Anda di halaman 1dari 1

Pada artikel yang telah dipaparkan, disini terlebih dahulu saya simpulkan bahwa

adanya atau munculnya pesantren memiliki tujuan tersendiri. Hakikat pesantren merupakan
sebuah wadah untuk mencetak generasi-generasi yang berakhlak, berilmu, berprestasi, dan
memberikan kebermanfaatan bagi orang lain. Sedangkan tujuan dari pondok pesantren
sendiri yaitu dalam pengajarannya tidak hanya bersifat keagamaan saja, akan tetapi, juga
memiliki relevansi dengan berbagai segi kehidupan guna melestarikan kebudayaan
masyarakat. Karena tujuan yang ingin dicapai oleh pesantren yaitu bukan mencetak santri
yang hanya ta’lim terhadap pengajaran, namun juga ta’dim dalam membangun kerakter.
Begitulah pemikiran Gusdur mengenai pesantren sehingga pesantren disebut sebagai
subkultur. Selain itu, Keberhasilan pesantren selama ini mempertahankan diri dari serangan
kultural yang silih berganti, sebagaian besar dapat dicari sumbernya pada karisma yang
cukup fleksibel untuk mengadakan inovasi pada waktunya.
Dari situ tampak nyata bahwa proses perubahan sedang terjadi di pesantren, Demikian
pula tantangan-tantangn yang dihadapi pesantren dewasa ini, memiliki intensitas lebih tinggi
daripada perubahan gradual yang dialami pesantren di masa lampau. Karenanya, pesantren
dewasa ini dapat dikatakan berada dipersimpangan jalan yang sangat menentukan bagi
kelanjutan hidupnya sendiri. Kemampuan pesantren untuk tetap dapat mempertahankan
identitas dirinya yang bersifat subkultural sedang diuji. Masih menjadi pertanyaan besar
mampu atau tidaknya ia menyerap perubahan demi perubahan kultural yang sedang dan akan
berlangsung di masyarakat.
Hal ini serupa dengan usaha pengenalan identitas kultural yang dilakukan dari luar
kalangan pesantren. Padahal setidaknya seperti apa yang dikatakan oleh Gusdur bahwa cara
yang terbaik untuk mengenal hakikat pada sebuah lembaga kemasyarakatan termasuk
pesantren adalah dengan kalangan lembaga itu sendiri yang melakukan identifikasi dalam
bentuk monografi-monografi agar komponen-komponen pada lembaga masyarakat tersebut
dapat terkuak lebih jelas. Seperti, Pertama, pada sistem budaya nya dimana disini pesantren
lengkap terdiri dari, pondok pesantren itu sendiri, kyai atau pengasuh, santri, ustadz,
musholla sebagai tempat jamaah, ngaji, dan lain-lain., Kedua, sistem sosial pada pesantren
yang mana disini pesantren menerapkan bebrapa kegiatan seperti mengaji kepada kyai atau
ustadz, jama’ah, kerja bakti, dan lain-lain. Kemudian menghukum santri yang tidak
mengikuti aktivitas, menerapkan peraturan dan menghukum kepada yang melanggar. Ketiga,
Sistem kepribadian yang ada pada di lingkungan pesantren yakni, kesediaan melakukan
segenap perintah kyai guna memperoleh berkah kyai, sudah barang tentu memberikan bekas
yang mendalam pada jiwa seorang santri, dan bekas inilah yang pada gilianya nanti akan
membebtuk sikap hidupnya sendiri. Sikap hidup bentukan pesantren ini, apabila dibawakan
kedalam kehidupan masyarakat luar, sudah barang tentu pula akan menjadi pilihan ideal bagi
sikap hidup rawan yang serba tak menentu yang merupakan ciri utama kondisi serba
transisionil dalam masyarakat dewasa ini. Di sinilah letak daya tarik yang besar dari pesanten
sehingga para orang tua masih cukup banyak yang bersedia mengirimkan putera-puterinya
untuk belajar di pesantren. Dan yang terakhir adalah sistem organisme, dimana disini kita
melacak bagaimana perkembangan para santri dengan adanya aktivitas-aktivitas yang
diselenggarakan di pesantren.
Oleh karena itu, mengingat kita juga sebagai santri maka kita harus bisa menanamkan
nilai-nilai moral yang sudah diterapkan di pesantren, ta’lim terhadap pengajaran, terutama
ta’dhim terhadap para Kyai, Ustadz/ah

Anda mungkin juga menyukai