LANDASAN TEORI
CNG Storage Plant merupakan sebuah sistem untuk menyimpan CNG dalam sebuah
bejana bertekanan, sehingga CNG tersebut dapat digunakan ketika diperlukan. Dasar
pembangunan CNG Storage Plant ini adalah untuk menyimpan sementara kelebihan
pasokan gas pada waktu beban rendah (low peak), lalu ketika kebutuhan gas meningkat saat
beban puncak (peak load) gas yang disimpan tersebut dikeluarkan untuk memenuhi
kebutuhan gas. Prinsip kerja dari CNG Storage Plant yaitu terdiri dari proses utama yaitu
kompresi dan dekompresi. Gambar II.1 merupakan skema dari sistem CNG Storage Plant
yang terdapat pada PLTG Muara Tawar.
Sebelum proses kompresi, CNG dari supplier masuk melalui plant inlet control yang
berfungsi untuk membatasi aliran gas yang masuk ke dalam CNG Storage Plant. Setelah itu
gas masuk ke Gas Pre-Treatment Unit di mana terdapat Scrubber dan Filter untuk
membersihkan kotoran-kotoran yang terkandung dalam gas, baik yang berupa partikel padat
maupun cair yang mudah terkondensasi. Setelah melalui Gas Pre-Treatment Unit, gas masuk
ke Gas Dryer Unit untuk mengurangi kadar air yang terkandung dalam gas, sehingga gas
yang masuk Gas Compressor benar-benar kering. Selanjutnya gas dikompresi menggunakan
Gas Compressor yang digerakkan menggunakan motor listrik hingga tekanan tinggi.
Setelah itu gas disimpan dalam CNG Storage Skid. Proses kompresi ini berlangsung ketika
saat beban rendah (low peak).
Gas Pre-
Plant Inlet
Treatment Gas Dryer
Control
Unit
Pressure
Tube Skid Gas
Regulator
Storage Compressor
Unit
Gas
Metering PLTG
Unit
Proses dekompresi dilakukan ketika hendak menggunakan CNG atau pada beban
puncak (peak load). Gas yang tersimpan di CNG Storage Skid tersebut didekompresi melalui
Pressure Regulator Unit (PRU) dengan tekanan keluar menyesuaikan dengan tekanan Gas
Receiving Station (GRS). Proses dekompresi ini melalui beberapa tahapan penurunan
tekanan untuk mencegah penurunan temperatur yang drastis (freezing) akibat penurunan
tekanan. Untuk menaikkan temperatur CNG sesuai dengan kebutuhan turbin gas maka
dilakukan pemanasan menggunakan heat exchanger dengan media air panas yang berasal
dari Hot Water Boiler. Hot Water Boiler ini memproduksi air panas untuk disirkulasikan
menggunakan circulating pump ke dalam heat exchanger pada PRU. Hot Water Boiler
tersebut memakai gas sebagai bahan bakar yang di-tapping dari Gas Pre-Treatment Unit.
Setelah gas keluar dari PRU, gas melewati Gas Mixing Unit dan Gas Metering Unit menuju
GRS kemudian digunakan sebagai bahan bakar turbin gas PLTG (Eriana & Rengga, 2014).
II.2 Kompresor
Kompresor merupakan mesin fluida untuk memampatkan gas atau udara. Kompresor
udara biasanya mengisap udara dari atmosfer, namun ada pula yang mengisap udara atau gas
yang bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer, dalam hal ini kompresor bekerja sebagai
penguat (booster). Sebaliknya ada pula kompresor yang mengisap gas yang bertekanan lebih
rendah dari tekanan lebih rendah dari atmosfer, dalam hal ini disebut pompa (Sularso &
Tahara, 2000). Kompresor berfungsi untuk meningkatkan tekanan fluida mampat, yaitu gas
dan udara. Tujuan meningkatkan tekanan fluida yaitu agar dapat mengalirkan fluida untuk
memenuhi kebutuhan proses dalam suatu sistem proses yang lebih besar.
II-3
Kompresor torak umumnya memiliki laju aliran fluida yang rendah, dengan laju
antara 100 hingga 10000 f3/m per silinder. Kompresor ini sangat cocok untuk aplikasi
tekanan tinggi, di mana tekanan keluaran tertinggi bisa mencapai 40.000 psi. Dengan
rasio tekanan melebihi 1 – 1,5, kompresor ini merupakan kompresor paling efisien di
antara kompresor jenis lain (Brown, 2005).
Prinsip kerja kompresor yang ideal ditunjukkan pada Gambar II.3, yang
menampilkan diagram indikator disertai ilustrasi beberapa silinder yang menjelaskan
pergerakan piston dan bukaan katup. Gambar tersebut menunjukkan diagram yang
membentuk siklus kompresi tertutup.
Untuk memulai siklus, mengacu pada gambar pada A, posisi di mana piston pada
titik mati bawah (TMB) dan pada titik 1 pada diagram indikator. Pada titik ini, silinder
telah terisi dengan gas pada tekanan masukkan P1 dan kedua katup tertutup. Pada B,
piston mulai bergerak menekan gas. Ini merupakan Langkah Kompresi gas dalam siklus
dan diilustrasikan dengan garis 1-2. Ketika piston mencapai titik 2 pada diagram
indikator, katup keluaran mulai terbuka. Langkah Buang dari siklus kompresi
ditunjukkan pada titik C. Hal ini ditunjukkan pada garis 2-3 dalam diagram indikator.
