Anda di halaman 1dari 4

URGENSI PENDIDIKAN PEREMPUAN DI PESANTREN DENGAN

PENDIDIKAN MODERN

Pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sadar, sistematis dan terencana
untuk meningkatkan potensi yang ada dan meingkatkan pengetahuan di ranah kognitif.
Pendidikan sangatlah dibutuhkan guna menunjang kualitas sumber daya manusia yang
ada, serta dapat memajuakan suatu bangsa. Klasifikasi pendidikan terbagi menjadi 3
yaitu formal, informal dan non formal. Ketiga klasifikasi tersebut saling
berkesinambungan.
Pendidikan non formal sangatlah dibutuhkan untuk menyempurnakan sistem
pendidikan formal seperti diniyah, pondok pesantren, bimbingan belajar dan lainnya
memudahkan terlaksananya sistem pendidikan dan membantu para tenaga pendidik
untuk dapat merealisasikan tujuan pendidikan. Hal-hal yang belum terealisasikan
dalam pendidikan formal dapat ditempuh melalui pendidikan non formal. Sebenarnya
tidak hanya pendidikan formal dan non formal saja tapi juga ada pendidikan informal
dimana pendidikan tersebut dilaksanakan dilingkungan sekitar kita yang mana
pendidikan tersebut dapat dilaksanakan setiap saat dan tanpa ada batasan waktu.
Pendidikan dapat dilaksanakan kapan saja dan dimana saja. Karena sejatinya
manusia itu wajib menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Islam mewajibkan
semua umat untuk menuntut ilmu baik laki-laki maupun perempuan. Kewajiban itulah
yang mendasari kaum perempuan untuk memperkaya wawasan karena firahnya
seorang wanita adalah menjadi seorang ibu dan madrasah pertama untuk anak-anaknya.
Sebagai perempuan, kita harus melanjutkan perjuangan sang pahlawan kita yaitu
R.A.Kartini yang telah memperjuangkan hak-hak perempuan agar dapat mengenyam
pendidikan formal.
Islam hadir di tengah-tengah masyarakat jahiliyah yang bertujuan untuk
menerangi kebodohan. Peradaban dan kebudayaan berkembang dengan pesat yang
membuat masyarakat jahiliyah menjadi intelek sehingga menghilangkan budaya-
budaya jahiliyah yang ada. Dahulu masyarakat jahiliyah membunuh bayi-bayi
perempuan yang lahir karena dianggap aib. Namun, sejak adanya islam budaya tersebut
dihilangkan.
Islam sangat mengagungkan perempuan. Seseorang yang wajib kita hormati
pertama kali adalah ibu, ibu dan ibu. Bahkan, surga Allah tidak akan didapatkan oleh
seseorang tanpa ridho seorang ibu. Dalam Al-Qur’an juga terdapat surah yang bernama
An-Nisa’ yang berarti perempuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa seorang
perempuan sangatlah dimuliakan di dalam Islam.kehadiran islam merupakan cahaya
bagi kehidupan yang ada di bumi pertiwi ini.
Pendidikan, Pesantren dan Perempuan adalah tiga aspek yang masyhur di
masyarakat yang sering kita bahas. Di mana perempuan berkedudukan lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Banyaknya masyarakat yang beranggapan bahwa kodrat wanita
hanyalah subjek kegiatan non moneter memasak, melayani, mecuci atau sering di kenal
dapur, kasur, sumur. Yang seyogyanya hal tersebut tidak diperuntukkan untuk kaum
perempuan saja melainkan laki-laki juga. Menurut Najwa Shihab, kodrat wanita
hanyalah mens, hamil dan menyusui, dimana tiga hal tersebut tidak dapat dilakukan
oleh seorang laki-laki.
Tulisan ini menunjukkan realitas perempuan pesantren dan pendidikan modern
yang berkesinambungan. Dimana pesantren merupakan tempat pendidikan karakter
yang sangat tepat untuk generasi muda saat ini.
Pendidikan di Pesantren mula-mula hanya tempat belajar untuk laki-laki.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan dirasa perlu bagi
perempuan. Ahirnya para kiai menyelenggarakannya untuk perempuan. Karena
perempuan harus menguasai berbagai ilmu pengetahuan salah satunya ilmu agama
yang dapat titempuh melalui pesantren. Awalnya jumlah santriwati dan kelas pesantren
yang terbatas membuat tidak ada sekatan antara laki-laki dan perempuan berangsur-
angsur mengalami kemajuan yang menyebabkan pihak pengasuh menambah jumlah
kelas dan memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Pemisahan antara laki-laki dan
