Anda di halaman 1dari 12

Identifikasi Isu Gender: Patriarki dalam Berbagai Aspek Pendidikan di Madura

Muhammad Nasiruddin, Ery Santika Adirasa, Zainul Abidin Zamroni


Pascasarjana UIN MALIK IBRAHIM MALANG, Indonesia

Abstrak:
Patriarki merupakan isu global yang sulit dihapuskan, termasuk dalam aspek pendidikan di
Madura. Sistem patriarki menempatkan kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam segala
aspek kehidupan, termasuk dalam akses perempuan untuk menempuh pendidikan tinggi.
Diskriminasi pendidikan pada perempuan di Madura terjadi karena perempuan diharapkan
mengambil bagian dalam sektor domestik, sementara laki-laki ditempatkan di sektor publik.
Budaya pernikahan dini juga mempengaruhi kesetaraan gender di Madura, di mana hak anak
perempuan sejak lahir diarahkan oleh orang tua bahkan dalam dunia pendidikan seorang anak
perempuan dianggap tidak penting. Fenomena patriarki juga terjadi dalam karier
kepemimpinan perempuan di sekolah. Oleh karena itu, pendidikan gender dalam perspektif
Islam dan feminisme menjadi penting untuk memahami kompleksitas isu gender dan patriarki
dalam berbagai aspek pendidikan di Madura. Dalam penelitian ini, kami mengidentifikasi isu-
isu gender masyarakat Madura utamanya adalah isu patriarki yang ter-relevansikan dengan
budaya mereka, serta faktor-faktor sosial, budaya, dan agama yang mempengaruhi pola-pola
tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi, partisipatif,
wawancara, dan analisis dokumen. Hasil penelitian kami mengungkapkan hasil identifikasi isu
gender yang unik dalam masyarakat Madura, termasuk pengaruh budaya patriarki, nilai-nilai
adat, dan tradisi agama lokal. Temuan ini memberikan wawasan baru tentang dinamika
perempuan dalam konteks mendapatkan akses pendidikan dan relevansinya dalam masyarakat
yang semakin modern dan global.
Keywords: Identifikasi, Gender, Patriarki, Aspek Pendidikan, Madura
Pendahuluan
Budaya patriarki yang masih kuat di Madura telah menyebabkan terjadinya diskriminasi
terhadap perempuan terkait kesetaraan gender, termasuk dalam hal akses pendidikan.
Meskipun ada kemajuan dalam pendidikan di Madura, perempuan di sana sering menghadapi
tantangan yang menghambat akses mereka ke pendidikan yang setara. Norma-norma patriarkal
yang masih berakar kuat di masyarakat, seperti harapan peran gender yang terbatas bagi
perempuan, pembagian kerja yang tidak adil, dan pemahaman yang kurang mendukung
terhadap hak pendidikan perempuan, menyebabkan kesenjangan gender dalam akses
pendidikan. Inisiatif dan tindakan kolektif perlu dilakukan untuk mengatasi hambatan ini dan
mendorong kesetaraan gender di Madura.1

Budaya patriarki dalam masyarakat sering kali mengutamakan pendidikan bagi laki-laki,
sementara perempuan dianggap hanya memiliki peran domestik. Ini menyebabkan pengabaian
terhadap pendidikan perempuan, terutama yang berasal dari keluarga miskin. Selain itu,

1
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan.1995, Setara di Hadapan Allah, (Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa,).
Hal.3
infrastruktur pendidikan yang buruk di daerah-daerah miskin juga berdampak pada kesempatan
akses pendidikan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya yang komprehensif,
termasuk pemberian bantuan keuangan, perubahan budaya yang menghargai pendidikan
perempuan, dan peningkatan infrastruktur pendidikan di daerah miskin. Hanya dengan
langkah-langkah ini, kesempatan pendidikan yang setara dapat diberikan kepada semua
perempuan, tanpa memandang latar belakang sosial-ekonomi mereka. 2
Dalam penelitiannya Nina Nurmila, PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP
PEMAHAMAN AGAMA DAN PEMBENTUKAN BUDAYA, beliau menjelaskan Patriarki
merupakan sebuah sistem yang menempatkan laki-laki dewasa pada posisi sentral atau yang
terpenting, sementara yang lainnya seperti istri dan anak diposisikan sesuai kepentingan the
patriarch (laki-laki dewasa tersebut). Dalam sistem patriarki, perempuan diposisikan sebagai
istri yang bertugas mendampingi, melengkapi, menghibur, dan melayani suami (the patriarch),
sementara anak diposisikan sebagai generasi penerus dan penghibur ayahnya. Sistem ini
berpengaruh terhadap pemahaman agama, dalam hal ini ajaran Islam. Memahami agama
dengan lensa patriarki dapat melahirkan budaya patriarki yang memosisikan perempuan harus
selalu dan senantiasa di bawah laki-laki dan lakilaki harus selalu dan senantiasa berada di atas
perempuan, yaitu dalam posisi memimpin, mengatur, dan mengusai, terlepas apakah laki-laki
tersebut mampu dan memenuhi syarat atau tidak. Pemahaman agama dengan lensa ini
melahirkan ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan, padahal Islam diyakini sebagai
agama yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan dan keadilan, bahkan menentang patriarki.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman baru terhadap agama dengan menggunakan perspektif
keadilan gender, bukan patriarki. 3
Kemudian dalam peneliannya Ade Irma Sakina, dan Dessy Hasanah Siti A. MENYOROTI
BUDAYA PATRIARKI DI INDONESIA, memaparkan bahwa sampai saat ini budaya patriarki
masih langgeng berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Budaya ini dapat ditemukan
dalam berbagai aspek dan ruang lingkup, seperti ekonomi, pendidikan, politik, hingga hukum
sekalipun. Akibatnya, muncul berbagai masalah sosial yang membelenggu kebebasan
perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan. Meskipun
Indonesia adalah negara hukum, namun kenyataannya payung hukum sendiri belum mampu
mengakomodasi berbagai permasalahan sosial tersebut. Penyebabnya masih klasik, karena
ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Sehingga penegakan hukum pun masih
cukup lemah dan tidak adil gender. Oleh karena itu, peran pekerja sosial sangat dibutuhkan
pada situasi ini agar penyelesaian masalah bisa cepat dilakukan.

