Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH

TOKOH-TOKOH PENGEMBANG KEILMUAN FIQIH DAN TATA CARA


MENGAPLIKASIKAN ADAB-ADAB IKTILAF DALAM
BERMASYARAKAT

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Fiqih


Dosen Pengampu: Fitratul Uyun, M. PdI

Penyusun:

Ayu Bulan Bidadari (18140041)


Kulsum Ulfa (18140049)
Hanifah Muhimmatul Ulya (18140060)
Mohammad Muizuddin M. (18140073)

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Maret, 2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puji syukur kita atas kehadirat-nya, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidyah-nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Tokoh-tokoh pengembang keilmuan fiqih
dan tata cara mengaplikasikan adab-adab ikhtilaf dalam bermasyarakat”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini ,saya ucapkan
kepada Ibu Fitratul Uyun, M. PdI selaku dosen pengampu, yang telah memberi
bimbingan, saran, ide dan kesempatan untuk kami belajar tentang Pengembangan
Bahasa Indonesia dengan baik. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca untuk kedepannya dan dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Terlepas dari semua itu,
kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami. Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Malang, Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


BAB I ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang. ....................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 2
BAB II .......................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
2.1. Perkembangan Fiqih dari masa ke masa .............................................................. 3
1. Masa Rasulullah SAW ............................................................................................ 3
2. Fiqih Pada Masa Sahabat....................................................................................... 5
3. Fiqih Masa Tabi'in. ................................................................................................. 9
4. Fiqih Pada Masa Imam Mujtahid ....................................................................... 10
2.2. Tokoh-Tokoh Fiqih ............................................................................................... 14
2.3. Pemikiran-pemikiran Para Ahli Fiqih (Fuqaha) ............................................... 22
2.4. Ikhtilaf.................................................................................................................... 23
1. Pengertian Ikhtilaf ................................................................................................ 23
2. Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf ......................................................................... 24
3. Pembagian Ikhtilaf................................................................................................ 30
2.5. Aplikasi Adab-Adab Ikhtilaf Dalam Bermasyarakat ........................................ 34
BAB III ....................................................................................................................... 37
PENUTUP .................................................................................................................. 37
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 37
3.2 Saran ........................................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 39
LAMPIRAN ............................................................................................................... 40

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.


Dalam agama Islam, terdapat banyak sekali ilmu yang perlu dipelajari
dan dikuasai oleh seorang muslim dan mukmin agar benar-benar mampu
melaksanakan semua perintah Allah dengan baik dan benar. Di antara ilmu-ilmu
tersebut adalah ilmu Tauhid, ilmu Akhlaq, ilmu Fiqih, ilmu Tafsir dan masih
banyak ilmu lainnya yang menjadi penunjang bagi ilmu-ilmu dasar yang telah
disebutkan sebelumnya.
Sebagai sebuah ilmu, maka fiqih mengalami perkembangan dari masa
Rasul SAW hingga sekarang, walaupun sebagian orang kurang memahami dan
terkadang menganggap orang yang berpendapat demikian disebut dengan
pembaharu agama. Namun tidak dapat dibantah, bahwa fiqih tetap berkembang
sesuai dengan kebutuhan manusia pada zamannya. Ini sesuai dengan fitrah Islam
sendiri, yang memiliki konsep Islam menjadi rahmat sekalian alam. Jika fiqih
tidak berkembang, maka akan ditinggalkan orang. Perjalanannya dari masa Rasul
SAW sampai sekarang mengalami pasang-surut, dimana hal ini sangat
dipengaruhi kondisi sosial masyarakat saat tersebut, sehingga para Faqih dalam
mengeluarkan hukum fiqhnya senantisa dipengaruhi sejumlah faktor sosial,
kultur budaya dan ekonomi masyarakat setempat.
Dalam ilmu Fiqih, ada beberapa kitab yang membahas mengenai ikhtilaf
yang memiliki makna perbedaan dan perselisihan. Dalam beberapa kitab
tersebut, ikhtilaf dibahas secara detail dan mendalam, membuat kami yang
membacanya menjadi penasaran dan tergerak untuk memahami lebih dalam apa
maksud darinya.

1
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan fiqih dari masa ke masa?
2. Siapa sajakah tokoh-tokoh yang berperan penting dalam perkembangan
ilmu fiqih?
3. Bagaimanakah pemikiran dari para ahli fiqih?
4. Apa yang dimaksud dengan adab Ikhtilaf.
5. Adakah pembagian ikhtilaf?
6. Apa yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf?
7. Bagaimana aplikasi adab-adab ikhtilaf dalam bermasyarakat?

1.3. Tujuan Penulisan


Dari rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan tujuan penyusun makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sejarah perkembangan fiqih dari masa ke masa
2. Mengetahui tokoh-tokoh yang berperan penting dalam perkembangan ilmu
fiqih
3. Mengetahui pemikiran para ahli fiqih
4. Memahami pengertian Ikhtilaf.
5. Mengetahui pembagian ikhtilaf
6. Mengetahui penyebab terjadinya ikhtilaf
7. mengetahui aplikasi adab-adab ikhtilaf dalam bermasyarakat

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perkembangan Fiqih dari masa ke masa


1. Masa Rasulullah SAW
Pertumbuhan fiqih, bersamaan lahirnya dengan agama islam, karena
agama islam merupakan kesatuan dari aqidah, akhlak dan hokum
amaliyah. Hukum amaliyah ini terwujud sejak zaman rasulullah yang
terdiri dari beberapa hukum yang terdapat didalam al qur‟an. Di antara
hukum yang datang dari rasulullah adalah fatwa terhadap suatu masalah
karena adanya perselisihan dan jawaban terhadap berbagai persoalan.
Dengan demikian, kumpulan hukum fiqih ini pada masa permulaannya
diambil dari hukum allah dan rasulnya, sedangkan sumbernya adalah
alqur‟an dan hadits.1

Masa Mekkah Dan Madinah


Periode ini dimulai sejak diangkatnya Muhammad SAW menjadi Nabi
dan rasul sampai wafatnya. Periode ini singkat, hanya sekitar 22 tahun dan
beberapa bulan. Akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap
perkembangan ilmu fiqh. Masa Rasulullah inilah yang mewariskan
sejumlah nash-nash hukum baik dari Al-Qur‟an maupun Al-Sunnah,
mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang tersurat dalam dalil-
dalil kulli maupun yang tersirat dari semangat Al-Qur‟an dan Al-Sunnah.
Periode Rasulullah ini dibagi dua masa yaitu : masa Mekkah dan masa
Madinah. Pada masa Mekkah, diarahkan untuk memperbaiki akidah,
karena akidah yang benar inilah yang menjadi pondasi dalam hidup. Oleh
karena itu, dapat kita pahami apabila Rasulullah pada masa itu memulai

1
Abdul Wahab Khalaf.. Ilmu ushul fiqh. Kairo: dakwah islamiyah syabab al azhar. 1968. Hlm
27

3
da‟wahnya dengan mengubah keyakinan masyarakat yang musyrik
menuju masyarakat yang berakidah tauhid, membersihkan hati dan
menghiasi diri dengan al-Akhlak al-Karimah, Masa Mekkah ini dimulai
diangkatnya Muhammad SAW menjadi Rasul sampai beliau hijrah ke
Madinah yaitu dalam waktu kurang lebih selama 12 tahun2.
Selanjutnya masa di madinah, Madinah merupakan tanah air baru bagi
kaum muslimin, kaum muslimin bertambah banyak dan terbentuklah
masyarakat muslimin yang menghadapi persoalan-persoalan baru yang
membutuhkan cara pengaturan-pengaturan, baik dalam hubungan antar
individu muslim maupun dalam hubungannya dengan kelompok lain di
lingkungan masyarakat Madinah, seperti kelompok Yahudi dan Nasrani.
Oleh karena itu, di Madinah disyaratkan hukum yang meliputi
keseluruhan bidang ilmu fiqh.
Saat membicarakan periodesasi fiqh, maka itu berarti tidak boleh
terlepas dari Hijaz, dimana ia disebut pusat keagamaan Islam. Dua kota
umat Islam yang sangat terkenal yakni Mekkah dan Medinah ada di sana.
Masa Rasul SAW adalah masa yang tidak ada masalah dalam bidang
keagamaan (khusunya Fiqh), artinya semua persolan yang diajukan oleh
umat atau sahabat atau musuhnya sekalipun dapat terjawab dengan tuntas.
Pada saat itu Rasul memiliki dua otoritas yakni otoritas kepala agama dan
kepala negara. Otoritas agama artinya Rasul SAW sebagai Rasul Tuhan
senantiasa menyampaikan risalah untuk umatnya. Sementara sebagai
pemimpin negara, artinya Rasul saat itu bertindak sebagai kepala negara.
Dengan hal tersebut, Rasul memberikan peluang yang sangat besar untuk
membangun umatnya. Semua masalah yang terjadi dalam masyarakat
terselesaikan, baik di Medinah maupun Mekkah dan daerah Islam lainnya.
Muaz dikirim ke Yaman, Rasul SAW memberikan otoritas kepadanya

