Anda di halaman 1dari 20

PONDOK PESANTREN MADRARAH DAN SEKOLAH

A. Pendahuluan
Berdasarkan amanat UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan
pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh rakyat dibebankan
untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional. Guna
menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, maka pemerintah memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga
pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau dikelola oleh swasta
(yayasan) namun masih tetap berada dalam kordinasi pemerintah.
Dalam konteks keIndonesiaan rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan,
di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam,
mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah.
Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk
memberikan Ilmu dan memberdayakan masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk
memilih lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya.
Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur
pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan
agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan
ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur
madrasah.
Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan
sama, namun berbeda dalam pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga ini masing-masing
mempunyai ciri khas. Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan
yang ada, tidak sedikit diantara lembaga pendidikan yang ada terjadi persaingan.
Kenyataan di lapangan perebutan dan kompetisi memang benar terjadi, dan tidak jarang
juga kita temukan dilapangan kompetisi antar lembaga pendidikan yang ada sering tidak
fair dan menimbulkan kecemburuan satu sama lainnya.
Bentuk ketidak fair an antar lembaga pendidikan yang ada juga diwujudkan dalam
bentuk ketidak obyektifan dalam menilai lembaga pendidikan yang ada. Dahulu pondok
pesantren sering mendapatkan stigma negatif dari sebagian masyarakat, lembaga
pendidikan kolot, kumuh, ndeso, tidak maju, dan lembaga akhirat adalah beberapa stigma
yang sering dinisbatkan pada lembaga pendidikan murni pribumi ini, tentunya hal ini
menimbulkan dampak negatif bagi keberlangusngan Pondok Pesantren, banyak masyarakat
yang kemudian ragu menempatkan anak-anaknya menuntut ilmu di Pondok Pesantren,
padahal sejatinya stigma-stigma negatif yang bermunculan di masyarakat tidaklah benar
semua, kalapun ada itu hanya seberapa yang tidak cukup mewakili dari sekian banyak
Pondok Pesantren yang ada di Indonesia.
Sekolah dan madrasah pun tak luput dari stigma negatif yang muncul pada sebagian
masyarakat. Sekolah sering mendapatkan pandangan sebagai lembaga pencetak kader
kapitalis, mementingkan kehidupan sekuler dan masih banyak lainnya. Kualitas tidak jelas,
berpikir mundur, banyak beban pelajaran dan sekolahnya anak desa adalah beberapa
stigma negatif yang muncul terhadap madrasah. Dari sekian banyak stigma negatif yang
bermunculan di masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tugas para pendidik termasuk
pemerintah untuk membenahinya sedikit demi sedikit, khawatir kalau hal ini tidak segera
ditindak lanjuti akan menimbulkan sikap apriori dan masa bodoh masyrakat terhadap
beberapa lembaga pendidikan yang ada, yang kemudian berakibat enggannya masyarakat
untuk mencari ilmu dan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang ada.
Berangkat dari sini penulis mencoba sedikit membahas lebih jauh terkait dengan
beberapa lembaga pendidikan yang ada, yakni Pondok Pesantren, Madrasah dan Sekolah
dalam tinjauan filosofis, guna memahami fungsi, peran dan perbedaan diantara ketiga
lembaga tersebut.
B. Pembahasan
1. Pondok Pesantren
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai beberapa lembaga pendidikan
yang ada seperti Pondok Pesantren, Madrasah dan Sekolah, terlebih dahulu kita
sedapat mungkin mampu memahami pengertian dari ketiga lembaga tersebut.
Sejatinya ketiga lembaga tersebut tidak memiliki perbedaan yang mendasar, karena
masing-masing lembaga ini mempunyai misi untuk memberikan ilmu dan pendidikan
kepada semua peserta didik yang belajar pada lembaga tersebut, namun yang
menjadikan berbeda satu sama lainnya adalah mengenai sistem, managemen, style
dan tujuan pada ketiga lembaga tersebut.
Mengenai asal-usul pondok pesantren, terdapat dua pandangan yang
sebenarnya saling melengkapi. Menurut Karel A. Steenbrink yang mengutip dari
Soegarda Purbakawatja, menyatakan bahwa pendidikan pondok pesantren jika dilihat
dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India dan dari masyarakat Hindu.
Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan
untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan
banyak tersebar di Pulau Jawa, sistem tersebut kemudian diambil alih oleh Islam.
Sementera Mahmud Yunus menyatakan, bahwa asal-usul pendidikan yang digunakan
pondok pesantren berasal dari Baghdad dan merupakan bagian dari sistem
pendidikan saat itu.
Dengan kata lain, Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama
Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek)
di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau
madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seseorang
atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta
independen dalam segala hal. Menurut lembaga Research Islam, pesantren adalah
”suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran
agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya. (Mujamil Qomar,
Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta :
Erlangga, t.t). hlm 6
Atau dapat juga difahami Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam
yang tumbuh ditengah masyarakat dengan ciri, santri (murid) diasramakan dalam
proses mencari dan mendalami ilmu agama dibawah asuhan dan bimbingan Kyai dan
ustad yang berkharisma.
