Anda di halaman 1dari 11

PENTINGNYA PENDIDIKAN BAGI PEREMPUAN

Disusun oleh :
Russelia Putri 208330038
Wina hanania 208330025

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MEDAN AREA


ABSTRAK

Pendidikan dan perempuan, kedua elemen yang berbeda namun tak dapat dipisahkan. Sistem
pendidikan jika tak menyertakan perempuan maka itu bukan esensi pendidikan, karena
pendidikan adalah bagaimana menciptakan keadilan yang humanis. Karena dengan mengalienasi
perempuan dari pendidikan, maka sama halnya dengan melanggengkan kebodohan untuk
dominasi kekuasaan pada segelintir mahkluk.
Salah satu permasalahan yang dianggap paling berat untuk perempuan ialah rekognisi
pendidikan untuk perempuan, realitas yang umum kita jumpai perempuan selalu dipandang
sebelah mata. Karena pendidikan untuk perempuan tak diterapkan secara fundamental, hanya
sebagai formalitas semata atau lebih parahnya jika pandangan bahwa pendidikan untuk
perempuan seharusnya tak diberikan sama sekali, agar tunduk pada sistem dan semakin
terkungkung dalam penindasan.
Pemikiran akan pentingnya pendidikan untuk perempuan tak hanya dilayangkan oleh para
pemikir Barat saja, namun dalam konteks Indonesia, ada pemikir serta pegiat perempuan lokal
yang memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan secara layak,dia adalah
R.A. Kartini. Kartini menuangkan pemikirannya dalam surat-surat yang dikirimkan kepada J. H.
Abendanon. Kumpulan surat pribadi Kartini tersebut kemudian diterbitkan pada tahun 1912
dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) Kumpulan surat Kartini
tersebut menjadi sebuah alternatif pemikiran tentang pendidikan perempuan. Sebagai sebuah
kritik sosial pada realitas, bahwasanya perempuan juga perlu pendidikan. Salah satu pokok
substansi pemikiran Kartini adalah Emansipasi atau upaya mewujudkan kesetaraan perempuan
dalam mendapatkan pendidikan.
Kedua pernyataan tersebut dapat digunakan sebagai acuan tentang peran perempuan dalam hal
pendidikan, bagaimana institusi pendidikan dan lingkungan memberikan hak kepada perempuan
untuk memperoleh pendidikan dengan sepenuhnya tanpa ada intrik sosial. Perempuan jangan lagi
mengalami ketertinggalan perihal pemikiran dan pengetahuan. Karena aspek pendidikan untuk
perempuan berpengaruh pada segala bidang, bahkan jika seorang perempuan memilih menjadi
ibu rumah tangga, diperlukan pula pembekalan akan hal tersebut. Pendidikan bukan hanya milik
perempuan yang memiliki akses ekonomi atau strata sosial menengah ke atas, melainkan dapat
dinikmati oleh seluruh perempuan secara merata, itulah arti kesetaraan itu sendiri.

A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sebuah aspek yang sangat penting bagi setiap manusia. Pendidikan dapat
diartikan sebagai peroses pembelajaran bagi peserta didik untuk mengerti, memahami dan
membuat manusia lebih pandai dalam berfikir. Meraih kesuksesan memang impian dari semua
orang, terutama pada wanita.
Jalan yang di lakukan untuk memperoleh kesuksesan setiap wanita berbeda-beda, ada yang
melaluinya mulai dari nol hingga menjadi wanita yang berkarir dan sukses dan banyak lagi cara
lainnya yang di lakukan oleh setiap wanita. Membahas tentang pendidikan tinggi mungkin bukan
hal yang asing di masa sekarang ini, bahkan di zaman yang berkembang pesat secara teknologi
dan ilmu pengetahuan membuat semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya sebuah
pendidikan.
Pendidikan pada masa sekarang ini seharusnya tidak memandang apakah itu laki-laki ataupun
perempuan. Memiliki pendidikan yang tinggi bagi seorang wanita mungkin bukan suatu hal yang
mudah untuk di capainya. Apa lagi status pada perempuan yang kelak akan menjadi seorang ibu
rumah tangga. Tidak lah salah jika nanti seorang wanita akan menjadi ibu rumah tangga tetapi
memiliki pendidikan yang tinggi.
Bukan hanya sekedar pendidikan formal yang di dapat dari sekolah saja yang harus di lakukan
oleh setiap wanita tetapi bagaimana seorang wanita memiliki pengetahuan yang luas dan
berusaha meraih pendidikan yang lebih baik.
Melalui pendidikan yang baik kita bisa semakin menambah ilmu, melalui pendidikan yang baik
kita bisa semakin berfikir kreatif dan berdampak positif bagi orang lain. Dengan melalui
pendidikan kita bisa mengubah hidup kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Melalui
pendidikan yang baik dengan apa yang kita raih maka kelak nanti akan menjadi ibu yang baik
untuk anak-anaknya.