2
Wikipedia.org/wiki/fiqih

4
untuk berijtihad dalam pengambilan keputusan hukum jika tidak terdapat
nash al-Qur'an dan dan hadis. Adapun hikmah ijtihad dan pemberian izin
Nabi SAW kepada sahabat untuk berijtihad adalah bahwa syariat Islam
merupakan syariat penutup dan agama pada hari kiamat.3

2. Fiqih Pada Masa Sahabat


Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW sampai
akhir abad pertama hijrah. Pada masa sahabat dunia Islam sudah meluas,
yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh
karena itu para mujtahid berupaya melakukan ijtihad dan berusaha untuk
memutuskan, memberikan fatwa dan menetapkan berbagai hukum syariat
islam yang disandarkan pada hukum-hukum pada periode rasulullah.
Dengan demikian sumber hukum pada periode ini adalah al quran, as
sunnah dan ijtihad para sahabat 4 . Berikut penjelasan mengenai sumber
hukum tersebut.
a. Masa Abu bakar Ash-Shiddiq (11-13 H)
Saat Abu Bakar menjadi khalifah, maka seluruh kegiatan
keagamaan berada di tangannya. Di zamannya banyak masalah
yang muncul seperti memerangi orang murtad, orang yang tidak
mau bayar zakat dan lain sebagainya. Ciri khas fiqh masa Abu
Bakar adalah:
1. Penggunaan qiyas secara luas dalam berbagai kasus hukum
yang tidak terdapat Nash dan Hadis tentang hukum terkait,
2. Ijmak dimanfaatkan sebagai dasar penetapan hukum.
Semua yang dilakukannya saat itu adalah pilihan untuk
menyelamatkan agama. Ini beliau lakukan berdasarkan pikirannya

3
Muzakir, Periodisasi Fiqh (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW Sampai Modern)
Jurnal Islam Futura, Vol, VII, No. 1, Tahun 2008, IAIN Ar-Raniry, hlm. 26
4
Ibid. Hlm 27

5
atau hasil ijtihadnya. Ini berarti bahwa fiqh saat beliau berkembang
sesuai dengan hasil ijtihadnya. Oleh karena ini perkembangan fiqh
masanya sangat baik. Kondisi sosial masyarakat Arab sangat keras,
terkadang harus dikeluarkan hukum yang keras pula yakni perang.
Dengan demikian perkembangan fiqh saat itu tergantung
bagaimana Abu Bakar memutuskan hukum. Abubakar adalah
sahabat Nabi SAW yang paling dekat dan paling takwa, sehingga
dalam memutuskan hukum fiqh senantiasa berpegang pada Allah
SWT dan Rasul SAW.5

b. Masa Umar Bin Khattab (13-23 H)


Saat Umar menjadi khalifah, dengan segala ketakwaannya dan
keadilan serta keberanianya, senantiasa melakukan apa saja demi
tegaknya Islam. Pada masanya banyak sekali kemajuan yang
dicapai oleh Islam, terutama yang menyangkut penaklukkan daerah
kekuasaan Islam. Sebagai seorang yang pernah hidup dengan Rasul
SAW, maka dapat melihat dan merasakan langsung bagaimana saat
Rasul SAW memerintah negara dan memelihara agama.
Ijtihad Umar Bin Khattab
Umar adalah termasuk orang yang sering berijtihad dalam
bidang hukum fiqh, sehingga saat pemerintahannya banyak yang
dilakukanya melalui ijtihad. Ijtihad yang sering dilakukan Umar
memberikan gambaran bahwa ijtihad merupakan sumber hukum
setelah al-Qur'an dan Hadis. Sikap kerasnya yang diterima dari
ayahnya saat mengembala memiliki pengaruh sikap tegas dan
keras dalam pergaulannya, sementara pengalamannya sebagai
peniaga yang sukses yang membawa barang dagangangnya ke
Syiria telah berpengaruh terhadap kecerdasannya, dan kepekaanya

5
Muzakir. Op. Cit, hlm. 29

6
serta pengetahuannya terhadap berbagai tabiat manusia. Ijtihad
pada masa Umar sering ketika harus memtuskan masalah padahal
tidak ada tempat berpijaknya.
Adapun kasus-kasus yang telah Umar dilakukan di
antaranya: Kasus muallaf, kasus potong tangan pidana pencurian
dan kasus rampasan perang.12 Dalam perjalanan sejarahnya, Umar
banyak melakukan ijtihad untuk hukum, sehingga fiqh pada
masanya berkembang dengan cepat. Hal ini karena ijtihad yang
dilakukannya dalam pengambilan keputusan dan itu dilakukannya
dengan melihat kasus atau perkembangan di lapangan. Dalam
sejarah Umar dikenal dengan keadilannya saat menjalankan
pemerintahnnya dalam segala bidang.6
c. Masa Usman Bin Affan (23-35 H)
Saat menjadi khalifah, Usman bin Affan masih melanjutkan
ekspansi Islam keluar wilayah sehingga diperolehnya wilayah-
wilayah baru. Dengan demikian memerlukan penanganan dengan
baik, dimana sahabat banyak berpindah ke negeri baru, sehingga
berpindah ilmu-ilmu ke daerah baru, disana membutuhkan
adaptasi-adaptasi terhadap situasi sosial yang baru pula. Usman
sebagai seorang yang suka damai, dimana dalam peperangan ia
tidak berada paling depan dan juga paling belakang, sebab memang
ia bukan pahlawan seperti Hamzah bin Abdul Mutallib, Abi Bin
abi Talib, Zubir bin Awwan dan saad Bin Abi Waqas dan Khalid
bin Walid yang telah menggerakkan semangat perang dan
mendorong mereka ke barisan depan siap menghadapi maut.13
Dalam penetapan hukum Usman lebih cenderung melihat Nabi
SAW dalam menghadapi suatu masalah dimana ada pilihan,

6
Muzakir. Op. Cit, hlm. 29-30

7
kemudian Nabi memilih yang mudah.14 Pada masanya juga juga
terjadi ijtihad dalam bidang figh, bahkan cenderung pada pendapat
pendapat khalifah pendahulunya.15 Fiqih masanya tidak begitu
berkembang, karena Usman lebih menfokuskan pada perluasan
daerah. Dia adalah orang yang lemah-lembut, sehingga hukum ia
berpegang pada yang sudah ada saja. 7

d. Masa Ali bin Abi Thalib (35-40 H)


Masa Ali sama dengan sebelumnya, dimana ia harus memberi
perhatian kepada keamanan negara karena desakan pengikut
Usman untuk mengadili pembunuhnya. Hal tersebut cukup
membuat Ali sibuk, apalagi setelah peperangan dengan muawiyah
di Siffin, keadaan negara makin menjadi sulit. Namun demikian
tidak berarti Ali tidak melakukan apa-apa. Ali tetap melanjutkan
usaha-usahanya untuk memperkuat kedaulatan Islam. Perlu dicatat
bahwa sahabat Rasul SAW sedikit meriwayatkan hadis sangat
sedikit yaitu, Abubakar 142 hadis, Umar 537 hadis, Usman 146
hadis dan Ali 586, jumlahnya hanya 1411 hadis dan ini kurang dari
2 %. Dari hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah 5378
hadis.16 Para sahabat menggunakan metode ijtihad dalam setiap
pengambilan hukum dan inipun setelah dipertimbangkan dengan
sangat matang. Masa Ali juga terjadi banyak ijtihad, hal ini
dilakukan karena kebutuhan masyarakat. Di samping itu juga Ali
sering juga menggunakan Qiyas. Setelah mengenal fiqh sahabat
dan bagaimana mereka melahirkan hukum terhadap permasalahaan
yang timbul, dapatlah disimpulkan bahwa karakterisik fiqh mereka
sebagai berikut:

7
Muzakir, Op. Cit, hlm. 30-31

8
1. mereka berpegang pada al-Qur'an dan hadis Nabi SAW
2. jika tidak ditemukan jawaban dalam al-Qur'an, maka
mereka berijtihad dengan ilmu mereka
3. mereka menyelesaikan masalah dengan melihat perkasus,
sehingga sepintas lalu terkesan tidak sama dengan Nabi
SAW.
4. Mereka senantisa mendengarkan pendapat orang lain.

