Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FIQIH DAN LEGISLASI ( TAQNIN)


Disusun Untuk memenuhi Tugas Matakuliah “Ilmu Fiqh”
Media Pembelajaran Yang Dibimbing Oleh
Irfa Asy’at Firmansyah M.Pd.I

Di susun oleh

Kelompok 09 :

Oleh

SPI 2 Kelompok 11

1. Mohammad Royyen 204104040029


2. Hadi Cahyono 204104040045
3. Annake Dila Syafira 204104040050

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kelimpahan rahmat serta

hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul Fiqih dan Legislasi ini dengan

tepat waktu. Salawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar

Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah ini.

Adapun tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Fiqih dan Legislasi ini untuk

memenuhi tugas pada mata kuliah Ilmu fiqh. Selain itu, makalah ini kami tulis bertujuan untuk

menjelaskan apa itu Islam dan Kolonialisme. Dalam penulisan makalah ini, penulis dapat

bantuan dari bergai pihak. Oleh kerena itu, penulis ucapkan banyak terima kasih kepada dosen

pembimbing mata kuliah Ilmu fiqh yang telah memberi kami arahan dalam mengerjakan

makalah ini sehingga kami dapat mengerjakannya dengan lancar. Tak lupa pula kami ucapkan

terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sedikit pengetahuanya kepada kami

sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan,

kekurangan, dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran

yang membangun agar dapat membuatnya lebih baik lagi dimasa mendatang. Semoga makalah

ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya

Jember,8 Mei 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Islam dan Kolonialisme..................................................................................3
2.2 Fase Pentaqninan............................................................................................5
BAB III PENUTUP...................................................................................................8
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 8
3.2 Saran................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam peta dunia Islam, Indonesia adalah satu sosok fenomenal yang Memiliki
karakteristik berbeda atau berseberangan dengan dunia Islam lainnya. Oleh karenanya, kajian
keislaman belum dikatakan sempurna apabila belum Mengkaji realitas Islam di Indonesia. Hal
ini salah satunya adalah dikarenakan Kondisi umat Islam di Indonesia yang mayoritas –
walaupun dalam Kesehariannya hidup pada komunitas yang plural – semua persoalannya tidak
Didasarkan pada paham keislaman, melainkan pada Pancasila. Walaupun Terdapat titik temu
antara Islam dan Pancasila, akan tetapi bagaimanapun Alasannya Pancasila tidak dapat mewakili
Islam secara utuh, sehingga ada asumsi Bahwa nilai-nilai pokok Islam sudah masuk dalam
Pancasila.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki orientasi aktual, Fenomenal, dan
kontroversial ketika membahas tentang “legislasi hukum Islam” Atau syari’ah Islam. Sebagian
umat menganggap agama sebagai warisan Kesejarahan yang harus diterima secara taken for
granted (bi la kaifa). Alhasil, Syari‟ah dipahami secara reduksionis menjadi hukum-hukum
partikular (fikih). Syari‟ah dimaknai hanya menutupi aurat, mencantumkan huruf Arab,
Memberlakukan hukum cambuk, yang diperkuat dengan pengawasan oleh polisi Syari‟ah.
Realitas ini secara kasat mata bisa dilihat sangat jelas dalam layar Syari‟ah di Propinsi NAD
(Nanggroe Ace Darussalam) yang telah berlaku sejak 1 Muharram 1423 H.
Sejak awal memang dapat dibaca bahwa kultur keberagamaan yang Berkembang di Aceh
tidak memberikan ruang yang luas bagi budaya, sehingga Aplikasi keberagamaan terlihat bersifat
simbolik-literalistik. Aceh tidak Mempunyai eksperimentasi yang cukup untuk memahami
agama dengan Menggunakan optik budaya, yang memungkinkan adanya bergaining discourse
Antara ajaran keagamaan dan budaya. Di satu sisi, agama harus mengikuti Budaya, tapi di sisi
lain, budaya harus mengakomodasi agama. Namun, teori Timbal-balik kebudayaan terlihat
sangat langka dalam disket keagamaan yang Berkembang di Aceh selama ini.
Disisi yang lain terdapat golongan yang ingin membangun konsep Syari‟ah Islam yang
selama ini terkesan menakutkan dan cenderung kearab-Araban menjadi sosok syari‟ah yang
elegan, tidak menakutkan, dan fleksibel Dalam menghadapi perubahan sosial, sekaligus tidak
bertentangan dengan Demokrasi dan pluralisme yang kini menjadi isu politik global. Dengan
kata lain, Syari‟ah Islam yang seperti apakah yang sekiranya relevan untuk dikembangkan
Dalam konteks kekinian? Inilah fokus kajian tulisan ini.

1
1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Islam dan Kolonialisme?...