B. KAJIAN TEORI
Pendidikan sangat penting untuk menunjang hidup seseorang, salah satunya yaitu untuk
membantu karir khususnya bagi seorang pria. Selain untuk membantu karir seseorang pendidikan
juga berfungsi untuk memperbaiki pola pikir, memperbanyak pengalaman dan membawa
wawasan yang mungkin akan menjadi berguna untuk diri sendiri, keluarga, sahabat, orang lain
dan khususnya bagi seorang suami apabila suatu saat nanti wanita menjadi seorang istri.
Indonesia sudah memiliki banyak sejarah tentang wanita dan pendidikan, misalnya seperti R.A.
Kartini adalah seorang yang memperjuangkan hak-hak seorang wanita untuk memperoleh
pendidikan yang baik atau setara dan R.A. Kartini merupakan satu-satunya tokoh wanita yang
waktu itu mengatakan bahwa perempuan juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan,
dengan perjuangan yang berat akhirnya beliau mampu untuk membawa perubahan kepada
seorang perempuan di Indonesia, sehingga sampai dengan saat ini perempuan indonesia
memperoleh banyak kebebasan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki.
Ini sudah membuktikan bahwa para pahlawan kita terdahulu sudah memikirkan kondisi seorang
wanita dan ingin memperbaiki nasib seorang wanita dengan melakukan suatu tindakan-tindakan
yang nyata. Hal ini di lakukan karena para pejuang kaum wanita di Indonesia sudah memikirkan
betapa pentingnya pendidikan bagi kaum wanita.
Tetapi di Indonesia ini tidak banyak orang yang berfikir bahwa pendidikan tidak terlalu penting
bagi wanita, karena apabila nanti seorang wanita menikah dan menjadi seorang istri maka
wanitalah yang akan di berikan nafkah oleh suaminya, bukan malah wanita yang memberikan
nafkah untuk suaminya.
Di masa yang semakin berkembang ini, banyak orang yang mulai menyadari akan pentingnya
sebuah pendidikan bagi kehidupan. Akan tetapi di daerah-daerah plosok atau daerah terpencil,
masi ada orang tua yang mempunyai fikiran bahwa pendidikan bukanlah suatu hal yang penting
bagi seorang wanita, karena menurut mereka tidak ada gunanya pendidikan yang tinggi bagi
seorang wanita yang nantinya akan menghabiskan banyak waktu dan biaya yang di keluarkan
sedangkan menurut kodrat tertinggi seorang wanita akan menjadi ibu bagi anak-anaknya dan
mengurus rumah tangga.
Dan juga masih ada seorang wanita yang mempunyai tanggapan ," Untuk apa sekolah susah-
susah kalau nantinya hanya mengurus anak?", memang benar , dan ada lagi yang mengatakan
"Ujung-ujungnya wanita pasti akan kembali ke dapur juga" karena itu semua adalah kenyataan
yang memang sulit untuk di bantahkan , dan semua wanita pastinya tugasnya mengurus anak dan
mengurus rumah tangga.
akan tetapi Perempuan memiliki peranan yang sangat penting dalam hal pendidikan, bahkan
pendidikan pertama yang diberikan kepada anak ialah dari seorang ibu. Ibu memiliki andil yang
besar dalam melakukan pengembangan potensi anak. Bukan berati tugas mendidik hanya
diberikan kepada ibu semata, ayah juga berpengaruh terhadap proses pendidikan anak, namun
tidak seotentik seorang ibu. Karena ibu memiliki keterikatan batin yang kuat dengan anak. Ada
sebuah pepatah yang mengatakan jika perempuan cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas
pula. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan akan berpengaruh dalam pola pikir dalam
berkeluarga, cara mendidika anak dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan di keluarga.
Kartini dapat dikatakan sebagai tokoh pembaru di bidang pendidikan perempuan, yang memiliki
terobosan dalam mengajarkan pentingnya arti pendidikan bagi perempuan. Perjuangannya
tersebut berhasil memberikan perubahan bagi perempuan menuju pemikiran yang lebih maju.
Bahwa semestinya perempuan juga harus memiliki peranan penting dalam lingkungan sosial
mereka.
Sukarno kemudian menafsirkan perempuan dalam sepenggal kalimat “Perempuan itu tiang
negeri,”dalam konteks kalimat dari Sukarno tersebut, maka seharusnya perempuan sadar akan
posisinya untuk mencetak peradaban bangsa yang berkemajuan. Sedangkan alat untuk
menjalankannya ialah pendidikan, jika perempuan mendapatkan pendidikan yang baik, maka
jangan heran jika sebuah negara atau institusi di mana perempuan itu berpijak akan mengangkat
martabat bangsa.
Pendidikan bukan hanya berkaitan soal mengasah akal dan tingkat intelektual saja, namun juga
memperhatikan kepribadian. Kartini mengatakan jika pendidikan bukan hanya mempertajam
akal, budi pekerti pun juga harus dipertinggi. Intinya ialah dalam menjalankan sistem
pendidikan, tidak hanya mengutamakan tingkat kecerdasan semata, namun juga menanamkan
budi pekerti pula. Jika hanya mengunggulkan sisi kecerdasan tanpa memperhatikan hal yang
lain, maka yang terjadi ialah rasa superioritas dan rendahnya sikap kemanusiaan.
Pendidikan diberikan bukan hanya dalam lembaga formal saja, namun juga diperlukan