Pada proses ini katup keluaran terbuka selama periode ini sedangkan katup isap tetap
tertutup. Gas dikeluarkan pada tekanan keluaran P2. Ketika piston mencapai titik 3,
piston telah mencapai titik mati atas (TMA). Secara fisik, pada titik ini, terdapat ruang
II-5
antara kelapa piston dan ujung silinder. Ruang ini menyebabkan volume gas terjebak
dan biasa disebut clearance volume.
Proses kompresi gas dapat dilakukan menurut tiga cara yaitu proses isotermal,
adiabatik dan politropik (Sularso & Tahara, 2000). Namun siklus isotermal dan
adiabatik tidak dapat digunakan, siklus tersebut hanya digunakan sebagai dasar untuk
perhitungan dan analisis. Berikut in penguraian perilaku masing-masing proses.
A. Kompresi Isotermal
Kompresi isotermal terjadi ketika temperatur gas dijaga konstan seiring
peningkatan tekanan gas (Bloch, A Practical Guide to Compressor Technology, 2006).
Bila suatu gas dikompresikan, maka terdapat energi mekanik dari luar gas yang diubah
menjadi energi panas, sehingga temperatur gas meningkat. Untuk itu proses ini
memerlukan pembuangan panas hasil kompresi yang secara kontinu, agar temperatur
dapat dijaga konstan. Persamaan kompresi isotermal ditunjukkan sebagai berikut.
𝑝1 𝑉1 = 𝑝2 𝑉2 = konstan (2.1)
B. Kompresi Adiabatik
Kompresi adiabatik terjadi ketika tidak ada panas yang diterima atau dibuang
dari gas selama proses kompresi (Bloch, A Practical Guide to Compressor Technology,
2006). Persamaan kompresi adiabatik ditunjukkan sebagai berikut.
𝑝1 𝑉1 𝑘 = 𝑝2 𝑉2 𝑘 = konstan (2.2)
Di mana k adalah rasio dari panas spesifik (𝑐p /𝑐v ). Jika persamaan ini dibandingkan
dengan persamaan kompresi isotermal, maka dapat dilihat bahwa untuk pengecilan
volume yang sama, kompresi adiabatik akan menghasilkan tekanan yang lebih tinggi
daripada proses isotermal. Oleh karena itu maka kerja yang diperlukan untuk proses
adiabatik juga lebih besar.
Gambar II.4 menunjukkan siklus isotermal dan adiabatik tanpa clearance pada
basis p-V untuk rasio kompresi 4. Luas area ADEF menunjukkan kerja yang dibutuhkan
ketika kompresor beroperasi pada basis isotermal, dan luas area ABEF menunjukkan
kerja yang dibutuhkan kompresor yang beroperasi pada basis adiabatik. Tentu area
isotermal lebih sedikit dibanding adiabatik dan mungkin dapat menjadi siklus kompresi
yang ekonomis
II-7
C. Kompresi Politropik
Pada kenyataannya siklus isotermal tidak dapat dipraktikkan karena meskipun
silinder didinginkan sepenuhnya tetap saja tidak dapat menjaga temperatur gas konstan.
Begitu pula dengan siklus adiabatik yang tidak dapat diperoleh, karena pasti terdapat
panas yang dibuang ataupun ditambahkan ke dalam gas selama proses kompresi.
Sehingga proses kompresi beroperasi di antara keduanya yang disebut siklus politropik
(Bloch, A Practical Guide to Compressor Technology, 2006). Persamaan kompresi
politropik sebagai berikut.
𝑝1 𝑉1 𝑛 = 𝑝2 𝑉2 𝑛 = konstan (2.3)
Penentuan kapasitas kompresor yang tepat merupakan aspek yang paling sulit
dari pemilihan kompresor. Banyak istilah yang digunakan untuk menunjukkan kapasitas
gas selain itu juga kadang kompresor beroperasi dalam berbagai kondisi operasi yang
mengakibatkan rentang kapasitas kompresor yang luas. Kesulitan dari pengukuran
volume gas yaitu karena sifat gas yang kompresibel, hal ini berarti bahwa sejumlah
molekul gas dapat menempati volume yang berbeda-beda.
Umumnya terdapat berbagai cara untuk menentukan volume gas – lb/h, SCFM,
MCFD, MSCFD, ACFM, ICFM. Satuan metrik yang biasa digunakan seperti kg/h,
Nm3/h, Im3/h. Sedangkan pada kompresor liquefied gas memiliki kapasitas yang
ditunjukkan dengan laju volume cairan (GPM atau m3/h)
1. ICFM
2. ACFM
Actual Cubic Feet per Minute (ACFM) merupakan volume gas aktual yang
terjadi pada kondisi tekanan dan temperatur tertentu. Jika tekanan dan temperatur gas
memiliki kondisi yang sama pada sisi masukkan kompresor maka ACFM akan sama
dengan ICFM. Jika kondisi tekanan dan temperatur gas pada kondisi yang berbeda
dengan sisi masukkan maka gunakan persamaan berikut.
𝑃𝑟𝑒𝑓 𝑇𝑠
𝐼𝐶𝐹𝑀 = 𝐴𝐶𝐹𝑀 ( )( ) (2.4)
𝑃𝑠 𝑇𝑟𝑒𝑓
3. SCFM
Standard Cubic Feet per Minute (SCFM) merupakan volume gas yang mengacu
dengan nilai standar tekanan dan temperatur gas. Referensi standar yang disetujui untuk
SCFM yaitu 1.014 bar dan 273 K.