Dalam lembaga pendidikan pesantren terdapat beberapa varian yang sangat
penting dalam perjalanannya sebagai lembaga pendidikan, setidaknya terdapat lima
(5) varian yang penting dan terikat dalam pondok peosantren, walaupun sebenarnya
jumlah varian ini tidak mutlak lima, semua tergantung pada masing-masing pondok
pesantren tersebut. Kelima varian tersebut meliputi Kyai (Ulama), pondok (asrama),
masjid (mushola), santri dan proses pembelajaran dan pengkajian kitab-kitab klasik
atau biasa dikenal dengan istilah Kitab Kuning. Namun perlu dicermati bahwa
seiring dengan perkembangan zaman, banyak pondok pesantren pada
perkembangannya mendirikan lembaga pendidikan formal. Hal ini kemudian mau
tidak mau menambah varian lain dalam menangani perjalanan pondok pesantren
tersebut, bisa saja varian tamabahannya adalah, managemen, yayasan, sistem,
pengurus, organisasi, tata tertib dan mungkin juga yang lainnya, yang tentunya
tambahan varian dalam pondok pesantren disesuaikan dengan kebutuhannya.
 Kyai
Kyai sebenarnya istilah lain dari kata Ulama, namun orang jawa dan madura
khususnya sering mengistilahkan dan menyebut orang yang mengasuh pondok
pesantren dan sangat mendalam ilmu agamanua (Islam) adalah kyai. Sebagian besar
pondok pesantren di daerah jawa dan madura sosok Kyai merupakan sosok yang
sangat berpengaruh, kharismatik, berwibawa dan peduli dengan derita umatnya.
Selain kriteria tersebut kyai sebagian besar di daerah jawa dan madura adalah pendiri
dari pondok pesantren yang berada ditengah-tengah masyarakat. Maka tak heran
sosok kyai di masyarakat sangat dihormati, dikagumi dan dicintai oleh masyarakat.
Hal ini terjadi karena tidak sedikit para kyai selalu peduli, bermasyarakat dan
memperhatikan umat atau rakyat kecil. Dan banyak juga kyai dalam masyarakat
sering dijadikan tempat curhat segala persoalan yang terjadi pada masyarakat,
dimulai dari masalah minta nama anaknya, pertanian, ekonomi, sosial, politik,
budaya, agama hingga persoalan jodoh atau nasib. Dapat dikatakan sosok Kyai
dalam strata sosial masyarakat termasuk berada pada strata sosial yang tinggi hal ini
terjadi tidak lepas dari peranannya yang sangat besar untuk memberdayakan
masyarakat pada lingkungannya.
Sejak Islam mulai tersebar di pelosok jawa, terutama sejak abad 13 dan 14
Masehi, para kyai sudah mendapatkan status sosial yang tinggi. Di bawah
pemerintahan kolonial Belanda, sosok kyai mempunyai daya tawar tinggi. Walaupun
sebagian besar  kyai itu tinggal di desa yang jauh dari pusat kekuasaan dan
pemerintahan, namun mereka merupakan bagian dari kelompok elite masyarakat
yang disegani sekaligus berpengaruh baik secara politik, ekonomi, maupun sosial 
budaya. Tidak jarang suara kritis  dari kyai dianggap sebagai tindakan makar
terhadap Belanda.
Menurut asal muasalnya, sebagaimana telah dirinci oleh Zamakhsyari Dhofier,
perkataan atau istilah kyai dalam bahasa jawa sering dipakai untuk tiga jenis gelar
yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang
dianggap sakti dan kramat, misalnya kyai tombak pleret atau Kyai Garuda Kencana
yang dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di kraton Yogyakarta. Kedua,
sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua  pada umumnya. Ketiga, sebagai
gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang
memiliki atau menjadi pimpinan pesantren. Pada jenis ketiga inilah maksud dari kyai
yang terdapat dari pondok pesantren atau dalam bahasa arab sering diistilahkan
dengan Ulama.
Dalam pandangan al-Qur’an, Ulama dlihat sebagai bagian dari umat yang
memegang peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan masyarakat
yang mardhatillah. Ulama berasal dari bahasa Arab; ’alima, ya;lamu, ;alim yang
artinya orang yang mengetahui. Kata ’alim bentuk jamaknya adalah ’alimun.
Sedangkan ulama adalah bentuk jamak dari ’alim yang merupakan bentuk
mubalaghah, berarti orang yang sangat mendalam pengetahuannya.
Adapun ulama menurut arti terminologi ialah seorang yang ahli ilmu agama
Islam, baik menguasai ilmu Fiqh, ilmu tauhid atau ilmu agama lainnya, dan
mempunyai integritas  kepribadian yang tinggi, berakhlak mulia serta berpengaruh di
dalam masyarakat. Namun, pengertian ulama dalam perkembangannya, yaiut berarti
orang yang mendalam ilmu pengetahuan , baik ilmu pengetahuan yang bersumber
dari Allah SWT. Yang kemudian disebut ’ulum al-din, maupun ilmu pengetahuan
yang bersumber dari hasil penggunaan potensi akal dan indera manusia dalam
memahami ayat kauniyah yang kemudian disebut dengan ulum al-insaniyah atau
al-’ulum atau sains.
Pemahaman yang lebih mudah tentang ulama adalah seorang yang memahami,
menguasai dan mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Islam, seperti Tafsir
Al Qur’an, Fiqh, tauhid, Nahwu, Shorof, Tasawuf di dalam lembaga pesantren.