bimbingan pendidikan non formal. Pendidikan formal tidak sepenuhnya berjalan baik jika tidak
diiringi oleh pendidikan non formal yang berupa peranan keluarga dan lingkungan dalam
penerapan pendidikan. Joesoef Sulaiman dalam Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah
mengemukakan
“Di dalam keluargalah anak pertama-tama menerima pendidikan, dan pendidikan yang diperoleh
dalam keluarga ini merupakan pendidikan yang terpenting atau utama terhadap perkembangan
pribadi anak.”
Keluarga adalah elemen terpenting dalam pembentukan dan pengembangan karakter seorang
anak. Itulah sebabnya penekanan pendidikan kerap kali diberikan pada pendidikan non formal
atau keluarga. Karena keluarga berperan sebagai pendidik. Hal ini berkaitan pula pada penjelasan
tentang peran perempuan untuk memberikan pendidikan pada generasi selanjutnya.
Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan terhadap perempuan masih tergolong rendah, tak
jarang hal tersebut terjadi pada perempuan itu sendiri. Terkadang perempuan masih terjebak
pada zona nyaman yang tak jauh dari dunia gemerlap, terdapat faktor internal dan eksternal
sehingga menyebabkan pemikiran yang rabun akan dunia pendidikan. Salah satunya ialah faktor
ekonomi yang mengharuskan perempuan tak dapat merasakan senangnya hidup dalam dunia
pendidikan.
Di lain sisi, perempuan masih mengalami tindakan represif yang didasari oleh interpretasi agama
yang cenderung dimaknai secara konservatif dan cenderung bias gender. Pemikiran tersebutlah
yang menyebabkan terjadinya kemunduran dalam konteks pendidikan bagi perempuan. Salah
contohnya ialah kisah Malala Yousafzai yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas
idealismenya, dia memperjuangkan agar perempuan muda di Pakistan mampu mengenyam
bangku pendidikan. Karena dalam budaya setempat, perempuan yang berpendidikan ialah
monster dan tidak sesuai dengan budaya setempat. Situasi yang sama juga dirasakan perempuan
Margdarshi dari India atau perempuan muda sub-Sahara Afrika yang terpaksa berhenti sekolah
karena mengalami menstruasi dan terjadinya olokan yang tumbuh karena faktor menstruasi, serta
sulitnya menapatkan pembalut yang menyebabkan mereka untuk merelakan pendidikan.
Sedangkan di Indonesia sendiri, terdapat faktor ekonomi yang menjadi salah satu faktor
ketertinggalan perempuan untuk merasakan pendidikan. Pada Mei 2017 lalu, Sanita gadis yang
berasal dari Jawa Tengah yang akan dinikahkan orang tuanya pada usia yang cukup belia yakni
13 tahun, atas dasar kesulitan secara ekonomi. Namun ia menolak dan mengatakan:
“Jika Bapak dan Ibu menghentikan pernikahan ini dan membiarkan saya melanjutkan
pendidikan, saya akan membayar seluruh biaya yang Bapak dan Ibu habiskan buat saya. Jika
Bapak dan Ibu memaksa saya menikah, maka saya tidak akan punya apa-apa lagi,” (Kutipan dari
Tirto.id, Kerikil Tajam Dunia Pendidikan).
Alasan lain menyebutkan bahwa adanya intervensi atau campur tangan antara urusan rumah
tangga dan pendidikan, ketika perempuan ingin melanjutkan studi yang lebih tinggi. Maka akan
ada hambatan yang menjelaskan bahwa pernikahan menjadi urusan utama daripada studi, jika
merujuk pada kasus Sanita. Dalam konteks budaya yang umumnya kita jumpai di masyarakat
Jawa, ada sebuah ungkapan seperti, lebih baik menikah di usia dini daripada harus menjadi
perawan tua karena mementingkan studi, begitu kasarannya.
Padahal jika diteliti, semangat untuk berpendidikan makin lama kian pudar seiring dengan
hambatan-hambatan yang terjadi. Jikalau menikah dibarengi dengan studi, maka perempuan akan
mengalami peran ganda dan mengharuskan perempuan untuk bekerja keras untuk melakukan
penyeimbangan, dalam konteks sosial yang masih berlutut pada pemikiran gender konvensional.
Seperti pemikiran yang mengungkapkan bahwa suatu hal yang wajar jika laki-laki bekerja atau
memperoleh segala impiannya, baik melakukan pengembangan diri ataupun melanjutkan studi,
bukan mengurusi perkara domestik.
Kondisi lain mengatakan masih banyaknya pelecehan terhadap perempuan pada dunia
pendidikan. Menurut penelitian Settles, dkk (2006) Sebagaimana dikutip dari Tirto,id,
mengungkapkan jika pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus terjadi sekitar 36–44
persen. Seperti yang dituliskan pada jurnal Psychology of Women Quarterly, dari meta-analisis
71 studi, sebesar 58% perempuan pernah mengalami pelecehan pada ranah akademis.
Di samping itu perempuan juga masih sering terjadi diskriminasi gender pada ruang dan upah
kerja. Terlebih lagi hal tersebut terjadi jika berasal dari kelompok minoritas, dalam penelitiannya
Settles, dkk menemukan adanya diskriminasi pada perempuan kulit hitam yang mempengaruhi
psikis dari perempuan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil penemuan Settles, yang
mengatakan jika perempuan kulit hitam memiliki intensitas kepuasan kerja lebih minim daripada
