. F. Kepemimpinan Pancasila Yang Modern Dari aspek substansi teks, bukan berupa kalimat larangan, tapi hanya kalimat informasi. Karena itu, hukum haram (larangan) pun tidak memiliki signifikan yang akurat. Dalam realitas di masyarakat, ternyata banyak pemimpin public perempuan yang tidak kalah keberhasilannnya dibandingkan dengan pemimpin publik laki-laki (Said Aqil, 1999). Dapat dipamahami, bahwa kelemahan perempuan sebenarnya hanya merupakan pandangan kultural pada masa lampau, yakni memposisikan perempuan semata-mata sebagai sub ordinatif. Penilaian itu bukanlah suatu yang mutlak, melainkan terus berubah sejalan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kondisi tatanan masyarakat pada suatu masa sangat mempengaruhi pola berpikir setiap manusianya. Perempuan mempunyai hak untuk menikmati hak-hak politik, memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menggapai hak untuk dipilih sebagai pemimpin publik dan hak untuk menduduki jabatan politik. Pemahaman yang melarang tampilnya kaum perempuan sebagai pemimpin publik, hanya didasarkan pada pemahaman nash secara tekstual interpretatif. Jika nash yang dianggap sebagai landasan larangan itu dipahami dengan memberikan interpretasi secara kontekstual, akan diperoleh hukum yang memperbolehkan seorang perempuan tampil sebagai pemimipin publik. Karena pada dasarnya kepemimpinan tidak membedakan siapa pelakunya, apakah dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Bagi kedua-duanya berlaku persyaratan yang sama untuk menjadi pemimpin yang baik. Namun karena dalam perjalanan sejarah perempuan kurang mendapat kesempatan untuk menjalankan kepemimpinan kemasyarakatan, sekarang kita perlu meningkatkan kuantitas maupun kualitas perempuan sebagai pemimpin. Hal ini dapat diupayakan melalu peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap perempuan. Kepemimpinan merupakan kunci keberhasilan suatu kegiatan. Dalam masa pembangunan dewasa ini tidak hanya pria, tetapi juga perempuan sebagai penerus nilai-nilai dan normanorma dalam masyarakat, serta sebagai pelaku pembaharuan dituntut berperan

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

19

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

aktif dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat yang menunjang pembangunan. Untuk dapat menjalankan perannya sebagai pembaharuan secara berdaya guna dan berhasil guna, perempuan perlu mengembangkan diri menjadi pemimpin yang tangguh tanpa meninggalkan kodratnya sebagai perempuan serta menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Sebagai bangsa Indonesia, kitapun harus senantiasa berpegang kepada azaz Pancasila serta perlu mengembangkan kepemimpinan yang sesuai dengan azaz tersebut. Kepemimpinan yang dijiwai Pancasila, disemangati azas kekeluargaan, memancarkan wibawa serta menumbuhkan daya mampu untuk membawa serta masyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kepemimpinan yang diharapkan adalah kepemimpinan modern, yang memiliki cirri sifat kepemimpinan yang modern. Diantaranya : 1. Berorientasi jauh ke depan Masa yang akan dating dijadikan pegangan dalam menentukn kebijaksanaan dan pemecahan persoalan. 2. Berlandaskan pola pikir ilmiah Menghindari pengambilan keputusan yang didasari pada emosi. 3. Berpegang pada prinsip efektif dan efisien Penyelesaian suatu kegiatan dengan waktu sesingkat-singkatnya, dan meminimalisir penggunaan biaya, sarana, tenaga tetapi tercapai hasil yang maksimal. Dalam kepemimpinan Pancasila keterpaduan pola piker modern dengan pola piker Pancasila bertumpu pada azas-azas, yakni : 1. Azas kebersamaan Dalam kepemimpinan Pancasila hendaknya : a. Pemimpin dan yang dipimpin merupakan kesatuan organisasi b. Pemimpin tidak terpisah dengan yang dipimpin c. Pemimpin dan yang dipimpin saling pengaruh mempengaruhi d. Pemimpin dan yang dipimpin bukan unsur yang saling bertentangan sehingga tak terjadi dualism