Banyak ragam dalam menyebut istilah ulama, Orang jawa dan madura sering
menyebutnya Kyai, jawa barat sering menyebutnya ajengan, lombok tuan guru dan
sumatera barat buya. Jadi sebenarnya kyai yang sering diistilahkan oleh orang jawa
dan madura adalah tidak jauh beda dengan istilah Ulama yang terdapat dalam bahasa
Arab (Qur’an).
 Pondok
Yang menjadi salah satu Ciri khas dari pondok pesantren adalah semua murid
(santri) yang mencari ilmu tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang
kyai dengan model menginap. Tempat tinggal sesaat untuk para santri ini yang
kemudian oleh orang jawa dipopulerkan dengan istilah pondok.
Pondok, atau tempat tinggal para santri merupakan ciri khas dari tradisi dan
sistem pendidikan pesantren dengan lemaga pendidikan serupa lainnya baik di dalam
ataupun di luar negeri. Seperti halnya yang dilakukan pada negara Afganistan, para
murid dan guru yang belum menikah mereka semua tinggal di masjid.
Istilah pondok dengan asrama menurut Saefudin Zuhri berbeda, beliau secara
tegas membedakan bahwa pondok bukanlah ”asrama” atau internaat, menurutnya
jika asrama telah disiapkan bangunanya sebelum calon penghuninya datang, dan
biasanya asrama di bangun oleh kalangan berada dengan keadaan ekonomi yang
mapan. Sedangkan pondok justru didirikan atas dasar gotong royong dari santri yang
telah belajar di pesantren dengan dibantu oleh masyarakat yang nota bene mereka
termasuk kategori ekonomi yang pas-pasan. Maka tak heran hubungan santri atau
masyarakat dengan pesantren mempunyai ikatan yang sangat erat, karena adanya
rasa memiliki pada lembaga pesantren tersebut, hal ini berbeda dengan lembaga
pendidikan lainnya.
Terdapat beberapa sebab mengapa lembaga pendidikan pesantren harus
menyediakan pondok (asrama) untuk tempat tinggal para santri dalam mencari ilmu.
Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam,
hal ini merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari
kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama, sehingga untuk
keperluan hal itulah seorang santri harus tinggal menetap. Kedua, hampir sebagian
besar pesantren berada di desa-desa yang jauh dari keramaian dan kekuasaan serta
tidak rersediannya perumahan yang cukup untuk menampung para santri, dengan
demikian diperlukan adanya pondok khusus. Ketiga, adanya timbal balik antara
santri dengan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti
bapaknya sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri
juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk
saling berdekatan secara terus menerus.
Selain itu kelebihan dari model pondok ini adalah, terciptanya suasana
lingkungan belajar yang kondusif, semangat belajar, keakraban antara santri dengan
santri, juga antara santri dengan kyai atau guru, kemandirian, tanggung jawab dan
pengawasan 24 jam baik dari antar santri ataupun dari kyai, serta masih banyak lagi
keunggulan dari pendidikan model pondok. Maka tak heran pada akhir-akhir ini
kemudian banyak bermunculan lembaga pendidikan formal yang meniru dengan
lembaga pesantren yang didirikan oleh para kyai, hal ini setidak nya dapat dilihat dari
munculnya istlilah boarding school (kelas asrama) pada beberapa lembaga
pendidikan formal baik yang negeri ataupun swasta.
 Masjid
Kedudukan msajid sebgai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan
manifestasi univesalisme dari sistem pendidikan Islam yang pernah dipraktekan oleh
Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses yang berkesinambungan fungsi
masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim. Tradisi penggunaan masjid sebagai
pusat aktifitas kaum muslim diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya.
Dimanapun kaum muslimin berada masjid sebagai pilihan ideal bagi tempat
pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan administrasi dan
kultural, bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem
klasikal, masjid merupakan tempat paling feresantatif untuk menyelenggarakan
pendidikan.
Secara etimologis menurut M. Quraish Shihab, masjid berasal dari bahasa Arab
”sajada” yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan hormat dan takdzim.
Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat aktifitas manusia yang
mencerminkan kepatuhan kepada Allah SWT. Masjid memiliki fungsi ganda, selain
tempat shalat dan ibadah lainnya, juga sebagai tempat pengajian terutama yang masih
memakai metode  sorogan dan wetonan (bandongan).
Posisi Masjid di kalangan pesantren mempunyai makna sendiri. Menurut KH.
Abdurahman Wahid, masjid sebagai tempat untuk mendidik dan menggembleng
santri agar lepas dari hawa nafsu, keberadaannya ditengah-tengah komplek pesantren
adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada pegunungan. Hal ini sebagai
indikasi bahwa nilai-niali kultural masyarakat setempat dipertimbangkan untuk
dilestarikan oleh pesantren.
 Santri
Santri adalah istilah lain dari murid atau siswa yang mencari ilmu pada
lembaga pendidikan formal, bedanya santri ini mencari ilmu pada pondok pesantren.
(Adapun Asal muasal kata santri dapat dilihat pada halaman sebelumnya). Dalam
dunia pesantren istilah santri terbagi menjadi dua kategori.