perempuan kulit putih. Penurunan kepuasan kerja tersebut, dilatarbelakangi oleh diskriminasi
yang secara tidak langsung memicu tekanan dalam bekerja.
Perempuan masih mendapat tekanan yang beranggapan bahwa kurangnya tingkat produktivitas
daripada laki-laki, sekalipun ia dapat menyangkalnya dengan kinerja yang dia berikan. Sehingga
lambat laun akan menyebabkan pemudaran pada tingkat kepercayaan dirinya untuk melakukan
berbagai tindakan. Padahal sebetulnya, perempuan berpengaruh besar pada setiap proses
kehidupan.
Proses diskriminasi, pelecehan hingga tindakan yang cenderung merisak perempuan, merupakan
realitas yang kita jumpai sekarang. Problem dari hambatan pendidikan ialah budaya patriarki
yang masih dominan, sehingga turut mempengaruhi corak kebijakan terkait pendidikan. Selain
itu terdapat diskriminasi secara budaya, di mana perempuan ditempatkan dalam subsistem di
bawah laki-laki, hak-haknya dipinggirkan dan dikesampingkan.
Maka perlu ditekankan jikalau kurang meratanya pendidikan terutama untuk perempuan, tidak
hanya diakibatkan oleh faktor ekonomi namun juga ada pengaruh dari budaya. Padahal berpuluh-
puluh tahun yang lalu Kartini mengajarkan pentingnya emansipasi terhadap perempuan, minimal
melalui pemberian akses pendidikan secara meluas. Namun dalam praktiknya masih belum
berjalan maksimal, sehingga perempuan masih terkungkung dalam sangkar emas.
Faktor ekonomi dan patriarki seolah menjadi hal yang tidak dapat dielakkan oleh kaum
perempuan. Padahal, menurut psikolog Pendidikan Reky Martha, pendidikan dapat menjadi
peluang perempuan menyejahterakan hidupnya. Dengan pendidikan yang tinggi, perempuan
dapat memberikan ilmu bagi dirinya dan orang sekitar. Perempuan juga dapat menaikkan derajat
hidupnya.
"Angan-angan untuk sekolah itu masih banyak yang ragu, mereka masih takut," ujarnya.
Menurut Reky, banyak perempuan di beberapa daerah di pelosok Indonesia masih kurang
mendapatkan pendidikan. Hal itu biasanya karena kurangnya fasilitas sekolah dan kebutuhan
keluarga yang mewajibkan mereka menjadi tulang punggung.
Sejauh ini, Reky mencatat Wilayah Musi, Magelang, Bima, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
Maluku adalah contoh wilayah yang masih tertinggal dalam hal pendidikan. Daerah-daerah ini
tertinggal lantaran susah akses serta kurangnya fasilitas yang disediakan bagi masyarakat.
"Orang tua harus diedukasi soal pentingnya pendidikan, harus membuka wawasan dan harus
memahami. Sosok panutan dalam pendidikan juga penting," tuturnya.
Reky juga mengatakan, di bagian pelosok Yogyakarta masih banyak perempuan yang akhirnya
tidak dapat melanjutkan pendidikan karena harus dinikahkan demi kelangsungan hidup keluarga.
Meski perempuan memiliki kewajiban untuk mengurus anak dan suami kala hidup berkeluarga,
hal itu tidak dapat dijadikan penghalang bagi perempuan menggapai pendidikan setinggi-
tingginya.
Berbagai kepelikan yang dialami perempuan saat berupaya mengecap pendidikan pun
mengakibatkan lebih kecilnya angka perempuan yang meraih gelar doktor atau menjadi periset
dibanding laki-laki. Survei Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemendikbud tahun
2013 menunjukkan, persentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara
pengajar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%. Kemendikbud memandang, adanya persepsi
bahwa perempuan hanya bertanggung jawab dalam urusan domestik membuat mereka kurang
termotivasi untuk mengambil gelar S2 atau S3 sebagai syarat pengajar perguruan tinggi.
Kecenderungan lebih sedikitnya perempuan peneliti atau doktor tidak hanya ditemukan di
Indonesia. Di negara maju macam Amerika Serikat pun, jumlah perempuan penerima gelar
doktor pun masih lebih rendah dibanding laki-laki. Survei National Science Foundation pada
rentang 2010-2014 menunjukkan, terdapat 72.446 perempuan dan 104.425 laki-laki peraih gelar
doktor.
Ketika perempuan berkesempatan untuk menjalani studi doktoral, beban ganda harus siap
diembannya, terlebih bagi mereka yang telah berkeluarga. Peran sebagai istri, ibu, dan pelajar
sekaligus dimainkannya. Hal ini bukan tidak mungkin menimbulkan konflik pada saat ia
menuntut ilmu. Karenanya, dukungan fisik dan moral dari keluarga menjadi krusial bila
perempuan ingin sukses menuntaskan disertasi, demikian disampaikan Saparinah Sadli dalam
pendahuluan bukunya yang disusun bersama Lilly Dhakidae, Perempuan dan Ilmu Pengetahuan
(1990).
Saparinah mengungkapkan, seyogyanya kehidupan karier dan keluarga perempuan tidak
dipertentangkan. Penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa semakin banyak perempuan
Indonesia yang membutuhkan pendidikan supaya dapat mengakses lebih banyak peluang di
kemudian hari. Pada kenyataannya, masih banyak orang yang tidak sepaham dengan Saparinah.
Salah satu contoh tersirat dari meme yang diunggah akun Instagram @gerakannikahmuda.