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

20

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

e. Masing-masing unsur yang terlibat dalam kegiatan mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri dan merupakan suatu golongan yang paling kuat, tetapi juga tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat f. Tanpa ada yang dipimpin tidak mungkin ada pemimpin

2. Azas kekeluargaan dan kegotong-royongan Ciri-ciri kekeluargaan dan kepemimpinan Pancasila, diantaranya : a. Imbul kerjasama yang akrab b. Kesejahteraan dan kebahagiaan bersama yang menjadi titik tumpu c. Berlandaskan kasih saying dan pengorbanan 3. Azas persatuan dan Kesatuan dalam Kebhinekaan Kita semua sadar akan kebhinekaan bangsa Indonesia, baik dari segi suku, bangsa, adat istiadat, agama, aliran, dan sebagainya. 4. Azas serasi dan seimbang Azas yang tidakmencari menangnya sendiri, adu kekuatan, atau timbul kontradisi, konflik, dan pertentangan.

G. Sikap dan Perilaku Pemimpin Pancasila Seorang pemimpin di Negara Indonesia, diharapkan menjadi contoh teladan serta panutan orang-orang yang dipimpinnya, mau tidak mau harus bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan Pancasila. Ia harus melaksanakan butir-butir yang merupakan nilai-nilai dan norma-norma pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang nyata. Perbuatannya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Persoalan bangsa sekarang ini sebenarnya bukan lagi pada pedebatan soal formalitas asas Pancasila atau bukan, melainkan lebih pada praktik kehidupan yang sudah menyimpang dari nilai-nilai yang terkandang dalam Pancasila. Pada era orde baru di mana Pancasila dijadikan sebagai doktrin, justru berbagai penyimpangan terhadap nilai-nilai substansial dari Pancasila terjadi di manamana. Apalagi kemudian nilai-nilai doktrinal ideologis itu ditafsirkan berdasarkan kepentingan pihak yang berkuasa, sehingga kebenarannya bukan saja menjadi sangat relatif melainkan sekaligus merupakan bagian dari kesalahan fundamental.

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

21

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

Bukankah sumber dan sekaligus yang memahami nilai-nilai keindonesian yang abstraksinya terkonstruksi dalam Pancasila itu terus hidup dalam masyarakat dengan tafsir subjektif-objektifnya masing-masing? Nilai-nilai Pancasila

merupakan produk sosial kolektif atau nilai-nilai luhur yang diwariskan dan terkonstruksi dalam masyarakat di mana negara hanya membingkainya, sehingga tafsirnya pun tidak boleh menjadi monopoli suatu kelompok atau kekuasaan tertentu. Yang terpenting dalam konteks ini adalah bahwa karena nilainya sangat luhur dan idealistik, maka ia menjadi filter penyaring dari segala kehendak, kecenderungan praktik, dan nilai yang buruk. Di sini, negara berperan sebagai pemelihara nilai-nilai itu, dan sekaligus membentengi masyarakat agar tidak terasuki oleh nilai-nilai yang merusak tatanan idealistik-luhur yang ada itu. Di penghujung tahun 1998 yang lalu, di Indonesia wacana pemimipin perempuan telah mencuat ke permukaan. Dalam catatan kami diskursus wacana pemimipin perempuan telah memancing polemik dan debat antara yang pro maupun kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah negara. Apalagi dalam masyarakat yang secara umum bersifat patrilinial, yakni memuliakan kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Sekali pun sejarah menunjukkan bahwa banyak sekali pemimpin perempuan yang sukses dalam memimpin sebuah bangsa. Ini merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa perempuan sekarang ini telah tampil menduduki berbagai jabatan penting dalam masyarakat (Awuy, 1999). Dalam Tap MPR No. II/1973 dinyatakan, bahwa calon presiden dan wakil presiden ialah orang Indonesia asli dan memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia. b. Telah berusia 40 tahun. c. Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan umum d. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. e. Setia kepada cita-cita proklamasi 17 Agustus 45, Pancasila, dan UUD 45.

