Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“Kesenjangan Gender di Bidang Pendidikan”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Gender

Dosen Pengampu
Prof. dr. Tri Marhaeni Pudji Astuti, M.hum.

Disusun Oleh:

1. Sitti Dewi Katraini 3401412136


2. Khoriskiya Novita 3401414011
3. Dian DwiNurhayati 3401414038
4. Leo Anggit Sasongko 3401414018
5. Ayu Ratna Sari 3401414068

Rombel I

JURUSAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSIRSITAS NEGERI SEMARANG

2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang Masalah


Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menyampaikan
maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan
pembangunan di setiap lapisan masyarakat karena nilai dan norma yang berada di
tengah-tengah masyarakat itu telah dibangun kuat melalui budaya. Pendidikan
yang tidak diskriminatif akan sangat bermanfaat bagi perempuan maupun laki-
laki, terutama untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan diantara keduanya
sehingga dapat mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kedamaian abadi
dalam kehidupan manusia. Pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan
sebagai unsur utama pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk dari
konstruksi sosial, dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi
terbentuknya relasi gender di masyarakat.
Salah satu contoh ketimpangan gender masyarakat di Indonesia, terdapat
sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di area
domestik, seringkali anak perempuan terhambat untuk memperoleh kesempatan
yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Hal ini umumnya dikaitkan dengan
tugas laki-laki kelak apabila sudah dewasa dan berumah tangga, yaitu harus
menjadi kepala rumah tangga dan percari nafkah. Hal ini merupakan fakta yang
telah terkonstruk di masyarakat Indonesia pada umumnya walaupun dalam segi
agama Islam membenarkan bahwa laki-laki (kepala keluarga) berperan sebagai
pencari nafkah.
Kesenjangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan dalam bidang
pendidikan banyak terlihat di satuan tingkat pendidikan. Salah satu tugas satuan
tingkat pendidikan atau sekolah adalah tidak membiarkan berlangsungnya
ketidakadilan gender yang selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran
palsu yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai agen perubahan, perempuan
dan laki-laki harus memiliki akses yang sama, setara dan adil terhadap partisipasi,
kontrol dan manfaat pendidikan.

2
Peserta didik, tenaga kependidikan, kepala sekolah, dewan pendidikan dan
komite sekolah serta orang tua memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan adil
dalam memperoleh manfaat dari pelayanan pendidikan sehingga dapat
menurunkan angka kesenjangan partisipasi dalam pendidikan. Upaya tersebut
memerlukan dukungan kebijakan, program sampai dengan kegiatan yang
terintegrasi dengan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan
dan laki-laki.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kesetaraan gender dalam dunia pendidikan di Indonesia?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksetaraan gender dalam
bidang pendidikan?
3. Bagaimana masalah gender yang terjadi di Indonesia?
4. Bagaimana reformulasi kebijakan pendidikan yang responsif gender?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kesetaraan gender dalam dunia pendidikan di Indonesia
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksetaraan
gender dalam bidang pendidikan
3. Untuk mengetahui masalah gender yang terjadi di Indonesia
4. Untuk mengetahui reformulasi kebijakan pendidikan yang responsive
gender

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kesetaraan Gender dalam Dunia Pendidikan di Indonesia


Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara jenis kelamin
atau seks. Jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 1996
dalam Handoyo, dkk. 2015). Misalnya manusia jenis kelamin laki-laki adalah
manusia yang memiliki penis, jakun dan memproduksi sperma, sedangkan
manusia jenis kelamin perempuan adalah memiliki rahim, payudara, vagina, dan
mempunyai indung telur. Organ-organ tersebut secara biologis melekat pada diri
manusia laki-laki dan perempuan secara permanen dan tidak dapatdipertukarkan
karena merepukan ketentuan biologis atau sering disebut kodrat, berbeda dengan
jenis kealamin gender dipahami suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural karena konstruksi
tersebut berlangsung selama terus menerus dan dilanggengkan dalam berbagai
pranata sosial maka seolah-olah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan tersebut merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh keduanya.
Seperti halnya pendidikan yang harus dibekali untuk laki-laki maupun perempuan.
Pada UUD 1945 pasal 31 ayat (1) yaitu: “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran”. Pendidikan merupakan hak bagi seluruh Warga Negara
Indonesia baik laki-laki maupun perempuan.
“Upaya untuk mencapai kesetaraan gender melalui akses pendidikan
merupakan langkah awal yang baik. Namun demikian, memiliki akses yang setara
belum menjamin tercapainya kesetaraan itu sendiri. Untuk mencapai kesetaraan
gender dalam pendidikan, diperlukan kesempatan yang sama untuk laki-laki
maupun perempuan dan perlakuan yang setara dan adil. Perlakuan tersebut pada
gilirannya akan meningkatkan kesetaraan yang lebih luas dalam kinerja
pembelajaran dan hasil-hasilnya. Lebih jauh lagi, anak-anak Indonesia
diharapkan akan mendapatkan kesempatan yang setara di pasar tenaga kerja dan