2. Jelaskan seperti apa fase Pentaqninan?...
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa itu Islam dan Kolonialisme.
2. Untuk memahami tentang fase-fase pentaqninan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Arah dan Perkembangan Pentaqninan

2.1 Islam Dan Kolonialisme

Setelah dunia Islam membebaskan diri dari penjajahan Barat dan kemudian
membentuk negara nasionalnya masing-masing serta mengurus dan mengatur sendiri
bidang-bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaannya ternyata terdapat
aspek yang kurang ataupun tidak sesuai dengan ketentuan ajaran Islam di satu sisi. Di
sisi lain, tidak mungkin mengganti keseluruhan dari apa yang sekarang telah berlaku
secara sekaligus, karena akan mengakibatkan kekosongan intuisi dan kekacauan dalam
kehidupan masyarkat, serta tidak realistis. Dengan kata lain, menerapkan keseluruhan
warisan hukum Islam juga tidak Islami. Dengan demikian, diambil jalan tengah
dengan mengambil aturan-aturan fiqh yang relevan.

Menghadapi kenyataan ini, umumnya dunia Islam menggunakan cara al-Tadrij


fi al-Tasri’ (bertahap di dalam penerapan hukum) dengan membiarkan terus
berlakunya hukum yang memenuhi persyaratan kemaslahatan umat dan menambah
atau bahkan mengganti aturan yang dianggap tidak aspiratif dan tidak sesuai dengan
kebutuhan umat.

Seperti telah disinggung pada bab-bab sebelumnya bahwa dalam proses


pembentukan ilmu fiqh, fiqh ini menjadi bahan bagi pembentukan berbagai peraturan
baik perundang-undangan, peraturan pemerintah, bahkan di dalam peraturan-peraturan
daerah.

Arah semacam ini tampaknya sedang ditempuh di seluruh dunia Islam,


termasuk di Indonesia, demi untuk kepastian hukum. Di dalam fiqh, sangat beragam
perbedaan pendapat para ulama. Bahkan satu mazhab tertentu pun tidak menjamin
adanya kesatuan pendapat. Ini pulalah yang mendorong kekhlifahan Turki Usmani

3
mengeluarkan Majalah al-Ahkam yang memuat 1851 Pasal, meskipun Turki menganut
mazhab Hanafi. Alasannya, dalam mazhab Hanafi, banyak pendapat yang berbeda,
bahkan bertentangan. Hal ini tidak berarti warna suatu mazhab tidak memengaruhi
dalam pentaqninan. Misalnya, warna mazhab Syafi’i tetap tampak di dalam Inpres No.
11 tahun 1991 di Indonesia. Demikian pula warna mazhab Hanbali di Saudi Arabia.
Artinya, kultur masyarakat setempat tetap berpengaruh di dalam pembeentukan
perundangan-undangan, terutama di bidang hukum keluarga (al-Akhwal al-
Syakhsiyah) artinya pula: kesadaran hukum masyarakat menjadi penting.

Dibidang hukum Islam hukum keluarga, tampaknya pentaqninan mengambil


dari semua mazhab selama maslahat bagi kehidupan bahkan juga mengambil dari
hukum lain selama sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, implikasinya adalah
mempelajari hukum Islam harus dengan muqaranah madzahib (perbandingan mazhab)
bahkan dengan perbandingan hukum, baik sistem hukum adat maupun hukum Romawi
(Barat).

Politik hukum suatu negara sangat menetukan di dalam arah pentaqninan,


artinya political will penguasa sangat menentukan karena perundang-undangan pada
prinsipnya adalah produk politik. Untuk negara-negara yang menyatakan diri sebagai
Islamic State (Negara Islam), seperti: Saudi Arabia, Iran, Pakistan, Brunei Darussalam,
Maurituania, hal ini mungkin tidak jadi masalah, karena politik hukumnya memang
menerapkan hukum Islam.

Akan tetapi, bagi Negara Muslim atau negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam seperti Indonesia dan Mesir, Politik hukum negara yang bersangkutan
menjadi sangat penting. Untuk kasusu Indonesia mislanya, peluang untuk pentaninan
ini menjadi terbuka setelah GBHN dinyatakan bahwa bahan di dalam pembentukan
hukum nasional adalah: hukum Adat, hukum Barat, dan hukum Islam.

Dalam pentaqninan ini, ijtihad yang dilakukan pada umumnya adalah ijtihad fi
Tatbiq al-Ahkam (ijtihad di dalam penerapan hukum) dengan menggunakan metoda
Ijtihad Jama’i (ijtihad kolektif); prosesnya adalah dengan menghadirkan para pakar
dibidang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan materi yang dibahas, untuk
memberikan pertimbangan keadaan yang sesungguhnya dan dihadiri pula oleh para

4
ahli agama, khususnya ahli hukum Islam, untuk memberikan pertimbangan hukumnya
(al-Hukm qabla bayan dhulnmun, wa tark al-hukm ba’da bayan dhulmun). Dengan
cara ini diharapkan hasil ijtihadnya lebih benar, lebih baik dan indah serta lebih arif
untuk kemaslahatan hidup bersama.