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

22

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

f. Bersedia menjalankan haluan negara menurut garis besar yang telah ditetapkan. g. Berwibawa. h. Jujur. i. Cakap. j. Adil. k. Dukungan dari rakyat yang tercermin dalam Majelis (AM. Fatwa,1997). Dari dasar ketetapan MPR di atas, jelas tidak peduli apakah dia laki-laki atau perempuan asal memenuhi syarat-syarat di atas, jadilah ia seorang presiden atau wakil presiden (pemimpin publik). Indonesia sebagai negara yang demokratis dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal tidak mengenal paham diskriminasi jender. Terlebih lagi, jika di tinjau dari segi hukum positif (UUD 45), yang berlaku di negara Indonesia tidak ada satu pun undang-undang yang melarang seorang perempuan menjadi pemimpin publik. Oleh karena itu rekomendasi yang menolak kehadiran pemimipin perempuan sangat bertolak belakang dengan iklim di tingkat internasional yang begitu gencar

memperjuangkan harkat martabat kaum perempuan untuk meraih kesempatan yang sama dalam aspek kehidupan social berbangsa dan bernegara.

H. Pandangan Agama terhadap Kepemimpinan Perempuan Ada pendapat sebagian Ulama atau Fuqaha` yang memahami secara tekstual ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadits Nabi saw. yang melarang adanya seorang perempuan menjadi pemimpin publik. Kendati pun demikian, Al-Qur`an tidak pernah menganut suatu faham yang memberikan keutamaan pada jenis kelamin (gender) tertentu, atau pun mengistimewakan suku tertentu. Laki-laki dan perempuan, dan suku bangsa mana pun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi seorang pemimpin publik (khalifah) dan hamba Allah (`abid). Hanya saja yang dapat membedakan di sisi Allah adalah ketaqwaan manusia itu sendiri (Said Aqil, 1999). Maka perlu dikaji kembali ayat 34 Surat al-Nisa` ar-rijaalu

qawwamuuna `ala al-nisa` , yakni Kaum laki-laki menjadi tanggung jawab kaum perempuan (QS. al-Nisa`) yang menjadikan pijakan utama pengharaman

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

23

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

pemimpin perempuan. Secara historis, menurut Imam Abul Hasan ibnu Ahmad Al-Wahidi (w. 468 H) sebab-sebab turunnya ayat tersebut bermula dari cerita Sa`ad ibn Rabi`, seorang pembesar Anshar. Diceritakan bahwa istrinya (Habibah) telah berbuat durhaka, dan menentang keinginan Sa`ad untuk bersetubuh, lalu ia ditampar oleh Sa`ad. Peristiwa tersebut sampai pada pengaduan Nabi sw. Nabi saw kemudian memutuskan untuk menghukum Sa`ad, akan tetapi begitu Habibah beserta ayahnya mengayunkan beberapa langkah untuk melakukan hukuman, Nabi saw. memanggil keduanya lagi, seraya meberikan informasi ayat yang baru turun melalui Jibril (ayat al-Nisa` 34), sehingga hukuman tersebut dibatalkan. Dari sini dapat difahami bahwa pemakaian ayat tersebut untuk mengharamkan kepemimpinan perempuan di luar urusan ranjang jelas memiliki validitas

