Anda di halaman 1dari 3

Permasalahan Gender di Dunia Pendidikan Terbaru 2017

Beberapa alasan bahwa kualitas pendidikan yang rendah adalah diakibatkan oleh adanya
diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan
yaitu:

Akses

Akses merupakan fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan
namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap
wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh
perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya
orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan
kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah.
Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat
mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan
banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.

Partisipasi

Aspek partisipasi di dalamnya mencangkup faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam
masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan
tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk
memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan
bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk
sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah
dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari
nafkah.

Manfaat dan penguasaan

Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan. Pendidikan
tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”narasumber” bagi segala
pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu
gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara
formal termasuk di sekolah.

Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”narasumber”
bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan
dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang
berlangsung secara formal termasuk di sekolah.

Murid laki-laki dan perempuan dapat memiliki pengalaman yang berbeda pada saat mereka belajar
di kelas. Hal ini dapat mempengaruhi berbagai faktor seperti tingkat partisipasi di kelas dan
pencapaian hasil belajar. Nilai sosial dan budaya dan stereotip gender dapat dengan tidak sengaja
terjadi di dalam kelas dan di sekolah melalui interaksi antara guru dan murid maupun diantara
murid.
Pendekatan mengajar dan metode yang digunakan dalam mengajar, menilai, dan berinteraksi
dengan murid bisa menjadikan murid laki-laki sebagai favorit ketimbang murid perempuan. Hal ini
berhubungan dengan kebiasaan di Indonesia di mana murid perempuan sering tidak didorong untuk
berbicara di depan umum untuk menyatakan opini mereka atau mempertanyakan otoritas yang
sebagian besar di bawah kendali laki-laki.

Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid,
dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat
istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan
tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa
laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi
siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan
mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses
pembelajaran di sekolah.

Pada kasus ketidakpemerataan gender yang terdapat pada dunia pendidikan Indonesia ini
mencerminkan mendarahdagingnya teori Nurture. Teori gender ini dicetuskan pertama kali oleh
John B. Watson pada tahun 1925 (catilla.wordpress.com). Menurut teori ini adanya perbedaan
perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan
tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut yang membuat perempuan tertinggal dan terabaikan.

Kontribusi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan
perempuan sebagai kelas proletar. Seperti halnya pada masyarakat kita, secara tidak langsung
kesalahan gender yang terjadi sekian abad silam menjadi membudaya. Mulai dari zaman prasejarah
yang menganggap bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, sehingga tugasnya hanya
meramu dan menjaga anak. Dan dewasa ini perempuan masih juga di subordinasikan sebagai
perempuan yang kurang mampu mengemban tugas yang dirasa berat, dikarenakan perempuan lebih
cenderung lebih memakai perasaannya dibanding dengan logika.

Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang
dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun
bermasyarakat. Yaitu terjadi ketidakadilan gender, maka beralih pada teori nature(Teori nature
memandang perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh faktor-faktor
biologis kedua jenis kelamin tersebut).

      
Recommended by

Adanya ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan,
namun berdampak pula terhadap laki-laki. Hal ini sejalan dengan Marhaeni Tri (2011)menyatakan
bahwa suatu system dan struktur yang disengaja atau tidak disengaja diciptakan oleh laki-laki dan
untuk laki-laki. Karena masalah gender adalah masalah tentang sosial yang harus dibicarakan olah
pihak perempuan maupun laki-laki.

Merujuk pada teori Nurture dan jika dikaitkan dengan fenomena pendidikan di Indonesia saat ini,
sangat nampak dengan jelas bahwa pemikiran kolotyang bersarang pada persepsi manusia Indonesia
tentang perbedaan kelas yang dimiliki oleh kaum laiki-laki dan perempuan masih susah untuk
dihilangkan. Dengan masuknya ke dalam sistem pendidikan, hal ini menimbulkan ketakutan apabila
siswa yang membaca buku-buku dengan persepsi ini, lalu ilmu tersebut merasuk dan bersarang
dipikiran mereka, maka persepsi ini tentu saja akan semakin melekat dan berturun kepada generasi-
generasi berikutnya sehingga ketimpangan gender ini tidak akan pernah pudar.

Anda mungkin juga menyukai