Pertama, santri mukim, yaitu santri yang berasal dari luar daerah pesantren
yang hendak bermukim dalam mencari ilmu. Ketika hendak berniat untuk bermukim,
santri tidak perli disibukan dengan membawa perlengkapan tidur seperti layaknya
dirumah. Karena dalam lingkungan pesantren sudah ditanamkan kesederhanaan dan
tanggungjawab. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren
terebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang
tanggungjawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga
bertanggungjawab mengajar santri –santri yunior tentang kitab-kitab dasar dan
menengah.
Kedua, santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari desa-desa di sekitar
pesantren.mereka bolak-balik (ngelajo) dari rumahnya sendiri. Para santri kalong
berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas lainnya. Apabila
pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kalong, maka
pesantren tersebut adalah pesantren besar. Dan sebaliknya, pesantren kecil memliki
lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.
 Pengajaran Kitab Kuning
Kitab kuning adalah ungkapan dari beberapa kitab klasik yang sering dikaji dan
dipelajari oleh para santri dan kyai. Biasanya kertas-kertas pada kitab yang dikaji
sudah lama usianya akan berubah menjadi kuning, oleh karenanya istilah kitab
kuning ini muncul. Yang biasanya dikaji dalam dunia pesantren adalah kitab-kitab
klasik madzhab syafi’i dalam bentuk bahasa arab tanpa disertai harakat, kitab ini juga
sering disebut dengan kitab gundul. Hal ini adalah merupakan satu-satunya metode
yang secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren di Indonesia khususnya
Jawa dan Madura.
Sebagian besar pondok pesantren yang terdapat di daerah Jawa dan Madura
masih menggunakan dan melestarikan pendalaman Kitab Kuning, walaupun pada
perkembangan nya banyak juga pondok pesantren yang menambah atau merubah
kurikulum dengan tidak melulu mengkaji dan mempelajari kitab kuning. Kitab-kitab
kuning yang sering diajarkan pada pondok pesantren secara garis besar dapat dibagi
menjadi delapan (8) kelompok : 1. Nahwu dan Sharaf (sering diistilahkan dengan
ilmu alat); 2. Fiqh; 3. Ushul Fiqh; 4. Hadis; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawuf dan
etika; dan 8.cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.
Terdapat dua model yang digunakan dalam pengkajian kitab kuning, model
pertama adalah sorogan, santri satu persatu secara bergantian mengaji atau membaca
kitab tertentu dengan kyai secara langsung. Dimana peran kyai dalam model ini
sebatas hanya menyimak bacaan yang dibacakan oleh santri dengan disertai
penjelasan, di sini peran santri harus aktif dalam proses pembelajaran. Kedua,
bandongan, pada model kedua ini peran kyai sangat aktif dalam proses
pembelajaran, di sini kyai membaca salah satu kitab disertai dengan penjelasan
dengan diikuti oleh sebagian besar santri yang ikut menerjemahkan kitab yang dibaca
oleh kyai. Dan biasanya bahasa yang sering digunakan dalam menerjemahkan kitab
adalah bahasa Jawa.
Selain kedua model diatas yang digunakan dalam proses belajar di pondok
pesantren, terdapat satu lagi model pembelajaran yang juga sering digunakan oleh
sebagian besar pondok pesantren di jawa dan madura, yakni Musyawarah. Dalam
kelas musyawarah sistem pembelajarannya sangat jauh berbeda dengan sistem
sorogan dan bandongan. Disini Para santri harus mempelajari kitab yang ditunjuk.
Dalam memimpin kelas musyawarah peran kyai seperti dalam seminar dan lebih
banyak dalam bentuk dialog atau tanya jawab, biasanya keseluruhan prosesnya
menggunakan bahasa Arab, dan ini adalah merupakan ajang latihan bagi para santri
untuk menguji keterampilanya dalam menyadap sumber-sumber argumentasi kitab-
kitab Islam klasik. Dan biasanya dalam kelas atau forum musyawarah ini, sebelum
menghadap kyai para santri mendiskusikan terlebih dahulu beberapa persoalan antar
mereka sendiri dengan menunjuk salah satu menjadi juru bicara  untuk
menyampaikan kesimpulan dari masalah yang akan disodorkan ke kyainya. Setelah
itu baru terjadi forum diskusi bebas.
Setelah kita memahami lebih jauh tentang pondok pesantren, sangat terasa
betapa hebat dan luar biasanya para kyai dalam mencoba mendesain lembaga
pendidikan yang sesuai dengan keadaan Nusantara (Indonesia), yang tentunya
lembaga pondok pesantren ini berbeda dengan lembaga pendidikan formal lainnya
yang berkembang di masyarakat kita. Sebagian besar lembaga pendidikan formal
yang berkembang di masyarakat adalah mengadopsi pada sistem pendidikan barat
(Belanda) sebagai salah satu peninggalan yang diwariskan oleh Belanda pada masa
penjajahan.
Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan
asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya,
karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk
memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader
Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik
dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut KH. Abdurahman
Wahid bahwa tradisi keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan
intelektual yang terjadi pada sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam.