3. Fiqih Masa Tabi'in.


Setelah Masa fiqh sahabat berakhir, periode fiqh berlanjut ke masa
fiqh tabi'in. Fiqh tabi'in adalah fiqh yang berlaku sesudah masa sahabat,
yakni mereka yang berguru pada sahabat, umunnya mereka berasal dari al-
Khulafa ar-Rasyidin.17 Fiqh masa ini berkembang sesuai dengan
tumbuhnya kemajuan Islam, dimana terjadi perluasan Islam ke daerah-
daerah di luar Medinah. Masa ini di perintah oleh Bany Umayyah,
sekalipun memperoleh kekuasaan secara kurang tepat, namun Muawiyah
setelah memerintah ia sangat memberikan perhatian yang serius terhadap
perkembangan Islam, terutama dalam bidang Fiqh. Bagaimanapun juga
tabi'in yang pernah ketemu dengan sahabat, oleh karena itu penguasaan
fiqh mereka tetap mengacu pada integritas keilmuannya, walaupun
terkadang berbeda, bahkan menyalahi dengan sahabat. Inipun dilakukan
karena kebutuhan umat sendiri.
Pada masa ini, ada beberapa ahli fiqh dilahirkan, di antaranya, Saib
Ibnu Mussayab (wafat.93H), 'Urwah Ibnui Al-zubair (wafat. 94H), Abu
Bakar Ibnu 'Abib (wafat. 94), Al-Kasim Ibnu Muhammad Ibnu Abu Bakar
(wafat. 108H), Abidillah Ibnu Abdillah (wafat. 99H), Sulaiman Ibnu
Yasar (wafat. 100H), dan lain sebagainya.18 Ada hal penting juga yang
terjadi zaman Tabi;in yaitu ada manipulasi hadis, diantaranya dengan cara
sebagai berikut:

9
 Membuang sebagian isi hadis dan menggantinya dengan kata-kata
yang tidak jelas
 Membuang seluruh isi cerita tentang sahabat
 Memberi makna lain (ta'wil) dari hadis yang ada
 Keempat membuang sebagian isi hadis tanpa menyebutkan petunjuk
ke situ atau alasan
 Melarang penulisan hadis Nabi Mendhaifkan hadis-hadis yang
mengurangi kehormatan penguasa atau yang menunjang lawan.
Secara umum terjadinya berbagai manipulasi hadis masa Tabi'in
bertujuan untuk membela para penguasa, dengan demikian rakyat akan
mendukung penguasa. Fiqh masa ini juga cenderung dengan khalifah,
artinya sebagian kasus terdapat campur tangan khalifah (penguasa yang
berkuasa), dimana penguasa dapat menggunakan haknya untuk
mempengaruhi keputusan hakim atau menetapkan hukum sendiri. Kondisi
fiqh ini disebut fiqh penguasa.8

4. Fiqih Pada Masa Imam Mujtahid


Periode ini berlangsung selama ± 250 tahun, dimulai dari awal abad
kedua hijrah sampai pertengahan abad keempat hijrah. imam mujtahidin,
atau setelah daulah islamiyah berkembang dan banyak pengikutnya yang
non arab maka umat islam dihadapkan pada berbagi peristiwa baru,
kesulitan, ulasan dan pandangan serta upaya peningkatan kesejahteraan,
peradaban dan keilmuwan, menyebabkan para imam mujtahidin semakin
di tuntut untuk mengembangkan lapangan ijtihad dan penetapan hukum
syariat islam terhadap persoalan tersebut. Maka pintu ulasan dan analisa
semakin terbuka lebar, akibatnya semakin luas pula lapangan
pembentukan hukum syariat islam yang di kenal dengan hukum fiqih.
8
Muzakir. Op. Cit, hlm. 32-33

10
Seluruh hukum tersebut disandarkan pada dua kodifikasi yakni yang
terdapat pada peroide rasulullah dan periode sahabat. Dengan demikian
koleksi hukum pada periode ketiga ini adalah hukum Allah, Rasul dan
keputusan serta fatwa para sahabat, fatwa para mujtahid yang telah
menghasilkan ijtihadnya bersumber dari al quran, as sunnah, serta ijtihad
para imam mujtahid.9
Dalam masa ini pula, banyak sekali kitab fiqih dari masing-masing
mazhab yang dijadikan sebagi pegangan khusus oleh para pengikutnya,
bahkan para ulama merasakan kepuasan dengan adanya kitab fiqih yang
banyak tersebut, sehingga masa ini disebut masa kejayaan fiqih.10
Ada dua hal penting tentang Al-Qur‟an pada masa ini, yaitu :
1. Adanya kegiatan menghafal Al-Qur‟an
2. Memperbaiki tulisan Al-Qur‟an dan memberi syakal terhadap
Qur‟an. Ini penting sebab orang muslim non arab bisa salah dalam
membaca Al-Qur‟an. Maka Gubernur Irak waktu itu Ziyad bin
Abihi meminta kepada Abu al-Aswad Aduali untuk memberi
syakal. Maka Abu al-Aswad Aduali memberi syakal di setiap akhir
kata, yaitu diberi satu titik huruf diatas sebagai fathah, satu titik di
bawah sebagai kasrah dan satu titik di samping sebagai dhammah.
Kemudian Al-Kholil bin Ahmad memperjelas bentuk tanda-tanda
ini dengan alif diatas huruf sebagai tanda fathah, ya dibawah huruf
sebagai kasrah dan wawu diatas huruf sebagai dhammah.
Disamping itu yang diberi tanda bukan hanya huruf akhir kata
tetapi seluruh huruf. Gubernur Irak Al-Hajaj bin Yusuf atas
perintah Khalifah Abdul Malik bin Marwan meminta kepada
Nashr-pun memberi tanda satu titik atau dua titik pada huruf-huruf

9
Abdul Wahab Khalaf. Op. Cit, hlm. 28
10
Dahlan Tamrin. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Malang: uin-maliki press. 2010. Hlm 17-18

11
tertentu, seperti qof dengan dua titik, fa dengan satu titik dan
seterusnya.

Untuk Hadist pun sebagai sumber hukum yang kedua pada masa ini
mulai dibukukan, antara lain yang sampai pada kita sekarang Kitab al-
Muwatho yang disusun oleh Imam Malik pada tahun 140H. Kemudian
pada abad kedua hijriah dibukukan pula kitab-kitab musnad, antara
lain musnad Ahmad ibnu Hanbal. Pada abad ketiga hijriah
dibukukanlah Kutubu Sittah, yaitu Shahih Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Anasa’i, Aturmudzi dan Ibn Majah.
Pada masa ini seluruh cara berijtihad yang kita kenal sudah
digunakan meskipun para ulama setiap daerah memiliki warna
masing-masing dalam berijtihad. Misalnya : Abu Hanifah dan murid-
muridnya di Irak selain Al-Qur‟an, Sunnah dan Ijma, lebih
menekankan penggunaan qiyas dan istihsan. Imam Malik di Hijaz
selain Al-Qur‟an, Sunnah dan Ijma, lebih menekankan penggunaan al-
maslahah al-mursalah.
Adapun sebab-sebab berkembangnya ilmu fiqh dan
bergairahnya ijtihad pada periode ini antara lain, adalah :
a. Wilayah Islam sudah sangat meluas ke Timur sampai ke
Tiongkok dan ke Barat sampai ke Andalusia(Spanyol sekarang)
dengan jumlah rakyat yang banyak sekali, kondisi ini
mendorong para ulama untuk berijtihad agar bisa
menerapkan syari’ah untuk semua wilayah yang berbeda-beda
lingkungannya dan bermacam-macam masalah yang dihadapi.
b. Para ulama telah memiliki sejumlah fatwa dan cara berijtihad
yang didapatkan dari periode sebelumnya, serta Al-Qur‟an telah
tersebar di kalangan muslimin juga Al-Sunnah sudah dibukukan
pada permulaan abad ketiga hijriah.

12
c. Seluruh kaum muslimin pada masa itu mempunyai keinginan
keras agar segala sikap dan tingkah lakunya sesuai denga
Syari‟ah Islam baik dalam ibadah mahdhah maupun dalam
ibadah ghair mahdhoh (muamalah dalam arti luas). Mereka
meminta fatwa kepada para ulama, hakim dan pemimpin
pemerintahan.
d. Pada periode ini dilahirkan ulama-ulama potensial untuk
menjadi mujtahid. Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam al-Syafi’i dan Imam Ibnu Hanbal beserta murid mereka
masing-masing.
Hal-hal penting yang diwariskan periode ini kepada periode
beriktunya, antara lain :
a. Al-Sunnah yang telah dibukukan, sebagian dibukukan
berdasarkan urutan sanad hadist dan sebagian lain dibukukan
berdasarkan bab-bab fiqh. Disamping itu Al-Qur‟an telah
lengkap dengan syakal.
b. Fiqh telah dibukukan lengkap dengan dalil dan alasannya.
Diantaranya Kitab Dhahir al-Riwayah al-
Sittah dikalangan mazhab Hanafi. Kitab Al-
Mudawanah dalam mazhab Maliki, Kitab Al-’Umm di
kalangan mazhab al-Syafi’i, dan lain sebagainya.
c. Dibukukannya Ilmu Ushul Fiqh. Para ulama mujtahid
mempunyai warna masing-masing dalam berijtihadnya atas
dasar prinsip-prinsip dan cara-cara yang ditempuhnya.
Misalnya, Imam Malik dalam kitabnya Al-
Muwatha’ menunjukkan adanya prinsip-prinsip dan dasar-dasar
yang digunakan dalam berijtihad. Tetapi orang yang pertama
kali mengumpulkan prinsip-prinsip ini dengan sistematis dan
memberikan alasan-alasan tertentu adalah Muhammad bin Idris

13
al-Syafi’i dalam kitabnya Al-Risalah. Oleh karena itu beliau
sebagai pencipta ilmu Ushul Hadist.