Dalam meme tersebut, diperlihatkan seorang perempuan berjilbab yang berkata ingin kuliah dulu
dan seorang laki-laki menyeretnya menuju KUA seraya berucap, “Nunggu wisuda kelamaan”.
Ada beberapa poin yang bisa disoroti dari manifestasi pola pikir si pembuat meme dan orang-
orang yang menyepakatinya. Pertama, impian perempuan untuk melanjutkan studi tanpa
terintervensi urusan rumah tangga tampaknya mesti kalah dengan opini bahwa menikah patut
lebih diprioritaskan dibanding studi. Kedua, implisit dalam meme tersebut bahwa target waktu
menikah memiliki tenggat waktu lebih pendek daripada melanjutkan pendidikan. Padahal,
banyak kendala lain yang potensial dihadapi begitu perempuan menunda melanjutkan studi,
entah perkara tanggung jawab rumah tangga dan anak-anak, kesempatan studi yang tidak
senantiasa ada—misalnya tawaran beasiswa yang akhirnya dilepaskan lantaran mesti memenuhi
ekspektasi pasangan atau keluarga—, atau perkara semangat studi yang bisa jadi kian luntur
seiring berjalannya waktu. Kalaupun menikah dan melanjutkan studi dibarengi, itu artinya
perempuan mesti dua kali lipat bekerja keras untuk menyeimbangkan perannya dalam konteks
masyarakat yang mengamini peran gender konvensional. Beban serupa jarang ditemukan pada
laki-laki karena mayoritas masyarakat meyakini bahwa wajar bila laki-laki berada di luar rumah,
bekerja atau meraih cita-cita setinggi-tingginya, termasuk lewat bersekolah, bukan mengurus
persoalan domestik.
Itu beberapa contoh kerikil yang menghambat perempuan berjejak di ranah pendidikan dari sisi
luar sekolah atau kampus. Di dalam institusi pendidikan sendiri, ada hal lain yang mesti siap
dihadapi perempuan di tengah dominasi budaya patriarkis ini. Satu contoh kasus datang
dikemukakan oleh Elisabeth Bik, mikrobiolog dari Stanford University. Dari observasinya ketika
rapat di lingkungan kampus, Bik melihat kecenderungan laki-laki untuk menginterupsi
perempuan saat mereka berupaya menyatakan opini atau bertanya.
Di Indonesia, ada satu contoh kasus lain ketika perempuan menemui hambatan dalam karier
akademis. Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada, membuat kebijakan melarang perempuan
bercadar untuk mengajar di kampusnya. Kebijakan ini tentu saja menuai kontroversi. Alasan
cadar menghalangi komunikasi dosen ke mahasiswa dinilai berlebihan oleh pengamat
pendidikan, Budi Trikoryanto. Cadar sendiri merupakan ekspresi keimanan perempuan yang
rupanya, dalam kasus ini, menjadi petaka bagi perempuan akademis.
Kondisi kurang kondusif bagi perempuan-perempuan akademisi juga disokong oleh adanya
pelecehan seksual di institusi pendidikan. Menurut studi-studi terdahulu yang dicantumkan
dalam penelitian Settles et al. (2006), pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus berkisar
antara 36-44 persen. Lebih lanjut dalam tulisan yang dimuat di jurnal Psychology of Women
Quarterly tersebut, dari meta-analisis 71 studi, dinyatakan sebesar 58% perempuan di ranah
akademis pernah mengalami pelecehan di tempat kerja. Angka ini lebih tinggi dibanding
pelecehan di sektor privat atau organisasi pemerintah (nonmiliter).
Belum lagi adanya diskriminasi berbasis gender. Ruang kerja dan upah mengajar menjadi salah
satu hal yang terdampak dari adanya diskriminasi gender ini. Keadaan semakin tidak
menguntungkan bagi perempuan yang bekerja di ranah akademis ketika ia berasal dari ras
minoritas. Dalam tulisan Settles et al. juga dipaparkan temuan perempuan kulit hitam memiliki
kepuasan kerja lebih minim dibanding perempuan kulit putih lantaran perlakuan tidak adil yang
dialaminya saat bekerja.
Tekanan eksternal bagi perempuan yang berkarier di dunia pendidikan tak pelak melahirkan
kendala internal dalam dirinya. Bukan rahasia lagi bila perempuan dianggap tidak lebih
kompeten dibanding laki-laki dalam hal pengetahuan. Begitu ia berhasil meraih prestasi di ranah
akademis, anggapan ini tidak serta merta memudar dalam benak sebagian perempuan. Mereka
masih ragu apakah benar pencapaian tersebut merupakan hasil jerih payahnya atau privilese dan
kebetulan belaka. Hal ini dikenal dengan impostor syndrome.
Jenny Pickerill, profesor bidang Geografi Lingkungan dari University of Sheffield, menyatakan
ada potensi besar perempuan di ranah akademis seperti dirinya mengalami sindrom ini. Pada
akhirnya, impostor syndrome yang dialami perempuan akademisi membuatnya terkendala
mendapat promosi karena kurangnya kepercayaan diri. Terlebih lagi, hal ini dapat memicu
kecemasan dan membuang-buang energi yang semakin membuat perempuan tidak nyaman
menjalani karier akademisnya.
Manfaat pendidikan bagi perempuan yaitu:
1. Mampu Mendukung Kehidupannya Sendiri dan juga Orang Lain