Menurutnya dalam sejarah tradisi intelektual Islam pada mulanya adalah melahirkan
pakar-pakar ilmu agama, seperti Ibn Abbas dalam tafsir, Abdullah ibn Mas’ud dalam
fiqh dan lain sebagainya.
2. Madrasah
Sejatinya madrasah dalam peta dunia pendidikan di Indonesia bukanlah suatu
lembaga yang indegenous (pribumi). Setidaknya hal ini dapat dilihat dari kata
”madrasah” itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab. Secara harfiah, kata ini berarti
atau setara maknanya dengan kata Indonesia, yakni ”sekolah”, (kata ini juga
sebenarnya bukanlah kata asli Indonesia melainkan bahasa Inggris ”school ataupun
scola, namun kata ini dialihkan dan di bakukan menjadi bahasa Indonesia.
Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses
pembelajaran. Maksudnya adalah, di madrasah inilah anak menjalani proses belajar
secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madsarah
menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan
sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madarasah ini mempunyai konotasi spesifik.
Yakni sebagai lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan
pendidikannya menitikberatkan pada persoalan agama. Kata madrasah, yang secara
harfiah identik dengan sekolah agama, lambat laun sesuai dengan perjalan peradaban
bangsa mengalami perubahan dalam meteri pelajaran yang diberikan kepada anak
peserta didiknya, madrasah dalam kegiatan pembelajarannya mulai menambah
dengan mata pelajaran umum yang tidak melepaskan diri dari makna asalnya yang
sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.
Pada dasarnya madrasah dengan pondok pesantren tidak jauh berbeda, masing-
masing mempunyai model dan tujuan yang sama dalam melaksanakan proses belajar
mengajar. Dalam catatan sejarah madrasah lahir dari lingkungan pondok pesantren,
atau dengan kata lain madrasah adalah perluasan dan pengembangan pendidikan dari
pondok pesantren yang mempunyai misi untuk mencerdaskan anak bangsa yang pada
saat itu belum ada keinginan untuk tinggal atau menginap di pondok dalam proses
belajarnya. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari para pendiri awal lembaga
pendidikan Madrasah yang sebagian besar didirikan oleh para Ulama yang menjadi
pengasuh dan sekaligus pendiri Pondok Pesantren pada lembaganya masing-masing.
Diawali oleh Syekh Amrullah Ahmad (1907) di Padang mendirikan Madrasah, KH.
Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, KH Wahab Hasbullah bersama KH Mansyur
(1914) dan KH. Hasym asy’ari yang pada tahun 1919 mendirikan Madrasah
Salafiyah di Tebuireng Jombang.
Instutisi ini memang lahir pada kurun awal abad 20 M, yang saat itu dapat
dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di
Indonesia. Memasuki abad 20 M, banyak orang-orang Islam Indonesia mulai
menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-
kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan
perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia, apabila mereka terus
melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam.
Munculnya kesadaran kritis tersebut di kalangan umat Islam di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari kiprah kaum terdidik lulusan pendidikan Mesir atau Timur Tengah
yang telah banyak menyerap semangat pembaruan (modernisme) di sana,
sekembalinya ke tanah air mereka melakukan pengembangan pendidikan barr yang
lazim disebut madrasah dengan menerapkan metode dan kurikulum baru.
Munculnya madrasah menurut para sejarawan pendidikan sebagai salah satu
bentuk pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Alasannya adalah secara historis
awal kemunculan madrasah dapat dilihat pada dua situasi; adanya pembaruan Islam
di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan
Hindia Belanda. Dari sini dapat diartikan bahwa munculnya madrasah mengandung
kritik pada lembaga pendidikan sebelumnya, yakni pondok pesantren. Dapat
dikatakan munculnya madrasah sebagai usaha untuk pembaruan dan menjembatani
hubungan antara sistem tradisional (pesantren) dengan sistem pendidikan modern.
Dan hal ini juga merupakan sebagai upaya penyempurnaan terhadap sistem
pendidikan di pondok pesantren kearah suatu sistem pendidikan yang lebih
memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah yang
umum. Maka tak heran belakangan banyak bermunculan madrasah dilingkungan
pondok pesantren.
Selain bentuk dari kritikan atas pesantren, Berdirinya madrasah pada
lingkungan pondok pesantren ini awal mulanya adalah untuk menampung keinginan
dari para santri yang tidak hanya ingin mengaji semata namun juga ingin sekolah
pada lembaga pendidikan formal yang kemudian pada akhirnya mendapatkan ijazah.
Setidaknya hal ini dapat dilihat dari beberapa wilayah di pulau jawa, madura,
sumatera dan kalimantan yang banyak sekali bermunculan madrasah pada
lingkungan pondok pesantren.
Banyaknya madrasah yang bermunculan pada lingkungan pondok pesantren
ini, kemudian oleh Mukti Ali sering disebut dengan Madrasah dalam Pesantren.