argumentasi yang sangat lemah. Ayat tersebut juga bukan kalimat intruksi (Said Aqil, 1999). Sedangkan hadits shahih yang diceritakan Imam Bukhari (seorang perawi hadits) Lan yafliha qaumun wallau amrahum imra`atan , yakni Tidak akan bahagia suatu kaum apabila urusannya diserahkan kapada seorang perempuan. Jika ditelusuri sebab-sebab munculnya, menurut Ahmad ibn Hajar alAsqalani (w. 852 H), hadits tersebut bermula dari kisah Abdullah ibn Hudzafah, kurir Rasulullah saw. yang menyampaikan surat ajakan masuk Islam terhadap Kisra Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama Majusi. Ternyata ajakan tersebut ditanggapi sinis dengan merobek-robek surat yang telah dikirimkan Nabi saw. Dari laporan tersebut Nabi saw memiliki firasat bahwa Imperium Persia kelak akan terpecah belah sebagaimana Anusyirwan merobek-robek surat tersebut. Tidak berapa lama, firasat itu terjadi, hingga akhirnya kerajaan tersebut dipimpin putri Kisra yang bernama Buran. Mendengar realita negeri Persia yang dipimpin wanita, Nabi saw berkomentar: lan yufliha qaumun wallau amrahum imra`atan . Komentar Nabi saw. ini sangat argumentatif, karena kapasitas Buran yang lemah di bidang kepemimpinan. Obyek pembicaraan Nabi saw. hanya tertuju kepada ratu Buran, putrid Anusyirwan yang kredibilitas kepemimpinannya sangat diragukan. Terlebih di tengah percaturan politik timur tengah saat itu yang rawan peperangan antar suku. Pengembangan yang menyeluruh telah dapat membangkitkan banyak perempuan yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

24

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

pembangunan diikutsertakan

di

berbagai

bidang,

pada dalam

umumnya perumusan,

perempuan perencanaan,

belum dan

secara

menyeluruh

pengambilan keputusan kebijaksanaan pembangunan. Sering terjadi aspirasi kaum perempuan kurang mendapat perhatian. Walaupun banyak perempuan yang sudah mampu memegang jabatan pimpinan, tetapi data statistik belum menunjukkan halhal yang diharapkan. Kenyataanya, hanya sedikit jumlah perempuan yang memegang jabatan dalam pemerintahan dan badan tertinggi maupun tinggi Negara jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal yang demikian disebabkan karena berbagai hal, diantaranya : 1. Tingkat pendidikan perempuan pada umumnya lebih rendah dari laki-laki 2. Masih ada peraturan perundang-undangan nilai social budaya mensyaratkan yang belum sepenuhnya mendukung peningkatan kedudukan perempuan pada umumnya dan penempatan perempuan pada khusususnya 3. Perempuan sendiri sering belum siap secara mental psikologis walaupun kadang-kadang professional. Disamping itu, masih tampak jelas kecenderungan bahwa laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah keluarganya, padahal dewasa ini sudah banyak perempuan yang bekerja sebagai pencari nafkah utama maupun tambahan. Adapun pertimbangan lain yang seorang perempuan secara biologis lebih banyak memerlukan cuti dari pada laki-laki, yang akan mengurangi produktivitas pekerjaannya sehingga dianggap kurang menguntungkan. Seorang perempuan harus memperhatikan kemampuan yang jauh lebih tinggi dari laki-laki, untuk dapat memperoleh kesempatan tumbuh kembang dan menduduki jabatan pimpinan dalam pemerintahan. Ada kalanya perempuan tidak tahu bersikap dan berperilaku dalam menjalankan fungsi kepemimpinan. Hal ini disebabkan karena ia khawatir dianggap tidak feminim bila melakukan fungsi kepemimpinan, juga karena ia belum terlatih untuk menjadi pemimpin. Oleh karena itu perempuan yang menjadi pemimpin berkewajiban membagi dan meneruskan pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya kepada perempuan lain. Seiring dengan perkembangan zaman mereka sudah memenuhi persyaratan kemampuan

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

25

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

dikalangan muslimin khususnya negara kita Indonesia yang berasaskan pancasila, dimana kedudukan setiap warga dalam hak dan kewajiban adalah sama, telah berkembang luas wacana kepemimpinan perempuan, bagaimana hukumnya wanita menjadi hakim, kepala desa, bupati dan menjadi presiden? Terjadilah pro dan kontra diantara para ulama. Mereka berpedoman pada Al Quran, kitab