2.2. Tokoh-Tokoh Fiqih


Pada masa ini tokoh-tokoh fiqih yang terkenal hingga saat ini adalah Abu
Hanifah (Mazhab Hanafi), Malik ibn Anas (Mazhab Maliki), Muhammad ibn
Idris al-Syafi‟i (Mazhab Syafi‟i), dan Ahmad ibn Hambal (Mazhab Hambali).

1. Abu Hanifah al- Nu‟man


Imam Abu Hanifah, seorang alim keturunan peris, lahir di Basrah
tahun 80 H (699 M) bekerja di Kufah dan meninggal tahun 150 H (767
M). Nama kecil beliau adalah al-Nu‟man ibn Sabit ibn Zauta bin Mahmuli
Taymillah bin Tsa‟labah, yang kemudian pupuler dengan sebutan Abu
Hanifah. Imam Abu Hanifah mengawali studinya di bidang filsafat dan
ilmu kalam namun setelah menguasai beragam discipline keilmuan
tersebut, ia meninggalkannya dan mulai mendalami fiqh dan hadist. Beliau
belajar dibawah bimbingan Imam Hammad bin Zaid, yang merupakan
salah seorang ulama besar hadist pada saat itu. Imam Abu Hanifah
digolongkan sebagai tabiin kecil (yaitu nurid sahabat), karena ia telah
bertemu dengan beberapa sahabat dan meriwayatkan sejumlah hadis dari
mereka.11
Abu Hanifah adalah orang yang pertama sibuk dengan fiqh perkiraan (
prediksi), dengan memaparkan masalah-maakah yang belum terjadi pada
masa selanjutnya dan menjelaskan hukum-hukumnya dengan harapan

11
Ameenah Abu,aAsal-usul Perkembangan Fiqh,( Bandung:Nusa Media, 2005),hlm,87.

14
apabila kasusnya terjadi maka hukumnya telah ada. Sedangkan ilmu fiqh
bertambah luas dan lapangannya bertambah berkembang. 12
Abu Hanifah banyak memakai “pendapat” yang dalam bahasa Arab
dikenal dengan istilah al- ra‟yu, qiyas , atau analogi serta istihsanyang
juga merupakan suatu bentuk analogi. Abu Hanifah dikenal sangat hati-
hati dalam menggunakan sunnah sebagai sumber hukum. Ia hanya
memakai sunnah yang betul-betul diyakininya orisinal dan bukan sunnah
buatan. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai penganut mazhab ahl al-ra‟yi
(aliran rasionalis). Selain itu, Abu Hanifah juga berada di Kufah sehingga
tidak banyak menjumpai hadist. Sumber hukum yang digunakan Abu
Hanifah yaitu Al-Qur‟an, sunnah (secara selektif),al- Ra‟yu , qiyas ,
istihsan , dan syar‟u man qablana (agama sebelum kita).
Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena adanya persamaan „illat antara kedua kejadian
atau peristiwa tersebut.
Sedangkan istihsan adalah menetapkan hukum terhadap suatu
masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa karena ada alasan yang lebih kuat.
Adapun syar‟u man qablana merupakan syariat hukum dan ajaran-
ajaran yang berlaku pada para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW
seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa.
Diantara murid Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf Ya‟qub Ibn Ibrahim
Al-Anshari (113-182 H) dan Muhammad Ibn Hasan Al-Syaibani (102-189
H). Mazhab Hanafi resmi dipakai oleh daulah Turki Ustmani, dan pada
periode Abbasiyah banyak dianut di Irak. Sekarang mazhab ini banyak

12
Muhammad Ali, Sejarah Fikih Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2003),hlm,140.

15
terdapat di Turki, Suriah, Afghanistan, Turkistan, Bangladesh, Israel,
Jordania, Pakistan, Palestina, dan India. Suriah, Lebanon, dan Mesir juga
menggunakan mazhab ini secara resmi.

Beberapa masalah fikih Menurut Mahdzab Hanafi :

Beberapa masalah-masalah fiqh Menurut mahdzab hanafi terbagi dalam


tiga bagian, yaitu: Al-Ushul, An-Nawadir dan Al-Fatwa.

a. Bagian Pertama, Al-Ushul adalah masalah besar yang disebut


dzahir riwayat, apa-apa yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan
kawan-kawannya.
b. Bagian kedua, An-Nawadiradalah masalah-masalah yang
diriwayatkan dari Abu hanifah dan kawan-kawannya di luar kitab
Dzahir Ar-Riwayah.
c. Bagian ketiga, Al-Fatwa adalah apa-apa yang difatwakan para
mujtahid mahdzab Hanafi masa terakhir dalam hal-hal yang belum
diriwayatkan oleh Abu Hanifah dan kawan-kawannya sebagai
takrij atas mahzabnya, kitab yang dikenal dengan fatwa-fatwa
Mahzab Hanadi adalah An-Nawajil karya Abi Laits As-
Samarqani.13

2. Malik ibn Anas


Malik Ibn Anas al-Asbahi lahir di Madinah tahun 93 H (713M). beliau
terkenal sebagai ahli hadist(akl-al-Hadist). Ia meninggal dunia pada tahun
795M. Paman beliau termasuk dalam golongan perawi hadits, dengan
demikian tidak mengherankan kalau Malik ibn Anas menjadi perawi

13
Ibid,hlm,144.

16
hadits pula dan dalam pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi oleh
sunah. Ia pernah belajar pada sejumlah guru seperti Nafi‟, Mawla
Abdullah Ibn Umar, Ibnu Syihab Al-Zuhri, dan Ibn Hurmuz. Malik Ibn
Anas menulis sebuah kitab terkenal “al -Muwatta‟”, yang merupakan kitab
hadits dan fiqih. Dalam kitab ini, hadits diatur di dalamnya sesuai dengan
bidang-bidang yang terdapat dalam buku fiqih.
Dalam melahirkan produk hukum, Malik banyak berpegang pada
sunnah Nabi dan ijma‟ Sahabat. Jika ia tidak mendapatkan dasar hukum
dalam Al-Qur‟an dan sunnah, maka ia menggunakan qiyas dan masalih
al-mursalah, yaitu maslahat umum. Dengan demikian, sumber hukum
yang digunakan oleh Imam Malik, yaitu Al- Qur‟an, sunnah, tradisi yang
berlaku di kalangan sahabat (qaul al-shahabi), qiyas , dan al-mashalih al-
mursalah. Malik ibn Anas memiliki banyak murid, diantaranya al-
Syaibani, al-Syafi‟i, Yahya al-Lais, al-Andalusi, Abd. Al-Rahman Ibn al-
Qasim di Mesir dan Asad Ibn al Furat al-Tunisi, Filsuf Ibn Rusyd
dan pengarang Bidayah al-Mujtahid termasuk pengikut Malik. Mazhab
Maliki ini banyak dianut di Hejaz, Maroko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan,
Sudan, Bahrain, Aljazair, Gambia, Ghana, Libya, Nigeria, dan Kuwait.
Metode pengajaran Imam Malik didasarkan pada ungkapan hadist dan
pembahasan atas makna-maknanya kemudian dikaitkan dengan konteks
permasalahan yang ada saat itu. Ia juga meriwayatkan kepada murid-
muridnya berbagai hadist dan atsar (pernyataan para sahabat) atas
berbagai topik hukum islam dan kemudian mendiskusikan impilikasi-
implikasinya.

Sumber- sumber hukum Maliki


Imam Malik merumuskan hukum ilam dari sumber-umber di bawah
ini dan diurutkan sesuai tingkatan pentingnya :

17
1) Al-Quran
Sebagaimana Imam-imam lainnya, Imam Malik menempatkan
Al-Quran sebagai sumber hukum yang paling utama dan
memanfaatkannya tanpa memberikan persyaratan apapun dalam
penerapannya.
2) Sunah
Sunah digunnakan sebagai sumber pokok kedua hukum islam,
jika sebuah hadist bertentangan dengan tradii masyarakat madinah,
ia menolaknya. Jadi, dia tidak mengharuskan bahwa sebuah hadit
harus masyur (cukup dikenal) sebelum bisa siterapkan,
sebagaimana di syaratkan oleh Abu Hanifah.
3) Praktik masyarakat Madinah
Imam Malik berpandangan bahwa karena sebagian besar
masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung para sahabat
dan Madinah sendiri menjadi tempat Rasulullah SAW
menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang
dilakukan semua msyarakat Madinah pasti diperpolehkan.
4) Ijma‟ sahabat
Ijma‟ sahabat sebagai sumber hukum yang ketiga.
5) Pendapat Individu Sahabat
Imam malik member bobot penuh terhadap pendapat-pendapat
sahabat, baik pendapat-pendapat itu saling bertentangan atau
menjadi kesepakatan.
6) Qiyas
7) Urf (tradisi)

18
Imam Malik juga memanfaatkan adat istiadat dan kebiasaan-
kebiasaan sosial yang beragam dari masyarakat di berbagai
wilayah islam ebagai sumber hukum sekunder yang panjang.14