4
bidang kehidupan lainnya.” Nina Sardjunani, Deputi Meneg PPN/Kepala
Bappenas Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan.
Kesetaraan gender dalam pendidikan mencakup pengalaman murid laki-
laki dan perempuan di sekolah. Berbagai pengalaman ini terkait dengan perlakuan
yang setara oleh guru, kurikulum, buku teks, materi pembelajaran yang tanggap
gender, dan juga lingkungan belajar dan hasil pembelajaran. Mencapai kesetaraan
dalam kesempatan belajar serta pencapaian hasil belajar untuk laki-laki maupun
perempuan merupakan tantangan utama Pemerintah Indonesia dalam dasawarsa
mendatang.

1. Kesetaraan Gender dalam Kurikulum


Kurikulum memiliki peran pokok dalam menjamin bahwa anak laki-
laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara dalam mencapai
keberhasilan dan memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi. Namun
demikian, bias gender dalam kurikulum dan materi belajar mengajar masih
banyak ditemukan di negara-negara berkembang dan berpendapatan
menengah. Melalui teks dan gambar atau foto yang bias gender, stereotip
gender menjadi lebih diperkuat lagi. Hasil analisis gender dalam buku teks
di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2011 juga menemukan adanya bias
gender yang cukup banyak dalam buku pelajaran di Indonesia.
Praktik yang baik dalam kesetaraan gender ke dalam kurikulum dan
materi pengajaran termasuk revisi berkala dari materi-materi ini untuk
menyertakan pendekatan yang sensitif gender dan perspektif gender. Yang
juga termasuk dalam upaya ini adalah pembentukan lembaga formal yang
bertugas untuk menghilangkan stereotip gender dalam buku pelajaran dan
materi pembelajaran lainnya.
Dalam teks verbal, beberapa contoh kalimat atau bacaan yang
mengandung bias gender adalah sebagai berikut:
a. Ibunya masih sibuk dengan memasak. Ani segera berganti baju
dan pergi ke dapur. Ia mencuci sayuran. Ia mencuci gelas dan
piring yang kotor. (J.P.P Suroyo dan Y.B. Sudamanto, 2001,
PPKn: Grasindo)

5
b. Sudah menjadi kebiasaan Ibu Berta sejak pagi pukul 0,5.00 sibuk
di dapur mempersiapkan sarapan untuk keluarga. Pak Parno,
suami Ibu Berta, sibuk dengan tugasnya menyapu halaman dan
memberi pakan ternaknya. (Sukaryadi, Rini Ningsih, dan Sahari,
2003, PPKn Kelas 6 SD, Yudhistira).
c. Apabila ibu sedang repot, Mira suka membantunya. Mira sudah
dapat menyapu halaman. Mira juga senang membantu mencuci
piring dan gelas. (Enco Sartono dan R. Suharsanto. 1997, PPKn:
Yudhistira)
d. Andi dan Anti terbiasa bangun pagi. Setelah bangun, Andi
membersihkan halaman rumah, sedangkan Anti membantu
ibunya di dapur. (Sahari, dkk, 2003, PPKn untuk Kelas 3 SD,
Yudhistira).
e. Setelah mandi, Mirna membantu ibunya menyiapkan makan pagi
kemudian makan bersama ayah, ibu dan adiknya. (Sahari, dkk,
2003, PPKn untuk Kelas 3 SD, Yudhistira).
f. Pekerjaan Ibu jadi lebih ringan. Ayah membeli mesin cuci (A.
Malik Thachir dkk, 2000, Bina Bahasa Indonesia 6B, Erlangga)
g. Pak Hasan dan Ibu Indri mempunyai dua orang anak….Putraya
sudah lulus sarjana teknik. Putrinya tidak lama lagi akan lulus
sarjana pendidikan… (Saidihardjo, 2004, Cakrawala
Pengetahuan Sosial 3A, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri).
h. Pak Rahmat adalah seorang karyawan perusahaan swasta yang
rajin dan disiplin. Pak Rahmat bekerja untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Pak Rahmat bekerja pukul 8.00-17.00
WIB setiap harinya. Bu Siti Nurhidayat, isteri Pak Rahmat
adalah seorang guru taman kana-kanak yang sabar dan
penyayang…Bu Nurhidayat biasa bekerja pukul 7.00-12.00 WIB
setiap harinya. (Saidihardjo, 2004, Cakrawala Pengetahuan
Sosial 3A, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri).
i. Pada umumnya, ayah berperan sebagai pencari nafkah keluarga.
Di samping itu, ayah berperan sebagai kepala keluarga bagi ibu