Fatkhul Bahri, Almizanul Kubro, Bidayatul Mujtahid dan sebagainya, selanjutnya akan saya sampaikan pendapat atau solusi dari K.H. Sahal Mahfudz, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Syuriah PBNU, Menurut beliau: Sebagaian orang mengatakan, Bahwa perempuan sama sekali tidak pantas untuk menjadi pemimpin, bagi laki-laki, penolakan ini disandarkan dengan firman Allah dalam Al Quran surat An-Nisa : 34. Dalam ayat ini dinyatakan dengan tegas bahwa lakilaki adalah pemimpin bagi perempuan bukan sebaliknya. Apabila dilihat secara sepintas memang pendapat tersebut dapat dibenarkan, tetapi perlu peninjauan lebih lanjut. Dalam Tafsir Almaroghi dan Ahkam Al Qur an ketika menafsirkan ayat tersebut menjelaskan, bahwa laki-laki berhak menjadi pemimpin bagi perempuan, karena ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh laki-laki, keunggulan yang mengemuka adalah dalam segi fisik, berusaha atau bekerja (kasbi) dan keunggulan dalam bidang intelektualitas. Sebagai konsekuensi logis dari keunggulan itu maka, laki-laki memiliki hak dan sekaligus kewajiban yang lebih besar dibanding perempuan. K.H. Sahal Mahfudz juga menegaskan, yang perlu diperhatikan sekarang adalah bagaimana apabila kemampuan antara lakilaki dan perempuan sama? Sebagaimana telah diketahui bahwa perempuan sekarang cukup banyak yang terpelajar. Disegala bidang mereka telah tampil aktif, peran mereka begitu besar sebagai pengambil keputusan penting apabila memang benar, bahwa kepemimpinan laki-laki itu dikaitkan dengan kemampuan intelektualitas dan aktifitas. Sebagai illat yang terdapat dalam ayat tersebut bimaa fadl-dlalallahu dan bimaa anfaquu maka tidak ada keberatan apabila perempuan juga menjadi pemimpin jika telah memenuhi kriteria kepemimpinan atau telah memiliki cukup kemampuan intelektualitas dan kemampuan aktifitas. Karena di dalam Islam tidak ada aturan baku bahwa hanya laki-laki yang berhak menjadi pemimpin.

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

26

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

Sesungguhnya perempuan tidak perlu ragu-ragu menjalankan kepemimpinannya. Fakta membuktikan bahwa banyak perempuan menjadi pemimpin yang baik dan disegani. Perempuan tidak perlu bertingkah laku seperti laki-laki untuk menjadi pemimpin yang baik, sebaiknya juga tidak usah ragu-ragu menggunakan pandangan dan pertimbangan sendiri dalam menjalankan kepemimpinannya. Cirri-ciri pemimpin dalam teori-teori organisasi sebagian besar dihubungkan dengan kejantanan, yakni tegas, keras, tidak kenal kompromi, rasional, dan mandiri. Hal ini disebabkan karena yang mengembangkan ilmu manajemen umumnya adalah laki-laki, sehingga hanya ciriciri prialah yang dikenal sebagai cirri-ciri pemimpin yang baik. Menurut Alice Sargent dalam bukunya Androgynous Manager (Andros laki-laki, gynous perempuan), cirri khas

pemimpin yang sukses ialah mereka yang memiliki Percaya diri yang besar dan sanggup menghargai orang lain. Oleh karena itu, pemimpin yang sukses seyogyanya memiliki sifat-sifat yang sabar, tegas tetapi manusiawi. Sifat-sifat tersebut merupakan perpaduan dari ciri / sikap Kejantanan yang baik dan cirri / khas perempuan yang baik pula. Bagi pemimpin laki-laki umumnya, untuk memahami hubungan atau SDM tampaknya masihperlu menoleh pada naluri kepemimpinan perempuan yang luwes dan manusiawi, sebaliknya perempuan pemimpin umumnya masih perlu membekali diri dengan menerapkan pendekatan ketegasan, ketegaran,dan disiplin diri dalam menjalankan kepemimpinan. Sikap kepemimpinan perempuan yang baik seperti teliti dan sabar sebaiknya tetap dipertahankan. Pemimpin yang androgini adalah pemimpin yang memiliki sifat-sifat baik dari peremuan dan sifat-sifat kejantanan yang baik dalam menjalankan tugasnya. Sifat-sifat tersebut pada hakekatnya dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, tetapi karena masyarakat menonjolkan kodrat perempuan, terjadilah sifat yang merupakan akibat dari kodrat tersebut seperti perempuan lebih lemah dari lakilaki. Pentingnya pengetahuan kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan saat ini, khususnya yang dikaitkan dengan peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan. Oleh karenanya perempuan perlu dan harus memahami kebijaksanaan kepemimpinan, meningkatkan pengetahuan, dan keterampilan