Kemudian dalam perkembanganya model madrasah yang seperti ini sering di
istilahkan sebagai Madrasah Berbasis Pesantren. Maraknya madrasah pada
lingkungan madrasah, menurut Steenbrink, tidak serta merta kemudian menghapus
tradisi pesantren yang sudah ada dan bertahan lama, hal ini setidaknya dapat diliha
dari tradisi-tradisi keagamaan, tradisi intelektual  dan tradisi kepemimpinan khas
pesantren masih banyak di temukan pada madrasah yang berada di lingkungan
pesantren.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi
perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas
pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju
saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural.
oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini
mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan
sejarah, madarasah pernah menjadi lembaga pendidikan par excellence di dunia
Islam, hal ini terjadi karena kedudukannya yang sedemikian prestisius di mata umat
Islam. Melalui lembaga ini, dinamika intelektual-keagamaan mencapai puncaknya,
kendati memang eksistensinya belum bisa terlepas sepenuhnya dari kepentingan
politik penguasa.
Selanjutnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 melalui Badan Pekerja Nasional Pusat (BPNIP) sebaga badan legislatif pada
saat itu, dalam pengumumannya tertanggal 22 Desember 1945 (berita RI tahun II No.
4 dan 5 halaman 20 kolom 1) berbunyi, ” Dalam memajukan pendidikan dan
pengajaran sekurang-kurangnya diusahakan agar pengajaran di lamggar-langgar dan
madrasah tetap berjalan terus dan di perpesat”. Setelah pengumuman di bacakan,
BPNIP memberi masukan kepada pemerintah saat itu agar madrasah dan pondok
pesantren mendapatkan perhatian dan bantuan materil dari pemerintah guna
memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan pada lembaga tersebut, karena
madrasah dan pondok pesantren pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber
pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat
Indonesia pada umumnya.
Guna merespon apa yang telah diumumkan dan masukan dari BPNIP kepada
pemerintah yang terbentuk, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah
membentuk kementerian Agama, kementrian yang baru ini dalam sturktur
organisasinya pada bagian C memuat tentang tugas pada bagian pendidikan adalah
mengurusi masalah-masalah pendidikan agama di sekolah umum dan masalah-
masalah pendidikan di sekolah agama (madrasah dan pondok pesantren). Dan tidak
lama kemudian Mentri Agama yang pada saat itu di jabat oleh K.H. Wahid Hasym
mengeluarkan peraturan Mentri Agama No. 1 tahun 1946 tentang pemberian bantuan
kepada madrasah yang kemudian di sempurnakan dan terakihr dengan peraturan
Mentri Agama no. 3 tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada Perguruan
Agama Islam. Kemudian guna mengantisipasi adanya dikotomi antara pendidikan
agama dengan pendidikan umum, maka Mentri Agama pada saat itu mengajurkan
kepada semua madrasah untuk memasukan tujuh mata pelajaran di lingkungan
madrasah, yaitu, pelajaran membaca dan menulis, ilmu hitung, bahasa Indonesia,
sejarah, ilmu bumi dan olah raga.
Kemudian guna memajukan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah dan
mengembangkan sistem pendidikan nasional yang integral, kementrian Agama yang
saat itu dijabat oleh Mukti Ali pada tahun 1975 mengeluarkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) antara Mentri Agama, Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan
Mentri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975 037/U/1975 dan No. 36 Tahun 1975 pada
tanggal 24 Maret 1975 beserta Instruksi Presiden no. 15 Tahun 1974 pada sidang
kabinet terbatas tertanggal 26 November 1974. adapun substansi dari SKB tersebut
adalah,
Pertama, ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah
sekolah umum yang sederajat. Kedua, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke
sekolah umum yang setingkat lebih atas. Dan Ketiga, siswa madrasah dapat
berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Setelah melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika,
akhirnya madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah.
Undang-undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan
kedudukan madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya
masyarakat ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah
umum dengan sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya
melekat pada lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku
bagi madrasah
Kalau kita lihat dari sejarah sosial pendidikan, dinamika munculnya madrasah
adalah merupakan manifestasi dari perubahan tuntutan sosial umat Islam dari waktu
ke waktu untuk menuntut adanya kualitas pendidikan yang baik dan bermutu dengan
tidak melepas pada akarnya yakni sistem pendidikan pondok pesantren. Sudah
menjadi keharusan bagi pemerintah yang ada untuk peduli dan memperhatikan
eksistensi dari lembaga pendidikan yang asli pribumi (Pondok Pesantren) dengan
lembaga yang merupakan hasil dialektika antara pendidikan tradisional dengan
pengaruh pendidikan modern barat, yakni madrasah, kita perlu jujur bahwa
keberadaan lembaga pendidikan Islam ini sampai sekarang masih tergolong kelas
rendahan dengan mutu dan kualitas yang jauh berbeda dengan lembaga pendidikan
umum. Ia harus mendapat dukungan penuh dari pelbagai sumber, terutama
pemerintah yang dalam pemberian dukungannya harus steril dari aroma politik dan
ekonomi, agar lembaga pendidikan Islam ini bisa terus eksis mendampingi dan
mengawal perjalanan bangsa pada kemudian harinya.
3. Sekolah
Sebelum masa penjajahan, pendidikan yang ada di Indonesia berupa
pendidikan non formal. Pendidikan ini telah ada sejak Zaman Kerajaan Hindu (atau
sebelumnya), sekolah/pendidikan dilangsungkan di tempat Ibadah, perguruan atau
padepokan. Ketika Belanda mulai memporak-porandakan Nusantara (Indonesia)
dengan bentuk penjajahan dengan mengambil semua kekayaan dan rempah-rempah
pada sebagian besar wilayah Indonesia, Belanda pun mulai melakukan penjajahan
terhadap dunia pendidikan yang saebelumnya banyak dilakukan oleh warga pribumi
pada tempat-tempat ibadah dan pondok pesantren. Penjajahan yang dilakukan dengan
membentuk lembaga pendidikan baru yang dinamakan Sekolah.