6
dan anak-anak. … Pada umumnya, ibu sebagai pengatur rumah
tangga. Kadang-kadang ibu membantu ayah atau suami dalam
mencari nafkah tambahan bagi keluarga. Untuk anak-anaknya,
ibu berperan membimbing, merawat, mengasuh, dan mendidik.
(Saidihardjo, 2004, Cakrawala Pengetahuan Sosial, 3A, Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri).

2. Kesetaraan Gender dalam Pengembangan Guru


Praktik yang baik dalam pengembangan guru untuk mendukung
kesetaraan gender berarti melengkapi pemahaman guru terkait kesetaraan
gender di kelas, di lingkungan sekolah dan sekitarnya, dan dalam
masyarakat umumnya. Untuk mencapai hal ini, guru perlu memiliki
kemampuan untuk mempromosikan pemahaman ini di kelas dan
mengembangkan strategi dan solusi praktis dalam mengatasi berbagai
tantangan pembelajaran yang dihadapi murid laki-laki maupun perempuan.
Pelatihan dalam kesetaraan gender akan sangat efektif jika diintegrasikan
dalam pelatihan pre-service serta in-service untuk guru. Untuk melakukan
pelatihan ini dengan baik, lembaga dan jaringan pelatihan guru memerlukan
kapasitas yang memadai dalam mengajarkan pedagogi pembelajaran aktif.
Adapun pengajaran materi tersebut sebaiknya memiliki muatan perspektif
kesetaraan gender dalam pengembangan pelatihan termasuk dalam hal
kemampuan dan pengetahuan pelatih dalam menyampaikan materi
pelatihan.

3. Kesetaraan Gender dalam Pencapaian Hasil Pembelajaran


Disparitas gender dalam pencapaian hasil pembelajaran bukannya
tidak bisa dihindari. Tidak ada perbedaan yang mendasar dalam kemampuan
murid laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran matematika, IPA, dan
membaca. Jika kondisinya mendukung, kinerja murid laki-laki dan
perempuan akan sama dalam mata pelajaran-mata pelajaran tersebut. Dalam
memilih spesialisasi mata pelajaran di tingkat menengah atas dan lebih
tinggi, guru pembimbing cenderung tidak mendorong murid perempuan

7
untuk memilih mata pelajaran dan kemungkinan karier yang secara
tradisional dianggap didominasi laki-laki. Karena faktor-faktor seperti
persepsi guru pembimbing tersebut dan stereotip gender dalam kemampuan
laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran matematika dan IPA pada
tingkat sekolah dasar dan menengah, masih sedikit murid perempuan, jika
dibanding dengan murid laki-laki, yang mengambil kelas terkait IPA atau
teknologi di SMK atau jenjang lebih tinggi. Stereotip gender mendorong
perempuan untuk memiliki karier di bidang administrasi, perkembangan
anak, pendidikan dan kesehatan publik, sementara laki-laki dalam bidang
sains, teknik, teknologi, dan hukum. Kesetaraan secara eksternal dicapai
ketika perempuan dan laki-laki memiliki status yang setara dalam akses
terhadap barang dan sumber daya, dalam berkontribusi, berpartisipasi, dan
memanfaatkan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Hal ini
berimplikasi pada kesempatan yang sama dan sejajar dalam berkarier dan
mendapatkan penghasilan antara perempuan dan laki-laki yang memiliki
kualifikasi dan pengalaman yang sama.
Walaupun dimensi kesetaraan ini berada diluar sistem pendidikan,
pencapaian kesetaraan dalam pendidikan berfungsi sebagai katalis dan
memberikan kontribusi terhadap adanya pemahaman mengenai kesetaraan
antara perempuan dan laki-laki di bagian lain kehidupan, termasuk pasar
tenaga kerja dan ruang domestik lainnya.