𝑃𝑠𝑡𝑑 𝑇𝑠
𝐼𝐶𝐹𝑀 = 𝑆𝐶𝐹𝑀 ( )( ) (2.5)
𝑃𝑠 𝑇𝑠𝑡𝑑
II-9
4. lb/hr
𝑍 . 𝑅𝑢 . 𝑇𝑠
𝐼𝐶𝐹𝑀 = (2.6)
60 𝑀𝑊 . 𝑃𝑠
Di mana,
𝑍 = Kompresibilitas gas
𝑅𝑢 = Konstanta gas
5. GPM
Satuan ini merupakan kapasitas yang sering digunakan pada kompresor liquefied
gas. Konversi satuan ini menjadi ICFM membutuhkan beberapa asumsi tambahan atau
menggunakan data tambahan terkait penggunaannya.
𝑃𝑑 1 𝑓𝑡 3
𝐼𝐶𝐹𝑀 = 𝐺𝑃𝑀 ( ) ( ) (2.7)
𝑃𝑠 7,48 𝑔𝑎𝑙
𝑃𝑑 (𝑎𝑏𝑠)
𝑟= (2.8)
𝑃𝑠 (𝑎𝑏𝑠)
Di mana,
Pd = Tekanan keluaran kompresor
Ps = Tekanan masukkan kompresor
Jika nilai rasio kompresi hasil perhitungan bernilai lebih dari 5, maka kompresor
membutuhkan konfigurasi kompresor multi tahap (Bloch, A Practical Guide to
Compressor Technology, 2006).
II-10
𝑠
𝑟𝑠 = √ 𝑟𝑡 (2.9)
II-11
Di mana,
s = Jumlah tahap
𝑟𝑡 = Rasio kompresi keseluruhan
𝑇d 𝑝d (𝑘−1)/𝑘
=( ) = 𝑟 (𝑘−1)/𝑘 (2.10)
𝑇s 𝑝s
Di mana,
Efisiensi volumetrik adalah rasio dari sejumlah gas yang dikompresi terhadap
ukuran fisik dari volume silinder kompresor. Efisiensi volumetrik bervariasi pada rasio
kompresi yang berbeda, di mana dari nilai tersebut digunakan untuk menentukan
kapasitas aktual. Efisiensi volumetrik juga bervariasi pada batas tertentu dengan nilai
kompresi adiabatik dan berat molekul gas yang dikompresi. Kerugian volumetrik
terbesar terjadi karena ruang clearance pada silinder kompresor. Bagaimanapun
kerugian lain meskipun kurang penting namun juga berpengaruh pada kapasitas
kompresor (Bloch & Hoefner, Reciprocating Compressors: Operation and Maintenance,
1996).
II-12
1
𝑣 = 100 − 𝐶 (𝑟 𝑘 − 1) (2.11.a)
Alasan kedua untuk modifikasi dari jumlah volume yang dikompresikan pada
kondisi sebenarnya tidak dapat mencapai apa yang diprediksi oleh kinerja volumetrik
pada Persamaan 2.10, nilai 100 pada persamaan tersebut tidak dapat tercapai karena
silinder tidak dapat terisi secara sempurna. Simbol L ditambahkan untuk menunjukkan
kerugian yang disebabkan slip gas pada piston ring pada berbagai tipe konstruksinya,
pressure drop pada katup, friksi gas dan kebocoran internal. Berikut merupakan
persamaan efisiensi volumetrik yang telah dimodifikasi,
1
𝑣 = 100 − 𝐶 (𝑟 𝑘 − 1) − 𝐿 (2.11.b)
Di mana,
C = Clearance
L = Kerugian
Gambar II.6 Pengaruh clearance dan komponen adiabatik pada efisiensi volumetrik
Sumber: Bloch, 2006
II-13
II.3 Intercooler
Intercooler merupakan komponen untuk membuang panas hasil kompresi gas pada
kompresor multi tahap (Bloch, A Practical Guide to Compressor Technology, 2006). Dengan
penggunaan intercooler ini akan mengurangi energi yang digunakan untuk proses kompresi,
karena terjadi pengurangan volume spesifik gas pada proses pendinginan. Idealnya
temperatur masukkan dari tiap tahap kompresor multi tahap harus sama dengan temperatur
masukkan tahap pertama, hal tersebut disebut, pendinginan sempurna atau kompresi
isotermal. Namun dalam praktiknya, temperatur gas masukkan pada tahap lanjutan lebih
tinggi dari normalnya sehingga konsumsi daya lebih besar karena volume gas yang lebih
besar pada daya yang sama. Umumnya pendingin gas dengan cairan digunakan karena nilai
perpindahan panas yang tinggi dibanding dengan pendingin gas dengan udara. Pendingin
gas dengan cairan biasanya menggunakan air sebagai medianya.
Gas yang dikompresi mungkin mengandung air di dalamnya yang dapat mengganggu
proses kompresi. Pendinginan gas hingga di bawah temperatur awalnya akan
memisahkan uap pada titik cairnya sehingga meningkatkan kualitas gas.
Meningkatkan efisiensi dari proses kompresi karena daya yang dibutuhkan untuk
kompresi tahap selanjutnya berkurang.
Heat exchanger (HE) adalah peralatan yang memfasilitasi perpindahan panas antara
dua fluida yang berbeda temperatur dengan menjaga kedua fluida tersebut tanpa tercampur
satu sama lain (Cengel, 2002). Heat exchanger biasanya digunakan untuk berbagai macam
keperluan, mulai dari pemanasan dan pengaturan udara pada perumahan, proses kimia dan
pembangkitan listrik. Heat exchanger dimanufaktur dalam berbagai macam bentuk, salah
satu yang paling sering digunakan dalam industri adalah Shell and Tube Heat exchanger
seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.7. Shell and Tube Heat exchanger (STHE) terdiri
dari banyak tube yang dipasang pada shell dengan sumbu paralel dengan shell tersebut.
II-14
Perpindahan panas pada heat exchanger biasanya melibatkan proses konveksi pada
tiap fluida dan proses konduksi melalui dinding pemisah antara kedua fluida. Nilai
perpindahan panas antara kedua fluida terletak dalam sebuah heat exchanger tergantung
besarnya nilai perbedaan temperatur pada heat exchanger tersebut. Perpindahan panas
terjadi dalam shell ketika suatu fluida mengalir di dalam tube dan fluida yang lain mengalir
di luar tube (Cengel, 2002).
STHE dibagi menjadi 3 bagian : front head, shell dan rear head. Gambar II.8
menunjukkan nomenklatur TEMA (Tubular Exchanger Manufactures Association)
yang menjelaskan berbagai jenis konstruksi STHE yang dideskripsikan dengan kode
huruf untuk tiap bagiannya.
Gambar II.8 Jenis shell and tube heat exchanger berdasarkan standar TEMA
Sumber: Mukherjee, 1998
II-16
1. Kelas R, heat exchanger yang digunakan pada industri perminyakan dan peralatan
yang berhubungan dengan proses tersebut.
Heat exchanger kelas R, C dan B tersebut merupakan kategori unfired shell and tube
heat exchanger.
Heat exchanger fixed tube sheet memiliki tube lurus yang tiap ujungnya
terpasang pada tube sheet dan disambung dengan mengelas pada shell. Keuntungan dari
penggunaan jenis HE ini yaitu biaya produksi yang rendah, karena konstruksinya yang
sederhana. Faktanya jenis HE ini merupakan jenis konstruksi yang paling murah selama
tidak menggunakan expansion joint. Keuntungan lainnya yaitu tube dapat dibersihkan
secara mekanik setelah pelepasan cover channel atau bonnet, dan juga kebocoran pada
sisi shell dapat diminimalkan karena tidak menggunakan flanged joints.
Kekurangan dari konstruksi ini yaitu karena bundle telah dipasang secara
permanen dalam shell dan tidak dapat dilepas, sehingga bagian luar tube tidak dapat
dibersihkan secara mekanik. Dengan demikian, penggunaan konstruksi ini terbatas pada
proses pembersihan pada sisi shell. Namun, jika pembersihan secara kimia dapat
dilakukan, maka konstruksi ini dapat dipilih. Jika terjadi perbedaan temperatur yang
tinggi antara tube dan shell, maka tube sheet tidak mampu menyerap perbedaan tekanan,
sehingga diperlukan expansion joint yang mana dengan itu maka mengurangi
keuntungan biaya rendah.
II-17
2. U-tube
Keuntungan dari konstruksi ini adalah karena adanya salah satu ujung tube yang
bebas sehingga bundle dapat memuai dan berkontraksi jika terjadi perbedaan regangan.
Selain itu juga bagian luar tube dapat dibersihkan karena penutup tube dapat dilepas.
II-18
Sedangkan salah satu kerugian dari konstruksi ini adalah bagian dalam tube tidak dapat
dibersihkan secara efektif, karena bentuk lengkungan U. Dengan demikian konstruksi
ini tidak boleh digunakan untuk penggunaan dengan fluida kotor pada sisi tube.
3. Floating head
Heat exchanger floating head merupakan jenis yang paling serba guna dan juga
yang paling mahal. Dalam konstruksi ini, salah satu tube sheet dipasang permanen pada
shell dan tube sheet lainnya dibiarkan ‘melayang’ dalam shell. Dengan itu bundle tube
dapat berekspansi dan tube dapat dibersihkan pada bagian dalam dan luar. Dengan
demikian pada konstruksi ini dapat digunakan untuk fluida kotor pada sisi tube maupun
sisi shell-nya. Konstruksi ini merupakan standar untuk penggunaan dirty service seperti
pada kilang minyak. Ada beberapa jenis konstruksi floating head. Dua jenis paling
sering digunakan adalah pull through dengan backing device (TEMA S) dan pull
through (TEMA T). Konstruksi TEMA S adalah konstruksi yang paling umum
digunakan pada industri kimia proses.
Keuntungan dari konstruksi ini yaitu bundle tube dapat dilepas dari shell tanpa
harus membongkar shell ataupun pelindung floating head, sehingga mengurangi waktu
maintenance. Namun karena ukuran shell yang lebih besar sehingga konstruksi ini
membutuhkan biaya yang paling tinggi dibanding konstruksi yang lain. Selain itu,
karena konstruksi ini rentan terhadap kebocoran, maka penggunaan konstruksi ini
terbatas pada penggunaan fluida pada sisi shell yang tidak berbahaya dan tidak beracun
serta memiliki tekanan 40 kg/cm2 dan temperatur 300oC.
II-19
Ada beberapa panduan praktis tentang perancangan STHE yang dapat menghasilkan
desain STHE yang optimal. Mengingat bahwa kerja utama dari STHE yaitu untuk
melakukan proses perpindahan panas dengan biaya yang rendah serta ketersediaan yang
baik, maka desain termal yang optimal dari STHE melibatkan beberapa penyesuaian dari
beberapa parameter desain yang saling berinteraksi.
Penentuan dari fluida kerja harus menjadi perhatian utama dalam perancangan.
Terdapat banyak pertimbangan dalam penentuan fluida kerja seperti heat transfer
coefficient, pressure drop, kecenderungan fouling dan tekanan kerja. Selain itu juga
penempatan fluida kerja panas dan dingin pada sisi shell ataupun sisi tube merupakan
hal yang harus diperhatikan (Gupta, 2013). Berikut adalah beberapa pertimbangan
penempatan fluida yang disimpulkan pada Tabel II.1.
Dengan estimasi nilai overall heat transfer coefficient dari Tabel II.2 maka dapat
dihitung luas perpindahan panas yang dibutuhkan. Namun, prosedur yang agak lebih
baik yaitu jika dapat menentukan nilai heat transfer coefficient individu (hi dan ho) dan
menggunakan nilai tersebut untuk menghitung overall heat transfer coefficient.
II-20
Faktor fouling juga dapat dilihat sebagai faktor keamanan dalam prosedur desain
HE. Lebih tepatnya faktor fouling harus ditentukan sehingga HE dapat memiliki periode
operasi yang cukup sebelum waktu untuk pembersihan. Periode operasi harus
mencukupi untuk memastikan proses pembersihan HE bertepatan dengan penghentian
proses operasi (shutdown) terjadwal. Selain itu HE cadangan mungkin diperlukan untuk
uninterrupted service, jika dilakukan proses pembersihan HE.
Faktor fouling ditentukan secara baik melalui pengalaman dengan unit yang
sama pada aplikasi yang sama. Tabel yang paling komprehensif dari faktor fouling salah
satunya dikembangkan oleh TEMA. Fouling merupakan proses kompleks yang dapat
dipengaruhi oleh beberapa variabel yang tidak terhitung secara spesifik pada tabel
tersebut. Umumnya terdapat 6 jenis mekanisme fouling yang telah diketahui (Serth,
2007), antara lain:
Korosi Polimerisasi
Kristalisasi Sedimentasi
Dekomposisi Aktivitas biologi
Perpindahan yang terjadi pada HE merupakan proses konveksi panas dari fluida
panas ke dinding luar tube, lalu proses konduksi melalui dinding tube, lalu proses
konveksi dari dinding tube ke fluida dingin. Parameter yang mendorong terjadi
perpindahan panas adalah perbedaan temperatur pada aliran panas dan dingin. Untuk
menjelaskan proses keseluruhan tersebut, overall heat transfer coefficient, U
dirumuskan dengan persamaan berikut,
𝑞 = 𝑈 ∙ 𝐴 ∙ 𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 (2.12)
𝑞ℎ = 𝑞𝑐 (2.13)
II-22
Dengan perhitungan panas tiap komponen pada fluida panas sebagai berikut,
Di mana,
q : Heat duty
Cp : Panas spesifik
𝐺𝑇𝑇𝐷 − 𝐿𝑇𝑇𝐷
𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 =
𝐺𝑇𝑇𝐷 (2.15)
𝑙𝑛 𝐿𝑇𝑇𝐷
Dengan GTTD dan LTTD merupakan perbedaan temperatur di antara kedua fluida pada
kedua terminal dari HE, di mana GTTD (Greater Terminal Temperature Difference)
II-23
merupakan perbedaan temperatur terminal yang lebih besar, sedangkan LTTD (Lesser
Terminal Temperature Difference) merupakan perbedaan temperatur terminal yang
lebih kecil .
Dari Gambar II.12 dapat dilihat bahwa pada HE terdapat 2 jenis konfigurasi
aliran yaitu parallel-flow dan counter-flow. Dengan melihat grafik pada Gambar II.12
maka dapat ditentukan nilai GTTD dan LTTD dari masing-masing konfigurasi aliran
serta dijelaskan dengan persamaan berikut.
Parallel flow
Counter flow
Gambar II.12 Perbedaan arah aliran dan profil temperatur pada heat exchanger
a) Parallel flow; b) Counter flow
Sumber: Cengel, 2004
II-24
Nilai faktor koreksi (FT) ini bergantung dari konfigurasi shell dan tube yang digunakan.
Nilai faktor koreksi tersebut didapat menggunakan persamaan berikut,
(1 − 𝑃)
√𝑅 2 + 1 ∙ 𝑙𝑛
(1 − 𝑅𝑃)
𝐹𝑇 = (2.17)
2 − 𝑃(𝑅 + 1 − √𝑅 2 + 1)
(𝑅 − 1) ∙ 𝑙𝑛
2 − 𝑃(𝑅 + 1 + √𝑅 2 + 1)
Di mana,
𝑇𝑐.𝑜𝑢𝑡 − 𝑇𝑐.𝑖𝑛
𝑃= (2.17.a)
𝑇ℎ.𝑖𝑛 − 𝑇𝑐.𝑖𝑛
𝑇ℎ.𝑖𝑛 − 𝑇ℎ.𝑜𝑢𝑡
𝑅= (2.17.b)
𝑇𝑐.𝑜𝑢𝑡 − 𝑇𝑐.𝑖𝑛
Nilai faktor koreksi juga dapat ditentukan menggunakan grafik faktor koreksi sesuai
dengan konfigurasi shell dan tube dan jenis aliran yang sesuai pada standar TEMA.
Ukuran tube yang paling sering digunakan adalah ¾ inch dan 1 inch. Untuk
fluida kerja air disarankan menggunakan ¾ inch dengan 16 BWG (British Wire Gauge).
Sedangkan untuk fluida kerja minyak tanpa fouling disarankan menggunakan ¾ inch
II-25
dengan 14 BWG, sedangkan jika terdapat fouling maka disarankan menggunakan 1 inch
dengan 14 BWG (Serth, 2007).
Panjang tube juga berpengaruh pada biaya dan operasi dari HE. Semakin
panjang tube pada luas perpindahan panas tertentu maka lebih sedikit tube yang
diperlukan, diameter shell juga akan berkurang sehingga akan mengurangi biaya
konstruksi. Tube yang dipilih memiliki panjang antara 8 sampai 20 ft, pembersihan
mekanik terbatas pada tube dengan panjang maksimal 20 ft.
Untuk dapat menghantarkan panas dengan baik, material tube harus memiliki
konduktivitas termal yang baik. Karena panas dihantarkan dari fluida panas ke fluida
dingin melalui tube, terdapat perbedaan temperatur pada ketebalan tube. Material tube
juga harus sesuai dengan fluida sisi tube dan shell untuk jangka waktu yang lama dalam
kondisi operasinya (temperatur tekanan, pH, dll) untuk meminimalkan detiorasi seperti
korosi
Tabel II.3 Penentuan material tube untuk fluida tidak korosif dan korosif
Material Heat exchanger Type or Type of Service
Non-Corrosive Service
Aluminum and austenitic Ni-Cr steel Any Heat exchanger Type, T<-100°C
3 ½ Ni steel Any Heat exchanger Type, -100°C <T<-45°C
Carbon steel, impact tested Any Heat exchanger Type, -45°C <T<0°C
Carbon steel Any Heat exchanger Type, 0°C <T<500°C
Refractory lined steel Shell and Tube, T>500°C
Corrosive Service
Carbon steel Mildly corrosive fluid, tempered cooling water
Austenitic Ni-Cr steel Corrosion resistance duties
Aluminum Mildly corrosive fluid
Fresh water cooling in surface condenser, sea
Copper alloy, admiralty aluminum brass
water cooling
Titanium See water coolers and condensers
Glass Air preheaters for large furnaces
Carbon Severely corrosive services
Coating aluminum epoxy resin Exposure to sea and buckish water
Lining, lead and rubber Channels for sea water coolers
Lining, austenitic Ni-Cr steel General corrosion resistance
𝐿𝑡𝑝 = 𝐷𝑜 + 𝐶′ (2.18)
Untuk pola segitiga, TEMA menentukan pitch tube minimal sebesar 1,25 kali diameter
luar tube. Dengan demikian, untuk diameter luar tube 20 mm maka memiliki pitch
sebesar 25 mm. Sedangkan untuk pola persegi, TEMA merekomendasikan jalur
pembersihan sebesar ¼ inch (~6 mm) antara tube yang berdekatan. Dengan demikian
pitch tube minimal untuk pola persegi antara 1,25 kali diameter luar tube atau diameter
luar tube ditambah ¼ inch. Misalnya untuk diameter luar tube 20 mm maka pitch tube
dapat sebesar 26 mm atau 31,25 mm. Gambar II.13 menunjukkan pitch tube pada pola
segitiga dan persegi.
II-27
Tata letak 30o memiliki densitas tube yang paling tinggi, sehingga tata letak ini
memiliki bidang perpindahan panas yang paling besar dalam shell. Tata letak ini juga
memiliki efektivitas penurunan tekanan yang tinggi untuk proses perpindahan panas.
Dengan itu, tata letak 30o merupakan pilihan utama ketika memilih tata letak tube yang
sesuai. Namun pada tata letak ini akan menyebabkan pressure drop yang tinggi pada
pitch tube tertentu.
Tata letak 45° juga memiliki efektivitas penurunan tekanan yang tinggi untuk
proses perpindahan panas. Namun, ketika membandingkan dengan tata letak 30°, tata
letak ini tidak lebih menguntungkan, karena pada tata letak ini hanya dapat memuat
sekitar 85% dari tube dalam shell yang diberikan. Keuntungan dari tata letak 45° adalah
pressure drop pada pitch tertentu yang lebih rendah dibanding tata letak 30o.
Keuntungan lain dari tata letak 45° yaitu dapat dilakukan pembersihan shell secara
mekanik, jika clearance antara tube cukup (kira-kira 7 mm).
Tata letak 90° tidak boleh digunakan pada HE dengan aliran laminar pada sisi
shell, namun memiliki efektivitas penurunan tekanan yang tinggi untuk proses
perpindahan panas pada aliran turbulen. Tata letak ini juga dapat dilakukan pembersihan
sisi shell secara mekanik. Tata letak 90° dianggap sebagai alternatif untuk tata letak 30°
atau 45°, terutama jika menginginkan pressure drop yang rendah.
Gambar II.14 Pola tata letak tube: a) 30o; b) 60o; c) 90o; d) 45o.
Sumber: Thulukkanam, 2013
II-29
D. Jumlah tube
Jumlah tube dalam shell dapat diprediksikan sebagai fungsi dari luas area
proyeksi dari sisi shell yang terlingkupi oleh lingkar luar dari kumpulan tube dan
membaginya dengan luas area proyeksi dari tata letak tube yang digunakan.
𝜋
∙ 𝐷𝑐𝑡𝑙 2
𝑁𝑡 = 4 (2.19)
𝐶𝐿 ∙ 𝐿2𝑡𝑝
Di mana, Dctl adalah diameter tube bundle yaitu diameter lingkaran yang melewati titik
tengah tube yang paling luar di dalam shell. Sedangkan CL adalah konstanta tata letak
tube yang bergantung dari bentuk tata letak tube baik itu persegi atau segitiga.
Lt : Panjang tube
Semakin banyak jumlah pass tube akan meningkatkan kecepatan aliran fluida
sisi tube dan heat transfer coefficient serta meminimalkan fouling, namun meningkat
pressure drop. Namun jika pressure drop tinggi tidak ditoleransi, dapat dipilih tube pass
lebih sedikit namun tube lebih panjang.