Adalah pada tanggal 8 Maret 1819, Gubernur Belanda yang ditugaskan
mengawasi Indonesia dengan nama lengkapnya Jenderal Vander Capellen
memerintahakan kepada anak buahnya untuk mengadakan penelitian tentang
pendidikan masyarakat jawa, tujuan dari adanya penelitian saat itu adalah guna
meningkatkan kemampuan membaca dan menulis di kalangan mereka. Dengan hasil
penelitain tersebut diharapkan, pelaksanaan undang-undang dan peraturan
pendidikan dapat diperbaiki, secara khusus juga diteliti apakah saebaiknya guru yang
ada dimanfaatkan dan diberikan motivasi melalui peraturan yang sesuai, atau perlu
menciptakan suatu keadaan yang berbeda sama sekali.
Satu abad kemudian, Brugmans membicarakan penelitan tersebut dan menduga
bahwa Gubernur Jenderal Van der Capellen hendak melaksanakan satu jenis
pendidikan yang berdasarkan pribumi murni, secara teratur dan disesuaikan dengan
masyarakat desa, yang dihubungkan erat pada pendidikan Islam yang sudah ada pada
sebelumnya. Dan pada akhir abad yang lalu, beberapa kali terdapat usulan agar
lembaga pendidikan Islam yang ada dimanfaatkan pada kebijaksanaan untuk
mengembangkan system pendidikan umum. Akan tetapi pada reorganisasi dan
pengembangan system pendidikan colonial, dalam kenyataannya pemerintah selalu
memilih jalan lain dari pada menyesuaikan diri dengan pendidikan Islam. Kemudian
pada saat yang sama, di Minahasa dan Maluku berdiri sekolah yang dikelola oleh
zending. Sekolah ini mendapatkan subsidi dari pemerintah Belanda. Sekolah yang
dibentuk ini tidak jauh beda dengan lembaga pendidikan tradisional yang sudah ada
apda pulau jawa, yakni 100 % memusatkan diri pada pendidikan agama, bedanya
sekolah yang dikelola oleh zending ini memusatkan pada pendidikan Kristen. Tahap
awal yang ia lakukan adalah, menterjemahkan Bybel ke dalam bahasa Melayu. Bagi
sekolah-sekolah yang dikelola oleh zending buku terjemahan Bybel kedalam bahasa
Melayu adalah buku yang amat penting. Harapannya dengan diterjemahkannya
Bybel ini masyarakat setempat dapat memiliki kemampuan dalam membaca dan
menulis.
Disampung itu dalam sekolah tersebut juga diajarkan ilmu bumi, ilmu sejarah
dan ilmu musik. Namun dalam ilmu yang diajarkan sebagian besar mengisahkan
perjalanan Rasul Paulus, sejarah Bybel dan musik gerejani. Guru-guru setempat
banyak yang mendapatkan pendidikan pada lembaga yang didirikan oleh zending.
Harapannya adalah, kelak para guru tersebut dapat menjadi pemimpin agama pada
masyarakat setempat.
Akibat inspeksi pendidikan colonial yang dilakukan oleh Gubernur Van der
Chijs pada tahun 1867, sekolah yang dikelola oleh zending ini kemudian masuk
kedalam system pendidikan umum gubernemen, masuknya sekolah tersebut secara
otomatis sekolah yang dikelola oleh zending tersebut masuk kedalam system sekolah
umum. Masuknya sekolah yang dikelola oleh zending ini kedalam system sekolah
umum bila dibandingkan dengan Pondok Pesantren yang masuk kedalam system
pendidikan umum ini lebih mudah. Hal ini disebabkan antrara lain karena para murid
sekolah tersebut sudah terbiasa dengan tulisan latin dan mampu berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu ini merupakan bahasa yang
penting dalam tugas sehari-hari pada lingkup gubernemen.
Disaat pergantian abad 20, beberapa tokoh berfikir untuk mencari
kemungkinan melibatkan pendidikan Islam dalam pengembangan pendidikan. Hal itu
disebabkan karena pendidikan Islam tersebut dibiayai oleh rakyat sendiri, dan dengan
demikian pendidikan umum akan dapat direalisasikan dengan biaya yang relatif lebih
murah. Akan tetapi karena alasan politis, penggabungan sistem tersebut tidak
terlaksana, sebagai akubat konsekwensi logis dari kebijaksanaan pemerintah kolonial
Belanda yang tidak mau campur tangan dalam persoalan Islam. Kemudian pada
tahun 1888 Mentri kolonial menolak memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah
Islam karena campur tangan Gubernur Jenderal yang tidak mau mengorbankan
keuangan negarauntuk sekolah-sekolah tersebut, yang pada akhirnya hanya berhasol
mengembangkan suatu sistem pendidikan yang sebenarnya tidak menguntungkan
pengaruh dan kewajiban kira (Belanda). Kemudian berdasarkan pertimbangan
tersebut, didirikanlah apa yang disebut sekolah desa, sebuah lembaga pendidikan
sederhana yang membuka jalan kearah terwujudnya pendidikan umum, namum pada
saat itu usulan untuk menggabungkan pendidikan Islam ditolak.