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidaksetaraan Gender dalam


Bidang Pendidikan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksetaraan gender dalam bidang


pendidikan dapat dikelompokan ke dalam empat faktor mendasar, yaitu faktor
partispasi, faktor akses, faktor kontrol, dan faktor manfaat.
1. Faktor Partisipasi
Kesenjangan angka partisipasi pendidikan di SD menurut jenis
kelamin lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat daripada dipengaruhi oleh
ketersediaan fasilitas pendidikan yang sudah tersebar relatif merata.

8
Faktor-faktor sosial-budaya tersebut antara lain adalah nilai dan sikap yang
dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat berkaitan dengan fungsi
dan peran jenis kelamin. Pada umumnya masyarakat beranggapan laki-laki
adalah penopang ekonomi keluarga (bread winner) dan oleh karena itu
lebih penting untuk memperoleh pendidikan daripada anak perempuan
yang dianggap lebih berperan di lingkungan keluarga (domestic function).
Faktor nilai sosial-budaya itu berkaitan dengan factor ekonomi,
misalnya jika ketersediaan biaya sekolah sangat terbatas, sedangkan anak
yang akan bersekolah ada dua orang yaitu laki-laki dan perempuan, maka
sebagian keluarga akan lebih memilih anak laki-laki untuk menempati
prioritas untuk bersekolah daripada anak perempuan. Sebaliknya, faktor
kesenjangan pendidikan di SLTP menunjukkan kecenderungan yang
sedikit berbeda. Perbedaan kesempatan memperoleh pendidikan di SLTP
menurut jenis kelamin cenderung lebih dipengaruhi oleh kondisi
keterjangkauan fasilitas pendidikan atau jarak antara rumah dan sekolah,
terutama di daerah-daerah pedesaan terpencil, yang sulit dijangkau. Faktor
kondisi keterjangkauan fasilitas pendidikan dapat memperkecil
kemungkinan bagi perempuan untuk bersekolah.
Kesempatan belajar di SMU sudah mulai menunjukkan
keseimbangan gender. Namun berbagai gejala yang ditemukan
menunjukkan bahwa perempuan kurang terwakili (underrepresented)
dalam komposisi murid di SMK dan pendidikan tinggi. Gejala tersebut
merupakan akibat dari adanya stereotipe dalam masyarakat tentang peran
gender. Perempuan lebih banyak terdaftar pada jurusan atau program studi
tentang ilmu-ilmu perilaku dan pelayanan sosial, seperti psikologi, Ilmu
Pendidikan, perawat kesehatan, dan bisnis.
Sementara itu, laki-laki mendominasi jurusan atau program studi
berkaitan dengan ilmu-ilmu mumi dan "ilmu-ilmu keras" (basic and hard
sciences) seperti ilmu pengetahuan alam, otomotif, teknologi, industri, dan
sejenisnya. Di samping lebih rendahnya angka partisipasi perempuan pada
setiap jenjang pendidikan, laki-laki cenderung lebih aktif berpartisipasi
dalam proses pembelajaran di sekolah atau perguruan tirggi.Hal ini

9
disebabkan oleh nilai dan sikap masyarakat yang menganggap peran laki-
laki lebih penting dalam berbagai dimensi kehidupan. Laki-laki masih
dominan berperan sebagai kepala keluarga, pemimpin masyarakat serta
pemimpin dalam lembaga-lernbaga birokrasi.
Perempuan lebih mampu bertahan di sekolah dan menyelesaikan
studi dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena jumlah perempuan
masih sedikit dalam komposisi murid sekolah. Untuk itu, partisipasi
perempuan telah terseleksisecara baik. Di samping itu, perempuan
dianggap memiliki karakteristik yang dapat mendorong keberhasilan
mereka, seperti ketelitian, ketekunan, kesabaran dan kesungguhan yang
lebih menonjol daripada yang dimiliki laki-laki.

2. Faktor Akses
a. Akses perempuan dalam penulisan buku pelajaran yang terbatas
menyebabkan proporsi penulis buku pelajaran didominasi oleh laki-
laki yang belum responsif gender sangat besar yakni 85%.
b. Terdapat keterbatasan akses bagi perempuan untuk menjadi tenaga
pengajar terutama pada SLTP ke atas. Akibahrya, proses pembelajaran
belum berorientasi terhadap kesetaraan gender, serta lebih
menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan
(bias againts female). Hal ini diperparah lagi oleh kesadaran guru akan
kesetaraan gender yang masih rendah.
c. Akses bagi perempuan terhadap jurusan-jurusan ilmu dasar seperti
fisika, kimia, biologi serta ilmu-ilmu keras lainnya seperti teknologi
dan industrimasih rendah. Hal ini bukan diakibatkan oleh sistem
seleksi masuk PT yang kurang sensitif gender, tetapi lebih disebabkan
oleh rendahnya proporsi perempuan yang memilih jurusan IPA atau
Matematika di SMU.