Wanita akan menjadi seorang ibu rumah tangga yang memiliki tanggung jawab besar terhadap
perjalanan rumah tangganya. Sehingga banyak yang mengatakan wanita tidak perlu
berpendidikan tinggi hanya untuk hal ini. Namun, dalam hal ini bukan berarti wanita tidak
membutuhkan pendidikan yang tinggi, meskipun kelak ia akan mengerjakan semua pekerjaan
rumah tangga setelah menikah nanti.

Justru tanggung jawab yang besar inilah yang kemudian menjadi sebuah alasan wajib bagi
wanita untuk menempuh pendidikan yang tinggi, sebab masa depan rumah tangga akan ada di
tangannya. Pria selaku kepala rumah tangga mungkin saja akan menjadi tulang punggung
keluarga, namun wanitalah yang pada umumnya menjadi sosok yang serba bisa dan akan
menangani banyak hal lainnya (di luar nafkah) di rumah tangga itu sendiri.

Seperti mengurus dan merancang masa depan anak-anak, di mana wanita justru akan berperan
lebih banyak daripada pria. Anak-anak akan tumbuh di tangan seorang wanita, sehingga penting
bagi wanita (ibu) yang memiliki anak untuk memiliki sejumlah pengetahuan yang mumpuni
dalam mengasuh anak-anaknya.

Dibutuhkan sejumlah pengalaman dan juga kemampuan yang baik untuk mengurus berbagai hal
di dalam rumah tangga, dan ini akan menjadi sesuatu yang lebih mudah jika saja wanita
mendapatkan pendidikan yang tinggi dan layak sebelum menikah.

2. Mampu Mengikuti Perkembangan Zaman dan Teknologi

Entah seorang wanita akan bekerja atau hanya akan menjadi seorang ibu rumah tangga saja,
kemampuannya tentu harus berkembang dari waktu ke waktu. Wanita yang memiliki pendidikan
tinggi akan lebih siap untuk menghadapi semua perkembangan teknologi dan juga informasi
yang terjadi. Jika tidak, maka sejumlah kendala mungkin saja dihadapinya ketika menjalankan
perannya sebagai wanita karier atau bahkan sebagai ibu rumah tangga. Bukan hanya itu, jika
seorang wanita tidak dapat mengimbangi kemajuan teknologi yang terjadi, maka besar
kemungkinan ia akan mengalami kesulitan dalam mengontrol dan melakukan berbagai hal
terbaik untuk anak-anaknya. Anak-anak akan bertumbuh dan berkembang mengikuti kemajuan
zaman dengan teknologi internet, tanpa adanya sebuah pengawasan yang tepat dari ibunya, sebab
ibunya sendiri juga tidak paham akan semua perkembangan tersebut dengan baik. Jika sudah
begini, bukan hanya dirinya sendiri, namun masa depan anak-anak juga tidak akan tertata dengan
sebagaimana mestinya, bukan?