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

27

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

sehingga perempuan dapat menjadi pemimpin yang tangguh Pancasilais. Kemampuan dan kemajuan kepemimpinan perempuan sangat dibutuhkan bagi Indonesia yang sedang membangun. Kepemimpinan Pancasila dengan pola kepemimpinan modern, yaitu berorientasi jauh ke depan, berlandaskan pola piker ilmiah, dan berpegang pada prinsip efisien dan efektif, seorang Pemimpin Pancasilais adalah Pemimpin yang beretika.

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

28

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

BAB III SIMPULAN

Simpulan Ditinjau dari jumlah penduduk dan kondisi perempuan di Indonesia pengarusutamaan gender di dalam diperlukan. Terlebih-lebih program-program pembangunan sangat dari kondisi kritis yang terus

bila dilihat

berkepanjangan, dimana perempuan terkena dampak yang paling berat. Hal ini antara lain masih kuatnya budaya bahwa perempuan sebagai pengurus dan pengelola keluarga/rumah tangga. Dilihat dari kondisi perempuan Indonesia saat serius ini ternyata masih dari sangat memerlukan penanganan Berbagai yang cukup

terutama

segi

kebijaksanaan.

hasil

penelitian

membuktikan bahwa berbagai program pembangunan masih bias laki-laki. Akibatnya program- program pembangunan yang dilaksanakan tidak dapat

memenuhi sasarannya dengan tepat. Masyarakat pada umumnya belum banyak dilibatkan baik di dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan, dan hanya berperan sebagai pelaksana pembangunan. Partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan relatif rendah dan masih terbatas pada aspek yang erat hubungannya dengan sektor domestik atau reproduksi. Hal ini sangat jauh dengan peran gender perempuan yang nyata di dalam masyarakat. Bahkan perempuan masih dianggap menyalahi kodrat bila memasuki dunia kebijakan atau politik. Terdapat perbedaan peran gender antara norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dengan kenyataan yang ada, dan peran gender berbeda berdasarkan spesifik lokasi. Masih banyak dijumpai faktor sosial budaya yang

membatasi kebijakan pengarusutamaan gender di dalam pembangunan, baik yang berasal dari norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat, maupun di dalam kondisi keluarga/rumah tangga. Peran perempuan berbeda baik antara lokasi,

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

29

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

waktu, maupun kelas sosial ekonomi. Oleh karena itu kebijaksanaan penyeragaman pembangunan merupakan suatu tindakan yang tidak efektif dan efisien. Partisipasi perempuan di dalam kelembagaan di tingkat lokal relatif tinggi. Hal ini antara lain disebabkan tidak terdapat perbedaan status sosial ekonomi diantara para anggota, dan pada umumnya kelembagaan lokal terbentuk secara otonom sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu penyadaran dan pengarusutamaan gender dapat dilakukan mulai dari pusat, dan di tingkat lokal dapat dilakukan di dalam kelembagaan tradisional yang ada di dalam masyarakat. Pentingnya pengetahuan kepemimpinan perempuan dalam era

pembangunan saat ini, khususnya yang dikaitkan dengan peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan. Oleh karenanya perempuan perlu dan harus memahami kebijaksanaan kepemimpinan, meningkatkan pengetahuan, dan keterampilan sehingga perempuan dapat menjadi pemimpin yang tangguh Pancasilais. Kemampuan dan kemajuan kepemimpinan perempuan sangat dibutuhkan bagi Indonesia yang sedang membangun. Kepemimpinan Pancasila dengan pola kepemimpinan modern, yaitu berorientasi jauh ke depan, berlandaskan pola piker ilmiah, dan berpegang pada prinsip efisien dan efektif, seorang Pemimpin Pancasilais adalah Pemimpin yang beretika.