3. Faktor Kontrol
a. Dalam keluarga, ayah berfungsi sebagai kepala keluarga. Nilai, sikap,
pandangan, dan perilalu ayah sebagai kepala keluarga berpengaruh di

10
dalam proses pengambilan keputusan keluarga, khususnya keputusan
untuk memilih jurusan atau keahlian bagi anak-anak. Perempuan yang
dianggap sebagai pemeran fungsi domestik (domestic roles), lebih
diarahkan untuk memilih jurusan atau keahlian yang dianggap oleh
orangtua sesuai dengan peran jenisnya, seperti psikologi, bahasa dan
sastra, dan perawat kesehatan. Di pihak lain, laki-laki yang dianggap
sebagai penopang ekonomi keluarga (bread winner), diarahkan untuk
memilih ilmu-ilmu dasar dan teknologi seperti teknologi dan industri.
b. Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan di bidang
pendidikan masih lebih rendah daripada laki-laki. Keadaan ini dapat
mempengaruhi kebijakan pendidikan yang kurang sensitif gender yang
selanjutnya membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi
perempuan.

4. Faktor Manfaat
a. Pemegang kebijakan dalam struktur pemerintahan didominasi oleh
laki-laki, khususnya di lingkungan pendidikan. Hal ini disebabkan
oleh sedikitnya jumlah perempuan yang memperoleh kesempatan
untuk memegang jabatan birokrasi. Dengan latar belakang
pendidikan yang kurang, perempuan tertinggal jauh dalam
menduduki posisi penting dalam jabatan-jabatan struktural saat ini.
PNS perempuan hanya menempati proporsi 35,4 %. Data juga
menunjukkan semakin tinggi golongan jabatan semakin kecil
proporsi perempuan yang ada di dalamnya.
b. Sebagai akibat dari ketidaksetaraan gender dalam bidang
pendiidkan, serta dalam pemilihan jurusan-jurusan keahlian maka
laki-laki memiliki kesempatan memperoleh keahlian dan status
profesional yang tinggi. Akibatnya, rata-rata penghasilan laki-laki
lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata penghasilan perempuan.

2.4 Masalah Gender yang Terjadi di Indonesia

11
Berdasarkan kesenjangan gender serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya, dapat diidentifikasikan beberapa masalah gender dalam
pembangunan pendidikan yang perlu mendapat perhatian-lebih lanjut.
a. Kesenjangan gender yang paling menononjol terjadi di SD SMK dan PT,
tetapi lebih seimbang pada SD, SLTP dan SMU. Namun demikian, masih
terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan makin
lebar kesenjangan gendernya. Kesenjangan ini secara umum dipengaruhi
oleh nilai sosial budaya patriarki yang dianut masyarakat Indonesia, mulai
nilai-nilai yang berkaitan dengan pentingnya pendidikan untuk perempuan
(khususnya pada pendidikan dasar) sampai dengan nilai-nilai yang
berkaitan dengan peran jenis kelamin dalam masyarakat dalam kaitannya
dengan memilih jurusan atau keahlian pendidikan.
b. Buku pelajaran yang bias gender, khususnya yang berhasil diamati pada
mata-mata pelajaran tertentu seperti PPKN, Bahasa Indonesia, Ilmu
Pengetahuan Sosial, Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani, dan
sejenisnya, akan mempertahankan kesenjangan gender dalam waktu lama.
Hal ini juga akan mengakibatkan perempuan tetap dianggap sebagai warga
negara yang kurang produktif.
c. Rendahnya angka partisipasi perempuan dalam pendidikan akan
mengakibatkan proses pembelajaran menjadi kurang efisien. Hal ini
dipengaruhi oleh kemampuan perempuan yang relatif lebih tinggi untuk
bertahan dan menyelesaikan studi di sekolah. Hal ini dibuktikan dengan
lebih rendahnya angka putus sekolah dan angka mengulang kelas bagi
murid perempuan dibandingkan murid laki-laki, serta lebih tingginya
angka kelulusan dan angka bertahan (retention rate) murid perempuan
dibandingkan laki-laki.
d. Posisi perempuan yang kurang strategis dalam proses pengambilan
keputusan di bidang pendidikan, mengakibatkan kesenjangan gender
terlembagakan (institutionalized) dalam berbagai dimensi sistem
pendidikan. Sikap para pengelola dan pelaksana pendidikan yang masih
bias gender secara konsisten dan berkesinambungan mengakibatkan
terjadinya kesenjangan gender yang bertahan dalam waktu yang lama.