Akhirnya bisa dinyatakan dengan bahwa dengan pentaqninan ini, ilmu fiqh ini
sedang mengalami fase baru perubahan; perubahan dengan tidak meninggalkan jati
dirinya yang tercermin di dalam dalil-dalil kauli, kaidah-kaidah kuliyah, maqashid al-
syari’ah dan semangat ajarannya yang adil, memberi rahmat, maslahat dan
mengandung makna bagi kehidupan: atau dengan ungkapan lain: al-Muhafadlah ‘ala
al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdz bi al-Jadid al-Ashlah (Mempertahankan yang lama
yang maslahat dan mengambil yang baru yang lebih maslahat).1

2.2 Fase Pertaqinan

Perkembangan ilmu fiqh untuk mencapai kepada fase pen-taqnin-an ini melalui proses
yang panjang, setidaknya melalui empat tahapan:

1. Tahap pemebntukan mazhab yang resmi, di dalam Tarikh alTasyri’ kita temukan
fakta sejarah bahwa khalifah Ja’far al-Mansur telah meminta kepada Imam Malik untuk
menjadikan mazhab Malik, menjadi mazhab resmi di seluruh wilayah kekuasaannya.
Imam Malik menolak permintaan khalifah Ja’far al-Mansur dengan lasan akan
menganggu kebebasan berijtihad. Artinya, apabila mazhab Maliki menjadi mazhab
resmi negara maka para mujtahid tidak akan bebas lagi berijtihad, sebab harus
mengikuti mazhab resmi penguasa. Pada masa sekarang yang masih menggunakan
mazhab resmi negara anatara lain: Saudi Arabia dengan mazhab Hanbali-nya dan
Brunei Darusslam dengan mengambil mazhab Syafi’i sebagai mazhab resmi negar, atau
Iran dengan mazhab Syi’ah Imamiyah. Sudah barang tentu kebijakan semacam ini akan
memperkuat mazhab dan menyebarluaskan karena seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun
“manusia akan mengikuti agama penguasanya” (Al-Nas’ala Dini Mulukihim).

1
H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 163-166.

5
2. Setelah adanya mazhab yang resmi menjadi mudah untuk pembentukan taqnin,
dengan mengikuti mazhab yang resmi tadi. Contoh yang paling baik untuk fase ini
adalah Majalah Al-Ahkam al-Adliyah yang dikeluarkan pada masa kekhalifahan Turki
Ustmani yang mengambil seluruhnya dari mazhab resmi kekhalifahan Turki Utsmani
yaitu mazhab Hanafi.

3. Pentaqninan dengan mengambil bahan-bahan dari mazhab resmi tertentu, selama


sesuai dengan kemaslahatan. Contohnya; kadang-kadang hukum dalam hukum keluarga
pada zaman kekhalifahan Turki Utsmani mengambil mazhab Maliki. Misalnya, batalnya
talak yang dijatuhkan karena di paksa atau dijatuhkan ketika sedang mabuk (Qanun
Huquq al-‘adilah Turki Utsmani Tahun 1917, Pasal 57, 104, dan 105). Demikian pula
halnya dalam kasus suami yang pergi atau hilang tanpa berita serta tidak memberi
nafkah. Kemudian istrinya menggugat, maka pengadilan harus mengabulkan gugatan
istri setelah mencari suami dengan sungguh-sungguh (pasal 126). Pasal 185, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, “Hukum Kewarisan”. Menyatakan bahwa ahli waris yang
meninggal lebih dulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173 (membunuh, mencoba
membunuh, atau menganiaya). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dalam kasusu pewaris meninggalkan
anak perempuan dan anak laki-laki yang telah meninggal, ini bukan washiyah wajibah
sehingga tidak boleh melebihi sepertiga harta warisan. Dalam kasus di atas, kalau
diganti anak perempuan ½ cucu ½, sisanya ashabah. Cucu ½-3/6; kalau wasiat wajib
tidak boleh lebih dari 1/3-2/6. Fase ketiga ini kemudian diikuti oleh sebagian negara-
negara Arab seperti Mesir, Syria, Irak, dan Tunisia.

