Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM ISLAM


TENTANG

Proses pembentukan dan penerapan hukum islam

DISUSUN OLEH KELOMPOK II :

1. YUNIFRA
2. RISNA LENI
3. HALIMAH

SEMESTER VI RM

DOSEN PEMBIMBING
HENDRA YANI M.A.g

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM UMAR BIN KHATTAB


JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
UJUNG GADING PASAMAN BARAT
TAHUN 1444 H/2023 M

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses pembentukan hukum Islam, sangatlah penting untuk kita ketahui. Selain untuk
memperdalam pengetahuan kita tentang Proses pembentukan hukum Islam, namun yang paling
penting adalah bagaimana kita bisa memahami betul sumber dan dasar hukum Islam itu sendiri,
karena dengan mempelajari sejarah kita bisa merasakan betapa dekat dan besar perjuangan para
ulama dahulu terhadap perkembangan hukum Islam sekarang dengan menggali ilmu-ilmu yang
terkandung dalam al-Qur‟an maupun Sunnah. Kita tidak bisa menutup mata terhadap sejarah,
kalau bukan karena ulama-ulama kita terdahulu yang mempelajari, mengajarkan serta menulis
buku-buku tentang Islam atau sejarahnya, tidak mustahil kita tidak pernah merasakan manisnya
hukum Islam itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

Proses pembentukan dan penerapan hukum islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Pembentukan Hukum Islam

Fiqh Islam, tidak dapat dilepaskan keberadaanya dari faktor kondisi sosiohistoris yang
mengitari ulama fiqh dalam memproduksi hukum. Keragaman lingkungan dan konteks sosial
politik memberikan andil yang cukup signifikan dalam pembentukan corak pemikiran hukum
Islam. Bahkan, ditilik dari hubungan antara situasi politik (kekuasaan) dengan lahirnya produk
hukum terdapat sejumlah indikator korelasi yang kuat. Sangat boleh jadi sebuah madzhab
berkembang karena dukungan politik.

Ketika suatu madzhab berkuasa maka madzhab lainnya sangat rentan adanya resistensi.
Memang, idealnya fiqh harus mampu memberikan jawaban atas berbagai fakta empirik atas
pelbagai persoalan yang berkembang. Dan, fiqh di Indonesia mestinya tidak cukup dengan
mengadopsi produk fiqh masa ulama klasik saja, namun perlu mengartikulasikannya dengan
konteks kekinian dan akomodatif terhadap fakta empirik.

Keragaman pemahaman internal umat Islam Indonesia juga menjadi pertimbangan dalam
memproduksi hukum fiqh selain fakta sosial masyarakat. Maka, fiqh yang lahir diharapkan lebih
persuasif dan toleran atas fakta keragaman. Dengan prinsip bersatu pada hal-hal yang disepakati,
dan toleran terhadap hal-hal yang tidak disepakati, khususnya menyangkut aspek furu‟iyat.

Fiqh sebagai produk pemikiran yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis masyarakat
seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang absolut. Maka, perlu menampilkan Fiqih yang
menembus seluruh aspek dan meresponnya secara kritis atas masalah kontemporer yang terus
beragam dan berkembang. 1

1
Islamic law, History, Fiqh, Social context, Diversity

2
Al-quran bagi umat Islam adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw. melalui malaikat Jibril yang berlangsung selama kurang lebih 23 tahun. Kitab
suci ini merupakan petunjuk dalam kehidupan (way of life) bagi orang-orang bertakwa (hudan li
al-muttaqin), 2 bahkan seluruh manusia (hudan li al-nas).3 Kitab suci ini memiliki kekuatan luar
biasa.4 Alquran memiliki keluasan dan kedalaman makna diibarat lautan atau sebuah wadah yang
menampung isi atau makna yang luas dan dalam, tanpa bertepi. Untuk itu, dalam konteks ini
Alquran merupakan sumber hukum yang mutlak, sementara hukum yang disebut sebagai fiqh
merupakan produk ijtihad yang terbatasi oleh waktu dan tempat.

Ini sejalan dengan pendapat Fazlur Rahman bahwa jika Alquran adalah teks, maka fiqh
sesungguhnya percampuran antara pendapat hukum dengan teks itu sendiri. Perpaduan akal dan
manusia dengan wahyu menjadikan fiqh ketika ilmu berkembang tidak akan menemukan
konteks dalam jarak waktu tertentu.5

Islam diturunkan tidak hanya untuk komunitas masyarakat tertentu (komunitas Arab
Mekkah dan Arab Madinah), tetapi ia diturunkan untuk menyapa seluruh aspek kehidupan kapan
dan di mana pun berada. Hal ini terbukti dalam kehidupan manusia, corak keberislaman manusia
berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya.

Masyarakat muslim di Indonesia berbeda dengan masyarakat muslim di Mekkah.


demikian juga yang lainnya. Di Indonesia, Islam ditampilkan oleh penganutnya dengan beragam
corak. Mereka semua menampilkan Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan beragam bentuk
dan aneka pemahaman. Islam masuk ke wilayah nusantara dibawa oleh para pedagang.

Selanjutnya Islam dikembangkan melalui dakwah dengan berbagai jalur. Pendekatan


dakwah yang diterapkan oleh para wali (Wali Songo) di Jawa berbeda dengan pola pendekatan
yang dilakukan oleh para datuk (Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, Datuk Fatimang) di Sulawesi
Selatan. Demikian pula Islam yang disyiarkan sampai ke tanah Papua melalui kesultanan Tidore.

2
Q.S. al-Baqarah [2]: 2
3
Q.S. al-Baqarah [2]: 175
4
Q.S. al-Ankabuut [59]: 21. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, (Yogyakarta: Foruka Kajian Budaya
dan Agama, 2001), 1.
5
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: the University of
Chicago Press, 1982), 5

3
Adanya pengaruh dari pola dakwah yang dilakukan oleh para wali dan para datuk, telah
berimplikasi secara signifikan terhadap kultur masyarakat Islam di Jawa dan di Sulawesi Selatan.

Demikian pula daerah lainnya di Nusantara. Di samping itu, Islam dikembangkan oleh
para dai dengan berbagai latar belakang pendidikan mereka. Di Indonesia terdapat dua organisasi
Islam sebagai representasi organisasi Islam Indonesia (Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama),
aliran (Sunni dan Syiah), serta aliran teologi dan madhhab fiqh. Semua meyakini dan mengklaim
organisasi, aliran, dan madhhab mereka yang paling benar dan paling baik.

Diakui atau tidak, Organisasi, aliran, dan paham ini merupakan ancaman disintegrasi
internal Islam Indonesia di satu sisi, dan merupakan potensi kekuatan dan kekayaan pada sisi
yang lain. Berbeda halnya dengan negara tetangga seperti Malaysia di mana negara atau
pemerintah mendaulat madhhab Syafii sebagai madhhab fiqh negara. Di Indonesia, terdapat
banyak madhhab fiqh yang berkembang. Semua berkembang dan memberi pengaruh, tetapi
pemerintah tidak dalam posisi memberikan perintah untuk berkiblat kepada madzhab tertentu,
apalagi dipaksakan oleh negara. Jika dipaksakan, maka negara akan berhadapan dengan rakyat
atau masyarakatnya sendiri.

Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini berupaya membahas bagaimana


historisitas hukum Islam yang kemudian disebut dengan fiqh, dengan berupaya mengajukan
gagasan yurisprudensi dengan basis Indonesia. Dalam makalah ini, penulis kerap menuliskan
fiqh sebagai yurisprudensi. Di mana fatwa hukum yang terbentuk dalam tradisi kita kenal fiqh
merupakan produk hukum yang berstatus yurisprudensi. Tentu sifatnya tidak mutlak. Adanya
aspek penafsiran dan pemahaman yang dimuati oleh waktu dan tempat menjadikan fiqh bisa
dirujuk sebagai produk hukum atau kemudian ditinggalkan sama sekali. Ini menunjukkan antara
aspek sosiokultural dengan sudut geografi senantiasa mempunyai relasi dalam pembentukan
suatu hukum.6

Fiqh atau produk hukum Islam itu tidak dapat dilepaskan keberadaanya dari faktor
kondisi sosio-historis yang mengitari ulama fiqh dalam memproduksi fiqh. Keragaman
lingkungan dan konteks sosial politik kemudian memberikan pengaruh yang signifikan dalam

6
H.W.-C. Yeung, 2009, “Transnationalizing entrepreneurship: a critical agenda for economic geography”, dalam
Progress in Human Geography, Vol. 33, 210-35

4
pembentukan arah pemikiran individu. Kondisi sosio-historis merupakan variabel yang tidak
dapat dinafikan dalam melihat fiqh atau hukum Islam.

Dapat pula dikatakan bahwa fiqh merupakan produk kondisi sosio-historis. Karena fiqh
merupakan pemikiran manusia yang demikian relatif dan lahir berdasarkan kondisi dan tempat,
maka fiqh di suatu tempat belum tentu cocok dan diterima oleh masyarakat di tempat yang lain
meskipun dalam waktu yang bersamaan disebabkan kondisi masyarakat yang berbeda pula.
Demikian pula, boleh jadi satu fatwa fiqh ditolak oleh masyarakat yang tinggal di tempat yang
sama disebabkan oleh konteks situasi. Faktor tempat, situasi, dan kondisi, serta zaman
merupakan variabel-variabel perubah („illat) yang secara signifikan berpengaruh dalam
mewarnai kelahiran fiqh.

Selain itu, faktor subyek –dalam hal ini ulama fiqh menjadi penentu warna fiqh yang
melahirkan. Variabel-variabel dan faktor tersebut sering terlupakan. Akibatnya, fiqh dijadikan
sebagai alat perpecahan dan legitimasi ekstrimitas kelompok tertentu untuk mendiskriditkan
kelompok muslim lainnya. Idealnya, fiqh menjadi alat bagi manusia untuk sampai kepada
kehendak Tuhan (Syari‟), manusia tidak diperalat oleh “fiqh”. Fiqh telah ditempatkan dan
dijunjung tinggi melebihi Alquran dan Sunnah. Permusuhan dan perpecahan telah menjadi
“kebanggaan” bagi kelompok yang berikhtilaf. Sementara, Alquran dan Sunnah telah melarang
manusia berpecah-belah. Alquran, bahkan telah memerintahkan manusia untuk bersaudara dan
saling menghargai bukan hanya terhadap sesama muslim, melainkan juga terhadap semua
manusia.

Atas nama perbedaan madzhab, seseorang adakalanya rela “mengkafirkan” kelompok


lain. Padahal, muslim adalah siapa saja yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan
Muhammad utusan-Nya. Hal ini senada dengan salah satu riwayat yang disandarkan kepada
Nabi saw. “jika salah seorang diantara kamu memanggil saudaranya: kamu kafir, salah seorang
di antara mereka akan menjadi kafir dan bertanggung jawab atasnya.”

Hadis ini mengandung arti bahwa seorang muslim tidak dibenarkan berkata “kafir” hanya
atas nama perbedaan madhhab. 7

7
Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqih, (Cet. II; Bandung: Mizan, 2007), 17-19.

5
Hal ini senada dengan firman Allah Q.S. An-Nisa‟, ayat 93, bahwa darah, harta,
kehormatan, dan harga diri seorang muslim adalah tidak halal :

‫ٱَّلل ُ َعلَ ْي ِه َولَ َع َنهُۥ َوأَ َع َّد لَهُۥ َع َذابًا َعظِ يمًا‬
َّ ‫ب‬ َ ِ‫َو َمن َي ْق ُت ْل م ُْؤ ِم ًنا ُّم َت َعم ًِّدا َف َج َزآؤُ هُۥ َج َه َّن ُم َٰ َخل ًِدا فِي َها َو َغض‬

Arab-Latin : Wa may yaqtul mu`minam muta'ammidan fa jazā`uhụ jahannamu khālidan fīhā


wa gaḍiballāhu 'alaihi wa la'anahụ wa a'adda lahụ 'ażāban 'aẓīmā

Artinya : Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.8

Dengan begitu, mewujudkan saling pengertian dan saling menghormati, dan idealnya
dilakukan komunikasi dan diskusi (mujadalah) dengan cara yang sejuk dan terbaik (ahsan).
Persaudaraan adalah persoalan prinsip dalam Islam, sedangkan perbedaan dalam banyak hal
adalah pada persoalan furu‟iyyah.

Jika terjadi perselisihan yang mengancam eksistensi ukhuwah maka solusinya adalah
umat Islam membangun komunikasi di atas prinsip persaudaraan. Dalam kondisi yang
memungkinkan dipertemukan dan atau ditolerir sebaiknya ditempuh dengan tasamuh (toleransi),
atau al-jam‟iyat (kompromi) “sinergikan akhlak dengan fiqh” karena fiqh telah mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah), orang lain (muamalah) serta lingkungannya.
Secara ideal, aturan-aturan formal fiqh diekspresikan dengan nilai-nilainya (value) akhlak”.

Memang, terdapat pembagian hukum dalam Islam, paling tidak dibagi kepada tiga
bagian; pertama, hukum i’tiqadiyah yaitu hukum yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib
diyakini oleh orang-orang mukallaf (yang terbebani dengan hukum) yang meliputi kepercayaan
kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para Rasul, dan hari akhir. Kedua, hukum khuluqiyah,
yaitu hukum-hukum yang bertalian dengan hal-hal yang wajib atas orang mukallaf menyangkut
kewajiban yang harus dilaksanakan dan larangan yang wajib ditinggalkan.

8
https://tafsirweb.com/1625-surat-an-nisa-ayat-93.html

6
Ketiga, hukum ‘amaliyah (praktis) yang bertalian perkataan dan perbuatan mukallaf serta
tatacara melaksanakannya.

Inilah yang disebut hukum fiqh, dan bagaimana dapat sampai kepada hal tersebut,
dibutuhkan ilmu usul al-fiqh. Seyogyanya, pengembangan kurikulum dalam tradisi pendidikan
Islam mesti mengajarkan ushul al-fiqh kemudian memberikan contoh-contoh produk hukum
dalam bentuk fiqh. Sehingga ketika seorang sarjana berada di tengah-tengah masyarakat, maka
akan menyesuaikan dengan kondisi dimana berada. Bukan hanya sekedar menuturkan
yurisprudensi yang justru berjarak dengan keadaan masyarakat itu sendiri. Hukum akan hidup
dalam masyarakat, dengan demikian sebagai bagian dari hokum itu, maka praktik yang berjalan
adalah kondisi normative yang dijadikan acuan oleh segenap penganutnya.

B. Proses Penerapan Hukum Islam

Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim
di nusantara ini. Awalnya hukum Islam ini memiliki bentuk yang tidak tertulis, dalam artian
aturan-aturannya tidak dicantumkan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada sehingga
tidak adanya sanksi yang diberikan oleh penguasa. Namun meskipun demikian, karena hukum
Islam dianggap sebagai hukum yang benar oleh para penganutnya, maka ia dipatuhi oleh
masyarakat Islam terutama dari kalangan pemimpin dan ulamanya. Aturan-aturan yang
merupakan hukum Islam tersebar di dalam berbagai kitab fikih hasil pemikiran para ulama. 9

Pada masa-masa awal kedatangan agama Islam, jika terjadi sengketa termasuk masalah
perkawinan diantara pemeluk agama Islam, maka persoalan ini akan diserahkan kepada orang
yang dianggap ahli dalam hal ilmu agama Islam. Kemudian, pada saat ketika telah munculnya
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini, para ahli agama Islam yang bertugas menyelesaikan
sengketa-sengketa semacam itu secara formal diangkat oleh raja atau sultan.10

Hukum Islam masih tetap ada, walaupun tidak berlaku secara utuh, hal ini dapat dilihat
baik secara budaya ( cultural ) maupun secara sosiologis bahwa Hukum Islam tidak pernah mati
akan tetapi Hukum Islam eksis dalam kehidupan Umat Islam sejak Penjajahan baik penjajahan
Belanda maupun pasca kemerdekaan hingga sampai sekarang ini.

9
Menurut Prof. H. Mohammad Daud Ali, S. H. (2002: 209)
10
Ibid.: 221-222

7
Dengan demikian, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk
memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah
pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem
hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam
hukum Nasional kita.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fiqih di Indonesia mestinya tidak cukup dengan mengadopsi produk fiqih masa ulama
klasik saja, namun perlu mengartikulasikannya dengan konteks kekinian dan akomodatif
terhadap fakta empirik. Fiqih sebagai produk pemikiran yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-
historis masyarakat seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang absolut. Al-quran bagi
umat Islam adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. melalui
malaikat Jibril yang berlangsung selama kurang lebih 23 tahun. Islam diturunkan tidak hanya
untuk komunitas masyarakat tertentu (komunitas Arab Mekkah dan Arab Madinah), tetapi ia
diturunkan untuk menyapa seluruh aspek kehidupan kapan dan di mana pun berada. Hukum
akan hidup dalam masyarakat, dengan demikian sebagai bagian dari hokum itu, maka praktik
yang berjalan adalah kondisi normative yang dijadikan acuan oleh segenap penganutnya.

Di dalam proses penerapan hukum islam, Hukum Islam masih tetap ada, walaupun tidak
berlaku secara utuh, hal ini dapat dilihat baik secara budaya maupun secara sosiologis bahwa
Hukum Islam tidak pernah mati akan tetapi Hukum Islam eksis dalam kehidupan Umat
Islam.

B. Saran

Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-
tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut
didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam
ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma„ruf haruslah juga
dengan menggunakan langkah yang ma„ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan
penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan
sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya.

9
Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi
tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema„rufan Islam. Proses
pengakraban bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus
dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan
terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam
sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu
tujuan dan cita-cita kita ( hukum Islam.)

Demikianlah materi kuliah Filsafat Hukum Islam tentang “Proses pembentukan dan
penerapan hukum islam” ini yang bisa saya uraikan, pasti banyaklah kekurangan dari segi
penulisan dan pentelaahhan ataupun referensi yang saya kutip dan saya kira hanya sebegitu
kemampuan saya.

Saya berharap materi ini dapat di berikan saran dari pembaca dan itu sangat saya butuhkan untuk
memperbaiki kinerja kedepannya. Karena kesempurnaan hanya milik Allah sedangkan kekhilafan
datangnya dari saya. Terimakasih.

Walllahubishawab

Penulis : Yunifra (Nefra)

10

Anda mungkin juga menyukai