12
e. Masih terjadinya gejala pemisahan gender (gender segregation) dalam
pemilihan jurusan atau program studi yang berakibat kepada diskriminasi
gender (gender discrimination) pada institusi-institusi pekerjaan dan
sistem penggajian. Kenyataan yang disebabkan oleh nilai dan sikap
keluarga yang dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya masyarakat kemudian
mengakibatkan adanya bias gender dalam peran-peran sosial yang
berbeda.

2.5 Reformulasi Kebijakan Pendidikan yang Responsif Gender


1. Kebijakan Pendidikan yang Responsif Gender
Pembangunan pendidikan nasional dilakukan dengan arah
kebijakan yang telah ditetapkan dalam Propenas 2000, sebagai berikut:
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju
terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan
anggaran pendidikan secara berarti.
b. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu tinggi sehingga tenaga pendidik mampu
berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan
watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga
dan tenaga kependidikan.
c. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan
kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani
keberagaman peserta didik, pen)rusunan kurikulum yang berlaku
nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta
diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.
d. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar
sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta
meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh
sarana dan prasarana yang memadai.
e. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional
berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.

13
f. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan
baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem
pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
g. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara
terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan
reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat
berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan
lindungan sesuai dengan potensinya.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan pembangunan di setiap
lapisan masyarakat karena nilai dan norma yang berada di tengah-tengah
masyarakat itu telah dibangun kuat melalui budaya. Salah satu nilai dan
norma yang dibangun kuat utamanya di bidang pendidikan adalah mengenai
gender. Contohnya seperti masalah-masalah kesenjangan gender yang
disebab internalisasi budaya patriarki dalam menentukan pemimpin sebuah
organisasi siswa. Kemudian juga pada buku pelajaran sekolah yang lebih
banyak menonjolkan unsur patriarki. Masih banyak juga terjadinya gejala
pemisahan gender dalam pemilihan jurusan atau program studi yang berakibat
pada diskriminalisasi gender. Masih rendahnya angka pertisipasi perempuan
dalam dunia pendidikan dan posisi perempuan yang kurang strategis di
bidang pendidikan. Dengan kata lain, ketidakadilan gender yang terdapat di
lingkungan pendidikan Indonesia semestinya mulai diminimalisir melalui
rekomendasi-rekomendasi berikut, seperti yang ada dibawah ini.

3.2 Rekomendasi
Permasalahan yang tersebut diatas dapat diminimalisir dengan reformasi
kebijakan pendidikan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
perluasan dan pemerataan pemperoleh pendidikan yang bermutu tinggi,
meningkatkan kemempuan tenaga pendidik terutama pada watak dan
budipekerti agar mengembalikan wibawa lembega dan tenaga
pendidikan, melakukan pembaharuan sistem pendidikan,
memberdayakan lembaga pendidikan, melakukan pementapan sistem
pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, meningkatkan
kualitas tenaga pendidikan, dan mengembangkan kualitas sumber daya
manusia.

15
DAFTAR PUSTAKA

Amal, S. H. 2007. Anggaran responsif gender: pendekatan baru dalam


pemberdayaan perempuan. Dalam Anggaran responsfi gender konsep dan
aplikasi (hal. 8). jakarta: Civic Education and Budget Transparency
Advocation.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. 2013. Buku
Analisis Statistik Pendidikan Islam Tahun Pelajaran 2011/2012.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.
Malonda, B. F. 2009. Peranan Perempuan dan Pembangunan Di
Indonesia. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik, 206-216.

Maya Fitria, A. F. 2011. Keadilan Gender dan Hak- hak Reproduksi. Jurnal
Psikologi UGM, 1-16.

Mujamil. 2005. Pesantren: dari Transformasi Metodologi menuju


Demokratisasi Institusi. Erlangga: Jakarta.
Naqiyah, N. 2005. Otonomi Perempuan. Malang: Bayumedia Publishing.
Noer, K. U. 2009. Diskursus Gender di Pondok Pesantren:. Masyarakat
Kebudayaan dan Politik, 86-94.
Nugroho, R. (2008). Gender dan Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

https://bukunnq.wordpress.com/isu-gender-dalam-bahan-ajar/

16

Anda mungkin juga menyukai