4. Pada fase keempat ini, dunia Islam tidak hanya mengambil dari berbagai mazhab
di dalam fiqh, tetapi juga mengadopsi beberapa bagian hukum-hukum barat; mislanya di
dalam undang-undang hukum dagang baik di darat maupun di laut, yang dahulu belum
mendapatkan perhatian yang serius dari Fuqoha, meskipun prinsip-prinsip hukumnya
telah ditemukan, tetapi rinciannya sebagai bahan di dalam pentaqninan masih
memerlukan penelitian, termasuk fatwa-fatwa yang kemudian jadi bahan taqnin.

6
Pengaruh hukum barat ini nampaknya sulit dihindari, baik karena sekarang kita
memasuki era globalisasi, maupun karena lamanya dunia Islam dijajah oleh Barat yang
menerapkan hukumnya di daerah jajahannya. Di Malaysia misalnya: ada hukum
cambuk, hukum cambuk ini dikenal di kalangan Fuqaha karena ada dalam Al-Qur’an,
tetapi Malaysia juga menerapkan hukuman gantung yang tidak dikenal di kalangan
Fuqaha. Meskipun hukuman mati di dalam hukum pidana Islam dikenal untuk kejahatan
yang sangat berbahaya bagi masyarakat tetapi bukan dengan cara digantung. Hukuman
gantung rupanya diambil dari hukum Inggris yang pernah menjajah Malaysia.

Di dalam mengadopsi hukum-hukum Barat ini perlu kehati-hatian, dalam arti


perlu penelitian tentag falsafah hukumnya, prinsip-prinsipnya, dan asas-asasnya. Tolak
ukurnya adalah: dalil-dalil kulli baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, Maqosidu
Syari’ah, kaidah-kaidah kuliah fiqhiyah dan semangat hukum Islam, yang merupakan
identitas hukum Islam. Akar filosofinya diberi landasan filosofis Islami (Sayyid Quthb).

Apabila tidak bertentangan dengan keeempat hal tersebut tidak ada salahnya
mengadopsi dari hukum Barat, sebab kemungkinan besar hukum Baratpun mengadopsi
dari hukum Islam pada zaman keemasan Islam, sedangkan Barat masih dalam
kegelapan.2

2
Ibid. Hal 166-169

7
BAB III

Kesimpulan dan Saran

3.1 Kesimpulan
Demikianlah, legislasi hukum Islam selalu menuai perdebatan menarik, Bak tabir
misteri yang tak kunjung usai dibicarakan. Dalam konteks Indonesia, Perdebatan di
seputar isu syari‟ah Islam bisa dikatakan setua umur republik ini. Menariknya, baik
yang mengusung maupun mementahkan penerapan syari‟ah Islam oleh negara sama-
sama berasal dari “rahim” Islam, sama-sama lahir dan Besar dari tradisi Islam, dan
sama-sama fasih memakai justifikasi teologis dari Kekayaan khazanah klasik Islam
untuk membenarkan argumennya. Dengan Demikian, persepsi dan pandangan umat
terhadap konsep syari‟ah Islam tidaklah Monolitik, apalagi jika syari‟ah Islam
dikaitkan dengan konsep politik, demokrasi Dan pemerintahan. Persepsi terhadap
syari‟ah Islam tergantung pada ruang dan Waktu di mana faktor politis, sosiologis,
ekonomis dan antropologis berperan Membentuk apresiasi dan persepsi yang beragam.
Last but not least, diskusi publik soal syari‟ah Islam di Indonesia yang
Melibatkan pertarungan antara anak-anak kandung Islam membuktikan Kebenaran
adagium Islam warna-warni. Syari‟ah Islam menjadi korpus teks yang Terbuka untuk
ditafsirkan siapa saja. Tidak ada lagi pihak yang berani mengklaim Paling punya
otoritas menafsirkan Islam karena tidak ada satupun orang di Muka bumi ini yang
berhak mengklaim bahwa dialah yang memiliki hak paten Atas Islam.

3.2 Saran

8
Dalam sebuah karya ilmiah tentu pentingnya saran dari pada dosen pembimbing dan
teman-teman sekalian. Agar dapat memperbaiki makalah ini untuk memenuhi syarat,
menurut prosedur makalah yang telah ada maka pemakalah sngat mengharapkan saran
kritik bagi makalah ini yang sangat jauh dari kesempurnaan dan keterbatasan referensi
yang mungkin saran dari dosen dan teman-teman mampu meningkatkan hasil makalah
yang baik bagi masa yang mendatang.

9
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nasar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Djazuli, H. A. 2005. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam. Jakarta: Kencana.
Philips, Abu Ameenah Bilal. 2005. Asal-usul dan Perkembangan Fiqh Analisis
Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi. Terj, M. Fauzi Arifin. Bandung:
Nuansa.
Sudirman, Tebba Eta. 1993. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara:
Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Terj, Hendro Prasetyo.
Bandung: Mizan

10

Anda mungkin juga menyukai