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

30

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Laela. 2000. Wanita dun Gender dalam Islam. Penerbit Lentera Anonim. 1996. Mengidentifikasi Persoalan Perempuan. Editorial.Analisis Gender. Dalam Memahami Persoalan Perempuan. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4 November. Akatiga. Bandung. Bush,Tony & Coleman, Marianne. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan (Terj. Fahrurrozi). Jogjakarta: IRCiSoD Caplan. 1978. The Cultural Construction of Sexuality. Dalam fakih M. 1996. Gender dalam Analisis Sosial. Edisi 4 Nopember. Akatiga Bandung. Fakih, M. 1996. Gender Sebagai Alat Analisis Sosial. Dalam Analisis Gender Dalam Memahami Persoalan Perempuan. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4 November 1996. Hanartani. 1997. Profil Kedudukan dan Peranan Wanita di NTB. Warta Studi Perempuan, Vol.5, No.1. Harjanti N.T.1991. Kedudukan dan Peran Perempuan Menurut Hukum dan Dalam Prakteknya di Indonesia. Warta Studi Perempuan, No.3, Vol.2. Hastuti, E.L. 2004. Pemberdayaan petani dan kelembagaan Lokal Dalam Perspektif Gender. Working Paper. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Hastuti, et.al. 1998. Studi Peranan Wanita Dalam Pengembangan Usaha Pertanian Spesifik Lokasi. P/SE. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Homzah, S. Peranan Wanita Dalam Usaha Tani Ternak Sapi. Seminar Nasional Fungsi Sosial Ekonomi Indonesi. Cibubur. ______. http://www.portalhr.com/resensibuku/5id13.html

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

31

Pendidikan Kepemimpinan Perempuan Berazaskan Pancasila

Irawan, B., et.al. 2001. Studi Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Kusuma, Ardian. Multidisipliner Perempuan . http://ardiankoesoema.multiply.com/journal/item/60. 9 Februari 2009 Mahendra, Yusril Ihza. Hanya Satu Kata Maju .http://yusril.ihzamahendra.com/2008/07/10/hanya-ada-satu-katamaju/comment-page-8/ .9 Februari 2009 _______ Kepemimpinan Perempuan . http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/25/kepemimpinanperempuan/. 15 maret 2009 _______. Wanita dalam sebuah Personalia . http://melayuonline.com/personage/?a=a1RWL29QTS9VenVwRnRCb20% 3D=&l=agus-salim. 9 Februari 2009 _______. Sejarah Persamaan Gender . http://melayuonline.com/personage/?a=bVJ3L29QTS9VenVwRnRCb20%3 D. 9 Februari 2009 S.R. Seomartoyo. 2002. Pemberdayaan Perempuan di Indonesia dan Peluang Untuk Pemberdayaan Ekonomi Perempuan. Disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan pada The ACT Seminar and Summit. Japan-Indonesia: Dinamic Relationship for Regional Development.

Sjaifudin, H. 1992. Gender Marginalisasi dan Pekerjaan di Pedesaan. Wanita Pengusaha, Tenaga Kerja Upahan dan Tenaga Kerja di Jawa Barat. Warta Studi Perempuan, No.2. Vol.III. Sjaifudin, H. 1996. Sensitifitas Gender Dalam Perumusan Kebijakan Publik. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4, November 1996. Stevens, A.M. 1974. The Mystical World of Indonesia. London. The John Hopkin University Press.

Manajemen Organisasi Personalia dan Kepemimpinan

32

This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai