Anda di halaman 1dari 49

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 CNG Storage Plant

CNG Storage Plant merupakan sebuah sistem untuk menyimpan CNG dalam sebuah
bejana bertekanan, sehingga CNG tersebut dapat digunakan ketika diperlukan. Dasar
pembangunan CNG Storage Plant ini adalah untuk menyimpan sementara kelebihan
pasokan gas pada waktu beban rendah (low peak), lalu ketika kebutuhan gas meningkat saat
beban puncak (peak load) gas yang disimpan tersebut dikeluarkan untuk memenuhi
kebutuhan gas. Prinsip kerja dari CNG Storage Plant yaitu terdiri dari proses utama yaitu
kompresi dan dekompresi. Gambar II.1 merupakan skema dari sistem CNG Storage Plant
yang terdapat pada PLTG Muara Tawar.

Sebelum proses kompresi, CNG dari supplier masuk melalui plant inlet control yang
berfungsi untuk membatasi aliran gas yang masuk ke dalam CNG Storage Plant. Setelah itu
gas masuk ke Gas Pre-Treatment Unit di mana terdapat Scrubber dan Filter untuk
membersihkan kotoran-kotoran yang terkandung dalam gas, baik yang berupa partikel padat
maupun cair yang mudah terkondensasi. Setelah melalui Gas Pre-Treatment Unit, gas masuk
ke Gas Dryer Unit untuk mengurangi kadar air yang terkandung dalam gas, sehingga gas
yang masuk Gas Compressor benar-benar kering. Selanjutnya gas dikompresi menggunakan
Gas Compressor yang digerakkan menggunakan motor listrik hingga tekanan tinggi.
Setelah itu gas disimpan dalam CNG Storage Skid. Proses kompresi ini berlangsung ketika
saat beban rendah (low peak).

Gas Pre-
Plant Inlet
Treatment Gas Dryer
Control
Unit

Pressure
Tube Skid Gas
Regulator
Storage Compressor
Unit

Gas
Metering PLTG
Unit

Gambar II.1 Skema sistem CNG Storage Plant


II-1
II-2

Proses dekompresi dilakukan ketika hendak menggunakan CNG atau pada beban
puncak (peak load). Gas yang tersimpan di CNG Storage Skid tersebut didekompresi melalui
Pressure Regulator Unit (PRU) dengan tekanan keluar menyesuaikan dengan tekanan Gas
Receiving Station (GRS). Proses dekompresi ini melalui beberapa tahapan penurunan
tekanan untuk mencegah penurunan temperatur yang drastis (freezing) akibat penurunan
tekanan. Untuk menaikkan temperatur CNG sesuai dengan kebutuhan turbin gas maka
dilakukan pemanasan menggunakan heat exchanger dengan media air panas yang berasal
dari Hot Water Boiler. Hot Water Boiler ini memproduksi air panas untuk disirkulasikan
menggunakan circulating pump ke dalam heat exchanger pada PRU. Hot Water Boiler
tersebut memakai gas sebagai bahan bakar yang di-tapping dari Gas Pre-Treatment Unit.
Setelah gas keluar dari PRU, gas melewati Gas Mixing Unit dan Gas Metering Unit menuju
GRS kemudian digunakan sebagai bahan bakar turbin gas PLTG (Eriana & Rengga, 2014).

Dengan penerapan teknologi CNG Storage Plant akan memberikan beberapa


keuntungan di antaranya yaitu:

 Keuntungan operasi : Optimalisasi penggunaan gas pada saat beban puncak


sehingga penyerapan gas tercapai dan terhindar dari klausul
Take or Pay (TOP).
 Keuntungan finansial : Penghematan pada komponen C (biaya bahan bakar)
sehingga biaya pembangkitan lebih ekonomis.
 Keuntungan lingkungan : Penggunaan CNG dapat mengurangi emisi yang cukup
signifikan jika dibandingkan dengan menggunakan HSD
pada saat beban puncak.

II.2 Kompresor

Kompresor merupakan mesin fluida untuk memampatkan gas atau udara. Kompresor
udara biasanya mengisap udara dari atmosfer, namun ada pula yang mengisap udara atau gas
yang bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer, dalam hal ini kompresor bekerja sebagai
penguat (booster). Sebaliknya ada pula kompresor yang mengisap gas yang bertekanan lebih
rendah dari tekanan lebih rendah dari atmosfer, dalam hal ini disebut pompa (Sularso &
Tahara, 2000). Kompresor berfungsi untuk meningkatkan tekanan fluida mampat, yaitu gas
dan udara. Tujuan meningkatkan tekanan fluida yaitu agar dapat mengalirkan fluida untuk
memenuhi kebutuhan proses dalam suatu sistem proses yang lebih besar.
II-3

II.2.1 Klasifikasi Kompresor

Kompresor terbagi menjadi beberapa jenis konfigurasi yang menyesuaikan


dengan penggunaannya. Kompresor dibagi menjadi dua jenis berdasarkan proses
pemampatan fluidanya, yaitu intermittent dan continuous. Pada proses intermittent,
pemampatan terjadi dalam siklus di mana ketika sejumlah fluida terisap oleh kompresor,
lalu dimampatkan, dan dikeluarkan sebelum siklus tersebut berulang. Sedangkan pada
proses continuous, fluida terisap oleh kompresor, lalu dimampatkan, fluida tersebut
mengalir melalui kompresor dan dikeluarkan tanpa mengganggu laju fluida pada setiap
titik proses pemampatannya (Brown, 2005). Gambar II.2 menunjukkan diagram
klasifikasi kompresor.

Gambar II.2 Klasifikasi kompresor


Sumber: Brown, 2005

Kompresor dengan proses intermittent lebih sering disebut kompresor positive


displacement, yang mana memiliki dua jenis berbeda yaitu resiprokasi dan rotari.
Sedangkan pada kompresor proses continuous juga dibedakan menjadi dua jenis yaitu
dinamik dan ejektor. Pemilihan jenis kompresor yang akan digunakan tergantung pada
aplikasi penggunaan kompresor itu sendiri serta syarat operasi yang harus dipenuhi
misalnya tekanan kerja dan volume udara yang akan diperlukan.
II-4

II.2.2 Kompresor Torak

Kompresor torak merupakan kompresor positive displacement yang


menggunakan pergerakan piston dalam silinder untuk meningkatkan tekanan gas dari
suatu nilai tekanan ke tekanan yang lebih tinggi (Giampaolo, 2010). Kompresor torak
merupakan kompresor yang paling banyak digunakan pada saat ini. Pada kompresor ini
terdiri dari susunan mekanik yang bergerak secara resiprokasi dan menggerakkan piston
yang bergerak bebas dalam sebuah silinder. Perpindahan dari piston disertai dengan
terbukanya katup masukkan menyebabkan sejumlah gas masuk ke dalam silinder yang
mana gas tersebut dikompresi dan lalu dikeluarkan. Katup keluaran mencegah
terjadinya backflow gas dari pipa keluaran ke dalam kompresor ketika siklus isap
selanjutnya (Brown, 2005).

Kompresor torak umumnya memiliki laju aliran fluida yang rendah, dengan laju
antara 100 hingga 10000 f3/m per silinder. Kompresor ini sangat cocok untuk aplikasi
tekanan tinggi, di mana tekanan keluaran tertinggi bisa mencapai 40.000 psi. Dengan
rasio tekanan melebihi 1 – 1,5, kompresor ini merupakan kompresor paling efisien di
antara kompresor jenis lain (Brown, 2005).

II.2.3 Prinsip Kerja Kompresor Torak

Prinsip kerja kompresor yang ideal ditunjukkan pada Gambar II.3, yang
menampilkan diagram indikator disertai ilustrasi beberapa silinder yang menjelaskan
pergerakan piston dan bukaan katup. Gambar tersebut menunjukkan diagram yang
membentuk siklus kompresi tertutup.

Untuk memulai siklus, mengacu pada gambar pada A, posisi di mana piston pada
titik mati bawah (TMB) dan pada titik 1 pada diagram indikator. Pada titik ini, silinder
telah terisi dengan gas pada tekanan masukkan P1 dan kedua katup tertutup. Pada B,
piston mulai bergerak menekan gas. Ini merupakan Langkah Kompresi gas dalam siklus
dan diilustrasikan dengan garis 1-2. Ketika piston mencapai titik 2 pada diagram
indikator, katup keluaran mulai terbuka. Langkah Buang dari siklus kompresi
ditunjukkan pada titik C. Hal ini ditunjukkan pada garis 2-3 dalam diagram indikator.
Pada proses ini katup keluaran terbuka selama periode ini sedangkan katup isap tetap
tertutup. Gas dikeluarkan pada tekanan keluaran P2. Ketika piston mencapai titik 3,
piston telah mencapai titik mati atas (TMA). Secara fisik, pada titik ini, terdapat ruang
II-5

antara kelapa piston dan ujung silinder. Ruang ini menyebabkan volume gas terjebak
dan biasa disebut clearance volume.

Gambar II.3 Prinsip kerja kompresor


Sumber: Brown, 2005

Selanjutnya piston bergerak dengan arah kebalikan dan memulai Langkah


Ekspansi dalam siklus kompresi seperti ditunjukkan pada D dan pada garis 3-4. Pada
proses ini, gas yang terjebak pada clearance volume diekspansi kembali hingga tekanan
masuk. Pada proses ini katup keluaran telah ditutup dan katup isap masih tertutup. Lalu
pada titik 4, proses ekspansi telah selesai dan katup isap terbuka. Langkah Isap
ditunjukkan pada E dan garis 4-1 pada diagram indikator. Silinder terisi dengan gas pada
tekanan masuk P1. Ketika piston telah mencapai titik 1, maka siklus telah selesai dan
mulai untuk berulang.
II-6

II.2.4 Proses Kompresi Gas

Proses kompresi gas dapat dilakukan menurut tiga cara yaitu proses isotermal,
adiabatik dan politropik (Sularso & Tahara, 2000). Namun siklus isotermal dan
adiabatik tidak dapat digunakan, siklus tersebut hanya digunakan sebagai dasar untuk
perhitungan dan analisis. Berikut in penguraian perilaku masing-masing proses.

A. Kompresi Isotermal
Kompresi isotermal terjadi ketika temperatur gas dijaga konstan seiring
peningkatan tekanan gas (Bloch, A Practical Guide to Compressor Technology, 2006).
Bila suatu gas dikompresikan, maka terdapat energi mekanik dari luar gas yang diubah
menjadi energi panas, sehingga temperatur gas meningkat. Untuk itu proses ini
memerlukan pembuangan panas hasil kompresi yang secara kontinu, agar temperatur
dapat dijaga konstan. Persamaan kompresi isotermal ditunjukkan sebagai berikut.

𝑝1 𝑉1 = 𝑝2 𝑉2 = konstan (2.1)

B. Kompresi Adiabatik
Kompresi adiabatik terjadi ketika tidak ada panas yang diterima atau dibuang
dari gas selama proses kompresi (Bloch, A Practical Guide to Compressor Technology,
2006). Persamaan kompresi adiabatik ditunjukkan sebagai berikut.

𝑝1 𝑉1 𝑘 = 𝑝2 𝑉2 𝑘 = konstan (2.2)

Di mana k adalah rasio dari panas spesifik (𝑐p /𝑐v ). Jika persamaan ini dibandingkan
dengan persamaan kompresi isotermal, maka dapat dilihat bahwa untuk pengecilan
volume yang sama, kompresi adiabatik akan menghasilkan tekanan yang lebih tinggi
daripada proses isotermal. Oleh karena itu maka kerja yang diperlukan untuk proses
adiabatik juga lebih besar.

Gambar II.4 menunjukkan siklus isotermal dan adiabatik tanpa clearance pada
basis p-V untuk rasio kompresi 4. Luas area ADEF menunjukkan kerja yang dibutuhkan
ketika kompresor beroperasi pada basis isotermal, dan luas area ABEF menunjukkan
kerja yang dibutuhkan kompresor yang beroperasi pada basis adiabatik. Tentu area
isotermal lebih sedikit dibanding adiabatik dan mungkin dapat menjadi siklus kompresi
yang ekonomis
II-7

C. Kompresi Politropik
Pada kenyataannya siklus isotermal tidak dapat dipraktikkan karena meskipun
silinder didinginkan sepenuhnya tetap saja tidak dapat menjaga temperatur gas konstan.
Begitu pula dengan siklus adiabatik yang tidak dapat diperoleh, karena pasti terdapat
panas yang dibuang ataupun ditambahkan ke dalam gas selama proses kompresi.
Sehingga proses kompresi beroperasi di antara keduanya yang disebut siklus politropik
(Bloch, A Practical Guide to Compressor Technology, 2006). Persamaan kompresi
politropik sebagai berikut.

𝑝1 𝑉1 𝑛 = 𝑝2 𝑉2 𝑛 = konstan (2.3)

Eksponen n menunjukkan indeks politropik, yang mana pada kompresor positive


displacement nilainya terletak antara 1 dan k. Gambar II.4 menunjukkan kurva kompresi
politropik.

Gambar II.4 Proses kompresi gas


Sumber: Bloch, 2006

II.2.5 Kapasitas Kompresor

Pada kompresor torak, yang dimaksud dengan kapasitas merupakan perpindahan


torak, bukan laju volume yang dihasilkan. Sehingga laju volume gas pada kompresor
torak merupakan perkalian perpindahan torak dengan efisiensi volumetrik. Sedangkan
pada kompresor rotary, yang dimaksud dengan kapasitas merupakan laju volume yang
sesungguhnya dihasilkan (Sularso & Tahara, 2000).
II-8

Penentuan kapasitas kompresor yang tepat merupakan aspek yang paling sulit
dari pemilihan kompresor. Banyak istilah yang digunakan untuk menunjukkan kapasitas
gas selain itu juga kadang kompresor beroperasi dalam berbagai kondisi operasi yang
mengakibatkan rentang kapasitas kompresor yang luas. Kesulitan dari pengukuran
volume gas yaitu karena sifat gas yang kompresibel, hal ini berarti bahwa sejumlah
molekul gas dapat menempati volume yang berbeda-beda.

Umumnya terdapat berbagai cara untuk menentukan volume gas – lb/h, SCFM,
MCFD, MSCFD, ACFM, ICFM. Satuan metrik yang biasa digunakan seperti kg/h,
Nm3/h, Im3/h. Sedangkan pada kompresor liquefied gas memiliki kapasitas yang
ditunjukkan dengan laju volume cairan (GPM atau m3/h)

1. ICFM

Dalam pemilihan kompresor, kapasitas kompresor harus dinyatakan sebagai


volume yang bekerja pada sisi isap kompresor. Volume tersebut biasanya disebut Inlet
Cubic Feet per Minute (ICFM).

2. ACFM

Actual Cubic Feet per Minute (ACFM) merupakan volume gas aktual yang
terjadi pada kondisi tekanan dan temperatur tertentu. Jika tekanan dan temperatur gas
memiliki kondisi yang sama pada sisi masukkan kompresor maka ACFM akan sama
dengan ICFM. Jika kondisi tekanan dan temperatur gas pada kondisi yang berbeda
dengan sisi masukkan maka gunakan persamaan berikut.

𝑃𝑟𝑒𝑓 𝑇𝑠
𝐼𝐶𝐹𝑀 = 𝐴𝐶𝐹𝑀 ( )( ) (2.4)
𝑃𝑠 𝑇𝑟𝑒𝑓

3. SCFM

Standard Cubic Feet per Minute (SCFM) merupakan volume gas yang mengacu
dengan nilai standar tekanan dan temperatur gas. Referensi standar yang disetujui untuk
SCFM yaitu 1.014 bar dan 273 K.

𝑃𝑠𝑡𝑑 𝑇𝑠
𝐼𝐶𝐹𝑀 = 𝑆𝐶𝐹𝑀 ( )( ) (2.5)
𝑃𝑠 𝑇𝑠𝑡𝑑
II-9

4. lb/hr

Mengonversi lb/hr ke ICFM membutuhkan parameter berat molekul gas,


temperatur masukkan, dan tekanan masukkan. Persamaan ini dikenal dengan persamaan
gas ideal.

𝑍 . 𝑅𝑢 . 𝑇𝑠
𝐼𝐶𝐹𝑀 = (2.6)
60 𝑀𝑊 . 𝑃𝑠

Di mana,
𝑍 = Kompresibilitas gas
𝑅𝑢 = Konstanta gas

5. GPM

Satuan ini merupakan kapasitas yang sering digunakan pada kompresor liquefied
gas. Konversi satuan ini menjadi ICFM membutuhkan beberapa asumsi tambahan atau
menggunakan data tambahan terkait penggunaannya.

𝑃𝑑 1 𝑓𝑡 3
𝐼𝐶𝐹𝑀 = 𝐺𝑃𝑀 ( ) ( ) (2.7)
𝑃𝑠 7,48 𝑔𝑎𝑙

II.2.6 Rasio Kompresi

Rasio kompresi adalah perbandingan tekanan absolut sisi keluaran dengan


tekanan absolut sisi isap.

𝑃𝑑 (𝑎𝑏𝑠)
𝑟= (2.8)
𝑃𝑠 (𝑎𝑏𝑠)

Di mana,
Pd = Tekanan keluaran kompresor
Ps = Tekanan masukkan kompresor

Jika nilai rasio kompresi hasil perhitungan bernilai lebih dari 5, maka kompresor
membutuhkan konfigurasi kompresor multi tahap (Bloch, A Practical Guide to
Compressor Technology, 2006).
II-10

II.2.7 Kompresi Bertahap

Sebuah kompresor torak multi tahap biasanya memerlukan silinder terpisah


untuk tiap tahap dengan pendingin antara (intercooler) di antara tahapnya. Gambar II.5
menunjukkan diagram p-V dari kompresor udara dua tahap 100 psig. Tahap lebih tinggi
ditambahkan untuk keperluan yang sama. Pada kompresor torak multi tahap, seluruh
tahap dikombinasikan dalam sebuah susunan unit kompresor.

Gambar II.5 Siklus kompresor multi tahap


Sumber: Bloch, 2006

Telah dijelaskan sebelumnya pada siklus isotermal merupakan siklus yang


paling ekonomis. Pendinginan gas setelah kompresi hingga temperatur mencapai
temperatur awal gas masuk pastinya akan mengurangi daya yang diperlukan untuk
kompresi tahap selanjutnya. Area ABCD menunjukkan daya yang dihemat terhadap
kompresi adiabatik tahap tunggal.

Untuk mendapat penghematan energi dengan intercooling sempurna antar


tahapnya, terdapat hubungan antara tekanan masuk dengan jumlah tahap. Hubungan ini
didapat dengan membuat rasio kompresi yang sama pada tiap tahapnya dan
mengasumsikan temperatur masuk gas tiap tahap sama (Bloch, A Practical Guide to
Compressor Technology, 2006). Persamaan yang digunakan berdasarkan rasio
kompresi rata-rata,

𝑠
𝑟𝑠 = √ 𝑟𝑡 (2.9)
II-11

Di mana,

𝑟𝑠 = Rasio kompresi tiap tahap

s = Jumlah tahap
𝑟𝑡 = Rasio kompresi keseluruhan

Setiap tahap pada kompresor dianggap sebagai kompresor terpisah, kapasitas


dari setiap tahapnya dihitung secara terpisah dari volume masukkan tahap pertama, dan
dikoreksi terhadap tekanan dan temperatur aktual yang terjadi pada tahap yang lebih
tinggi dan juga untuk perubahan kandungan uap air jika terjadi kondensasi dalam
intercooler.

II.2.8 Temperatur Keluaran Kompresor

Secara termodinamika, perlu dicatat bahwa proses isentropik atau adiabatik


bersifat reversibel, sedangkan proses politropik bersifat ireversibel. Serta seluruh
kompresor beroperasi dalam basis aliran tunak. Temperatur keluaran kompresor dapat
ditentukan sebagai temperatur adiabatik pada akhir proses kompresi (Bloch, A Practical
Guide to Compressor Technology, 2006). Persamaan yang digunakan berikut,

𝑇d 𝑝d (𝑘−1)/𝑘
=( ) = 𝑟 (𝑘−1)/𝑘 (2.10)
𝑇s 𝑝s

Di mana,

Ts = Temperatur masukkan kompresor

Td = Temperatur keluaran kompresor

II.2.9 Efisiensi Volumetrik

Efisiensi volumetrik adalah rasio dari sejumlah gas yang dikompresi terhadap
ukuran fisik dari volume silinder kompresor. Efisiensi volumetrik bervariasi pada rasio
kompresi yang berbeda, di mana dari nilai tersebut digunakan untuk menentukan
kapasitas aktual. Efisiensi volumetrik juga bervariasi pada batas tertentu dengan nilai
kompresi adiabatik dan berat molekul gas yang dikompresi. Kerugian volumetrik
terbesar terjadi karena ruang clearance pada silinder kompresor. Bagaimanapun
kerugian lain meskipun kurang penting namun juga berpengaruh pada kapasitas
kompresor (Bloch & Hoefner, Reciprocating Compressors: Operation and Maintenance,
1996).
II-12

Untuk menentukan kapasitas aktual dari silinder, hasil perhitungan perpindahan


torak harus dimodifikasi. Menurut Brown, 2005, terdapat dua alasan kenapa modifikasi
diperlukan, pertama karena clearance pada akhir dari pergerakan torak. Seperti yang
telah dijelaskan bahwa pada proses siklus kompresi langkah ekspansi, gas terperangkap
pada area clearance lalu terekspansi dan mengisi silinder, mengisi sebagian kapasitas
silinder. Persamaan berikut menunjukkan efek ekspansi pada kapasitas dan disebut
sebagai efisiensi volumetrik teoretis

1
𝑣 = 100 − 𝐶 (𝑟 𝑘 − 1) (2.11.a)

Alasan kedua untuk modifikasi dari jumlah volume yang dikompresikan pada
kondisi sebenarnya tidak dapat mencapai apa yang diprediksi oleh kinerja volumetrik
pada Persamaan 2.10, nilai 100 pada persamaan tersebut tidak dapat tercapai karena
silinder tidak dapat terisi secara sempurna. Simbol L ditambahkan untuk menunjukkan
kerugian yang disebabkan slip gas pada piston ring pada berbagai tipe konstruksinya,
pressure drop pada katup, friksi gas dan kebocoran internal. Berikut merupakan
persamaan efisiensi volumetrik yang telah dimodifikasi,

1
𝑣 = 100 − 𝐶 (𝑟 𝑘 − 1) − 𝐿 (2.11.b)

Di mana,

v = Efisiensi volumetrik kompresor

C = Clearance
L = Kerugian

Gambar II.6 Pengaruh clearance dan komponen adiabatik pada efisiensi volumetrik
Sumber: Bloch, 2006
II-13

II.3 Intercooler

Intercooler merupakan komponen untuk membuang panas hasil kompresi gas pada
kompresor multi tahap (Bloch, A Practical Guide to Compressor Technology, 2006). Dengan
penggunaan intercooler ini akan mengurangi energi yang digunakan untuk proses kompresi,
karena terjadi pengurangan volume spesifik gas pada proses pendinginan. Idealnya
temperatur masukkan dari tiap tahap kompresor multi tahap harus sama dengan temperatur
masukkan tahap pertama, hal tersebut disebut, pendinginan sempurna atau kompresi
isotermal. Namun dalam praktiknya, temperatur gas masukkan pada tahap lanjutan lebih
tinggi dari normalnya sehingga konsumsi daya lebih besar karena volume gas yang lebih
besar pada daya yang sama. Umumnya pendingin gas dengan cairan digunakan karena nilai
perpindahan panas yang tinggi dibanding dengan pendingin gas dengan udara. Pendingin
gas dengan cairan biasanya menggunakan air sebagai medianya.

Intrecooler yang digunakan pada kompresor memiliki beberapa fungsi seperti


berikut,

 Gas yang dikompresi mungkin mengandung air di dalamnya yang dapat mengganggu
proses kompresi. Pendinginan gas hingga di bawah temperatur awalnya akan
memisahkan uap pada titik cairnya sehingga meningkatkan kualitas gas.

 Meningkatkan efisiensi dari proses kompresi karena daya yang dibutuhkan untuk
kompresi tahap selanjutnya berkurang.

II.4 Shell and Tube Heat exchanger

Heat exchanger (HE) adalah peralatan yang memfasilitasi perpindahan panas antara
dua fluida yang berbeda temperatur dengan menjaga kedua fluida tersebut tanpa tercampur
satu sama lain (Cengel, 2002). Heat exchanger biasanya digunakan untuk berbagai macam
keperluan, mulai dari pemanasan dan pengaturan udara pada perumahan, proses kimia dan
pembangkitan listrik. Heat exchanger dimanufaktur dalam berbagai macam bentuk, salah
satu yang paling sering digunakan dalam industri adalah Shell and Tube Heat exchanger
seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.7. Shell and Tube Heat exchanger (STHE) terdiri
dari banyak tube yang dipasang pada shell dengan sumbu paralel dengan shell tersebut.
II-14

Gambar II.7 Shell and tube heat exchanger


Sumber: Cengel, 2002

Perpindahan panas pada heat exchanger biasanya melibatkan proses konveksi pada
tiap fluida dan proses konduksi melalui dinding pemisah antara kedua fluida. Nilai
perpindahan panas antara kedua fluida terletak dalam sebuah heat exchanger tergantung
besarnya nilai perbedaan temperatur pada heat exchanger tersebut. Perpindahan panas
terjadi dalam shell ketika suatu fluida mengalir di dalam tube dan fluida yang lain mengalir
di luar tube (Cengel, 2002).

II.4.1 Konstruksi Shell and Tube Heat exchanger

Sangat penting untuk seorang perancang heat exchanger untuk memiliki


pengetahuan yang baik dalam bagian mekanikal dari STHE dan bagaimana tiap bagian
HE berpengaruh dalam perancangan. Komponen-komponen STHE antara lain:

1. Shell 16. Tubes (U-bend)


2. Shell cover 17. Tie rods dan spacers
3. Shell flange (channel end) 18. Transverse baffle atau support plates
4. Shell flange (cover end) 19. Longitudinal baffle
5. Shell nozzle or branch 20. Impingement baffle
6. Floating tube sheet 21. Floating head support
7. Floating head cover 22. Pass partition
8. Floating head flange 23. Vent connection
9. Floating head gland 24. Drain connection
10. Floating head back ring 25. Instrument connection
11. Stationary tube sheet 26. Expansion bellow
12. Channel or stationary head 27. Support saddle
13. Channel cover 28. Lifting lug
14. Channel nozzle or branch 29. Weir
15. Tube (straight) 30. Liquid level connection
II-15

STHE dibagi menjadi 3 bagian : front head, shell dan rear head. Gambar II.8
menunjukkan nomenklatur TEMA (Tubular Exchanger Manufactures Association)
yang menjelaskan berbagai jenis konstruksi STHE yang dideskripsikan dengan kode
huruf untuk tiap bagiannya.

Gambar II.8 Jenis shell and tube heat exchanger berdasarkan standar TEMA
Sumber: Mukherjee, 1998
II-16

II.4.2 Klasifikasi Shell and Tube Heat exchanger

Berdasarkan Standard of Turbular Exchanger Manufactures Association, heat


exchanger dikelompokkan menjadi 3 kelas berdasarkan dari penggunaan heat
exchanger itu sendiri, antara lain:

1. Kelas R, heat exchanger yang digunakan pada industri perminyakan dan peralatan
yang berhubungan dengan proses tersebut.

2. Kelas C, heat exchanger yang digunakan untuk keperluan umum dengan


berdasarkan aspek ekonomi dan ukuran yang relatif kecil

3. Kelas B, heat exchanger yang digunakan pada proses kimia

Heat exchanger kelas R, C dan B tersebut merupakan kategori unfired shell and tube
heat exchanger.

Menurut Mukherjee berdasarkan konstruksi heat exchanger, umumnya STHE


dibedakan menjadi 3 jenis, antara lain:

1. Fixed tube sheet

Heat exchanger fixed tube sheet memiliki tube lurus yang tiap ujungnya
terpasang pada tube sheet dan disambung dengan mengelas pada shell. Keuntungan dari
penggunaan jenis HE ini yaitu biaya produksi yang rendah, karena konstruksinya yang
sederhana. Faktanya jenis HE ini merupakan jenis konstruksi yang paling murah selama
tidak menggunakan expansion joint. Keuntungan lainnya yaitu tube dapat dibersihkan
secara mekanik setelah pelepasan cover channel atau bonnet, dan juga kebocoran pada
sisi shell dapat diminimalkan karena tidak menggunakan flanged joints.

Kekurangan dari konstruksi ini yaitu karena bundle telah dipasang secara
permanen dalam shell dan tidak dapat dilepas, sehingga bagian luar tube tidak dapat
dibersihkan secara mekanik. Dengan demikian, penggunaan konstruksi ini terbatas pada
proses pembersihan pada sisi shell. Namun, jika pembersihan secara kimia dapat
dilakukan, maka konstruksi ini dapat dipilih. Jika terjadi perbedaan temperatur yang
tinggi antara tube dan shell, maka tube sheet tidak mampu menyerap perbedaan tekanan,
sehingga diperlukan expansion joint yang mana dengan itu maka mengurangi
keuntungan biaya rendah.
II-17

Gambar II.9 Fixed tube sheet heat exchanger


Sumber: National Programme on Technology Enhanced Learning

2. U-tube

Sesuai dengan namanya, tube pada HE konstruksi U-Tube dibengkokkan hingga


membentuk U. Hanya terdapat satu tube sheet pada konstruksi ini. Namun, pengurangan
biaya karena hanya menggunakan satu tube sheet harus dibayar dengan biaya tambahan
yang dibutuhkan untuk proses bending tube dan diameter shell yang lebih besar (karena
radius minimum U-bend). Hal tersebut membuat biaya konstruksi ini sebanding dengan
konstruksi fixed tube sheet.

Gambar II.10 U-tube heat exchanger


Sumber: National Programme on Technology Enhanced Learning

Keuntungan dari konstruksi ini adalah karena adanya salah satu ujung tube yang
bebas sehingga bundle dapat memuai dan berkontraksi jika terjadi perbedaan regangan.
Selain itu juga bagian luar tube dapat dibersihkan karena penutup tube dapat dilepas.
II-18

Sedangkan salah satu kerugian dari konstruksi ini adalah bagian dalam tube tidak dapat
dibersihkan secara efektif, karena bentuk lengkungan U. Dengan demikian konstruksi
ini tidak boleh digunakan untuk penggunaan dengan fluida kotor pada sisi tube.

3. Floating head

Heat exchanger floating head merupakan jenis yang paling serba guna dan juga
yang paling mahal. Dalam konstruksi ini, salah satu tube sheet dipasang permanen pada
shell dan tube sheet lainnya dibiarkan ‘melayang’ dalam shell. Dengan itu bundle tube
dapat berekspansi dan tube dapat dibersihkan pada bagian dalam dan luar. Dengan
demikian pada konstruksi ini dapat digunakan untuk fluida kotor pada sisi tube maupun
sisi shell-nya. Konstruksi ini merupakan standar untuk penggunaan dirty service seperti
pada kilang minyak. Ada beberapa jenis konstruksi floating head. Dua jenis paling
sering digunakan adalah pull through dengan backing device (TEMA S) dan pull
through (TEMA T). Konstruksi TEMA S adalah konstruksi yang paling umum
digunakan pada industri kimia proses.

Gambar II.11 Floating head heat exchanger


Sumber: National Programme on Technology Enhanced Learning

Keuntungan dari konstruksi ini yaitu bundle tube dapat dilepas dari shell tanpa
harus membongkar shell ataupun pelindung floating head, sehingga mengurangi waktu
maintenance. Namun karena ukuran shell yang lebih besar sehingga konstruksi ini
membutuhkan biaya yang paling tinggi dibanding konstruksi yang lain. Selain itu,
karena konstruksi ini rentan terhadap kebocoran, maka penggunaan konstruksi ini
terbatas pada penggunaan fluida pada sisi shell yang tidak berbahaya dan tidak beracun
serta memiliki tekanan 40 kg/cm2 dan temperatur 300oC.
II-19

II.5 Perancangan Shell and Tube Heat exchanger

Ada beberapa panduan praktis tentang perancangan STHE yang dapat menghasilkan
desain STHE yang optimal. Mengingat bahwa kerja utama dari STHE yaitu untuk
melakukan proses perpindahan panas dengan biaya yang rendah serta ketersediaan yang
baik, maka desain termal yang optimal dari STHE melibatkan beberapa penyesuaian dari
beberapa parameter desain yang saling berinteraksi.

II.5.1 Penentuan Fluida Kerja

Penentuan dari fluida kerja harus menjadi perhatian utama dalam perancangan.
Terdapat banyak pertimbangan dalam penentuan fluida kerja seperti heat transfer
coefficient, pressure drop, kecenderungan fouling dan tekanan kerja. Selain itu juga
penempatan fluida kerja panas dan dingin pada sisi shell ataupun sisi tube merupakan
hal yang harus diperhatikan (Gupta, 2013). Berikut adalah beberapa pertimbangan
penempatan fluida yang disimpulkan pada Tabel II.1.

Tabel II.1 Penempatan fluida kerja pada STHE

Sumber: Serth, 2007

A. Asumsi Overall Heat Transfer Coefficient


Perancangan dari STHE merupakan proses yang panjang dan kompleks, dan
biasanya dibantu dengan program komputer. Tidak jarang perancang membutuhkan
perkiraan dari luas perpindahan panas untuk keperluan estimasi biaya awal dari HE.
Tabel dari overall heat transfer coefficient seperti yang ditunjukkan pada Tabel II.2
digunakan untuk tujuan tersebut.

Dengan estimasi nilai overall heat transfer coefficient dari Tabel II.2 maka dapat
dihitung luas perpindahan panas yang dibutuhkan. Namun, prosedur yang agak lebih
baik yaitu jika dapat menentukan nilai heat transfer coefficient individu (hi dan ho) dan
menggunakan nilai tersebut untuk menghitung overall heat transfer coefficient.
II-20

Tabel II.2 Asumsi overall heat transfer coefficient dalam Btu/h.ft2.oF

Sumber: Kern, 1965

B. Fouling pada fluida


Sebagian besar fluida kerja pada HE dapat mengendap pada bidang perpindahan
panas. Deposit pengotor dapat mengurangi nilai perpindahan panas akibat rendahnya
konduktivitas termal. Fouling tersebut merupakan proses kompleks, dan biasa terjadi
secara simultan, dan mengakibatkan peningkatan pressure drop, percepatan korosi dan
pengurangan overall heat transfer coefficient. Fouling pada HE akan meningkatkan
biaya konstruksi akibat oversizing, penambahan energi akibat performa HE yang buruk
dan pembersihan material endapan.
II-21

Faktor fouling juga dapat dilihat sebagai faktor keamanan dalam prosedur desain
HE. Lebih tepatnya faktor fouling harus ditentukan sehingga HE dapat memiliki periode
operasi yang cukup sebelum waktu untuk pembersihan. Periode operasi harus
mencukupi untuk memastikan proses pembersihan HE bertepatan dengan penghentian
proses operasi (shutdown) terjadwal. Selain itu HE cadangan mungkin diperlukan untuk
uninterrupted service, jika dilakukan proses pembersihan HE.

Faktor fouling ditentukan secara baik melalui pengalaman dengan unit yang
sama pada aplikasi yang sama. Tabel yang paling komprehensif dari faktor fouling salah
satunya dikembangkan oleh TEMA. Fouling merupakan proses kompleks yang dapat
dipengaruhi oleh beberapa variabel yang tidak terhitung secara spesifik pada tabel
tersebut. Umumnya terdapat 6 jenis mekanisme fouling yang telah diketahui (Serth,
2007), antara lain:

 Korosi  Polimerisasi
 Kristalisasi  Sedimentasi
 Dekomposisi  Aktivitas biologi

II.5.2 Heat Duty

Perpindahan yang terjadi pada HE merupakan proses konveksi panas dari fluida
panas ke dinding luar tube, lalu proses konduksi melalui dinding tube, lalu proses
konveksi dari dinding tube ke fluida dingin. Parameter yang mendorong terjadi
perpindahan panas adalah perbedaan temperatur pada aliran panas dan dingin. Untuk
menjelaskan proses keseluruhan tersebut, overall heat transfer coefficient, U
dirumuskan dengan persamaan berikut,

𝑞 = 𝑈 ∙ 𝐴 ∙ 𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 (2.12)

Perlu diingat bahwa pada kasus intercooler, diakibatkan terdapatnya kandungan


uap air pada gas maupun udara, heat duty harus dihitung dengan menjumlahkan panas
sensibel dari gas dan uap air serta panas laten yang terjadi pada kondensasi uap air
menjadi kondensat (Gupta, 2013). Sehingga kesetimbangan panasnya menjadi seperti
persamaan berikut.

𝑞ℎ = 𝑞𝑐 (2.13)
II-22

𝑞𝑔 + 𝑞𝑤.𝑠𝑒𝑛𝑠𝑖𝑏𝑒𝑙 + 𝑞𝑤.𝑙𝑎𝑡𝑒𝑛 = 𝑞𝑐 (2.14.a)

Dengan perhitungan panas tiap komponen pada fluida panas sebagai berikut,

 Panas sensibel gas

𝑞𝑔 = 𝑚̇𝑔 ∙ 𝐶𝑝𝑔 ∙ ∆𝑇𝑔 (2.14.b)

 Panas sensibel uap air

𝑞𝑤.𝑠𝑒𝑛𝑠𝑖𝑏𝑒𝑙 = 𝑚̇𝑤 ∙ 𝐶𝑝𝑤 ∙ ∆𝑇𝑤 (2.14.c)

 Panas laten kondensat

𝑞𝑘.𝑙𝑎𝑡𝑒𝑛 = 𝑚̇𝑘𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛𝑠𝑎𝑡 ∙ 𝐿 (2.14.d)

Di mana,

q : Heat duty

U : Overall heat transfer coefficient

A : Luas perpindahan panas

TLMTD : Log Mean Temperature Difference

𝑚̇ : Laju massa fluida

Cp : Panas spesifik

Lw : Panas laten air

T : Perbedaan suhu fluida masuk dan keluar

II.5.3 Log Mean Temperature Difference

Log Mean Temperature Difference (LMTD) merupakan perbedaan temperatur


rata-rata yang sesuai untuk digunakan pada analisis sebuah HE, di mana nilai LMTD
ditunjukkan pada persamaan berikut,

𝐺𝑇𝑇𝐷 − 𝐿𝑇𝑇𝐷
𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 =
𝐺𝑇𝑇𝐷 (2.15)
𝑙𝑛 𝐿𝑇𝑇𝐷

Dengan GTTD dan LTTD merupakan perbedaan temperatur di antara kedua fluida pada
kedua terminal dari HE, di mana GTTD (Greater Terminal Temperature Difference)
II-23

merupakan perbedaan temperatur terminal yang lebih besar, sedangkan LTTD (Lesser
Terminal Temperature Difference) merupakan perbedaan temperatur terminal yang
lebih kecil .

Dari Gambar II.12 dapat dilihat bahwa pada HE terdapat 2 jenis konfigurasi
aliran yaitu parallel-flow dan counter-flow. Dengan melihat grafik pada Gambar II.12
maka dapat ditentukan nilai GTTD dan LTTD dari masing-masing konfigurasi aliran
serta dijelaskan dengan persamaan berikut.

 Parallel flow

𝐺𝑇𝑇𝐷 = (𝑇ℎ.𝑖𝑛 − 𝑇𝑐.𝑖𝑛 ) (2.15.a)

𝐿𝑇𝑇𝐷 = (𝑇ℎ.𝑜𝑢𝑡 − 𝑇𝑐.𝑜𝑢𝑡 ) (2.15.b)

 Counter flow

𝐺𝑇𝑇𝐷 = (𝑇ℎ.𝑖𝑛 − 𝑇𝑐.𝑜𝑢𝑡 ) (2.15.c)

𝐿𝑇𝑇𝐷 = (𝑇ℎ.𝑜𝑢𝑡 − 𝑇𝑐.𝑖𝑛. ) (2.15.d)

Gambar II.12 Perbedaan arah aliran dan profil temperatur pada heat exchanger
a) Parallel flow; b) Counter flow
Sumber: Cengel, 2004
II-24

Namun dalam kasus multipass STHE ataupun aliran cross-flow, konfigurasi


aliran dalam HE merupakan campuran dari parallel-flow dan counter-flow. Maka dari
itu, perbedaan temperatur rata-rata tidak menggunakan LMTD. Namun nilai perbedaan
temperatur rata-rata akan lebih mudah ditentukan dengan mempertahankan nilai LMTD
tetapi disertai dengan faktor koreksi FT, sehingga nilai perbedaan temperatur rata-rata
akan menjadi seperti persamaan berikut,

𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 ′ = 𝐹𝑇 ∙ 𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷.𝐶𝐹 (2.16)

Nilai faktor koreksi (FT) ini bergantung dari konfigurasi shell dan tube yang digunakan.
Nilai faktor koreksi tersebut didapat menggunakan persamaan berikut,
(1 − 𝑃)
√𝑅 2 + 1 ∙ 𝑙𝑛
(1 − 𝑅𝑃)
𝐹𝑇 = (2.17)
2 − 𝑃(𝑅 + 1 − √𝑅 2 + 1)
(𝑅 − 1) ∙ 𝑙𝑛
2 − 𝑃(𝑅 + 1 + √𝑅 2 + 1)

Di mana,
𝑇𝑐.𝑜𝑢𝑡 − 𝑇𝑐.𝑖𝑛
𝑃= (2.17.a)
𝑇ℎ.𝑖𝑛 − 𝑇𝑐.𝑖𝑛

𝑇ℎ.𝑖𝑛 − 𝑇ℎ.𝑜𝑢𝑡
𝑅= (2.17.b)
𝑇𝑐.𝑜𝑢𝑡 − 𝑇𝑐.𝑖𝑛

Nilai faktor koreksi juga dapat ditentukan menggunakan grafik faktor koreksi sesuai
dengan konfigurasi shell dan tube dan jenis aliran yang sesuai pada standar TEMA.

II.5.4 Memodelkan Sisi Tube

A. Pemilihan ukuran dan material tube


Ukuran tube yang ditentukan adalah diameter luar, ketebalan dan panjang tube.
Diameter tube mempengaruhi kecepatan perpindahan panas dan begitu juga dengan
biaya konstruksi. Diameter tube yang lebih kecil akan menghasilkan koefisien
perpindahan panas yang lebih tinggi serta bentuk yang lebih kompak. Namun hal
tersebut mungkin akan menimbulkan kesulitan dalam proses pembersihan.

Ukuran tube yang paling sering digunakan adalah ¾ inch dan 1 inch. Untuk
fluida kerja air disarankan menggunakan ¾ inch dengan 16 BWG (British Wire Gauge).
Sedangkan untuk fluida kerja minyak tanpa fouling disarankan menggunakan ¾ inch
II-25

dengan 14 BWG, sedangkan jika terdapat fouling maka disarankan menggunakan 1 inch
dengan 14 BWG (Serth, 2007).

Panjang tube juga berpengaruh pada biaya dan operasi dari HE. Semakin
panjang tube pada luas perpindahan panas tertentu maka lebih sedikit tube yang
diperlukan, diameter shell juga akan berkurang sehingga akan mengurangi biaya
konstruksi. Tube yang dipilih memiliki panjang antara 8 sampai 20 ft, pembersihan
mekanik terbatas pada tube dengan panjang maksimal 20 ft.

Untuk dapat menghantarkan panas dengan baik, material tube harus memiliki
konduktivitas termal yang baik. Karena panas dihantarkan dari fluida panas ke fluida
dingin melalui tube, terdapat perbedaan temperatur pada ketebalan tube. Material tube
juga harus sesuai dengan fluida sisi tube dan shell untuk jangka waktu yang lama dalam
kondisi operasinya (temperatur tekanan, pH, dll) untuk meminimalkan detiorasi seperti
korosi

Dengan seluruh persyaratan tersebut akan membutuhkan pemilihan yang baik


dari tube yang kuat, konduktivitas baik, tahan korosi, dan material kualitas tinggi.
Pemilihan tube yang kurang baik akan menyebabkan kebocoran pada tube sehingga
akan fluida akan tercampur serta kemungkinan kehilangan tekanan. Pemilihan material
dan kecocokan antara material konstruksi dengan fluida kerja merupakan hal yang
penting, khususnya berkaitan dengan korosi dan/atau operasi ketika terjadi peningkatan
temperatur.

Kebutuhan untuk HE dengan karakteristik biaya murah, ringan, dan


konduktivitas tinggi biasanya mengacu pada pemilihan aluminum sebagai material
perpindahan panas. Di sisi lain, stainless steel digunakan untuk proses pengolahan
makanan atau fluida yang harus bebas korosi. Umumnya, kriteria pemilihan untuk
material HE bergantung pada sifat korosi pada fluida kerja. Pada kasus intercooler
kompresor, air digunakan sebagai media pendingin yang mana merupakan termasuk
fluida korosi alami, maka disarankan menggunakan carbon steel atau copper alloy.
Kriteria pemilihan material tube berdasarkan fluida kerja dapat dilihat pada Tabel II.3
II-26

Tabel II.3 Penentuan material tube untuk fluida tidak korosif dan korosif
Material Heat exchanger Type or Type of Service
Non-Corrosive Service
Aluminum and austenitic Ni-Cr steel Any Heat exchanger Type, T<-100°C
3 ½ Ni steel Any Heat exchanger Type, -100°C <T<-45°C
Carbon steel, impact tested Any Heat exchanger Type, -45°C <T<0°C
Carbon steel Any Heat exchanger Type, 0°C <T<500°C
Refractory lined steel Shell and Tube, T>500°C
Corrosive Service
Carbon steel Mildly corrosive fluid, tempered cooling water
Austenitic Ni-Cr steel Corrosion resistance duties
Aluminum Mildly corrosive fluid
Fresh water cooling in surface condenser, sea
Copper alloy, admiralty aluminum brass
water cooling
Titanium See water coolers and condensers
Glass Air preheaters for large furnaces
Carbon Severely corrosive services
Coating aluminum epoxy resin Exposure to sea and buckish water
Lining, lead and rubber Channels for sea water coolers
Lining, austenitic Ni-Cr steel General corrosion resistance

Sumber: Gupta, 2013


B. Pitch
Pitch tube (Ltp) adalah jarak antara dua tube berdekatan yang merupakan jumlah
dari diameter luar tube (Do) dengan clearance (C’).

𝐿𝑡𝑝 = 𝐷𝑜 + 𝐶′ (2.18)

Untuk pola segitiga, TEMA menentukan pitch tube minimal sebesar 1,25 kali diameter
luar tube. Dengan demikian, untuk diameter luar tube 20 mm maka memiliki pitch
sebesar 25 mm. Sedangkan untuk pola persegi, TEMA merekomendasikan jalur
pembersihan sebesar ¼ inch (~6 mm) antara tube yang berdekatan. Dengan demikian
pitch tube minimal untuk pola persegi antara 1,25 kali diameter luar tube atau diameter
luar tube ditambah ¼ inch. Misalnya untuk diameter luar tube 20 mm maka pitch tube
dapat sebesar 26 mm atau 31,25 mm. Gambar II.13 menunjukkan pitch tube pada pola
segitiga dan persegi.
II-27

Gambar II.13 Pola pitch tube: a) segitiga; b) persegi ; c) rotated square


Sumber: Thulukkanam, 2013
C. Tata letak tube
Tata letak tube didefinisikan dengan sudut karakteristik tube dan definisi sesuai
pitch tube. Gambar II.14 menunjukkan tata letak tube standar yang umumnya digunakan
pada HE. Pada gambar terdapat tata letak 30o, 45o, 90o namun tata letak 60o dianggap
tidak cukup baik karena dengan posisi tersebut akan menghasilkan efektivitas rendah
dalam penurunan tekanan untuk perpindahan panas pada HE satu fase sehingga
umumnya tidak disarankan (Murali & Rao, 2008)
II-28

Tata letak 30o memiliki densitas tube yang paling tinggi, sehingga tata letak ini
memiliki bidang perpindahan panas yang paling besar dalam shell. Tata letak ini juga
memiliki efektivitas penurunan tekanan yang tinggi untuk proses perpindahan panas.
Dengan itu, tata letak 30o merupakan pilihan utama ketika memilih tata letak tube yang
sesuai. Namun pada tata letak ini akan menyebabkan pressure drop yang tinggi pada
pitch tube tertentu.

Tata letak 45° juga memiliki efektivitas penurunan tekanan yang tinggi untuk
proses perpindahan panas. Namun, ketika membandingkan dengan tata letak 30°, tata
letak ini tidak lebih menguntungkan, karena pada tata letak ini hanya dapat memuat
sekitar 85% dari tube dalam shell yang diberikan. Keuntungan dari tata letak 45° adalah
pressure drop pada pitch tertentu yang lebih rendah dibanding tata letak 30o.
Keuntungan lain dari tata letak 45° yaitu dapat dilakukan pembersihan shell secara
mekanik, jika clearance antara tube cukup (kira-kira 7 mm).

Tata letak 90° tidak boleh digunakan pada HE dengan aliran laminar pada sisi
shell, namun memiliki efektivitas penurunan tekanan yang tinggi untuk proses
perpindahan panas pada aliran turbulen. Tata letak ini juga dapat dilakukan pembersihan
sisi shell secara mekanik. Tata letak 90° dianggap sebagai alternatif untuk tata letak 30°
atau 45°, terutama jika menginginkan pressure drop yang rendah.

Gambar II.14 Pola tata letak tube: a) 30o; b) 60o; c) 90o; d) 45o.
Sumber: Thulukkanam, 2013
II-29

D. Jumlah tube
Jumlah tube dalam shell dapat diprediksikan sebagai fungsi dari luas area
proyeksi dari sisi shell yang terlingkupi oleh lingkar luar dari kumpulan tube dan
membaginya dengan luas area proyeksi dari tata letak tube yang digunakan.

𝜋
∙ 𝐷𝑐𝑡𝑙 2
𝑁𝑡 = 4 (2.19)
𝐶𝐿 ∙ 𝐿2𝑡𝑝
Di mana, Dctl adalah diameter tube bundle yaitu diameter lingkaran yang melewati titik
tengah tube yang paling luar di dalam shell. Sedangkan CL adalah konstanta tata letak
tube yang bergantung dari bentuk tata letak tube baik itu persegi atau segitiga.

CL = 1.00 ………… Pitch persegi

CL = 0.87 ………… Pitch segitiga

Namun untuk mempermudah menentukan jumlah tube dapat menggunakan


perbandingan luas perpindahan panas yang diperlukan dengan luas permukaan seluruh
tube pada shell.
𝐴
𝑁𝑡 = (2.20)
𝜋 ∙ 𝐷𝑜 ∙ 𝐿𝑡
Di mana,
Nt : Jumlah tube

Lt : Panjang tube

E. Jumlah tube pass


Tube pass adalah jumlah jalur fluida mengalir sepanjang tube dari satu sisi ke
sisi lain dari HE. Umumnya jumlah tube pass dalam shell sebanyak 1-10, standar desain
HE memiliki tube pass sebanyak 1, 2, 4. Jumlah pass tube ganjil jarang digunakan
karena dapat menyebabkan permasalahan mekanikal dan termal dalam proses fabrikasi
dan operasi.

Semakin banyak jumlah pass tube akan meningkatkan kecepatan aliran fluida
sisi tube dan heat transfer coefficient serta meminimalkan fouling, namun meningkat
pressure drop. Namun jika pressure drop tinggi tidak ditoleransi, dapat dipilih tube pass
lebih sedikit namun tube lebih panjang.
II-30

F. Fluks massa dan kecepatan aliran sisi tube


Fluks massa merupakan perbandingan laju massa terhadap luas bidang
perpindahan massa. Setelah jumlah dari tube dan laju massa fluida pada tube diketahui,
maka dapat diketahui fluks massa fluida pada sisi tube yaitu laju massa fluida sisi tube
dibagi dengan daerah aliran sisi tube per pass.
4 𝑚̇𝑡 𝑁𝑝
𝐺𝑡 = 2 ( ) (2.21)
𝜋 𝐷𝑖 𝑁𝑡
Di mana,
Gt : Fluks massa fluida sisi tube

Np : Jumlah tube pass

Di : Diameter dalam tube

Selain mengetahui laju massa fluida pada sisi tube, sangat penting untuk
mengetahui kecepatan aliran fluida sisi tube agar tidak melewati batas kecepatan aliran
fluida dalam tube. Kecepatan aliran maksimum fluida pada tube untuk menghindari
erosi dinding tube. Pada Tabel II.4 menunjukkan kecepatan aliran maksimum air pada
beberapa material tube. Untuk cairan lain selain air, nilai kecepatan aliran maksimum
0,5
dikali dengan faktor (𝜌𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟 /𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 ) .
𝑚̇ 𝑡 / 𝜌𝑡
𝑣=
𝑁𝑡 𝐷2 (2.22)
( )× 𝜋 × 𝑖
𝑁𝑝 4
Di mana,

v : Kecepatan aliran fluida dalam tube

 : Massa jenis fluida

Tabel II.4 Kecepatan maksimum pada material tube

Sumber: Serth, 2007


II-31

G. Bilangan Reynold sisi tube


Perhitungan bilangan Reynold penting dilakukan untuk mengetahui jenis aliran
fluida dalam tube apakah aliran laminar atau turbulen. Perhitungan bilang Reynold pada
sisi tube sebagai berikut.

𝐺𝑡 𝐷𝑖
𝑅𝑒𝑡 = (2.23)
𝜇𝑡

Di mana µ t merupakan viskositas fluida sisi tube dan Di merupakan diameter dalam
tube. Bilangan Reynold lebih baik dipilih aliran turbulen, karena dengan aliran turbulen
maka proses perpindahan panas menjadi lebih baik.

H. Heat transfer coefficient sisi tube


Setelah diketahui bilangan Reynold dari aliran fluida sisi tube, maka dapat
dihitung heat transfer coefficient pada sisi tube. Terdapat beberapa metode perhitungan
heat transfer coefficient pada sisi tube, namun lebih baik penggunaan metode
perhitungan tersebut disesuaikan dengan jenis aliran dari fluida sisi tube. Untuk aliran
turbulen (Re>10000) menggunakan persamaan heat transfer coefficient yang dijelaskan
oleh Sieder-Tate. Berikut ini merupakan persamaan Sieder-Tate.
𝐷𝑖
ℎ𝑖 = 0,023 𝑅𝑒𝑡 0,8 𝑃𝑟𝑡 0,33 ∅𝑡 0,14 (2.24)
𝑘𝑓.𝑡
Di mana,

kf.t : Konduktivitas termal fluida sisi tube

Pr : Bilangan Prandtl
𝜇 𝐶𝑝
𝑃𝑟 =
𝑘

∅𝑡 : Faktor koreksi viskositas fluida sisi tube


𝜇
∅=
𝜇𝑤

 : Viskositas fluida pada calorific termperature

w : Viskositas fluida pada tube wall temperature


II-32

Sedangkan untuk aliran laminar (Re>2000) umunya menggunakan persamaan


dengan bilangan Graetz (Gz). Menurut McCabe et al, mendefinisikan bilangan Graetz
dengan asumsi bentuk silindris, namun praktiknya bilangan ini tidak terbatas pada
bentuk silindris sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut (Price, 2003).
𝐷𝑖
𝐺𝑧 = 𝑅𝑒𝑡 𝑃𝑟𝑡 (2.25)
𝐿𝑡

Dengan itu maka terdapat dua kondisi yang terjadi pada aliran laminar, tergantung dari
besarnya bilangan Graetz. Untuk Gz kurang dari 100,

𝐷𝑖 0,085 𝐺𝑧
ℎ𝑖 = 3,66 + ∅ 0,14 (2.26.a)
𝑘𝑓.𝑡 1 + 0,047𝐺𝑧 2/3 𝑡

Untuk Gz lebih dari 100,


𝐷𝑖
ℎ𝑖 = 1,86 𝐺𝑧1/3 ∅𝑡 0,14 (2.26.b)
𝑘𝑓.𝑡

Kedua persamaan di atas perlu dikoreksi untuk proses konveksi natural.

Lalu menurut Kern, untuk persamaan heat transfer coefficient pada tube dengan
aliran transisi direkomendasikan menggunakan persamaan berikut.

2
𝐷𝑖 2 1 𝐷𝑖 3
ℎ𝑖 = 0,116 (𝑅𝑒𝑡 3 − 125)𝑃𝑟𝑡 3 (1 + ( ) ) ∅𝑡 0,14
𝑘𝑓.𝑡 𝐿𝑡 (2.27)

I. Pressure drop sisi tube


Fluida yang mengalir dalam tube akan menimbulkan resistansi akibat kekasaran
permukaan tube sehingga terjadi pressure drop sepanjang tube (∆𝑃𝑓 ). Perhitungan
pressure drop akibat gesekan diawali dengan menentukan faktor gesekan Darcy untuk
aliran fluida dalam tube dengan nilai bilangan Reynold tertentu yang dapat dilihat pada
lampiran, disertai dengan kekasaran permukaan relatif dan koreksi viskositas fluida.
Lalu faktor gesekan tersebut digunakan untuk mengevaluasi pressure drop pada aliran
dalam tube.
𝑓𝑡 𝐺𝑡 2 𝐿𝑡 𝑁𝑝
∆𝑃𝑓 =
2 𝑔 𝜌𝑡 𝐷𝑖 𝑆𝑡 ∅𝑡 (2.28)
II-33

Selain itu pressure drop juga terjadi pada nozzle baik pada masukkan maupun keluaran
yang besarnya sebagai berikut.

1,5 𝐺𝑡 2
∆𝑃𝑛 = (2.29)
2 𝑔 𝜌𝑡

Pada kasus HE multiple pass atau U-tube juga terjadi pressure drop pada
belokan tube, untuk itu perlu ditambahkan dengan return pressure loss (∆𝑃𝑟 ) yang
menghitung penurunan tekanan yang diakibatkan bundle tube, dan aliran pada belokan.

4 𝑁𝑝 𝐺𝑡 2
∆𝑃𝑟 = (2.30)
2 𝑔 𝜌𝑡

Sehingga, total pressure drop pada sisi tube dihitung dari penjumlahan persamaan
berikut.

∆𝑃𝑡 = ∆𝑃𝑛 + ∆𝑃𝑓 + ∆𝑃𝑟 (2.31)

Di mana,

ft : Faktor gesekan Darcy pada sisi tube

St : Specific gravity fluida sisi tube

𝑣 : Kecepatan aliran fluida sisi tube

II.5.5 Memodelkan sisi Shell

A. Diameter shell
Shell pada STHE dimanufaktur dalam berbagai standar ukuran, material dan
ketebalan. Biaya untuk produksi shell STHE lebih mahal dibanding dengan biaya dari
tube, sehingga perancang STHE mencoba untuk mengakomodasi area perpindahan
panas yang dibutuhkan dalam suatu shell dengan biaya yang lebih murah. Diameter shell
nominal dan ketebalan shell dijelaskan pada standar TEMA pada Tabel R-3.13 dan CB-
3.13. Permasalahan biasanya muncul dalam menginterpretasi ukuran shell, untuk
mempermudah dalam penentuan ukuran shell, terdapat tabel tube count yang tersedia
pada Tabel 9. referensi D.Q. Kern ‘Process Heat Transfer’ untuk beberapa tata letak
tube, diameter tube dan pitch tube.
II-34

B. Baffle
Baffle digunakan untuk menyangga tube, menjaga kecepatan aliran shell tetap
pada nilai yang diinginkan, dan mencegah kegagalan tube akibat vibrasi aliran. Terdapat
dua jenis baffle yaitu pelat dan batang. Baffle pelat dapat berbentuk satu segmen, dua
segmen, atau tiga segmen seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.15. Baffle segmen
tunggal dan dua segmen merupakan yang paling sering digunakan. Baffle tersebut
mengalihkan aliran lebih efisien pada seluruh tube. Baffle tiga segmen digunakan untuk
HE bertekanan rendah.

Gambar II.15 Jenis baffle


Sumber: Mukherjee, 1998
Salah satu parameter yang penting pada desain STHE adalah baffle spacing.
Baffle spacing adalah jarak antar dua baffle yang berdekatan. Standar TEMA
menentukan baffle spacing minimum sebesar 1/5 dari diameter dalam shell dan jarak
maksimum baffle spacing adalah sebesar diameter dalam shell.

0,2 < 𝐿𝑏𝑐 < 1


Jarak antar baffle yang terlalu jauh akan menyebabkan aliran fluida dominan menjadi
aliran longitudinal yang mana kurang efisien dibanding dengan aliran silang. Serta
adanya rentang tube yang tidak tersangga, yang mana akan membuat HE cenderung
terjadi kegagalan tube akibat vibrasi aliran. Jarak antar baffle yang dekat akan
menghasilkan heat transfer coefficient yang tinggi, namun terjadi pressure drop yang
tinggi pula serta menyulitkan dalam proses pembersihan bagian luar tube secara
mekanik.
II-35

Selain jarak baffle ada parameter lain yang cukup penting dalam mempengaruhi
aliran fluida pada sisi shell yaitu baffle cut. Baffle cut (Bc) seperti yang ditunjukkan pada
Gambar II.16 adalah tinggi dari segmen yang dipotong agar fluida sisi shell dapat
mengalir melalui baffle. Parameter ini ditunjukkan sebagai persentase dari diameter
dalam shell. Ukuran baffle cut bervariasi antara 15% hingga 45% dari diameter dalam
shell.

Gambar II.16 Baffle cut dan jenis baffle cut


Sumber: Mukherjee, 1998
Ukuran baffle cut yang terlalu besar atau terlalu kecil akan merugikan proses
perpindahan panas pada sisi shell karena besarnya deviasi dengan kondisi ideal seperti
yang ditunjukkan Gambar II.17. Maka dari itu sangat disarankan untuk menentukan
baffle cut sebesar 20% hingga 35%. Mengurangi baffle cut di bawah 20% akan
meningkatkan heat transfer coefficient atau meningkatkan baffle cut di atas 35% akan
mengurangi pressure drop sehingga akan desain HE akan menjadi kurang baik.

Gambar II.17 Efek dari baffle cut kecil dan baffle cut besar
Sumber: Mukherjee, 1998
II-36

Untuk fluida satu fase pada sisi shell, maka direkomendasikan menggunakan
baffle cut horizontal, karena mengurangi akumulasi deposit pada dasar shell. Namun,
pada kasus shell dua pass, baffle cut vertikal dipilih untuk memudahkan fabrikasi dan
pemasangan bundle. Sedangkan geometri baffle ditunjukkan pada Gambar II.18

Gambar II.18 Penampakan melintang baffle


Sumber: Thulukkanam, 2013
Dari Gambar II.18 diketahui beberapa parameter geometri pada baffle.

Centriangle dari baffle cut (𝜃𝑑𝑠 )


Centriangle dari baffle cut adalah sudut yang terbentuk pada titik pusat baffle
antara tepi baffle cut dengan diameter dalam shell. Berikut persamaan 𝜃𝑑𝑠 .

𝜃𝑑𝑠 = 2 cos−1 (1 − 2𝐵𝑐 ) (2.32)

Diameter centerline (Dctl)


Diameter centerline adalah diameter tube bundle yaitu diameter lingkaran yang
melewati titik tengah tube yang paling luar di dalam shell. Dengan menggunakan
persamaan 2.19 maka dapat ditentukan Dctl, berikut persamaannya.

4 ∙ 𝑁𝑡 ∙ 𝐶𝐿 ∙ 𝐿2𝑡𝑝
𝐷𝑐𝑡𝑙 = √ (2.33)
𝜋
II-37

Upper centriangle dari baffle cut (𝜃𝑐𝑡𝑙 )

Upper centriangle dari baffle cut adalah sudut yang terbentuk pada titik pusat
baffle antara tepi baffle cut dengan diameter tube bundle. Berikut persamaan 𝜃𝑐𝑡𝑙 .

𝐷𝑠 (1 − 2𝐵𝑐 )
𝜃𝑐𝑡𝑙 = 2 cos −1 [ ] (2.34)
𝐷𝑐𝑡𝑙

Diameter outerline (Dotl)


Diameter outerline adalah diameter luar tube bundle yaitu diameter lingkaran
yang melewati diameter luar tube yang paling luar di dalam shell. Berdasarkan Gambar
II.18 maka dapat ditentukan Dotl, berikut persamaannya.

𝐷𝑜𝑡𝑙 = 𝐷𝑐𝑡𝑙 + 𝐷𝑜 (2.35)

Clearance bundle ke shell (Lbb)


Karena tube bundle tidak mengisi shell seluruhnya, ada clearance antara tube
bundle dan shell sebagai tempat mengalirnya aliran C di sekitar tube bundle.
Berdasarkan Gambar II.18 maka dapat ditentukan Lbb, berikut persamaannya.

𝐿𝑏𝑏 = 𝐷𝑠 − 𝐷𝑜𝑡𝑙 (2.36)

C. Luas aliran sisi shell


Aliran fluida pada sisi shell dibagi menjadi beberapa aliran yang dicetuskan oleh
Tinker, seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.19.

Gambar II.19 Distribusi aliran fluida sisi shell


Sumber: Thulukkanam, 2013
II-38

 Aliran A adalah aliran bocor pada clearance antara tube dan lubang tube pada
baffle. Aliran ini terbentuk akibat perbedaan tekanan pada sisi baffle.

 Aliran B adalah aliran crossflow melalui tube bundle. Aliran ini merupakan yang
berpengaruh pada perpindahan panas dan pressure drop.

 Aliran C adalah aliran bypass bundle dan shell melalui ruang lingkaran antara tube
bundle dan shell. Aliran ini sedikit berpengaruh pada perpindahan panas karena
terjadi kontak dengan tube terluar pada tube bundle.

 Aliran E adalah aliran bocor pada clearance antara tepi baffle dan shell. Aliran ini
kurang berpengaruh pada perpindahan panas karena tidak ada kontak dengan tube.

Dari seluruh aliran yang terdapat pada sisi shell, maka berikut merupakan luas aliran
yang terdapat pada sisi shell.

Luas aliran crossflow (Sm)

Luas aliran crossflow shell merupakan luasan aliran shell minimum pada pusat
baffle dari bundle tube. Luas ini dihitung dengan persamaan berikut,

𝐷𝑐𝑡𝑙
𝑆𝑚 = 𝐿𝑏𝑐 [𝐿𝑏𝑏 + (𝐿𝑡𝑝 − 𝐷𝑜 )] (2.37)
𝐿𝑡𝑝.𝑒𝑓𝑓
Di mana nilai 𝐿𝑡𝑝.𝑒𝑓𝑓 untuk pola segitiga dan persegi digunakan 𝐿𝑡𝑝 , sedangkan untuk

pola rotated square 𝐿𝑡𝑝.𝑒𝑓𝑓 = 𝐿𝑡𝑝 /√2.

Luas aliran window (Sw)

Luas aliran window dalam suatu baffle merupakan luas baffle window yang tidak
dilalui oleh tube. Luas baffle window keseluruhan (𝑆𝑤𝑔 ) sebagai berikut,
1
𝑆𝑤𝑔 = 𝐷𝑠 2 (𝜃𝑑𝑠 − sin 𝜃𝑑𝑠 ) (2.38)
8
Jumlah luas tube yang melalui baffle window (𝑆𝑤𝑡 ) sebagai berikut,
𝜋
𝑆𝑤𝑡 = 𝑁𝑡 𝐹𝑤 𝐷𝑜 2 (2.39)
4
Di mana 𝐹𝑤 adalah fraksi dari tube yang melalui baffle window terhadap jumlah tube.

1
𝐹𝑤 = (𝜃 − sin 𝜃𝑐𝑡𝑙 ) (2.40)
2𝜋 𝑐𝑡𝑙
II-39

Sehingga luas aliran window yang melewati satu jendela baffle sebagai berikut,

𝑆𝑤 = 𝑆𝑤𝑔 − 𝑆𝑤𝑡 (2.41)

Luas aliran bypass bundle (Sb)

Luas bundle bypass flow adalah adalah luas antara tube yang paling luar dari titik
tengah shell dengan shell dalam suatu baffle space. Luasan ini merupakan bagian dari
luasan cross flow dan direpresentasikan dengan persamaan berikut.

𝑆𝑏 = 𝐿𝑏𝑐 (𝐿𝑏𝑏 + 𝐿𝑝𝑙 ) (2.42)

Di mana 𝐿𝑝𝑙 menunjukkan lebar aliran bypass pada jalur partisi tube, untuk perhitungan
standar 𝐿𝑝𝑙 bernilai 0.

Luas aliran bocor shell-baffle (Ssb)

Luas bocoran shell-baffle seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.18 di mana
terdapat clearance antara baffle dan shell 𝐿𝑠𝑏 . Luas bocoran shell-baffle dapat dihitung
dengan persamaan berikut.
1
𝑆𝑠𝑏 = 𝐷𝑠 𝐿𝑠𝑏 (𝜋 + 𝜃𝑑𝑠 ) (2.43)
2

Sedangkan 𝐿𝑠𝑏 adalah clearance antara shell dan baffle, nilai Lsb menurut TEMA
ditunjukkan pada Tabel II.5

Tabel II.5 Clearance antara shell dan baffle

Sumber: Tubular Exchanger Manufacturers Association, 1999

Luas aliran bocor tube-baffle (Stb)

Diameter lubang pada baffle yang merupakan tempat pemasangan tube lebih
besar daripada diameter tube tersebut, sehingga akan menyebabkan adanya aliran bocor
fluida shell dari celah tersebut. Luas aliran bocor tube-baffle adalah jumlah luasan dari
celah lubang tube pada baffle dalam satu baffle.
II-40

𝜋
𝑆𝑡𝑏 = [(𝐷𝑜 + 𝐿𝑡𝑏 )2 − 𝐷𝑜 2 ] 𝑁𝑡 (1 − 𝐹𝑤 ) (2.44)
4

Sedangkan 𝐿𝑡𝑏 adalah hole clearance antara tube dan baffle, menurut TEMA

𝐿𝑡𝑏 = 1/32 in untuk 𝐷𝑜 > 1,25 in

𝐿𝑡𝑏 = 1/64 in untuk 𝐷𝑜 < 1,25 in

D. Fluks massa sisi shell

Fluks massa pada sisi shell dapat dihitung dengan membagi laju massa total
fluida sisi shell dengan luas cross flow sisi shell. Fluks massa dihitung dengan
persamaan berikut.

𝑚̇𝑠
𝐺𝑠 = (2.45)
𝑆𝑚

E. Bilangan Reynold sisi shell

Perhitungan bilangan Reynold pada sisi shell dilakukan dengan cara yang sama
seperti pada sisi tube, namun berbeda diameter yang digunakan yaitu diameter ekuivalen
sisi shell. Berikut persamaan bilangan Reynold sisi shell.

𝐺𝑠 𝐷𝑒
𝑅𝑒𝑠 = (2.46)
𝜇𝑠
Di mana,

De : Diameter ekuivalen

𝜇𝑠 : Viskositas fluida sisi shell.

Berdasarkan definisi, jari-jari hidrolik adalah rasio dari luas penampang saluran
dari sebuah aliran fluida dengan keliling basahnya (keliling bagian dari penampang yang
terlalui fluida). Untuk mendapatkan korelasi sederhana dengan mengombinasikan
ukuran dan pola pitch tube, maka telah disepakati jika jari-jari hidrolik dihitung bukan
pada sumbu panjang tabung, namun tepat pada penampang lubang tube. Maka, diameter
ekuivalen pada sisi shell merupakan empat kali diameter hidrolik yang diperoleh dari
pola pitch tube yang ditentukan.

4 ∙ 𝑐𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑠𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑎𝑟𝑒𝑎


𝐷𝑒 = (2.47)
𝑤𝑒𝑡𝑡𝑒𝑑 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
II-41

Di mana untuk pitch pola persegi,


𝜋
Cross-sectional area = 𝐿𝑡𝑝 2 − (4 𝐷𝑜 2 )

𝜋
Wetted perimeter = 4 ( 4 𝐷𝑜 )

Maka diameter ekuivalen untuk pitch pola persegi sebagai berikut,

𝜋
4 (𝐿𝑡𝑝 2 − ( 4 𝐷𝑜 2 ))
(2.47.a)
𝐷𝑒 =
𝜋 𝐷𝑜

Sedangkan untuk pitch pola segitiga,


1 1 𝜋
Cross-sectional area = 𝐿 2 sin 60° − ( 𝐷𝑜 2 )
2 𝑡𝑝 2 4

𝜋
Wetted perimeter = 3 ( 6 𝐷𝑜 )

Maka diameter ekuivalen untuk pitch pola segitiga sebagai berikut,

𝜋
4 (𝐿𝑡𝑝 2 sin 60° − ( 4 𝐷𝑜 2 ))
(2.47.b)
𝐷𝑒 =
𝜋 𝐷𝑜

F. Heat transfer coefficient sisi shell

Dalam menentukan heat transfer coefficient pada sisi shell terdapat beberapa
metode, salah satunya adalah metode Bell-Delaware. Metode ini merupakan salah satu
metode yang paling kompleks dan yang paling lengkap. Pada metode diperhitungkan
pengaruh kebocoran dan aliran bypass pada shell menggunakan faktor koreksi empiris
untuk heat transfer coefficient dan pressure drop. Berikut ini merupakan persamaan
heat transfer coefficient sisi shell pada kondisi ideal.

𝐷𝑒
ℎ𝑜.𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 = 𝑗 𝐶𝑝ℎ 𝐺𝑠 𝑃𝑟 0,33 (∅𝑠 )𝑛 (2.48)
𝑘𝑓.ℎ

Di mana, j adalah faktor Colburn untuk kondisi ideal, yang didefinisikan sebagai
berikut.
𝑎
1.33
𝑗 = 𝑎1 ( ) 𝑅𝑒 𝑎2 (2.49)
𝐿𝑡𝑝 /𝐷𝑜
II-42

𝑎3
𝑎= (2.50)
1 + 0,14𝑅𝑒 𝑎4

Dengan nilai 𝑎, 𝑎1 , 𝑎2 , 𝑎3 , 𝑎4 didapat dari Tabel II.6

Tabel II.6 Konstanta pada persamaan

Sumber: Serth, 2007


Pada fluida gas, parameter viskositas merupakan fungsi dari temperatur namun
tidak begitu berpengaruh sehingga faktor koreksi viskositas sebagai berikut,
Untuk gas yang didinginkan ∅𝑠 𝑛 = 1
𝜇 0,25
Untuk gas yang dipanaskan ∅ 𝑠 𝑛 = (𝜇 )
𝑤

Pada heat transfer coefficient sisi shell yang ideal tidak memperhitungkan faktor
koreksi aliran bocor pada sisi shell. Heat transfer coefficient sisi shell aktual dapat
dihitung dengan memperhatikan faktor koreksi untuk kebocoran aliran sisi shell.
Analisis heat transfer coefficient sisi shell untuk aliran satu fasa digunakan persamaan
berikut.
ℎ𝑜 = ℎ𝑜.𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 ( 𝐽𝑐 𝐽𝑅 𝐽𝐿 𝐽𝐵 𝐽𝑆 ) (2.51)

Di mana,

𝐽𝐶 : Faktor koreksi untuk baffle window flow

𝐽𝑅 : Faktor koreksi untuk aliran laminar


II-43

𝐽𝐿 : Faktor koreksi untuk kebocoran baffle

𝐽𝐵 : Faktor koreksi untuk aliran bypass bundle

𝐽𝑆 : Faktor koreksi untuk baffle spacing tidak sama

Faktor untuk koreksi untuk aliran baffle window (𝐽𝐶 )


Faktor koreksi ini menunjukkan efek dari perpindahan panas dari aliran fluida
pada baffle window. Faktor koreksi ini direpresentasikan dengan persamaan linier
berikut.
𝐽𝑐 = 0,55 + 0,72 𝐹𝑐 (2.52)

Di mana 𝐹𝑐 adalah fraksi dari tube yang melalui baffle terhadap jumlah tube.

1
𝐹𝑐 = 1 + (sin 𝜃𝑐𝑡𝑙 − 𝜃𝑐𝑡𝑙 ) (2.53)
𝜋

Faktor koreksi untuk aliran laminar (𝐽𝑅 )


Faktor koreksi ini menghitung efek menurunnya heat transfer coefficient pada
aliran laminar dalam jarak tertentu dalam konteks ini adalah jumlah tube yang dilalui.
Faktor koreksi ini direpresentasikan dengan persamaan berikut.

10 0,18
𝐽𝑅 = (𝑁 ) untuk Re < 20 (2.54.a)
𝑐

10 0,18 20−𝑅𝑒𝑠 10 0,18


𝐽𝑅 = (𝑁 ) +( ) ((𝑁 ) − 1) untuk Re = 20-100 (2.54.b)
𝑐 80 𝑐

𝐽𝑅 = 1 untuk Re >100 (2.54.c)

Di mana Nc adalah jumlah tube yang menyilang dalam seluruh HE.

𝑁𝑐 = (𝑁𝑡𝑐𝑐 + 𝑁𝑡𝑐𝑤 )(𝑁𝑏 + 1) (2.55)

Sedangkan Ntcc adalah jumlah efektif tube yang melintas pada satu bagian aliran
crossflow
𝐷𝑠
𝑁𝑡𝑐𝑐 = − (1 − 2𝐵𝑐 ) (2.56)
𝐿𝑝𝑝

Serta Ntcw adalah jumlah efektif tube yang melintas pada satu bagian aliran window
II-44

0,8 𝐵𝑐 𝐷𝑐𝑡𝑙
𝑁𝑡𝑐𝑤 = (2.57)
𝐿𝑝𝑝

Faktor untuk koreksi untuk kebocoran baffle (𝐽𝐿 )


Faktor koreksi ini menunjukkan efek perpindahan panas dari aliran bocor dari
tube-baffle dan shell-baffle. Faktor koreksi ini dipresentasikan dengan persamaan
berikut.

𝐽𝐿 = 0,44(1 − 𝑟𝑠 ) + [1 − 0,44(1 − 𝑟𝑠 )] exp(−2.2𝑟𝑙 ) (2.58)

Di mana, rs adalah rasio antara luas aliran bocor shell-baffle dengan jumlah luas aliran
bocor.
𝑆𝑠𝑏
𝑟𝑠 = (2.59)
𝑆𝑠𝑏 + 𝑆𝑡𝑏

Sedangkan, rlm adalah rasio antara luas aliran bocor dengan luas aliran crossflow.

𝑆𝑠𝑏 + 𝑆𝑡𝑏
𝑟𝑙𝑚 = (2.60)
𝑆𝑚

Faktor untuk koreksi untuk aliran bypass bundle (𝐽𝐵 )


Faktor koreksi ini menunjukkan efek perpindahan dari aliran bypass bundle.
Faktor koreksi ini dipengaruhi rasio Fsbp dan jumlah sealing strips. Faktor koreksi ini
direpresentasikan dengan persamaan linier berikut.