perempuan dilakukan karena sejatinya pesantren merupakan sebuah tempat untuk
mengkaji ilmu agama dimana didalamnya mengharamkan adanya pertemuan laki-laki
dan perempuan.
Pesantren juga merupakan tempat penanaman akhlak, pelatihan mental, serta
bersosialisasi. Ketika di sekolah formal penanaman akhlak sangatlah minim untuk
diterapkan namun jika di dalam pondok pesantren akhlaqul karimah wajib diamalkan
oleh semua santri. Bagimana tata laku terhadap sesama, terhadap yang lebih tau bahkan
kepada pengasuh pun harus diterap kan dan semuanya berbeda-beda. Dibutuhkannya
mental yang kuat karena di lingkungan pesantren kita dibiasakan untuk problem
solving, jauh dari orang tua bahkan teman yang tidak secircle dengan kita. Menjalin
hubungan dengan sesama, harus memiliki rasa empati yang tinggi serta support sistem
yang baik antar sesama teman.
Dahulu, pesantren bagi perempuan hanyalah tempat pendidikan untuk menjadi
seorang istri dan ibu. Dimana mereka hanyalah mempelajari ilmu agama dengan
berbagai cabang ilmu. Tujuannya adalah setelah menikah mereka dapat menjadi
seorang istri yang baik, tawadhu’ kepada suaminya serta dapat mendidik anaknya
dengan ilmu agama.
Perempuan salaf, cenderung menutup diri dari berbagai ilmu modern yang ada,
karena baginya ilmu agama jauh lebih penting dari pada ilmu-ilmu yang lain serta
setinggi apapun pendidikan wanita kiprahnya tetaplah di dalam rumah. Terbiasanya
mereka berada dalam pesantren yang jauh dari masyarakat sekitar mendoktrin mereka
untuk bersikap introvert dengan masyarakat sekitar. Ketika di rumah, dirinya hanyalah
milik suaminya sehingga mereka lebih membatasi diri ketika keluar rumah dan
biasanya dengan pakaian tertutup.
Seiring dengan perkembangan zaman, dimana manusia dituntut untuk lebih
modern. Peran pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan akhlak tetapi juga
pendidikan umum. Banyak lembaga pesantren juga menyediakan pendidikan umum
yang letaknya berdampingan dengan pesantren. Mayoritas pesantren di Indonesia ada
pemisah antara laki-laki dan perempuan sehingga setiap lembaga memiliki bangunan
khusus perempuan dan khusus laki-laki. Walaupun saling berdampingan tetapi tidak
bersatu padu. Di Indonesia terdapat beberapa macam sistem pendidikan pesantren yang
mana masing-masing pesantren tersebut mempunyai sistem yang berbeda dalam
melaksanakan pembelajaran, terutama bila dihubungkan dengan kebijakan
pembelajaran bagi santri perempuan. Namun mayoritas pesantren menerapkan sistem
pembelajaran yang terpisah antara santri perempuan dan santri laki-laki.
Pemisahan kelas berdasarkan jenis kelamin ini dalam dunia pendidikan
moderen dikenal dengan Single Sex Education (SSE), yaitu pendidikan yang terpisah
antara laki-laki dan perempuan, baik dalam lembaga yang terpisah maupun dalam
lembaga yang sama. Kebalikan dari sistem SSE adalah sistem pembelajaran Co
Education (CE), dimana sistem ini tidak memisahkan antara laki-laki dan perempuan
dalam proses pembelajarannya. Masing-masing dari model pembelajaran tersebut
mempunyai keunggulan dan kekurangan berdasarkan penerapannya serta sistem
kebijakan yang melingkupinya. Masing-masing juga menimbulkan pro dan kontra
diantara para praktisi pendidikan.
Perdebatan yang banyak dimunculkan adalah adu argumentasi antara
keuntungan penerapan SSE dan CE bagi masing-masing murid. Pendidikan menengah
di Amerika, saat pertama kali membuka sekolah bagi perempuan setelah satu setangah
abad pasca perang revolusi, menawarkan pendidikan dengan model CE untuk daerah
barat dan SSE di daerah timur laut yang lebih makmur keadaannya. Namun demikian
pada tahun 1900 an, 98% sekolah menengah umum menggunakan model CE. Pada
tahun 1960 an merupakan masa dimana banyak muncul sekolah menengah dengan
model SSE. Hal ini tidak bertahan lama sejak diterbitkannya undang-undang tentang
pendidikan Title IX legislation, sehingga pada tahun 1970-an banyak sekolah yang
beralih kembali menjadi CE.
Undang-undang tersebut berisi larangan diskriminasi jenis kelamin dan
peningkatan sumberdaya manusia yang tidak merata. Namun hal ini tidak mematahkan
semangat para penggerak SSE untuk tetap mempertahankan model ini.11 Perdebatan
antara SSE dan CE telah berlangsung lama. Masing-masing menunjukkan mana yang
lebih baik bagi pendidikan, terutama untuk sekolah menengah. Namun, keberadaannya
akhir-akhir ini menjadi penting dengan asumsi untuk memajukan kesetaraan gender.
Para peneliti di University of Michigan membandingkan lulusan sekolah menengah
katolik SSE dengan lulusan sekolah menengah katolik sistem CE. Murid laki-laki dari
SSE mencetak prestasi yang lebih baik dalam membaca, menulis, dan matematika
daripada murid laki-laki di sekolah CE. Sedangkan murid perempuan di sekolah SSE
mencetak prestasi yang lebih baik dalam hal sains dan membaca dibandingkan anak
perempuan di sekolah CE. Bahkan, para peneliti menemukan bahwa murid di sekolah
SSE tidak hanya prestasi akademik yang unggul, tetapi juga memiliki aspirasi
pendidikan yang lebih tinggi, lebih percaya diri dalam kemampuan mereka, dan sikap
yang lebih positif terhadap akademisi, daripada murid di sekolah CE.
Murid perempuan di SSE kurang memiliki gagasan stereotype tentang apa yang
perempuan bisa dan tidak bisa lakukan. Dalam mengalami sistuasi belajar yang
nyaman karena mereka dapat belajar tanpa ada persaingan dan gangguan dari murid
laki-laki. Mereka juga tidak harus dipusingkan dengan persaingan merebut perhatian
dari para guru13 dan tidak mengalami gangguan konsentrasi belajar akibat ketertarikan
seksual dengan lawan jenis. Bila dibandingkan, keberadaan sekolah dengan model CE
lebih banyak dari pada model SSE. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh anggapan bahwa
model CE lebih alami, karena dalam kehidupan ini hampir semua sisinya diwarnai
keberadaan perempuan dan laki-laki secara bersama-sama. Single sex education (SSE)
lebih sering diterapkan bagi murid perempuan, meskipun ada juga SSE untuk murid
laki-laki. Namun dalam lingkup pesantren, SSE disediakan baik untuk laki-laki
maupun untuk perempuan dengan alasan utama berdasarkan ajaran Islam, yaitu adanya
larangan laki-laki dan perempuan berada dalam satu ruangan. Model pendidikan SSE
maupun CE, selalu menuai perdebatan untuk menunjukkan model mana yang lebih
baik. Sebagai contoh gambaran perdebatan tersebut dapat ditemukan dalam laporan
penelitian yang dilakukan oleh Chattopadhay. Dalam penelitiannya ini dilaporkan
tentang usaha masyarakat untuk mewujudkan pendidikan yang setara gender, terutama
bagi perempuan, karena semua anak tanpa membedakan jenis kelamin berhak
mendapatkan pendidikan yang layak. Disisi lain penelitian ini dilakukan sebagai
tanggapan terhadap kebutuhan informasi yang diungkapkan oleh tim-tim kebijakan
pendidikan di negara-negara Asia di mana anak perempuan menghadapi lebih banyak
hambatan daripada anak laki-laki dalam akses pendidikan. Eksplorasi tersebut
dilakukan untuk melihat akses anak perempuan terhadap pendidikan serta kualitas dan
relevansi pendidikan tersebut dalam kehidupan. Tim penentu kebijakan pendidikan
menggunakan kerangka kerja penelitian ini untuk menentukan model yang terbaik
untuk pendidikan, terutama bagi anak perempuan.
Dalam mengenyam pendidikan, tidak ada perbedaan gender yang melatar
belakangi pemerolehan pendidikan tersebut, semua orang berhak untuk mendapatkan
pendidikan yang sama. Perbedaan gender tidak menghalangi perempuan untuk sukses.
Bahkan, saat ini banyak perempuan yang menjadi pemimpin baik itu di suatu organisasi
maupun pemerintahan. Dan terbukti bahwa perempuan itu multitalenta, banyak
pekerjaan yang bisa dikuasai dan banyak pekerjaan yang bisa ia lakukan dalam waktu
bersamaan.
Oleh karena itu, pentingnya urgensi dalam pendidikan perempuan di pesantren
dengan pendidikan modern agar tidak ada lagi perbedaan antara perempuan dan laki-
laki.

Daftar Pustaka
Nadwa. (2013). Pendidikan Perempuan di Pondok Pesantren. Jurnal Pendidikan Islam.
Vol. 7. No. 1. April.
Sulthon. (2016). Pembelajaran IPA yang Efektif dan Menyenangkan Bagi Siswa
Madrasah Ibtidaiyah MI. Jurnal Elementary. Vol. 4. No. 1. Januari-Juni.

Anda mungkin juga menyukai