3. Muhammad bin Idris al-Syafi


Imam Syafi‟i memiliki nama lengkap Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i
lahir di Palestina pada tahun 767 M dan berasal dari suku bangsa Quraisy.
Ia pernah belajar pada Sufyan Ibn Uyaynah dan Muslim Ibn Khalid di
Mekkah, dan ketika pindah ke Madinah, ia belajar pada Malik ibn Anas
hingga Imam Maliki ini meninggal dunia. 15
Dalam menetapkan produk hukum, al-Syafi‟i berpegang pada lima
sumber yaitu Al- Qur‟an, sunnah Nabi, ijma‟ atau konsensus, pendapat
sebagian sahabat yang tidak mengandung perselisihan di dalamnya, serta
qiyas. Murid-murid Imam Syafi‟i antara lain di Irak terdapat nama Ahmad
Ibn Hambal, Daud Al-Zahiri, dan Abu Ja‟far Ibn Jarir al Tabari. di Mesir
terdapat Isma‟il al -Muzani dan Abu Yusuf Ya‟qub al-Buwaiti. Abu
Hamid al-Ghazali, 13 Muhy al-Din al-Nawawi, Taqi al-Din Ali Al-Subki,
Taj al-Din Abd. Al-Wahhab Al-Subki dan Jalal al-Din al-Suyuti adalah
termasuk ke dalam golongan pengikut- pengikut besar dari al- Syafi‟i.
Mazhab Syafi‟i banyak dianut diIndonesia, Ethiopia, Kenya, Malaysia,
Singapura, Somalia, Srilanka, Tanzania, dan Yaman. Bahkan Brunei
Darussalam menjadikan mazhab Syafi‟i sebagai mazhab resminegara.

Sumber-Sumber hukum syafi’i


1) Al-Quran, Imam syafi‟i tidak berbeda dengan para imam
pendahulunya dalam memposisikan al-Qur‟an sebagai sumber hukum

14
Ibid,hlm,89.
15
Nazar Bakry,Fiqh dan Ushul Fiqh,(Jakarta:RajaGrafindo,1993),hlm,72.

19
yang pertama diantara sumber-umber hukum islam lainnya. Imam
syafi‟I bersandar pada Al‟Quran seketat imam sebelumnya.
2) Sunnah
Imam syafi‟I hanya bersandar pada satu syarat dalam menerima
sebuah hadist, yaitu hadist tersebut harus shahih.
3) Ijma‟
Mengenai Ijma‟ ia menganggap sebagai sumber pokok hukum islam
ketiga.
4) Qiyas
Qiyas merupakan metode yang sah dalam merumskan hukum lebih
lanjut dari sumber-sumber hukum sebelumnnya.
5) Istishab
Istishab secara literal berarti mencari suatu keterkaitan, tetapi secara
hukum, istishab merujuk proses perumusan hukum-hukum fiqh
dengan mengaitkan serangkaian keadaan berikut dengan keadaan
sebelumnya.16

4. Ahmad bin Hambal


Ahmad bin Hambal Ahmad Ibn Hambal lahir di Baghdad pada tahun
776 M, meninggal tahun 241 M dan berasal dari keturunan Arab. Ia
terkenal sebagai ahli hadist . Buku yang terkenal bernama “ Musnad
Ahmad ibn Hambal”, yang berisi hamper 30,000 hadist. Pada mulanya ia
belajar hadits dan banyak mengadakan perjalanan, tetapi kemudian dia
belajar hukum juga. Diantara guru-gurunya terdapat Abu Yusuf dan al
Syafi‟i. Kemudian ia sendiri menjadi guru dan mulai termasyhur
namanya. Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad Ibn Hambal banyak
menggunakan lima sumber yaitu Al-Qur‟an, sunnah, pendapat sahabat

16
Romli,Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm.25

20
yang diketahui tidak mendapat tentangan dari sahabat lain, pendapat
seorang atau beberapa sahabat dengan syarat sesuai dengan Al- Qur‟an
dan sunnah serta qiyas.Diantara murid Ahmad Ibn Hambal yaitu Abu al
Wafa‟ Ibn Aqil, Abd. Al-Qadir al-jili, Abu al Farraj Ibr, Aljawzi,
Muwaffaq al-Din Ibn Qudama, Taqi al-Din Ibn Taimia, Muhammad Ibn
al-Qayyim dan Muhammad Abd. Al-Wahhab. Penganut mazhab Ahmad
Ibn Hambal ini terdapat di Irak, Mesir, Suriah, Palestina, dan Arabia. Di
Saudi Arabia dan Qatar, mazhab ini merupakan mazhab resmi dari negara.

Sumber – sumber hukum Hambali


1) Al-Quran
Imam hambali tidak berbeda dengan para imam pendahulunya dalam
memposisikan al-Qur‟an sebagai sumber hukum yang pertama
diantara sumber-umber hukum islam lainnya. Imam hambali bersandar
pada Al‟Quran seketat imam sebelumnya. Al-Quran diberikan
kedudukan paling tinggi mengatasi umber hukum lainnya untuk semua
keadaan.
2) Sunnah
Imam hambali hanya bersandar pada satu syarat dalam menerima
sebuah hadist, yaitu hadist tersebut harus shahih. Sunah Nabi menepati
posisi kedua.
3) Ijma‟ sahabat
Ijma‟ sahabat sebagai sumber hukum yang ketiga di atas prinsip-
prinsip lainnya.
4) Hadist Daif
Imam Hambali lebih cenderung menggunakan hadist daif dari pada
qiyas.
5) Qiyas

21
Sebagai jalan terakhir, yaitu ketika sejumlah prinsip-prinsip di atas
tidak bisa diterapkan secara langung.

2.3. Pemikiran-pemikiran Para Ahli Fiqih (Fuqaha)


1. Membaca basmalah dalam surat Al-Fatihah
Dalam masalah ini, para mujtahid terpecah menjadi tiga pendapat.
Imam Malik melarang (tidak menganjurkan) membaca basmalah dalam
Fatihah secara mutlak baik dengan Jahr (keras) maupun sirr (pelan)
tetapi memperbolehkannya dalam shalat sunnah. Sedangkan Imam Abu
Hanifah dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) berpendapat harus
membaca basmalah tetapi dengan sirr (pelan) baik dalam shalat yang
jahr (keras) maupun yang sirr (pelan). Adapun Imam Syafi‟i
berpendapat wajib membaca basmalah dalam surat Al-Fatihah. Apabila
shalatnya jahr (keras) seperti shalat subuh,magrib, dan isya maka
basmalahnya pun harus jahr (keras). Dan apabila shalatnya sirr (pelan)
maka bacaan basmalahnya pun mengikuti bacaan dalam shalat yang
dilakukan secara sirr (pelan). Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan
ber istinbath dari sunnah-sunnah Rasulullah SAW dan adanya perbedaan
pemahaman yaitu apakah basmalah itu termasuk ayat dari Al-Fatihah atau
bukan.17

2. Membaca qunut dalam shalat subuh


Menurut Imam Syafi‟i, hukum membaca qunut pada saat shalat subuh
adalah sunah mu‟akkad Artinya apabila qunut pada saat shalat subuh
ditinggalkan maka hal tersebut tidaklah membatalkan shalat namun
disunnatkan untuk melakukan sujud sahwi. Demikian pula mazhab Maliki

17
Yanuar Arifin,Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh,(Yogyakarta:Diva
Press,2018),hlm.33

22
mensunatkan melakukan qunut pada saat shalat subuh sedangkan mazhab
Hanbali mensunatkan qunut subuh khusus kepada para imam atau
pemimpin bukan kepada rakyat biasa. Adapun mazhab Hanafi tidak
memperkenankan qunut pada saat shalat subuh. 18

2.4. Ikhtilaf
1. Pengertian Ikhtilaf
Dalam bahasa Arab, kata (‫ )اختال ف‬diambil dari kata fi‟il madhi (‫)خهف‬
kemudian berwajan (‫)افتعم‬. Jika di-tashrif, bentuknya adalah ( ‫اختهف ئختهف‬
‫ )اختال فب‬yang secara bahasa bermakna perbedaan pendapat (paham)
sebagaimana disebutkan dalam kamus. Menurut istilah, Thaha Jabir
menjelaskan Ikhtilaf/mukhalifah adalah proses yang dilalui dengan
metode yang berbeda antara seorang dan lainnya dalam bentuk perkataan
atau perbuatan.19 Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara
dua atau beberapa orang terhadap suatu objek (masalah) tertentu, baik
berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun “bertentangan secara
diametral”. Jadi, yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau
bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu objek hukum.
Perbedaan dan perselisihan pendapat merupakan sebuah keniscayaan
yang tidak mungkin dihindari oleh manusia. Karena setiap objek memiliki
pendapat dan pandangan berlainan mengenai sebuah objek. Allah
berfirman dalam Al Qur‟an:

ٍَُِ‫بس أ ُ َّيتً َوا ِح َذةً ۖ َو ََل ََ َزانُىٌَ ُي ْختَهِف‬


َ َُّ‫ك نَ َج َع َم ان‬
َ ُّ‫َونَىْ َشب َء َسب‬

18
Ibid,hlm,36,
19
Dedi Supriadi, Ushul Fiqh Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), Hlm. 23.

23
Artinya : “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Q.S. Hud:
118).

ٍ ِ‫إََِّ ُك ْى نَفٍِ قَىْ ٍل ُي ْختَه‬


‫ف‬

Artinya : “Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-


beda pendapat”. (Q.S. Al-Zariyat: 8)20

2. Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf


Para pakar hukum Islam berbeda-beda dalam mengelompokkan
jumlah faktor penyebab ikhtilaf, bergantung pada sudut pandangnya.
Muhammad Abdul Fath Al-Bayanuni dalam Dirasat Fi Al-ikhtilaf Al-
Fiqhiyyah menjelaskan “asal muasal perbedaan hukum-hukum fiqh
disebabkan timbulnya “ijtihad” terhadap hukum, terutama pasca Nabi
SAW dan sahabat meninggal dunia. Secara mendasar, Al-Bayanuni
menjelaskan bahwa faktor utama perbedaan itu ada dua yaitu: (1)
kemungkinan yang terkandung dalam mash-nash syariat (Al Quran dan
Hadis) dan (2) perbedaan pemahaman ulama. Kedua faktor dasar inilah
yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dan hukum.
Secara mendasar, Yusuf Qardhawi melihat bahwa sebab dan akar
ikhtilaf terbagi dua: (1) ikhtilaf yang disebabkan oleh faktor akhlak dan
(2) ikhtilaf yang disebbakan oleh faktor pemikiran. Secara spesifik, Thaha
Jabir menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab ikhtilaf terbagi tiga: (1)
faktor bahasa, (2) faktor periwayatan sunnah, serta (3) faktor kaidah
ushuliyah dan metode istinbath. Secara spesifik pula, Syekh Muhammad
Al-Madany dalam bukunya Asbab Ikhtilaf Al-Fuqaha’ membagi sebab
ikhtilaf menjadi empat macam, yaitu: (1) pemahaman Al Quran dan

20
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
Hlm. 48

24
Sunnah Rasulullah SAW., (2) Sebab-sebah khusus tentang Sunnah
Rasulullah, (3) sebab-sebab yang berkaitan dengan kaidah-kaidah
ushuliyah atau fiqhiyyah, serta (4) sebab-sebab yang khusus mengenai
penggunaan dalil di luar Al Quran dan Sunnah.
Berdasarkan dari pendapat-pendapat tersebut, faktor-faktor penyebab
ikhtilaf dibagi menjadi empat faktor, yaitu: (1) faktor bahasa Al Quran dan
As Sunnah, (2) faktor validitas hadis, (3) faktor kaidah ushuliyah, (4)
faktor kaidah fiqhiyah.
1. Faktor bahasa Al Quran dan As Sunnah
Seperti dimaklumi, sumber utama Syari‟at Islam adalah Al Quran
dan As Sunnah Rasul. Keduanya berbahasa Arab. Diantara kata-
katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu (musytarak). Kata
“ain” ٍُ‫ع‬bisa bermakna “mata” untuk melihat dan “mata air” (yang
mengalir). Kata “quru” (‫ )انقشؤء‬bisa bermakna “suci” dan “haid”.
Sebagaimana surat Al Baqarah ayat 228 yang menyebutkan:

…. ‫بث ََتَ َشبَّصْ ٍَ بِأ َ َْفُ ِس ِه ٍَّ ثَ َالثَتَ قُشُو ٍء‬


ُ َ‫َو ْان ًُطَهَّق‬
Artinya: “Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟…
Ulama berbeda pendapat, apakah hitungan iddah bagi wanita
yang ditalak itu karena haid atau setelah suci? Mazhab Hijaj
menjelaskan bahwa hitungan iddah adalah tiga kali suci, sedangkan
mazhab Irak menyebutkan bahwa iddahnya adalah tiga kali haid.
Mazhab Hijaz-mazhab Maliki dan Syafi‟I, bersumber kepada Aisah,
Abdullah ibn Umar, dan Jaid bin Tsabit bahwa maksud quru‟ adalah
suci. Adapun mazhab Hanafi dan Hambali, bersumber dari Umar bin
Khaththab, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas‟ud, Abi Musa Al-
Asy‟ari, Mujahid, dan Qatadah bahwa makna quru‟ adalah haid.

25
Pada dasarnya, tidak terdapat isytirak dalam nash karena
penggunanan lafaz isytirak itu ada pada qarinah (tanda yang
menunjukkan arti yang dikehendaki). Dalam menjelaskan qarinah
inilah terjadi perbedaan di kalangan imam mujtahid. Sebagaimana
contoh, kata quru‟ adalah lafaz yang musytarak mengandung dua arti
(suci dan menstruasi), tetapi yang dikehendaki oleh syara‟ adalah salah
satunya. Jadi, musytarak-nya tidak umum.
Imam Syafi‟i dan sebagian mujtahid lain berpendapat bahwa
yang dimaksud quru‟ dalam ayat di atas adalah suci. Hal ini
disebabkan adanya qarinah, yaitu bentuk kata bilangan muannas
(berarti wanita) maka jelas yang dibilangnya mesti muzakkar dan
itulah lafaz quru‟. Selain itu, lafaz quru‟ adalah bentuk kata jamak dari
qur yang berarti suci. Akan tetapi, apabila jamaknya aqraa‟ berarti
menstruasi, seperti yang terdapat dalam hadis Aisyah r.a. Adapun Abu
Hanifah dan segolongan mujtahid lainnya berpendapat bahwa quru‟
adalah menstruasi. Meskipun demikian, persoalan ikhtilaf tentang
masalah iddah ini, untuk kajian praktis fiqih di Indonesia, sudah
sepakat dengan adanya Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawinan.

2. Faktor Validitas Hadis


Faktor validitas hadis adalah faktor kesahihan hadis, baik dari
segi penerimaan (sampai atau tidaknya) maupun perbedaan dalam
menilai periwayatan hadis. Dari segi penerimaan hadis, tidak semua
sahabat menerima hadis. Ada yang banyak menerima hadis karena ikut
hadir dalam majelis nabi dan ada pula yang sedikit menerima hadis
karena jarang hadir di majelis rasul karena ada urusan lain.
Hadis yang tidak sampai ke mujtahid, baik karena faktor
jauhnya tempat maupun generasi digali hukumnya berdasarkan dzahir
ayat, istishhab. Sebaliknya, hadis yang sampai ke para mujtahid,

26
mereka pun berselisih tentang kebenaran sanad sampai ke Rasulullah
karena cela perawi atau terputusnya sanad. Selain itu, para ulama
berselisih pula tentang makna (matan) dan dilalat hadis seperti kata:
‫ انًخببشة انحبقهت انًاليست‬dalam menafsirkannya.

3. Faktor Kaidah Ushuliyah


Sebagai konsekuensi logis dari perbedaan faktor bahasa yang
digunakan oleh tiap-tiap mazhab fiqh adalah munculnya perbedaan
kaidah ushuliyah. Hal ini terbukti dengan lahirnya dua aliran bahasa,
yaitu Ahnaf dan Mutakalimun dalam memahami nash-nash Al Quran
dan Hadis. Ushuliyah disini adalah kaidah dan dasar-dasar hukum
(asal, ajmak, ushul).
Diantara perbedaan ushuliyah yang berdimensi dasar-dasar
hukum adalah fatwa sahabat. Fatwa ini bisa digunakan sebagai hujjah
apabila semua sahabat yang dikenal siqat dan adil sudah disepakati.
Sementara sebagian berargumen bahwa fatwa sahabat bisa dijadikan
hujjah selama fatwa itu berasal dari Nabi SAW. Bukan karena fatwa
sahabat itu sendiri.
Perbedaan lain dari sisi makna kaidah ushul dalam kajian
bahasa, diantaranya adalah istitsna‟ (pengecualian), terutama istitsna‟
yang mengiringi beberapa kalimat yang memakai kata sambung
(„athaf) adalah apakah pengecualian itu dari keseluruhan bagian
kalimat atau bagian terakhir? Sebagai contoh adalah ayat:

‫ث ثُ َّى نَ ْى ََأْتُىا بِأَسْ بَ َع ِت ُشهَذَا َء فَبجْ هِ ُذوهُ ْى‬


ِ ‫صَُب‬َ ْ‫َوانَّ ِزٍََ ََشْ ُيىٌَ ْان ًُح‬
ٌَ‫ك هُ ُى ْانفَب ِسقُى‬ َ ِ‫ثَ ًَب ٍََُِ َج ْه َذةً َو ََل تَ ْقبَهُىا نَهُ ْى َشهَب َدةً أَبَذًا ۚ َوأُو َٰنَئ‬

27
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan
yang baik-baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang
saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-
orang yang fasik” (Q.S. Al Nur: 4)
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi orang
yang menuduh zina tanpa membuktikan dengan emapt orang saksi
yaitu: (1) dera delapan puluh kali, (2) dicabut haknya untuk menjadi
saksi apapun , (3) orang itu dinyatakan fasik. Kemudian datang istitsna‟
(pengecualian) bagi orang-orang berikutnya:

َ ِ‫إِ ََّل انَّ ِزٍََ تَببُىا ِي ٍْ بَ ْع ِذ َٰ َرن‬


َّ ٌَّ ِ ‫ك َوأَصْ هَحُىا فَإ‬
‫َّللاَ َغفُى ٌس َس ِحُ ٌى‬

Artinya : “Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan


memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al Nur: 5)

Bagi yang berpendapat bahwa istitsna‟ (pengecualian) itu


kembali kepada jumlah terakhir saja, maka bila orang itu telah
bertaubat, tidak lagi dinyatakan fasik, dan tetap harus dikenakan dera
serta belum bisa diajdikan saksi. Adapun pendapat kedua, yang
menyatakan bahwa istitsna‟ kembali kepada semuanya, orang yang
bertaubat itu tidak lagi dinyatakan fasik, dan juga dikembalikan
haknya untuk menjadi saksi, tetapi masih tetap dihukum dera, karena
hukuman dera ini menyangkut hak „adami (manusia) yang tidak bisa
digugurkan dengan taubat.

28
4. Faktor Kaidah Fiqhiyah
Perbedaan dalam faktor kaidah fiqhiyah adalah tiap-tiap
mazhab memiliki kaidah tersendiri, satu dengan yang lainnya berbeda.
Kaidah fiqh dibentuk atas persoalan yang diselesaikan dengan dalil
yang berbeda-beda. Salah satu perbedaan dalam menggunakan kaidah
antara mazhab Syafi‟I dan mazhab Hanafi, diantaranya sebagai
berikut:
Mazhab Syafi‟I menggunakan kaidah fiqh berikut:

ٍ‫اَلصهفٍ اَلشُبءاَلببحتحتٍ َذل انذنُم عه‬

Artinya: “Segala sesuatu adalah boleh sehingga terdapat dalil yang


mengharamkannya”
Sedangkan menurut kaidah dalam mazhab Hanafi adalah:

ٍ‫اَلصهفٍ اَلشُبءانتحشَى حتٍ َذ ل انذنُم عه‬


Artinya: “Segala sesuatu adalah boleh sehingga terdapat dalil yang
mengharamkannya”.
Penerapan dari kedua kaidah yang berbeda ini jelas
menimbulkan pemahaman dan produk hukum yang berbeda. Bagi
mazhab Syafi‟i, asal hukum segala sesuatu adalah dibolehkan untuk
dikerjakan, sehingga ada dalil yang jelas untuk melarangnya. Segala
sesuatu disini adalh hukum yang belum ditetapkan oleh Al Quran
ataupun Al-Hadis. Sementara mazhab Hanafi, berpendapat bahwa asal
hukum sesuatu itu adalah haram sehingga ada dalil yang
membolehkannya. Hal ini jelas kebalikan dari mazhab Syafi‟i.21

21
Dedi Supriadi, Op.cit., Hlm. 25.

29
3. Pembagian Ikhtilaf
Ditinjau dari sebabnya, menurut Dr. Yusuf Qardawi bentuk ikhtilaf
ada dua, yaitu : ikhtilaf yang disebabkan oleh akhlak dan ikhtilaf yang
disebabkan oleh pemikiran. Ikhtilaf yang disebabkan oleh akhlak
diantaranya karena akhlak yang diketahui oleh para ulama melihat dari
berbagai sikap dan peristiwa. Diantara sebab-sebabnya : 1)
membanggakan diri dan mengagumi pendapatnya sendiri, 2) buruk sangka
terhadap orang lain dan mudah menuduh tanpa bukti, 3) egoisme dan
mengikuti hawa nafsu, 4) fanatik terhapat pendapat orang lain, mazhab
dan golongan, 5) fanatik terhadap negeri, daerah, partai, jama‟ah, atau
pemimpin. 22 Akhlak yang sudah disebutkan menimbulkan ikhtilaf yang
tidak terpuji.
Ikhtilaf yang disebabkan oleh pemikiran ditimbulkan oleh perbedaan
sudut pandang mengenai suatu masalah, baik masalah ilmiah maupun
masalah amaliah. Masalah ilmiah seperti perbedaan pandangan mengenai
penilaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan, ilmu kalam dan lainnya.
Adapun masalah amaliah adalah perbedaan mengenai sikap-sikap politik
dan pengambilan keputusan atas berbagai masalah. 23 Contoh pada masa
sekarang seperti perbedaan jama‟ah-jama‟ah Islam terhadap sikap politik.
Sumber hukum Islam ada empat, yaitu Al Qur‟an, As Sunnah, Ijma‟,
Qiyas. Keempat sumber hukum tersebut telah disepakati oleh jumhur umat
Islam. Selain keempat sumber tersebut ada beberapa sumber hukum yang
dipergunakan sebagai dalil dalam hukum syara‟ oleh sebagian ulama. Ada
sebagian yang menolak menjadikannya menjadi dalil hukum syara‟.
Sumber hukum yang masih dalam perselisihan (ikhtilaf) ada enam,
yaitu : Istihsan, Mashlahah Mursalah, Istishab, ‟Urf, Mazhab Shahabi,

22
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 131
23
Ibid., hlm. 132

30
Syariat kaum sebelum kita. 24 Kita akan membahas secara terperinci
mengenai sumber hukum yang masih dalam ikhtilaf ini.
a. Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap
sesuatu. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih adalah
berpalingnya (pindahnya) seorang mujtahid dari tuntunan qiyas yang
jail (nyata) kepada tuntunan qiyas khafi (samar), atau dari hukum kulli
(umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), karena terdapat dalil
yang mementingkan untuk pindah. 25 Maksudnya terdapat dua qiyas
pada satu kasus, yang pertama qiyas yang nyata atau qiyas yang
umum, yang kedua qiyas yang samara tau hukum pengecualian.
Seorang mujtahid mempunyai dalil yang memenangkan qiyas yang
samar atau hukum pengecualian. Perpindahan dari segi qiyas inilah
yang disebut istihsan. Dalil yang menjadi dasar adalah segi
istihsannya. Contohnya Syari‟ (Allah) melarang jual beli atau
perjanjian (akad) suatu benda yang tidak ada di tempat. Namun Syari‟
memperbolehkan dengan cara istihsan pada akad salam (pemesanan),
sewa-menyewa, muzara‟ah (akad bagi hasil penggarapan tanah),
musaqat (akad bagi hasil penyiraman tanah), dan istishna‟ (akad jasa
pengerjaan sesuatu). Semua yang telah disebutkan adalah akad tanpa
barang yang ada di tempat. Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia
yang saling membutuhkan diantara mereka.26

b. Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah menurut ahli ushul fiqih sebagai suatu
kemaslahatan yang secar hukum tidak disyariatkan oleh syar‟i, serta

24
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama Semarang, Semarang, 2014, hlm. 22
25
Ibid., hlm. 131
26
Ibid., hlm. 134-135

31
tidak ada dalil syar‟i yang menerangkan atau membatalkannya. 27
Maksudnya pembentukan hukum ini untuk kemaslahatan manusia.
Penetapan hukum dengan Maslahah Mursalah dengan melihat
kepentingan umum, walaupun kelihatannya menyimpang dari
ketentuan yang biasa berlaku. Contohnya menjatuhkan hukuman mati
atas suatu kaum atau kelompok manusia yang membunuh satu orang,
bisa dijatuhi hukuman mati menurut imam Hanafi, Malik, dan Syafi‟I
untuk menghindari menghindari usaha jahat dari kelompoktertentu
yang ingin melakukan pembunuhan secara sengaja. Sedangkan
menurut imam Hambali, tidak boleh dijatuhi hukuman mati karena
tidak sepadan.28

c. Istishab
Istishab menurut bahasa Arab ialah pengakuan adanya
hubungan. Sedangkan menurut istilah ahli ilmu ushul fiqih adalah
menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku
sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan
keadaan tersebut. 29 Apabila ada seorang mujtahid ditanya mengenai
hukum binatang, benda padat, tumbuh-tumbuhan, makanan, minuman,
atau suatu amal perbuatan,dan tidak menemukan dalil syar‟i tentang
hukum tersebut, maka ia menetapkan hukum dengan kebolehan.
Karena asal sesuatu itu boleh, selama tidak ada dalil yang
30
menunjukkan perubahan hukum. Segala sesuatu itu boleh
berdasarkan firman Allah QS. Al Baqarah ayat 29.

27
Ibid., hlm. 139
28
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 121
29
Ibid., hlm. 153
30
Loc.cit.,

32
‫ض َج ًُِعًب ثُ َّى ا ْستَ َى َٰي إِنًَ ان َّس ًَب ِء‬ ِ ْ‫ق نَ ُك ْى َيب فٍِ ْاْلَس‬َ َ‫هُ َى انَّ ِزٌ َخه‬
‫ث ۚۚ َوهُ َى بِ ُك ِّم َش ٍْ ٍء َعهُِ ٌى‬
ٍ ‫فَ َس َّىاهُ ٍَّ َس ْب َع َس ًَب َوا‬

Artinya : “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi


untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.”

d. Urf
„Urf adalah sesuatu yang telah dikenal manusia dan menjadi
tradisi mereka, baik berupa perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya
dengan meninggalkan perbuatan tertentu. 31 „Urf ini biasa disebut
hukum adat. Sebenarnya penggunaan „Urf berkaitan erat dengan
mashlahah mursalah, hanya saja hukum-hukum yang diterangkan
dapat berubah menurut suatu daerah. 32 Contohnya apabila ada calon
suami istri tidak menemukan kesepakatan atas mahar, maka hukum
yang harus dipakai adalah berdasarkan kebiasaan („urf) yang berlaku.

e. Mazhab Shahabi
Sepeninggal Rasulullah SAW, maka pemberi fatwa dan
pembentuk hukum-hukum Islam adalah para sahabat yang benar-benar
paham dengan fiqih dan ilmu agama, serta lama tinggal dengan
Rasulullah, paham Al Qur‟an dan hukum-hukumnya. 33 Contoh
kesepakatan para sahabat mengenai bagian warisan seperenam kepada
nenek. Maka hukum tersebut wajib diikuti karena dalam hal ini tidak
diketahui adanya perbedaan pendapat diantara kaum muslim.
31
Ibid., hlm. 148
32
Op.cit., hlm. 122
33
Ibid., hlm. 160

33
f. Syariat orang sebelum kita
Apabila Al Qur‟an dan As Sunnah menceritakan salah satu
hukum syara‟ yang disyariatkan oleh Allah kepada umat sebelum kita,
melalui lisan para rasul dan di dalam nash juga ditetapkan sebagai
syariat untuk umat Islam sebagaimana diwajibkan kepada mereka,
maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa hukum tersebut merupakan
syariat dan suatu undang-undang yang wajib kita taati. Seperti firman
Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 183.34

َ ِ‫صَُب ُو َعهَ ُْ ُك ُى ُكت‬


‫ب آ َيُُىا‬ َ ِ‫تَتَّقُىٌَ عَهَّ ُك ْى قَ ْبهِ ُك ْى ِي ٍْ انَّ ِزٍََ َعهًَ ُكت‬
ِّ ‫ب َك ًَب ان‬
‫انَّ ِزٍََ ََب أََُّهَب‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu


berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa,”
Namun apabila dalam Al Qur‟an dan As Sunnah ada suatu
hukum dan ada dalil syar‟i yang menghapus berlakunya hukum
tersebut untuk umat Islam, maka tidak ada perdebatan bahwa hukum
itu bakan syariat bagi kita.

2.5. Aplikasi Adab-Adab Ikhtilaf Dalam Bermasyarakat


Dalam suatu majlis atau perkumpulan, tentu ada banyak pendapat. Tidak
bisa dipungkiri adanya perbedaan pendapat. Sebagai seorang muslim kita
harus berusaha menjaga adab-adab sebagai berikut :

34
Ibid., hlm. 157

34
a. Ikhlas dan mencari yang hak serta melepaskan diri dari hawa nafsu.
Maksudnya ketika terjadi ikhtilaf sebagai orang muslim harus ikhlas,
berusaha mencari yang benar dan tidak mementingkan hawa nafsu.
b. Berlapang dada menerima kritikan dan memahami bahwa kritikan
adalah nasehat dari saudara seagama.
c. Menghindari sikap menonjolkan diri, membela diri, serta mencari
popularitas. Hal itu merupakan hal tercela menyebabkan sikap
sombong.
d. Berbincang dengan cara dan kaedah yang baik. Ketika kita dalam suatu
majlis, kita harus berbincang dengan etika yang baik agar tidak timbul
perselisihan yang menimbulkan perpecahan.
e. Tidak menuduh orang yang mengamalkan amalan yang tidak
sependapat dengan kita dengan tuduhan bid‟ah, sesat, jika kite
mempunyai dalil yang menyatakan kesalahan mereka.
f. Hendaklah memberikan ruang kepada orang lain untuk mengemukakan
pendapat. Tidak boleh memotong percakapan orang lain atau
menyakitinya.
g. Menghormati pandangan orang lain seperti peristiwa sahabat Abu
Bakar menerima pandangan tentang pengumpulan Al Qur‟an oleh
sahabat Umar.
h. Menghormati dan menghargai segala usaha yang dicurahkan oleh para
ulamamujtahid dalam berbagai mazhab.
i. Tidak perlu memaksa orang lain menerima pandangan kite dalam
berbagai khilafiah.
j. Berbaik sangka kepada orang yang berbeda pendapat dengan kita dan
tidak menuduh buruk niatnya, mencela dan menganggapnya cacat.
k. Berusaha untuk tidak memperuncing perselisihan. Misalnya dengan
menafsirkan pendapat yang keluar dari lawan dengan tafsiran yang
tidak baik.

35
l. Tidak mudah menyalahkan orang lain. Sebelum adanya penelitian yang
mendalam dan sudah dipertimbangkan secara matang, maka jangan
menyalahkan orang lain.
m. Sedapat mungkin menghindari permasalahan-permasalah khilafiyah
dan fitnah. Berpegang tegung dengan etika berdialog, menghindari
perdebatan, bantah-membantah dan kasar menghadapi lawan.35

35
Agus Hermanto, Hukum Islam Dalam Memaknai Sebuah Perbedaan, Jurnal Mahkamah,
Vol. 3, No. 2, Desember 2018. Hlm. 250-251

36
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sejarah perkembangan fiqih dimulai sejak diangkatnya Muhammad
SAW menjadi Nabi dan rasul sampai wafatnya. Periode ini singkat, hanya
sekitar 22 tahun dan beberapa bulan. Akan tetapi pengaruhnya sangat besar
terhadap perkembangan ilmu fiqh. Masa Rasulullah inilah yang mewariskan
sejumlah nash-nash hukum baik dari Al-Qur‟an maupun Al-Sunnah,
mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang tersurat dalam dalil-dalil
kulli maupun yang tersirat dari semangat Al-Qur‟an dan Al-Sunnah.
Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW sampai
akhir abad pertama hijrah. Pada masa sahabat dunia Islam sudah meluas, yang
mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu
para mujtahid berupaya melakukan ijtihad dan berusaha untuk memutuskan,
memberikan fatwa dan menetapkan berbagai hukum syariat islam yang
disandarkan pada hukum-hukum pada periode rasulullah. Dengan demikian
sumber hukum pada periode ini adalah al quran, as sunnah dan ijtihad para
sahabat.
Pada masa tabi‟in di mulai sejak abad ke-2 H. yaitu tabi‟in dan tabi‟it
tabi‟in serta para imam mujtahidin, atau setelah daulah islamiyah berkembang
dan banyak pengikutnya yang non arab maka umat islam dihadapkan pada
berbagi peristiwa baru, kesulitan, ulasan dan pandangan serta upaya
peningkatan kesejahteraan, peradaban dan keilmuwan, menyebabkan para
imam mujtahidin semakin di tuntut untuk mengembangkan lapangan ijtihad
dan penetapan hukum syariat islam terhadap persoalan tersebut.
Periode imam mujathid berlangsung selama ± 250 tahun, dimulai dari
awal abad kedua hijrah sampai pertengahan abad keempat hijrah. imam
mujtahidin, atau setelah daulah islamiyah berkembang dan banyak

37
pengikutnya yang non arab maka umat islam dihadapkan pada berbagi
peristiwa baru, kesulitan, ulasan dan pandangan serta upaya peningkatan
kesejahteraan, peradaban dan keilmuwan, menyebabkan para imam
mujtahidin semakin di tuntut untuk mengembangkan lapangan ijtihad dan
penetapan hukum syariat islam terhadap persoalan tersebut.

3.2 Saran
Dari makalah kami ini, kami berharap para pembaca mampu
memanfaatkannya sebagai sumber belajar untuk menambah wawasan dan
pengetahuan. Dan tak lupa kritik, masukan, saran, dalam bentuk apapun
sangat kami hargai agar kedepannya penulisan makalah kami menjadi lebih
baik.

38
DAFTAR PUSTAKA

Abu, Ameenah. 2005. Asal-usul Perkembangan Fiqh. Bandung : Nusa Media.


Ali, Muhammad. 2003. Sejarah Fikih Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Arifin, Yanuar. 2018. Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh. Yogyakarta: Diva
Press.
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : Raja Grafindo.
Hasan, M. Ali. 1996. Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hermanto, Agus. Hukum Islam Dalam Memaknai Sebuah Perbedaan, Jurnal
Mahkamah, Vol. 3, No. 2, Desember 2018.
Khalaf, Abdul Wahab. 1968. Ilmu ushul fiqh. Kairo: dakwah islamiyah syabab al
azhar
Khallaf, Abdul Wahhab. 2014. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang.
Muzakir, Periodisasi Fiqh (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW Sampai
Modern) Jurnal Islam Futura, Vol, VII, No. 1, Tahun 2008, IAIN Ar-Raniry,
Romli. 1999. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Supriadi, Dedi. 2013. Ushul Fiqh Perbandingan. Bandung: Pustaka Setia.
Tamrin, Dahlan. 2010. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Malang: uin-maliki press.
Wikipedia.org/wiki/fiqih
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.

39
LAMPIRAN

40
41
42
43
44
45
46
47

Anda mungkin juga menyukai