II-30
Selain mengetahui laju massa fluida pada sisi tube, sangat penting untuk
mengetahui kecepatan aliran fluida sisi tube agar tidak melewati batas kecepatan aliran
fluida dalam tube. Kecepatan aliran maksimum fluida pada tube untuk menghindari
erosi dinding tube. Pada Tabel II.4 menunjukkan kecepatan aliran maksimum air pada
beberapa material tube. Untuk cairan lain selain air, nilai kecepatan aliran maksimum
0,5
dikali dengan faktor (𝜌𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟 /𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 ) .
𝑚̇ 𝑡 / 𝜌𝑡
𝑣=
𝑁𝑡 𝐷2 (2.22)
( )× 𝜋 × 𝑖
𝑁𝑝 4
Di mana,
𝐺𝑡 𝐷𝑖
𝑅𝑒𝑡 = (2.23)
𝜇𝑡
Di mana µ t merupakan viskositas fluida sisi tube dan Di merupakan diameter dalam
tube. Bilangan Reynold lebih baik dipilih aliran turbulen, karena dengan aliran turbulen
maka proses perpindahan panas menjadi lebih baik.
Pr : Bilangan Prandtl
𝜇 𝐶𝑝
𝑃𝑟 =
𝑘
Dengan itu maka terdapat dua kondisi yang terjadi pada aliran laminar, tergantung dari
besarnya bilangan Graetz. Untuk Gz kurang dari 100,
𝐷𝑖 0,085 𝐺𝑧
ℎ𝑖 = 3,66 + ∅ 0,14 (2.26.a)
𝑘𝑓.𝑡 1 + 0,047𝐺𝑧 2/3 𝑡
Lalu menurut Kern, untuk persamaan heat transfer coefficient pada tube dengan
aliran transisi direkomendasikan menggunakan persamaan berikut.
2
𝐷𝑖 2 1 𝐷𝑖 3
ℎ𝑖 = 0,116 (𝑅𝑒𝑡 3 − 125)𝑃𝑟𝑡 3 (1 + ( ) ) ∅𝑡 0,14
𝑘𝑓.𝑡 𝐿𝑡 (2.27)
Selain itu pressure drop juga terjadi pada nozzle baik pada masukkan maupun keluaran
yang besarnya sebagai berikut.
1,5 𝐺𝑡 2
∆𝑃𝑛 = (2.29)
2 𝑔 𝜌𝑡
Pada kasus HE multiple pass atau U-tube juga terjadi pressure drop pada
belokan tube, untuk itu perlu ditambahkan dengan return pressure loss (∆𝑃𝑟 ) yang
menghitung penurunan tekanan yang diakibatkan bundle tube, dan aliran pada belokan.
4 𝑁𝑝 𝐺𝑡 2
∆𝑃𝑟 = (2.30)
2 𝑔 𝜌𝑡
Sehingga, total pressure drop pada sisi tube dihitung dari penjumlahan persamaan
berikut.
Di mana,
A. Diameter shell
Shell pada STHE dimanufaktur dalam berbagai standar ukuran, material dan
ketebalan. Biaya untuk produksi shell STHE lebih mahal dibanding dengan biaya dari
tube, sehingga perancang STHE mencoba untuk mengakomodasi area perpindahan
panas yang dibutuhkan dalam suatu shell dengan biaya yang lebih murah. Diameter shell
nominal dan ketebalan shell dijelaskan pada standar TEMA pada Tabel R-3.13 dan CB-
3.13. Permasalahan biasanya muncul dalam menginterpretasi ukuran shell, untuk
mempermudah dalam penentuan ukuran shell, terdapat tabel tube count yang tersedia
pada Tabel 9. referensi D.Q. Kern ‘Process Heat Transfer’ untuk beberapa tata letak
tube, diameter tube dan pitch tube.
II-34
B. Baffle
Baffle digunakan untuk menyangga tube, menjaga kecepatan aliran shell tetap
pada nilai yang diinginkan, dan mencegah kegagalan tube akibat vibrasi aliran. Terdapat
dua jenis baffle yaitu pelat dan batang. Baffle pelat dapat berbentuk satu segmen, dua
segmen, atau tiga segmen seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.15. Baffle segmen
tunggal dan dua segmen merupakan yang paling sering digunakan. Baffle tersebut
mengalihkan aliran lebih efisien pada seluruh tube. Baffle tiga segmen digunakan untuk
HE bertekanan rendah.
Selain jarak baffle ada parameter lain yang cukup penting dalam mempengaruhi
aliran fluida pada sisi shell yaitu baffle cut. Baffle cut (Bc) seperti yang ditunjukkan pada
Gambar II.16 adalah tinggi dari segmen yang dipotong agar fluida sisi shell dapat
mengalir melalui baffle. Parameter ini ditunjukkan sebagai persentase dari diameter
dalam shell. Ukuran baffle cut bervariasi antara 15% hingga 45% dari diameter dalam
shell.
Gambar II.17 Efek dari baffle cut kecil dan baffle cut besar
Sumber: Mukherjee, 1998
II-36
Untuk fluida satu fase pada sisi shell, maka direkomendasikan menggunakan
baffle cut horizontal, karena mengurangi akumulasi deposit pada dasar shell. Namun,
pada kasus shell dua pass, baffle cut vertikal dipilih untuk memudahkan fabrikasi dan
pemasangan bundle. Sedangkan geometri baffle ditunjukkan pada Gambar II.18
4 ∙ 𝑁𝑡 ∙ 𝐶𝐿 ∙ 𝐿2𝑡𝑝
𝐷𝑐𝑡𝑙 = √ (2.33)
𝜋
II-37
Upper centriangle dari baffle cut adalah sudut yang terbentuk pada titik pusat
baffle antara tepi baffle cut dengan diameter tube bundle. Berikut persamaan 𝜃𝑐𝑡𝑙 .
