Zuiyadi : 20110029
Mawardi Gemasih : 20110074
Haikal Hafiz Hillah :
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha
Tak lupa pula penyusun sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
turut berpartisipasi dalam proses penyusunan tugas ini, karena penulis sadar
sebagai makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi
dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari –
Nya.
sebagai manusia biasa yang tak mungkin luput dari salah dan lupa. Untuk itu
penulis mengharapkan koreksi dan sarannya semoga kita selalu berada dalam
lindungan-Nya.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
Kesimpulan...........................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
kesenjangan dalam ilmu-ilmu keislaman tersebut antara aspek teoritis dan aspek
praktis. Kesenjangan ini terjadi ketika disiplin ilmu-ilmu keislaman, yang secara
epistemic lahir di era klasik, berbenturan dengan episteme modern, suatu periode
dibidang sains dan teknologi. Berbagai temuan dan inovasi teknologi ini, pada
giliranya melahirkan pergeseran gaya dan pola hidup manusia dari hidup
tradisional menuju gaya hidup modern. Pergeseran pola dan gaya hidup ini
Kazuo Shimogaki, 1994, Between Modernity and Postmodernity The Islamic Left and
Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, terj. M.Imam Aziz, Yogyakarta, LKi S, hlm.16
1
Islam melalui pemikiran inovatif dan kreatif (ijtihad) dalam rangka memberi
khususnya hukum Islam yang ada pasca abad 10 masehi cenderung legal
formalistik dan stagnan. Asumsi bahwa hukum Islam yang ada telah memuat
ijtihad tersebut, lalu tradisi taqlid menjadi tumbuh subur. Situasi ini menjadi
semakin parah ketika teks-teks interpretatif hukum Islam dijadikan teks otoritatif.
Padahal tidak jarang, teks tersebut hanya merupakan komentar (syarh) atau
bahkan mungkin komentar atas komentar (hasyiyah) sehingga teks pertama justru
sebuah peristiwa atau kasus, legitimasi dan justifikasi yang diberikan umat Islam
justru berangkat dari formulasi hukum Islam klasik yang secara epistemic sangat
Keringnya inovasi dan kreativitas pemikiran umat Islam inilah yang menyebabkan
sosial umat.4
B. Rumusan Masalah
Kontemporer?
3
John L. Esposito, 1994, The Islamic Threat: Myth or Reality? , terj. Alwiyah
Abdurrahman, Bandung, Mizan, hlm. 46
4
Fazlur Rahman, 1984, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka, hlm. 276
2
BAB II
PEMBAHASAN
ritual saja (vertikal) melainkan mengatur segala aspek kehidupan, baik hubungan
(peralihan harta dari pewaris ke ahli waris). Namun perlu disadari bahwa baik
dengan baik tanpa adanya usaha memahami pesan-pesan teks, dalam memahami
pesan-pesan teks itu diperlukan interpretasi dan ijtihad secara terus menerus oleh
para mujtahid.5 Tradisi kegiatan ijtihad, dalam berbagai bentuknya telah dilakukan
oleh para Khulafa’ al-Rasyidin maupun para ulama sesudahnya dalam berbagai
kurun, baik di kala Nabi4 masih hidup yang dilakukan oleh para sahabat, maupun
pada masa sesudahnya. Kebolehan dari Nabi SAW. untuk berijtihad seperti
tampak pada saat beliau hendak mengutus Mu’adz Ibn Jabal ke Yaman
اعن أن س من أهل محص من أصحاب معاذ بن جبل أن رسول هلال ملا أراد أن يبعث معاذا اىل
فاء ن مل جتد يف: قال. أقضي بكتاب ا هلل: كيف تقضى اذا عرض لك قضاء؟ قال:اليمن قال
ف اءن مل جتد يف س نة رس ول هلال وال يف كت اب: ق ال. فبس نة رس ول هلال:كت اب هلال ؟ ق ال
5
Yusuf Qardhawi, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, Penerjemah. Salim Bazemool,
Cet. Pertama (Solo: CV. Pustaka Mantik, 1993), hlm. 17.
3
احلم د هل ل ال ذي وف ق: فض رب رس ول هلال ص دره وق ال. فأجته د برئ يي وال ال و:هلال؟ ق ال
( ملا يرضى رسول هلال ) رواه أبو دود5 رسول رسول هلال
Artinya: “Diriwayatkan dari sekelompok penduduk Hims, shahabat
Mu’adz Ibn Jabal, bahwa Rasulullah SAW ketika bermaksud untuk mengutus
Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, “bagaimana cara kamu memutuskan jika
datang suatu perkara kepadamu? Ia menjawab: saya akan memutuskan dengan
(hukum) yang terdapat dalam al-Qur’an. Beliau bertanya: jika tidak kamu
dapatkan (hukum) dalam al-Qur’an? Ia menjawab: saya akan memutuskan
dengan sunnah Rasulullah. Beliau bertanya: jika tidak kamu dapatkan dalam al-
Qur’an maupun Sunnah Rasulullah? Ia menjawab: saya akan berijtihad dengan
pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah menepuk dadanya
seraya bersabda: segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan
Rasulullah yang diridhai oleh Rasulullah”.(HR. Abu Daud)6
hukumnya, bahkan lebih dari itu, keberadaan hadis tersebut telah disambut secara
positif dan dijadikan dalil pembenaran oleh para ulama berikutnya untuk
melakukan ijtihad sehingga lahirnya para imam mujtahid besar yang banyak
dikenal dan dijadikan rujukan sampai saat ini. Para mujtahid, seperti tokoh-tokoh
mazhab (Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) misalnya, telah banyak
6
Fathurrahman Djamil, Filsafat., hlm. 18.
7
4
Hukum Islam merupakan produk pemahaman mansia yang relatif dan historis
terhadap wahyu ilahi (Alquran) yang absolut dan ahistoris. Oleh karena itu,
seorang faqih (pakar hukum Islam) memiliki peran yang mirip dengan peran yang
Yunani yang bertugas menyampaikan pesan ilahi kepada umat manusia. Dalam
fiqih merupakan produk yang final dan bersifat absolut menuju anggapan bahwa
(dengan T besar), yaitu tradisi tarnsenden yang selalu dipahami dan dipersepsi
sebagai tradisi ideal yang datang dari Tuhan dan tidak dapat diubah-ubah oleh
kajian historis. Tradisi ini abadi dan absolute dalam istilah Seyyid Hoesen Nashr
disebut tradisi Perennial. Kedua, tradisi (dengan t kecil), yakni tradisi yang
dibentuk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun-
5
temurun sepanjang sejarah kehidupan atau penafsiran manusia atau wahyu Tuhan
lewat kitab suci.8 Antara dua jenis tardisi ini, Arkoun mengesampingkan tadisi
yang pertama, karena menurutnya tradisi tersebut berada diluar pengetahuan dan
Formulasi hukum Islam yang lahir selama ini berangkat dari metode
pemahaman Alquran yang bersifat atomistik dan parsial yang berpengaruh dalam
termnya sendiri. Menurut Rahman, titik tertinggi dari pendekatan atomistic adalah
hukum yang dinamis. Dibidang hukum dan etika, penafsiran terfokus pada ayat-
ayat yang asing yang mendasari semua ayat-ayat atau tema-tema yang tersebar
adat-istiadat dan kebiasaan masa lalu yang ditulis ke dalam penafsiran wahyu
yang orisinil. Olleh karena itu, hukum Islam kontemporer harus lahir dari
mengambil prinsipprinsip hukum (illat al-hukm) yang bersifat global dari ayat
8
Mohammad Arkoun 1986, iAl-Fikr alIslami; Qira’ah Ilmiyyah, terj. Hasyim Saleh,
Bairut: Markaz al-Qaumi, hlm. 17 – 24.
6
Alquran tersebut. Dari prinsip-prinsip itu bisa dikembangkan lebih banyak lagi
Produk hukum Islam yang lahir selama ini selalu berangkat dari pemahaman
sangat sesuai dengan bunyi teks, tetapi tidak relevan dengan konteks yang sedang
dihadapi karena masyarakat yang menjadi objek teks tersebut sudah mengalami
perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, hukum Islam kontemporer harus
mampu mendialogkan antara teks (wahyu tertuis) dan konteks. (wahyu tak tulis)
atau realitas sosial. Pada giliranya hukum Islam kontemporer akan mengalami
pergeseran dari yang semula dalam pemikiran yang rigit (kaku) ke pemaknaan
yang fleksibel.
pengaruh kuat dari rasionalisme Yunani yang hendak mencari substansi awal dan
menerima data wahyu sebagai substansi dan esensi yang dibatasi pengertian ashal.
Ashl yang semula adalah sumber, akal, asal dan asas yang menandai perbedaan
yang membuka keadaan baru dan harus selalu dirujuk untuk memeriksa
7
keabsahan setiap prakarsa manusia dan wacana yang mengungapkanya. Namun
demikian, logos menjauhkan diri dari perbedaan ketika ia melibatkan diri dalam
kehidupan tidak mendapat perhatian yang proporsional. Oleh karena itu, hukum
realistik, berangkat dari fakta empiric sehingga rumusan hukum ilsam akan
8
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ulama Hukum Ternyata Sekarang Tidak Bisa Memadahi Atas Teori Yang Sudah
Ada. Oleh Sebab Itu Maka Perlu Adanya Pergeseran Dan Pemahaman Yang
Islam Tidak Dianggap Hukum Yang “Melangit” Dan Dianggap Sebagai “Fosil”
9
DAFTAR PUSTAKA
John L. Esposito, 1994, The Islamic Threat: Myth or Reality? , terj. Alwiyah
Abdurrahman, Bandung, Mizan.
Kazuo Shimogaki, 1994, Between Modernity and Postmodernity The Islamic Left
and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, terj. M.Imam Aziz,
Yogyakarta, LKi S.
10