3. Memiliki Karier yang Lebih Cemerlang


Saat seorang wanita bekerja dan menempati sebuah jabatan, seringkali berbagai kendala menjadi
penghalang untuknya dalam mengembangkan karier, salah satunya adalah terbatasnya bekal
pendidikan yang dimilikinya. Zaman sudah berubah dan wanita juga telah memiliki kesempatan
yang sangat luas untuk berkarier, namun tentunya dengan bekal pendidikan dan juga kemampuan
yang sama atau bahkan lebih baik dari para pria.
Sangat penting bagi wanita untuk mendapatkan jenjang pendidikan yang tinggi ketika akan
bekerja, sebab hal ini akan menjadi salah satu penentu di dalam perkembangan kariernya ke
depannya. Dengan bekal pendidikan yang memadai, maka ia akan lebih siap untuk bersaing
mendapatkan berbagai posisi strategis di dalam perusahaan dengan para pria
Bagi wanita, pendidikan seringkali menjadi sebuah hal yang tidak begitu penting dan wajib
untuk didapatkan. Pemikiran seperti ini tentu salah besar, mengingat di dalam kehidupan ini
wanita juga memegang peranan yang sangat penting di dalam keluarga. Bekal pendidikan yang
cukup tentu akan membuat wanita lebih siap dan mampu untuk menghadapi berbagai tantangan,
yang pastinya akan membawa kehidupan yang lebih baik untuk dirinya sendiri dan juga orang
lain di sekitarnya.
4.membentuk pola piker yang kritis
Salah satu alasan utama kenapa pendidikan itu sangat penting adalah karena pola pikir seseorang
akan terbentuk melalui pendidikan. Pola pikir yang baik akan membuat wanita dapat berpikir
kritis terhadap sesuatu dari berbagai sudut pandang, sehingga mampu memutuskan segala
sesuatu dengan pemikiran yang matang tanpa mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
5.memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas
Manfaat memperoleh pendidikan yang lain adalah untuk memperluas wawasan dan pengetahuan
seseorang, tak terkecuali untuk para wanita. Wawasan yang luas mampu menjadikan seorang
wanita menjadi pribadi yang aktif, kreatif, dan inovatif dalam melakukan segala sesuatu.
6.berkesempatan memiliki karir yang lebih baik
Pendidikan juga merupakan salah satu kunci keberhasilan dari kesetaraan gender. Melalui
pendidikan, seorang wanita dapat memiliki kesempatan untuk memperoleh karier yang lebih
baik. Melalui pendidikan pula seorang wanita dapat menghapus segala bentuk diskriminasi yang
selama ini telah membatasi wanita untuk dapat berkarya dan berprestasi.
7.wujud bakti kepada orang tua
Sejalan dengan alasan sebelumnya, pendidikan juga dapat menjadi wujud bakti seseorang
terhadap orangtuanya, salah satunya dengan membanggakan mereka. Dengan wawasan dan
karier yang baik, setiap wanita tentu akan memiliki kesempatan untuk mengangkat derajat
orangtua maupun keluarganya, sehingga bisa menjadi penopang kehidupan orangtuanya di masa
depan.
8.membantu finansial keluarganya dimasa depan
Dalam keluarga, suami memang menjadi tulung punggung bagi keluarganya. Namun, ada
kalanya jika suami mengalami kesulitan finansial di waktu yang bahkan tak terduga. Pendidikan
yang dimiliki wanita tentu akan sangat berguna di saat-saat seperti itu, baik untuk dapat bekerja
maupun dengan berbisnis secara mandiri. Jadi selain menjadi ibu rumah tangga, setiap wanita
pun akan mampu berkontribusi untuk membantu suami menopang kehidupan keluarganya kelak.
9.sebagai bekal untuk mendidik anak-ananknya kelak
Menjadi seorang ibu di kemudian hari menuntut setiap wanita untuk dapat mendidik anaknya
dengan baik. Apalagi, seorang anak tentu akan mencontoh ibunya. Nah, di sinilah pendidikan
yang diperoleh wanita akan menjadi sarana positif untuk dapat mendidik dan berkontribusi bagi
tumbuh kembang anak-anaknya kelak.
10.menjadi bukti bahwa wanita adalah sosok yang hebat
Terakhir namun tidak kalah penting. Pendidikan yang dimiliki wanita akan mencerminkan
bahwa wanita merupakan figur yang hebat, karena mampu berkontribusi bagi masa depan dunia
dengan mendidik calon-calon generasi yang akan memimpin dunia kelak. Nah, itulah beberapa
alasan kenapa pendidikan itu sangat penting bagi wanita, bahkan dunia. Satu hal yang juga harus
diingat, pendidikan mampu memutus rantai kemiskinan banyak orang dan menjadi sarana untuk
memiliki kehidupan yang lebih baik.
Begitu pentingnya peningkatan partisipasi perempuan dalam pendidikan, jugapeningkatan
pengetahuan bagi kelompok masyarakat perempuan, karena perempuan (Ibu) adalah “sekolahan”
bagi anak-anaknya, pendidik pertama dan utama dalam keluarganya, bahkan perempuan menjadi
indikator kuatnya suatu bangsa. Namun realitanya, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua
perempuan dengan sukarela mau terlibat dalam pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.

C. Simpulan
perempuan menjadi penentu masa depan dan indicator utama keberhasilan pembangunan.
Karena dalam diriperempuan terdapat hasrat yang selalu hidup dan actual yaitu kesejahteraan,
tidak pesimistis, dapat membagi waktu antara tugas di dalam dan di luar rumah, dapat
berwirausaha untuk menghasilkan pendapatan pribadi di luar suami, dan tidak bisa hidup sendiri,
tidak ingin dikucilkan. Hasrat ini yang menjadi pendorong perempuan untuk selalu maju dan
meng up grade pengetahuan dan pendidikannya. Sehingga angka partisipasinya dalam berbagai
bidang hampirsetara dengan kaum pria.

Anda mungkin juga menyukai