Akhirnya semenjak persoalan tersebut, sekolah Islam mengambil jalan sendiri
dengan melepas dari Gubernemen, sekolah Islam tetap berpegang pada tradisinya
sendiri, tetapi sekolah Islam juga terbuka untuk perubahan dalam tradisi tersebut.
Memang Pendidikan formal di Indonesia mulai dikenal pada masa penjajahan,
pada awal masa penjajahan sampai tahun 1903 sekolah formal masih dikhususkan
bagi warga Belanda di Hindia Belanda. Sekolah yang ada pada masa itu diantaranya
ELS, HIS,HCS, MULO dan AMS. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a) ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsch
School) sekolah dasar dengan lama studi sekitar 7 tahun. Sekolah ini
menggonakan sistem dan metode seperti sekolah di negeri belanda
b) HBS (Hogere Burger School) yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama
untuk warga negara pribumi dengan lama belajar 5 tahun. AMS (Algemeen
Metddelbare School) mirip HBS, namun setingkat SLTA/SMA. 3. Sekolah Bumi
Putera (Inlandsch School) dengan bahasa pengantar belajarnya adalah bahasa
daerah dan lama study selama 5 tahun.
c) Sekolah Desa (Volksch School) dengan bahasa pengantar belajar bahasa daerah
sekitar dan lama belajar adalah 3 tahun.
d) Sekolah lanjutan untuk sekolah desa (Vervolksch School) belajar dengan bahasa
pengantarnya bahasa daerah dan masa belajar selama 2 tahun.
e) Sekolah Peralihan (Schakel School) yaitu sekolah lanjutan untuk sekolah desa
dengan lama belajar 5 tahun dan berbahasa belanda dalam kegiatan belajar
mengajar.
f) MULO Sekolah lanjutan tingkat pertama singkatan dari Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs dengan tingkatan yang sama dengan smp / sltp pada saat jika
dibandingkan dengan masa kini.
Pada dekade awal abad kedua puluh, atas prakarsa masyarakat penguasa waktu
itu. Muncul Gagasan untuk mendirikan Sekolah Indonesia, pada mula pendirianya
sekolah Indonesia terutama dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknik
yang menjadi sulit karena terganggunya hubungan antara negeri Belanda dan wilayah
jajahannya di kawasan Nusantara, sebagai akibat pecahnya Perang Dunia Pertama.
De Techniche Hoogeschool te Indonesia berdiri tanggal 3 Juli 1920 dengan satu
fakultas de Faculteit van Technische Wetenschap yang hanya mempunyai satu
jurusan de afdeeling der Weg en Waterbouw. Kemudian karena Didorong oleh
gagasan dan keyakinan yang dilandasi semangat perjuangan Proklamasi
Kemerdekaan serta wawasan ke masa depan, Pemerintah Indonesia meresmikan
berdirinya Sekolah Indonesia pada tanggal 2 Maret 1959. Berdirinya Sekolah
Indonesia ini Berbeda dengan harkat pendirian lima sekolah teknik sebelumnya di
kampus yang sama, Sekolah Indonesia lahir dalam suasana penuh dinamika
mengemban misi pengabdian ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berpijak pada
kehidupan nyata di bumi sendiri bagi kehidupan dan pembangunan bangsa yang
maju dan bermartabat.
C. Kesimpulan
Berdasarkan amanat UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan
pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh rakyat dibebankan
untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional. Guna
menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, maka pemerintah memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga
pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau dikelola oleh yayasan yang
masih tetap berada dalam kordinasi pemerintah.
Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan
sama namun berbeda dalam pengelolaannya dan masing-masing mempunyai ciri khas.
Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit
terjadi persaingan diantara lembaga pendidikan yang ada.
Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli
Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya, karena
kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk
memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader Ulama
yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik dan benar dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut KH. Abdurahman Wahid bahwa tradisi
keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual yang terjadi pada
sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi
perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas
pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu,
adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural. Oleh
karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini mempunyai citra
“eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan sejarah, madarasah pernah
menjadi lembaga pendidikan par excellence di dunia Islam.
Pendidikan formal di Indonesia mulai dikenal pada masa penjajahan, pada awal masa
penjajahan sampai tahun 1903 sekolah formal masih dikhususkan bagi warga Belanda di
Hindia Belanda. Sekolah yang ada pada masa itu diantaranya ELS, HIS, HCS, MULO dan
AMS. Kemudian karena Didorong oleh gagasan dan keyakinan yang dilandasi semangat
perjuangan Proklamasi Kemerdekaan serta wawasan ke masa depan, Pemerintah Indonesia
akhirnya meresmikan berdirinya Sekolah Indonesia pada tanggal 2 Maret 1959. Sekolah
Indonesia lahir dalam suasana penuh dinamika mengemban misi pengabdian ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang berpijak pada kehidupan nyata di bumi sendiri bagi
kehidupan dan pembangunan bangsa yang maju dan bermartabat.

Anda mungkin juga menyukai