𝐽𝐵 = exp[−𝐶𝑏ℎ 𝐹𝑠𝑏𝑝 (1 − 3√2𝑟𝑠𝑠 )] untuk 𝑟𝑠𝑠 < 0,5 (2.61.a)

𝐽𝐵 = 1,0 untuk 𝑟𝑠𝑠 > 0,5 (2.61.b)

Di mana 𝐹𝑠𝑏𝑝 adalah fraksi dari luas aliran bypass terhadap luas aliran crossflow.
𝐹𝑠𝑏𝑝 = 𝑆𝑏 /𝑆𝑚 (2.62)

Sedangkan, rss adalah rasio antara jumlah sealing strip dengan jumlah efektif tube yang
melintas pada satu bagian aliran crossflow.
𝑟𝑠𝑠 = 𝑁𝑠𝑠 /𝑁𝑡𝑐𝑐 (2.63)

𝐶𝑏ℎ = 1,35 untuk 𝑅𝑒 < 100

𝐶𝑏ℎ = 1,25 untuk 𝑅𝑒 > 100


II-45

Faktor untuk koreksi baffle spacing tidak sama (𝐽𝑆 )


Faktor koreksi ini bergantung dari jarak baffle serta jumlah baffle. Faktor koreksi
ini direpresentasikan dengan persamaan berikut.
(𝑁𝑏 − 1) + (𝐿𝑏𝑖 /𝐿𝑏𝑐 )(1−𝑛) + (𝐿𝑏𝑜 /𝐿𝑏𝑐 )(1−𝑛)
𝐽𝑠 = (2.64)
(𝑁𝑏 − 1) + (𝐿𝑏𝑖 /𝐿𝑏𝑐 ) + (𝐿𝑏𝑜 /𝐿𝑏𝑐 )

Di mana,
n = 0,6 untuk 𝑅𝑒 > 100

n = 1/3 untuk 𝑅𝑒 < 100

G. Pressure drop sisi shell


Pressure drop pada sisi shell yang dalam metode Delaware merupakan jumlah
dari pressure drop pada bagian inlet dan outlet serta bagian dalam setelah dilakukan
berbagai faktor koreksi. Pressure drop total sisi shell terdiri dari, pressure drop akibat
crossflow (∆𝑃𝑐 ), pressur drop pada window baffle (∆𝑃𝑤 ) dan pressure drop pada bagian
inlet dan outlet (∆𝑃𝑒 ).

∆𝑃𝑠 = ∆𝑃𝑐 + ∆𝑃𝑤 + ∆𝑃𝑒 (2.65)

Pressure drop crossflow


Di antara ujung baffle, pola aliran fluida dianggap aliran crossflow, lihat pada
Gambar II.22. Oleh karena itu, pressure drop pada tiap baffle space sama dengan
pressure drop ideal yang dikoreksi untuk efek kebocoran dan aliran bypass.

Gambar II.20 Jenis aliran untuk pressure drop sisi shell


Sumber: Thulukkanam, 2013

Pressure drop ideal pada sisi shell ditunjukkan dengan persamaan berikut.

2 𝑓𝑠 𝑁𝑡𝑐𝑐 𝐺𝑠 2
∆𝑃𝑏,𝑖 = (2.66)
𝑔 𝜌𝑠 𝑠
II-46

𝑏
1,33 𝐷𝑜
𝑓𝑠 = 𝑏1 ( ) 𝑅𝑒𝑠 𝑏2 (2.67)
𝐿𝑡𝑝

𝑏3
𝑏= (2.68)
1 + 0,14𝑅𝑒𝑠 𝑏4

Dengan nilai 𝑏, 𝑏1 , 𝑏2 , 𝑏3 , 𝑏4 didapat dari Tabel II.6

Pressure drop pada tiap tengah baffle diperoleh dengan mengalikan pressure
drop ideal dengan faktor-faktor koreksi untuk memperhitungkan kebocoran dan aliran
bypass, dan kemudian mengalikan dengan jumlah baffle space, maka berikut persamaan
pressure drop crossflow.

∆𝑃𝑐 = (𝑁𝐵 − 1)∆𝑃𝑏,𝑖 𝑅𝐿 𝑅𝐵 (2.69)

Di mana 𝑅𝐿 adalah faktor koreksi untuk bocoran aliran pada baffle, umumnya bernilai
0,4-0,5 bahkan bisa lebih rendah jika jarak antar baffle yang dekat.

𝑅𝐿 = exp[−1,33(1 + 𝑟𝑠 )(𝑟𝑙𝑚 )𝑝 ] (2.70)

𝑝 = 0,8 − 0,15(1 + 𝑟𝑠 ) (2.71)

Sedangkan 𝑅𝐵 adalah faktor koreksi untuk bocoran aliran pada baffle, umumnya bernilai
0,5-0,8 tergantung dari jenis konstruksi HE dan jumlah sealing strip. Nilai 𝑅𝐵 akan
rendah pada HE jenis pull-through floating head, dan akan lebih tinggi pada HE jenis
fixed tube.

𝑅𝐵 = exp[−𝐶𝑅 (𝐹𝑠𝑏𝑝 )(1 − 3√2𝑟𝑠𝑠 )] untuk 𝑟𝑠𝑠 < 0,5 (2.72.a)

𝑅𝐵 = 1 untuk 𝑟𝑠𝑠 > 0,5 (2.72.b)

𝐶𝑅 = 4,5 untuk 𝑅𝑒 < 100

𝐶𝑅 = 3,7 untuk 𝑅𝑒 > 100

Pressure drop windows


Pada baffle windows, cairan mengalami perubahan arah 180o, terdapat tambahan
pressure drop yang diakibatkan oleh gesekan baik itu dalam aliran laminar dan turbulen.
Pressure drop ideal dalam satu baffle windows untuk aliran turbulen ditunjukkan pada
persamaan berikut.
II-47

(2 + 0,6𝑁𝑡𝑐𝑤 )𝑚̇𝑠 2
∆𝑃𝑤,𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 = (2.73.a)
2 𝑔 𝜌 𝑆𝑚 𝑆𝑤

Sedangkan untuk aliran laminar sebagai berikut,

26 𝑣 𝑚̇𝑠 𝑁𝑡𝑐𝑤 𝐵𝑐 𝐷𝑠 𝑚̇𝑠 2


∆𝑃𝑤,𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 = [ + 2 ]+ 2𝑔𝜌𝑆 𝑆 (2.73.b)
𝑔 √𝑆𝑚 𝑆𝑤 𝐿𝑡𝑝 − 𝐷𝑜 𝐷𝑤 𝑚 𝑤

Perlu diperhatikan juga bahwa laju massa pada windows yang digunakan di sini, karena
kebocoran aliran tidak mengalir melalui windows dan juga, luas aliran yang digunakan
dalam area aliran windows, yaitu, √𝑆𝑚 𝑆𝑤 . Sedangkan diameter ekuivalen baffle
didefinisikan seperti diameter hidrolik yaitu 4 kali luas aliran dibagi dengan wet
perimeter semua tube di baffle windows.

4 𝑆𝑤
𝐷𝑤 = (2.74)
𝜋 𝐷𝑜 𝑁𝑡 × 0,51 (1 − 𝐹𝑐 ) + 𝐷𝑠 𝜃𝑠

Pressure drop pada semua baffle windows diperoleh dengan mengalikan


pressure drop windows ideal dengan jumlah baffle (Nb) dan faktor koreksi kebocoran,
RL. Tidak ada koreksi dibuat untuk aliran bypass karena aliran bypass dianggap
mengalir melalui windows bersama dengan aliran cross-flow utama. Maka berikut
persamaan pressure drop windows.

∆𝑃𝑤 = 𝑁𝐵 ∆𝑃𝑤,𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 𝑅𝐿 (2.74)

Pressure drop end zone


Baffle inlet dan outlet berbeda dalam beberapa hal dengan baffle tengah. Seperti
yang disebutkan sebelumnya, jarak baffle pada salah satu atau kedua akhir zona
mungkin berbeda dari jarak baffle tengah, agar dapat mengakomodasi nozzle pada sisi
shell atau lengkungan dalam U-tube HE. Sehingga, koreksi untuk kebocoran tidak
berlaku untuk ruang inlet dan outlet karena kebocoran aliran belum terjadi di inlet dan
telah kembali bercampur kembali dengan aliran utama di outlet. Pressure drop pada
inlet dan outlet baffle diperoleh dengan mengoreksi pressure drop ideal dengan faktor
koreksi aliran bypass dan faktor koreksi untuk jarak baffle yang tidak sama.

𝑁𝑡𝑐𝑤
∆𝑃𝑒 = 2∆𝑃𝑏,𝑖 (1 + )𝑅 𝑅 (2.75)
𝑁𝑡𝑐𝑐 𝐵 𝑆
II-48

Di mana 𝑅𝑆 adalah faktor koreksi untuk jarak baffle yang tidak sama. Kisaran praktis
𝑅𝑆 adalah sekitar 0,3 sampai 1,0. Ketika jarak baffle sama di seluruh shell, maka nilai
𝑅𝑆 adalah 1,0.

2−n 2−n
𝐿𝑏𝑐 𝐿
𝑅𝑆 = ( ⁄𝐿 ) + ( 𝑏𝑐⁄𝐿 ) (2.76)
𝑏𝑖 𝑏𝑜

II.5.6 Overall Heat Transfer Coefficient

Setelah menghitung heat transfer coefficient pada sisi tube dan sisi shell serta
menggunakan faktor fouling pada permukaan dalam maupun luar tube, maka dapat
dihitung overall heat transfer coefficient baik itu yang meliputi faktor kekotoran
maupun overall heat transfer coefficient bersih.

A. Clean overall heat transfer coefficient


Clean overall heat transfer coefficient (UC) adalah koefisien perpindahan panas
HE keseluruhan tanpa memperhatikan faktor pengotor.
1 1 1 1 𝐴𝑜
= ( ) ( ) + ( ) + 𝑅𝑤 (2.77)
𝑈𝐶 ℎ𝑜 𝐸𝑓 ℎ𝑖 𝐴𝑖
Di mana,
𝐴𝑜
: Rasio luas permukaan luar dan dalam tube
𝐴𝑖

𝐸𝑓 : Efisiensi sirip
𝑅𝑤 : Resistansi dinding tube mengacu permukaan luar tube
Untuk tube lurus
𝐷𝑜 𝐷𝑜
𝑅𝑤 = 𝑙𝑛 (2.78.a)
24 𝑘𝑚.𝑡 𝐷𝑖
Untuk tube dengan sirip
𝑡 𝐷𝑜 + 2 𝑁 ∙ 𝑤 (𝐷𝑜 + 𝑤)
𝑅𝑤 = (2.78.b)
12 𝑘𝑚.𝑡 (𝐷𝑜 − 𝑡)
𝑘𝑚.𝑡 : Konduktivitas termal tube
𝑁 : Jumlah sirip per inch
𝑤 : Tinggi sirip
II-49

B. Dirt factor
Dirt factor (RD) adalah total faktor kekotoran yang terdapat pada fluida yang
mengalir pada sisi tube dan fluida pada sisi shell. Adanya faktor kekotoran ini akan
mengurangi nilai perpindahan panas.

𝐴𝑜
𝑅𝐷 = 𝑅𝑓𝑜 + 𝑅𝑓𝑖 ( ) (2.79)
𝐴𝑖
Di mana,
𝑅𝑓𝑜 : Faktor fouling pada permukaan luar tube

𝑅𝑓𝑖 : Faktor fouling pada permukaan dalam tube

C. Dirt overall heat transfer coefficient


Dirt overall heat transfer coefficient (UD) adalah koefisien perpindahan panas
HE keseluruhan dengan menambahkan faktor pengotor baik pada fluida sisi tube
maupun fluida sisi shell.
1 1
= + 𝑅𝐷 (2.80)
𝑈𝐷 𝑈𝐶

Anda mungkin juga menyukai