Perempuan Madura seringkali mengalami perlakuan diskriminatif dalam lingkup pendidikan,


seperti: Budaya Patriarki, Masyarakat Madura masih menganggap bahwa pendidikan tidak
penting bagi anak perempuan. Hal ini membatasi akses pendidikan perempuan di Madura,
karena banyak orang tua yang tidak mengizinkan anak perempuan mereka melanjutkan
pendidikan tinggi. Selain itu, pandangan konvensional masyarakat Madura yang masih

2
Afrilia, I., & Wiradi, G. (2019). Journal of Education and Learning, 8(6), 699-707.
3
Gerry Gorelick, 1991.Contradictions of Feminist Methodologyl, Gender and Society, Vol. 5, No. 4, hlm. 459.
memegang teguh budaya patriarki membuat perempuan Madura memiliki perbedaan
kedudukan dengan laki-laki dalam memilih jalur pendidikan.

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi budaya patriarki dan
meningkatkan kesadaran masyarakat Madura tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan.
Dalam hal ini, perlu ada upaya untuk memberikan akses pendidikan yang sama bagi perempuan
dan laki-laki serta menghilangkan stereotip kesetaraan gender yang masih berlaku di Madura.
Selain itu, perlu juga dilakukan upaya untuk memberikan bantuan finansial bagi perempuan
Madura yang kurang mampu agar mereka dapat melanjutkan pendidikan tinggi. 4 Dengan
demikian dalam hal ini, peneliti menggunakan metode analisis psikologi gender, dengan
harapan dapat memberikan upaya baru dalam mengatasi budaya patriarki terhadap akses
pendidikan perempuan di Madura.

Rumusan masalah
1. Apa saja perbedaan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam aspek
pendidikan di Madura?
2. Bagaimana persepsi dan harapan masyarakat Madura terhadap pendidikan
berbasis gender?
Bab 1
Gender pada awalnya adalah klasifikasi gramatikal untuk bendabenda menurut jenis
kelaminnya, terutama digunakan dalam bahasa-bahasa Eropa5. Arti gender kemudian
berkembang untuk membedakan peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
lakilaki dan perempuan dalam masyarakat. Gender sebenarnya merujuk kepada peranan dan
tanggungjawab antara lakilaki dan perempuan yang diciptakan oleh keluarga dan masyarakat.6
Perbedaan antara seks (jenis kelamin) dan gender adalah bahwa yang pertama berkaitan erat
dengan ciri-ciri biologis dan fisik tertentu, sedangkan gender lebih banyak dibentuk oleh
persepsi sosial budaya tentang steoretip perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat.
Pembahasan sekitar gender selalu berangkat dari sebuah pertanyaan, apakah gender merupakan
sebuah identitas yang natural ataukah sebagai produk dari sosialisasi kultural? Para feminisme
sepakat bahwa seks dan jenis kelamin dan perangkat reproduksi merupakan organ biologis
yang bersifat natural. Dua jenis kelamin yang natural sering disebut dengan perempuan dan
laki-laki. Sedangkan gender mengambil bentuk feminim dan maskulin sebagai bentuk identitas
kedua. Dalam sosialisasi gender diyakini bahwa identitas gender yang feminin didefinisikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan sifat-sifat keperempuan seperti lemah gemulai, halus
budi, berperasaan halus, mengalah dan pasif. Sedangkan maskulin didefinisikan sebagai hal-
hal yang berkaitan dengan kejantanan yakni sifat-sifat yang identik dengan kelelakian.7
Sedangkan Feminisme sering ditujukan kepada pembelaan terhadap hak-hak perempuan yang
didasarkan kepada keyakinan akan kesamaan jenis kelamin. Dalam arti kata feminisme

4
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66158/pot ongan/S2-2013-306599-chapter1.pdf
5
Willfried kurschner, 2008.(grammatisches Kompendium, 6. Edition,p. 121) for example states that German
pluralia tantum do not have a gender.
6
Gani, R. 2019. Islam dan Kesetaraan Gender. Al-Wardah: Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan Agama, 12(2),
114-122.
menunjuk kepada kesadaran setiap orang akan subordinasi perempuan dan berusaha untuk
mengakhirinya dengan berbagai cara dan alasan. 8

Perbedaan gender (gender difference) yang selanjutnya melahirkan peran gender (gender role)
sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah, sehingga tidak perlu digugat. Jadi kalau secara
biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya seperti hamil, melahirkan,
menyusui, kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak,
sesungguhnya tidak masalah dan tidak perlu digugat. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah
posisi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender itu. Yakni
perbedaan yang bukan kodrati atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh lakilaki
dan perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Oleh sebab itu, gender berubah dari
waktu ke waktu, tempat ke tempat, bahkan dari kelas ke kelas. Sementara jenis kelamin
biologis (seks) akan tetap dan tidak berubah. Kata gender sebenarnya merupakan kata serapan
dari bahasa Inggris. Beberapa pengertian dari kata tersebut dapat penulis tulis sebagai berikut:
Secara bahasa Gender berarti jenis kelamin, hal ini tercermin dalam definisi, “Gender is
grammar in certain languages classification of noun or pronouns as masculine or feminine.9
Gender berarti perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai
dan tingkah laku (The apparent disparity between man and women in values an behavior).10
Istilah gender dikenal sebagai kata pengganti jenis kelamin, namun terjadi perubahan makna
yang dapat ditelusuri hingga dekade 1980-an sampai dengan 1993. Baru pada tahun 2011
gender digunakan untuk representasi diri seseorang sebagai lakilaki atau perempuan atau
bagaimana is merespon terhadap institusi-institusi sosial yang didasarkan pada presentasi
gender seseorang.11 Jadi menurut bahasa kata “gender” yang dibaca dan ditulis dalam Bahasa
Indonesia dengan “gender” berarti jenis kelamin atau lebih tepat diartikan sebagai perbedaan
laki-laki dan perempuan berdasarkan nilai dan tingkah laku karena kalau diartikan sebagai jenis
kelamin berarti pengertian gender sama dengan seks. Seks adalah kodrat Tuhan yang secara
permanen jelas berbeda antara laki-laki dan perempuan, sementara gender merupakan
perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh laki-laki
dan perempuan melalui proses sosial dan budaya. Gender adalah sifat yang melekat pada laki-
laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya 12.
Gender dapat dipahami suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan
lakilaki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah
suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukan bersifat kodrati. Gender pada
hakekatnya lebih menekankan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non biologis
lainnya. Dengan kata lain gender lebih menekankan aspek maskulinitas atau feminitas

8
Laura Brunell dan Elinor Burkett (Encyclopaedia Britannica, 2019): "Feminism, the belief in social, economic,
and political equality of the sexe
9
Di Garbo F, Olsson B, Wälchli B (eds.). 2019. Grammatical gender and linguistic complexity II: World-wide
comparative studies. Berlin: Language Science Press. ISBN 978-3-96110-181-8 doi:10.5281/zenodo.3446230.
Open Access. http://langsci-press.org/catalog/book/237
10
Victoria, Neufeld (ed.) 1984, Webster’s New World Dictionary (New York:Webster’s New World Clevenland,),
6
11
Nurrachman, N. & Bachtiar, I. (2011), Psikologi Perempuan: Pendekatan Kontekstual Indonesia. Universitas
Atma Jaya: Jakarta
seseorang dalam budaya tertentu. Dengan demikian, gender merupakan konstruksi yang
dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan diligitimasi secara sosial dan budaya. Pada
gilirannya, perbedaan gender dianggap kodrati hingga melahirkan ketidakseimbangan
perlakuan jenis kelamin. 13 Dalam aspek pendidikan di Madura, terdapat perbedaan
yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Berikut adalah beberapa perbedaan yang
terjadi:
Budaya patriarki yang masih kuat di Madura membuat konsep gender untuk perempuan selalu
dikaitkan dengan peran domestik. Hal ini menyebabkan banyak orang tua yang tidak
mengizinkan anak perempuan mereka melanjutkan pendidikan setelah lulus SMP Anak laki-
laki di Madura diberikan kebebasan untuk memilih jalur pendidikan, sementara anak
perempuan dianggap tidak penting untuk melanjutkan pendidikan tinggi Perempuan Madura
juga mengalami tekanan budaya dan struktural terkait kesetaraan gender, terutama bagi
perempuan yang berasal dari keluarga miskin. Budaya pernikahan dini yang masih kuat di
Madura menyebabkan banyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan setelah menikah.
Kurangnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan, sehingga masih
banyak orang tua yang menganggap pendidikan tidak penting bagi anak perempuan.
Perbedaan-perbedaan tersebut memperburuk kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan
perempuan di Madura. Hal ini memperlihatkan bahwa masih banyak diskriminasi yang terjadi
terhadap perempuan dalam hal akses pendidikan di Madura. Oleh karena itu, perlu dilakukan
upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Madura tentang pentingnya
pendidikan bagi perempuan dan mengurangi budaya patriarki yang membatasi akses
pendidikan perempuan.14
Masyarakat Madura memandang bahwa adanya perbedaan dalam hal jati diri antara laki-laki
dan perempuan yang dalam hal ini mendapat perlakukan dan perbedaan pada cara bersikap,
cara melindungi, cara memelihara dan cara bersikap lainnya. Masyarakat adat Madura
sendiri masih sangat menjunjung tinggi religiusitas dan menempatkannya dalam kewajiban
serta tanggung jawab tradisi yang etnis, hingga dilakukan secara turun temurun oleh berbagai
pihak khususnya dalam masyarakat adat Madura.Sebagai contohmenempatkan perempuan
dalam wadah terpisah dengan laki- laki yang menganut tradisi berdasarkan campuran
keagamaan dan kepercayaanturun temurun dalam masyarakat.
Pendidikan dimadura masih mengikuti pesan nenek moyang dan yang terjadi sekarang
pendidikan perempuan masih terbatasi dan mengunggulkan laki- laki dalam menempuh
pendidikan setinggi mungkin. Tidak hanya pendidikan dalam psikologi juga dapat
mempengaruhi karna terjadinya penghambatan apa yang diinginkan oleh perempuan. 15
Pendidikan dan kewajiban bekerja pada perempuan mulai dikesampingkan dalam masyarakat
Madura, karena adanya stereotip yang menyatakan bahwa perempuan akan bekerja dalam
rumah tangga. Mereka memiliki keyakinan bahwa perempuanakan bekerja di dapur apabila

14
Yudarso, https://vc.bridgew.edu/jiws/vol20/iss9/2
15
Siti Fatimah, 2017, PEREMPUAN MADURA DALAM PERSPEKTIF STATUS SOSIAL, LINGKUNGAN
SOSIAL BUDAYA DAN ORIENTASI PENDIDIKAN DI KAMPUNG GADANG KECAMATAN BANJARMASIN
TENGAH.
telah bersuami. Pendapat inilah yang tertanam kuat, sehingga banyak dari masyarakat
Madura, utamanya perempuan yang mengesampingkan pendidikan, dan fokus pada kewajiban
dalam rumah tangga, yakni melayani suami dan anaknya. Hal ini berakibat pada minim
dan terbatasnya akses perempuan untuk mengejar pendidikan tinggi, dan hanya anak laki- laki
yang nantinya diharapkan menjadi penerus dalam membenahi perekonomian keluarga.
Meskipun perempuan dapat saja bekerja membantu perekonomian keluarga, namun
sangatlah minim mengingat banyaknya pekerjaan rumah tangga yang harus dilakukan oleh
perempuan Matinya eksistensi perempuan Madura terhadap tubuhnya sendiri belum menjadi
siluet yang menggetirkan.
Analisisi patriarki dimulai dari peran pendidikan yang terjadi di Madura, dalam hal ini telah
dilakukan studi bahwa perempuan di Madura banyak yang tingkat pendidikannya rendah,
berbeda dengan laki -laki yang biasanya lebih memungkinkan untuk meraih tingkat pendidikan
yang lebih tinggi. Dalam lingkup pendidikan yang paling banyak dienyam masyarakat Madura
adalah Pendidikan di Pondok Pesantren. Mayoritas mereka lebih mempercayakan pendidikan
putra dan putrinya pada pesantren, karena masyarakat madura sangat kental memegang prinsip
ajaran agama Islam16
Bab 2
Patriarki di madura
Masyarakat Madura yang terkenal religius antara lain melalui ketaatan dan penghormatan
kepada kiai, ulama, pemuka agama, secara sosial dalam konteks hubungan laki-laki dan
perempuan terasa unik. Ada paradoks kental jika mengkaitkan kehidupan sosial masyarakat
Madura yang sangat patriarki dengan keterikatan keagamaan Islam. 17 Di satu sisi Islam
mengajarkan penghargaan dan penghormatan kepada kaum perempuan, namun di sisi lain
kultur patriarki yang memposisikan laki-laki sangat dominan serta cenderung menguasai kaum
perempuan terasa kental di kalangan masyarakat Madura.
Pada beberapa kasus, tingkat kekentalan kultur patriarki ini di kalangan masyarakat Madura
kadang sampai taraf berlebihan hingga kurang memberi apresiasi sosial memadai. Kaum
perempuan menempati ruang-ruang sempit, yang kadang agak terabaikan dari wacana sosial. 18
Eksistensi perempuan seakan tenggelam dalam keperkasaan kaum laki-laki baik dalam lingkup
terbatas maupun di wilayah publik.
Memang, dalam tiga dasa warsa belakangan ada peningkatan aktivitas perempuan di wilayah
publik. Namun tetap lebih merupakan aktivitas dalam kultur patriarki; perempuan berada
dalam desain pikiran serta kendali laki-laki. Inisiatif, kreativitas, serta ekspresi belum
berkembang bebas dari kalangan perempuan. Ada semacam keharusan perempuan masih harus

16
Nurmila, N. (2015). Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama dan Pembentukan
Budaya. KARSA, 23 (105), 1–16.
17
Ferick Sahid Persi. 2015. Gambaran Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Madura pada Antologi Cerpen
Karapan Laut Karya Mahwi Air Tawar. Hal.5
18
Mohammad Refi Omar Ar Razy & Dade Mahzuni. 2021.SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT MADURA ABAD
19-20: SEBUAH KAJIAN EKOLOGI SEJARAH. Jurnal Sejarah, Vol. 1 No. 2. Hal. 6
mendapat izin dan persetujuan laki-laki bahkan sepenuhnya dalam bingkai pengawasan ketat
kaum laki-laki. 19
Dalam kehidupan rumah tangga, jika sebatas relasi dalam format komunikasi mungkin masih
bisa dipahami. Tetapi jika sampai taraf membelenggu ekspresi, kreativitas, inisiatif kaum
perempuan, dampak sosialnya akan sangat serius. Komunitas masyarakat Madura akan sulit
berkembang dan berperan penting di tengah dinamika kehidupan sosial. Sangat mungkin
masyarakat Madura akan tertinggal dibanding masyarakat daerah lainnya.
Di dunia ini, masyarakat yang masih hidup dalam kultur patriarki cenderung mengalami
kemandegan dan keterlambatan dalam peran peradaban. Sebab, patriarki secara tidak langsung
mengurangi dan bahkan bisa jadi membatasi potensi seluruh komunitas masyarakat untuk
tumbuh optimal. Ada posisi dan peran sosial yang tereduksi khususnya dari kalangan
perempuan. 20 Ini sangat terkait langsung terutama dengan pengabaian potensi kaum perempuan
sebagai kekuatan pendidikan. Jika kaum perempuan terbelenggu, terbatas aksesnya ke ruang
publik akan terjadi pemiskinan pengetahuan. Dengan sendirinya proses peran pendidikan tidak
dapat berjalan optimal sehingga generasi mendatang, sangat terbatas mendapat transfer
pengetahuan. Karena itu penting dengan melihat posisinya, para ulama, kiai, tokoh-tokoh
agama Madura, mendorong mencairkan relasi laki-laki perempuan agar lebih memberi ruang
ekspresi, membangun kesadaran hak masing-masing pihak, tanpa harus melabrak kondrat.21
Bagaimanapun kultur patriarki yang ekstrim, yang membiarkan penguasaan laki-laki pada
perempuan secara berlebihan, dapat menghancurkan potensi kemampuan pendidikan
perempuan dalam proses peningkatan kualitas generasi mendatang.
Jika perempuan tetap dalam belenggu kultur patriaki, akan sulit memberikan kontribusi
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Karena kaum perempuanlah secara sosial yang
memiliki peluang lebih baik dalam peran peningkatan kualitas sumber daya manusia. 22
Perlu dirumuskan dengan segera hubungan laki-laki dengan perempuan dalam konsteks
kepentingan kemajuan masyarakat Madura, tanpa harus melabrak peran kondrati perempuan.
Apalagi ketika tantangan masa depan makin menuntut kualitas sumber daya manusia. Sebuah
kondisi yang mempertegas keharusan peningkatan peran perempuan berkualitas.
Patriarki dalam Pendidikan di Madura
Berbagai penelitian dalam literatur menunjukkan bahwa citra, peran, dan status wanita telah
diciptakan oleh budaya menyeluruh. Hal ini juga terjadi di budaya Madura, Perempuan masih
dianggap sebagai kelas dua yang keberadaannya sering diabaikan. Implikasi dari konsep dan
akal sehat tentang posisi mereka yang tidak seimbang telah menjadi kekuatan dalam pemisahan
sektor kehidupan menjadi sektor domestik dan sektor publik. 23 Perempuan harus mengambil
bagian dalam sektor domestik sedangkan laki-laki ditempatkan di sektor publik. Perempuan
digambarkan secara seksama dengan seksisme dan memberikan peran sebagai pemeliharaan

19
Nasrullah. 2019. ISLAM NUSANTARA: ANALISIS RELASI ISLAM DAN KEARIFAN LOKAL BUDAYA
MADURA. Al-Irfan Volume 2, Nomor 2. Hal.9
20
Dr. Bani Eka Dartiningsih. 2002. Budaya dan Masyarakat Madura. Denpasar. Adab. Hal. 2
21
Nasrullah. 2019. ISLAM NUSANTARA: ANALISIS RELASI ISLAM DAN KEARIFAN LOKAL BUDAYA
MADURA. Al-Irfan Volume 2, Nomor 2. Hal.7
22
https://berandainspirasi.id/perempuan-dan-komunikasi-ruang-publik/
23
Nur Ajizah, Khomisah. 2021. Aktualisasi Perempuan dalam Ruang Domestik dan Ruang Publik Perspektif
Sadar Gender. Az-Zahra. Hal.2
anak. 24 Ketidaksetaraan gender membentuk struktur hubungan produksi dan reproduksi di
berbagai kelas. Ideologi ini dianggap sebagai dasar penindasan perempuan karena menciptakan
karakter feminin dan inklusi yang melestarikan patriarki dan menghasilkan dominasi laki-
laki. 25
Misalnya, laki-laki memiliki peran utama sebagai pencari nafkah rumah tangga sementara pada
saat yang sama, laki-laki memainkan peran penting dalam menciptakan reproduksi pekerjaan
yang tidak dibayar di ruang rumah tangga. Ini umumnya dikaitkan dengan fungsi biologis
wanita sebagai penjaga keluarga. Keadaan ini mengakibatkan banyak munculnya pernikahan
usia dini pada anak perempuan Madura. Ideologi semacam ini telah didukung oleh berbagai
institusi sosial yang kemudian menjadi fakta sosial tentang status dan peran yang dimainkan
oleh perempuan.26
Budaya Patriarkhi, Perilaku Beragama, dan Kemiskinan
Dalam budaya Madura, konsep gender untuk perempuan selalu dikaitkan dengan peran
domestik. Perempuan Madura mengalami tekanan budaya dan struktural terkait kesetaraan
gender, terutama bagi perempuan yang berasal dari keluarga miskin. Budaya patriarkhi
diperkuat melalui dogma agama dan telah menjadi cara hidup dan kode etik. 27 Informan
mengakui bahwa perempuan hanya memiliki pendidikan yang pendek karena menikah, tidak
akan ada kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Orang tua menarik anak-anak
perempuannya dari sekolah untuk mengurus urusan rumah tangga. 28 Informan juga
menjelaskan bahwa tidak perlu menyediakan pendidikan tinggi untuk anak-anaknya, terutama
perempuan, karena anak perempuan yang mengabdikan diri kepada orang tua mereka
mematuhi keputusan orang tua dan berarti juga menjalankan anjuran Agama. 29
Pernikahan dini ketika gadis itu di bawah 17 tahun masih sering terjadi. Para informan
menjelaskan bahwa pendidikan tidak penting bagi perempuan karena mereka masih percaya
bahwa tidak ada arti di balik mendidik anak perempuan untuk mencapai pendidikan setinggi
mungkin, karena pada akhirnya akan kembali ke pekerjaan rumah. 30
Upaya untuk memperkenalkan kesetaraan dan pengarusutamaan gender masih menghadapi
banyak kesenjangan mengenai pengetahuan di masyarakat Madura. Diskriminasi pendidikan
yang dihadapi oleh para perempuan Madura tersebut berkait dengan Tradisi Madura yang
tergolong patriarkhi, kemiskinan yang diderita masyarakat dan kurangnya pemahaman
keagamaan tentang posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat.31
Model pemberdayaan yang relevan di masyarakat Madura terkait dengan ketidaksetaraan
gender dalam pendidikan. Ini bisa dimulai dengan merekonstruksi pemikiran masyarakat
pesisir tentang gender melalui lembaga sosial-keagamaan yang ada, baik formal maupun

24
https://www.kemenkopmk.go.id/optimalisasi-peran-perempuan-dalam-pembangunan
25
Lusia Palulungan M. Ghufran H. Kordi K. Muhammad Taufan Ramli. 2020. Perempuan, Masyarakat
Patriarki & Kesetaraan Gender. Makassar. Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI).
Hal.16
26
Dr. Bani Eka Dartiningsih. Budaya dan Masyarakat Madura. 2022. Denpasar. Adab. Hal. 12
27
Nur Ajizah, Khomisah. 2021. Aktualisasi Perempuan dalam Ruang Domestik dan Ruang Publik Perspektif
Sadar Gender. Az-Zahra. Hal. 7
28
Wawancara. Muhammad Qosim
29
Wawancara. Abdul Aziz.
30
Wawancara. Hamidah
31
Wawancara. Sarah
informal. Selain itu, harus ada pemberdayaan ekonomi keluarga. Dengan demikian, anak
perempuan tidak lagi menjadi korban yang harus menanggung beban ekonomi keluarga dengan
putus sekolah atau memasuki pernikahan dini. Perempuan Madura tidak hanya mengalami
tekanan budaya karena budaya patriarkal, tetapi mereka juga mengalami tekanan struktural,
karena sebagian besar berasal dari keluarga miskin.
Psikologi gender dalam Pendidikan
Dalam gender psikologi pendidikan, ada yang dikenal dengan sebutan bias gender. 32 Adapun
yang dimaksud dengan bias gender tersebut adalah mengunggulkan salah satu jenis kelamin
dalam kehidupan sosial maupun kebijakan publik.33 Sedangkan bias gender dalam dunia
pendidikan adalah realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu
sehingga menyebabkan ketimpangan gender. 34 Berikut ini beberapa hasil identifikasi bias
gender dalam psikologi pendidikan:
A. Kurangnya Partisipasi (Under – participation)
Dalam hal partisipasi pendidikan, peremuan di Madura menghadapai masalah yang
sama. Dibanding dengan laki-laki, partisipan perempuan dalam pendidikan formal jauh
lebih rendah.
B. Kurangnya keterwakilan (Under – representation)
Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan
juga menunjukkan kecenderungan disparitas progresif. Jumlah tenaga pengajar atau
jumlah guru perempuan pada jenjang pendidikan dasardi Madura pada umumnya sama
atau melebihi julah guru laki–laki, namun pada jenjang yang lebih tinggi, jumlah
tersebut mengalami penurunan yang drastis.
C. Perlakuan yang tidak adil (Under – treatment)
Di Madura masih ditemukan kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas
seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Tentunya semua perempuan pernah
mengalami hal ini. Guru secara tidak sadar pada umumnya menaruh harapan dan
perhatian yang lebih besar kepada murid laki–laki dari pada murid perempuan. Selain
itu seorang guru juga sering berpikir bahwasanya perempuan tidak perlu untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dari pada seorang laki–laki.
D. Dimensi akses yang sulit
Perempuan di Madura masih merasakan akses fasilitas pendidikan yang sulit untuk
dicapai atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya tanpa memiliki otoritas
untuk memutuskan terhadap hasil atau produk maupun metode pendayagunaan sumber
daya tersebut.
E. Dimensi proses pembelajaran
Proses pembelajaran yang dalam hal ini adalah materi Pendidikan, seperti misalnya
yang terdapat dalam contoh–contoh soal dimana semua kepemilikan selalu mengatas
namakan laki–laki. Sebagai contoh saja, apabila kita membaca buku–buku yang

32
Yusrianto Elga. Ulama Perempuan Madura: Otoritas dan Relasi Gender. Yogyakarta: IRCiSoD., 2020. Hal. 20
33
Ratnah Rahman.2021. BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN NON FORMAL (TPA/TQA) TAMAN
PENDIDIKAN AL- QUR’AN DI KOTA MAKASSAR. Jurnal Mirdad. Hal. 2
34
Ratnah Rahman.2021… hal.2
dijadikan sebagai contoh nama seorang pejabat lebih cenderung adalah nama seorang
laki–laki.
F. Dimensi Penguasaan
Minimnya kemapuan yang dimiliki oleh perempuan Madura untuk memajukan
peranannya dalam masyarakat. Faktor penyebabnya adalah pemanfaatan yang minim,
peran yang tidak terserap oleh masyarakat secara merata sehingga msih berpegang pada
nilai–nilai lama yang tidak tereformasi.
G. Dimensi Kontrol
Minimnya kemampuan atau otoritas untuk memutuskan menggunakan produk atau
hasil dari karya mereka, bahkan juga dalam hal menentukan metode pendayagunannya,
sehingga tidak memiliki kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya
tersebut.
H. Dimensi Manfaat
Karena sumber daya manusia yang masih minim maka untuk memanfaatkan dan
memproses sesuatu yang ada tidak bisa,
Kesimpulan
Dapat disimpulkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isue yang sangat
penting dan sudah menjadi komitmen bangsa di dunia termasuk Indonesia. Upaya mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender di Indonesia telah di tuangkankan dalam berbagai kebijakan
nasional khsusnya dalam bidang pendidikan yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia baik perempuan atau laki-laki. Dari pembahasan tentang gender
perspektif Islam dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan dan laki-laki memang diciptakan
Allah swt. berbeda, namun perbedaan ini adalah sunnatullah dan membuat keduanya serasi
dalam mewujudkan kebersamaan hidup di dunia. Perbedaan tersebut adalah secara fisik
(biologis), tabiat, tugas dan tanggungjawab, namun Allah swt juga menciptakan persamaan
status dan penilaian terhadap amal perbuatan.
Masyarakat Madura mayoritas tumbuh dan berkembang dengan kebudayaan patriarkinya.
Perempuan masih disorot dalam pekerjaan domestik dan rumah tangga, ketimbang laki-laki
yang hanya menjalankan peran pekerjaan saja. Hal ini menjadi miris, karena pekerjaan
mengurus rumah yang harus dikerjakan perempuan Madura, sehingga banyak dari mereka yang
mengesampingkan Pendidikan. Namun, tak jarang pula perempuan dalam rumah tangga yang
masih berusaha untuk berdikari atau mandiri meskipun mereka sudah berkeluarga. Mereka
berusaha mandiri dalam mengasuh anak dan mengurus rumah, tetapi mereka juga harus tetap
mencari penghasilan tambahan, seperti berjualan di toko maupun membuka usaha jualan
makanan sendiri. Bahkan, hal tersebut menunjukkan sisi perempuan yang memiliki peran
ganda dalam rumah tangga.
Di sisi lain, untuk mengurasi kasus bias gender, perlunya diadakannya dekonstruksi hukum dan
pendekatan feminisme disini. Dengan pendekatan tersebut dapat menfokuskan pendapat dari
sudut padang pengalaman perempuan, karena dalam hal ini diperlukannya hermeneutika dan
dekonstruksi hukum dalam dominasi positivisme hukum yang menjamin adanya kepastian
hukum. Maka, netralitas dan objektivitas hukum akan terwujud hanya bila hukum tersebut
bersifat tertutup dan otonom dari berbagai perspektif moral, agama, filsafat, politik, sejarah,
dan bahkan jenis kelamin.
Daftar Pustaka
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan. Setara di Hadapan Allah, (Yogyakarta: LSPPA Yayasan
Prakarsa,1995).
Afrilia, I., & Wiradi, G. Journal of Education and Learning, 8(6), 699-707.2019.
Gerry Gorelick.Contradictions of Feminist Methodologyl, Gender and Society, Vol. 5, No. 4,
1991.
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66158/pot ongan/S2-2013-306599-chapter1.pdf
Willfried kurschner. (grammatisches Kompendium, 6. Edition,p. 121) for example states that
German pluralia tantum do not have a gender. 2008.
Gani, R. Islam dan Kesetaraan Gender. Al-Wardah: Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan
Agama, 12(2), 2019.
Laura Brunell dan Elinor Burkett (Encyclopaedia Britannica, 2019): "Feminism, the belief in
social, economic, and political equality of the sexe”
Di Garbo F, Olsson B, Wälchli B (eds.). 2019. Grammatical gender and linguistic complexity
II: World-wide comparative studies. Berlin: Language Science Press. ISBN 978-3-96110-181-
8 doi:10.5281/zenodo.3446230. Open Access. http://langsci-press.org/catalog/book/237
Victoria, Neufeld (ed.), Webster’s New World Dictionary (New York:Webster’s New World
Clevenland,), 1984.
Nurrachman, N. & Bachtiar, I. Psikologi Perempuan: Pendekatan Kontekstual Indonesia.
Universitas Atma Jaya: Jakarta.2011.
Yudarso, https://vc.bridgew.edu/jiws/vol20/iss9/2

Siti Fatimah, PEREMPUAN MADURA DALAM PERSPEKTIF STATUS SOSIAL,


LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA DAN ORIENTASI PENDIDIKAN DI KAMPUNG GADANG
KECAMATAN BANJARMASIN TENGAH. 2017.

Nurmila, N. Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama dan Pembentukan


Budaya. KARSA, 23 (105). 2015.

Ferick Sahid Persi. Gambaran Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Madura pada Antologi
Cerpen Karapan Laut Karya Mahwi Air Tawar. 2015.

Mohammad Refi Omar Ar Razy & Dade Mahzuni. SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
MADURA ABAD 19-20: SEBUAH KAJIAN EKOLOGI SEJARAH. Jurnal Sejarah, Vol. 1 No.
2. 2021.

Nasrullah. ISLAM NUSANTARA: ANALISIS RELASI ISLAM DAN KEARIFAN LOKAL


BUDAYA MADURA. Al-Irfan Volume 2, Nomor 2. 2019.
Dr. Bani Eka Dartiningsih. Budaya dan Masyarakat Madura. Denpasar. Adab.2002.

Nasrullah. ISLAM NUSANTARA: ANALISIS RELASI ISLAM DAN KEARIFAN LOKAL


BUDAYA MADURA. Al-Irfan Volume 2, Nomor 2. 2019

https://berandainspirasi.id/perempuan-dan-komunikasi-ruang-publik/

Nur Ajizah, Khomisah. Aktualisasi Perempuan dalam Ruang Domestik dan Ruang Publik
Perspektif Sadar Gender. Az-Zahra. 2021.

https://www.kemenkopmk.go.id/optimalisasi-peran-perempuan-dalam-pembangunan

Lusia Palulungan M. Ghufran H. Kordi K. Muhammad Taufan Ramli. Perempuan, Masyarakat


Patriarki & Kesetaraan Gender. Makassar. Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur
Indonesia (BaKTI). 2020.

Dr. Bani Eka Dartiningsih. Budaya dan Masyarakat Madura. Denpasar. Adab.2022.

Nur Ajizah, Khomisah. Aktualisasi Perempuan dalam Ruang Domestik dan Ruang Publik
Perspektif Sadar Gender. Az-Zahra. 2021.

Wawancara. Muhammad Qosim.

Wawancara. Abdul Aziz.

Wawancara. Hamidah.

Wawancara. Sarah.

Yusrianto Elga. Ulama Perempuan Madura: Otoritas dan Relasi Gender.


Yogyakarta: IRCiSoD., 2020.

Ratnah Rahman. BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN NON FORMAL (TPA/TQA) TAMAN
PENDIDIKAN AL- QUR’AN DI KOTA MAKASSAR. Jurnal Mirdad. 2021.

Anda mungkin juga menyukai