Anda di halaman 1dari 11

GENDER

Dosen Pengampu : Siti Rai’yati, M.Psi

Ghina Aulia Putri 190103040456


Lailatul Hilmiyah 190103040140
Muhammad Rauuf Sadiq 190103040405
Risda Yanti 190103040263
Wahyu 190103040133
Apa itu Gender ?

Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa


Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’. Kata ‘gender’
bisa diartikan sebagai perbedaan yang tampak
antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan
perilaku.

Gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar


untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan
budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi
serta faktor-faktor nonbiologis lainnya.
Gender dalam psikologi didefinisikan sebagai
gambaran sifat, sikap dan juga perilaku antara
laki laki dan perempuan. Sedangkan menurut
Whitley dan Bernard, gener dibedakan antara
maskulin dan feminin, sementara menurut
Santrock, gender memiliki peran seperti apa dan
bagaimana seharusnya untuk melakukan,
merasakan dan juga memikirkan yang dilakukan
setiap individu sebagai maskulin atau feminin
Apa yang dimaksud Kesetaraan Gender?

01 Kesetaraan gender merupakan suatu keadaan setara antara laki-laki dan


perempuan dalam hak secara hukum dan kondisi atau kualitas hidupnya
02 sama.
Kesetaraan gender merupakan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untukmemperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar
mampu berperan danberpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,
03 ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dll.
Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi
setiap manusia.
04
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan
diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik
terhadap laki-laki maupun perempuan.
Contoh Kesetaraan Gender
Dilihat dari sejarah masa lalu saat Indonesia masih dijajah. Para penjajah sewenang–
01 wenang sesuka hati terhadap kaum perempuan di Indonesia. Dampaknya masyarakat
beranggapan bahwa perempuan belum memiliki kesempatan untuk berperan sentral
diberbagai bidang seperti sekarang ini. Orang tua pada masa itu, menyekolahkan anak
laki–lakinya setinggi–tingginya sedangkan anak perempuan tidak harus bersekolah ke
jenjang yang lebih tinggi karena, orang tua hanya beranggapan bahwa peran perempuan
dalam kehidupan tidak lain adalah sebagai ibu rumah tangga yang tak perlu sekolah tinggi–
tinggi. Namun saat ini pemerintahan telah berupaya untuk menegakkan kesetaraan gender.
Hal ini terbukti dengan adanya program pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia,
dengan hal ini banyak generasi penerus bangsa yang merupakan calon pembangunan
Negara ini mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Terlihat
bahwa pada saat sekarang kaum perempuan pun banyak yang bersekolah hingga jenjang
yang tinggi.
Contoh Kesetaraan Gender

02 Misalnya peran laki-laki sebagai kepala keluarga atau peran perempuan sebagai ibu rumahtangga, yang
menempatkan perempuan dalam kerja domestik dan laki-laki dalam kerja publik. Dampak adanya pandangan
seperti ini menimbulkan bahkan menumbuhka asumsi yang bias gender dan/atau diskriminatif, misalnya, bahwa
perempuan (terutama dipedesaan) tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi atau bahkan jika perempuan
sudah memiliki pendidikan tinggi pun, tetap dinilai lebih baik kalau lebih berkonsentrasi pada kerja yang
bersifat domestik, ketimbang memanfaatkan keahlian dari hasil pendidikan tingginya (Wawan Djunaedi dan
Iklilah Muzayyanah, 2008: 4-5).
Di sisi lain, ternyata dalam praktik kehidupan sehari-hari kita menjumpai banyak kepala keluarga yang
disandang perempuan berperan dan harus bertanggung jawab atas kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya.
Misalnya, perempuan
yang karena bercerai atau ditinggal mati suaminya, atau perempuan yang tidak menikah tetapi mempunyai
banyak anak asuh, baik dari keluarga maupun karena mengasuh anak orang lain. Perempuan yang harus
mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga ketika suaminya,
misalnya, terkena PHK atau mengalami musibah sakit atau cacat tetap (Nina Nurmila, 2013: 1).
Apa Pandangan Psikologi Mengenai Gender?

Dalam kajian feminisme gender bermakna ciri atau sifat yang


dihubungkan dengan jenis kelamin tertentu, baik berupa
kebiasaan, budaya, maupun perilaku psikologis, bukan
perbedaan secara biologis. Pegiat kesetaraan gender secara
sederhana membedakan definisi seks sebagai jenis kelamin
biologis sejak lahir, yakni laki-laki atau perempuan berdasar
alat kelamin yang dimiliki, sedangkan gender adalah “jenis
kelamin” sosial berupa atribut maskulin atau feminim yang
merupakan konstruksi sosial budaya.
Apa Pandangan Psikologi Mengenai Gender?

Sejarah munculnya terminologi gender tidak bisa


dilepaskan dari kajian ilmu humaniora, terutama
psikologi dan juga terkait dengan tren transseksual.
Dalam bahasa Inggris, pembedaan makna antara sex dan
gender pertama kali dikenalkan oleh para psikiater
Amerika dan Inggris serta para petugas medis yang
bekerja dengan pasien transseksual dan interseks pada
tahun 1960-an dan 1970-an. Istilah ini kemudian
digunakan oleh para feminis sebagai sanggahan melawan
argumen tentang faktor biologi gender sebagai takdir.
Sejak saat itu konsep ini diadopsi secara luas sebagai
sistem analisa kajian pengembangan gender gerakan
feminisme global.
Dilihat secara historis istilah gender muncul
terutama untuk membedakan antara jenis kelamin
dan peran gender. Para psikolog feminis, misalnya,
menggunakan kata gender untuk menggambarkan
aspek psikologis dan sosial dari tindakan dan peran
sosial. Sedangkan definisi umum dari gender
sendiri yaitu sifat, peran, perilaku maupun
karakteristik yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural untuk membedakan laki-laki dan
perempuan.
Secara umum psikologi menjelaskan
bagaimana norma-norma mengenai
seksualitas dan gender membentuk
pemikiran, perasaan dan perilaku
individu. Sosiologi menjelaskan
bagaimana seksualitas dan gender
dikonstruksi dalam konteks sosial dan
historis yang spesifik. Dan antropologi
menjelaskan mengenai peran seksual dan
gender dalam perkembangan masyarakat
lintas budaya dan zaman.
Contoh Kesetaraan Gender
dalam Psikologi
Data Susenas 2009 menyoroti tanggapan yang responsif gender yang diberikan oleh populasi usia 7-
18
tahun terkait alasan putus sekolah. Kurangnya kemampuan menjadi masalah utama bagi laki-laki,
dengan 10,78% di antaranya mengatakan bahwa mereka putus sekolah untuk bekerja dan
memperoleh
penghasilan, dibanding 8,69% perempuan. Adat masih merupakan faktor kuat yang mempengaruhi
akses dan pernikahan dini masih menjadi penghalang utama. Sebanyak 6,07% perempuan
menjadikan ini sebagai alasan putus sekolah dibanding 0,14% laki-laki. Prevalensi pernikahan dini
dapat ditemukan di Indramayu, Jawa Barat dan di beberapa kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur.
Peraturan terkait dukungan sekolah terhadap perempuan usia sekolah yang sudah menikah, hamil
atau ibu-ibu muda, tidak jelas. Jarak sekolah, permasalahan keselamatan dan biaya terkait perjalanan
jarak jauh juga menjadi penghalang untuk melanjutkan pendidikan bagi lebih dari 0,32% perempuan
dibanding 0,66% laki-laki di kota dan 4,18% perempuan dibanding 3,98% laki-laki di wilayah
perkotaan dan terutama di pedesaan,(BPS-Susenas, 2009). Terbatasnya fasilitas sanitasi yang
terpisah bagi perempuan, yang dibutuhkan untuk keperluan menstruasi berpengaruh terhadap
kerutinan kehadiran di sekolah. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa adanya toilet terpisah di
Madrasah menaikkan angka transisi anak perempuan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan

Anda mungkin juga menyukai