𝐷𝑠 (1 − 2𝐵𝑐 )
𝜃𝑐𝑡𝑙 = 2 cos −1 [ ] (2.34)
𝐷𝑐𝑡𝑙
Aliran A adalah aliran bocor pada clearance antara tube dan lubang tube pada
baffle. Aliran ini terbentuk akibat perbedaan tekanan pada sisi baffle.
Aliran B adalah aliran crossflow melalui tube bundle. Aliran ini merupakan yang
berpengaruh pada perpindahan panas dan pressure drop.
Aliran C adalah aliran bypass bundle dan shell melalui ruang lingkaran antara tube
bundle dan shell. Aliran ini sedikit berpengaruh pada perpindahan panas karena
terjadi kontak dengan tube terluar pada tube bundle.
Aliran E adalah aliran bocor pada clearance antara tepi baffle dan shell. Aliran ini
kurang berpengaruh pada perpindahan panas karena tidak ada kontak dengan tube.
Dari seluruh aliran yang terdapat pada sisi shell, maka berikut merupakan luas aliran
yang terdapat pada sisi shell.
Luas aliran crossflow shell merupakan luasan aliran shell minimum pada pusat
baffle dari bundle tube. Luas ini dihitung dengan persamaan berikut,
𝐷𝑐𝑡𝑙
𝑆𝑚 = 𝐿𝑏𝑐 [𝐿𝑏𝑏 + (𝐿𝑡𝑝 − 𝐷𝑜 )] (2.37)
𝐿𝑡𝑝.𝑒𝑓𝑓
Di mana nilai 𝐿𝑡𝑝.𝑒𝑓𝑓 untuk pola segitiga dan persegi digunakan 𝐿𝑡𝑝 , sedangkan untuk
Luas aliran window dalam suatu baffle merupakan luas baffle window yang tidak
dilalui oleh tube. Luas baffle window keseluruhan (𝑆𝑤𝑔 ) sebagai berikut,
1
𝑆𝑤𝑔 = 𝐷𝑠 2 (𝜃𝑑𝑠 − sin 𝜃𝑑𝑠 ) (2.38)
8
Jumlah luas tube yang melalui baffle window (𝑆𝑤𝑡 ) sebagai berikut,
𝜋
𝑆𝑤𝑡 = 𝑁𝑡 𝐹𝑤 𝐷𝑜 2 (2.39)
4
Di mana 𝐹𝑤 adalah fraksi dari tube yang melalui baffle window terhadap jumlah tube.
1
𝐹𝑤 = (𝜃 − sin 𝜃𝑐𝑡𝑙 ) (2.40)
2𝜋 𝑐𝑡𝑙
II-39
Sehingga luas aliran window yang melewati satu jendela baffle sebagai berikut,
Luas bundle bypass flow adalah adalah luas antara tube yang paling luar dari titik
tengah shell dengan shell dalam suatu baffle space. Luasan ini merupakan bagian dari
luasan cross flow dan direpresentasikan dengan persamaan berikut.
Di mana 𝐿𝑝𝑙 menunjukkan lebar aliran bypass pada jalur partisi tube, untuk perhitungan
standar 𝐿𝑝𝑙 bernilai 0.
Luas bocoran shell-baffle seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.18 di mana
terdapat clearance antara baffle dan shell 𝐿𝑠𝑏 . Luas bocoran shell-baffle dapat dihitung
dengan persamaan berikut.
1
𝑆𝑠𝑏 = 𝐷𝑠 𝐿𝑠𝑏 (𝜋 + 𝜃𝑑𝑠 ) (2.43)
2
Sedangkan 𝐿𝑠𝑏 adalah clearance antara shell dan baffle, nilai Lsb menurut TEMA
ditunjukkan pada Tabel II.5
Diameter lubang pada baffle yang merupakan tempat pemasangan tube lebih
besar daripada diameter tube tersebut, sehingga akan menyebabkan adanya aliran bocor
fluida shell dari celah tersebut. Luas aliran bocor tube-baffle adalah jumlah luasan dari
celah lubang tube pada baffle dalam satu baffle.
II-40
𝜋
𝑆𝑡𝑏 = [(𝐷𝑜 + 𝐿𝑡𝑏 )2 − 𝐷𝑜 2 ] 𝑁𝑡 (1 − 𝐹𝑤 ) (2.44)
4
Sedangkan 𝐿𝑡𝑏 adalah hole clearance antara tube dan baffle, menurut TEMA
Fluks massa pada sisi shell dapat dihitung dengan membagi laju massa total
fluida sisi shell dengan luas cross flow sisi shell. Fluks massa dihitung dengan
persamaan berikut.
𝑚̇𝑠
𝐺𝑠 = (2.45)
𝑆𝑚
Perhitungan bilangan Reynold pada sisi shell dilakukan dengan cara yang sama
seperti pada sisi tube, namun berbeda diameter yang digunakan yaitu diameter ekuivalen
sisi shell. Berikut persamaan bilangan Reynold sisi shell.
𝐺𝑠 𝐷𝑒
𝑅𝑒𝑠 = (2.46)
𝜇𝑠
Di mana,
De : Diameter ekuivalen
Berdasarkan definisi, jari-jari hidrolik adalah rasio dari luas penampang saluran
dari sebuah aliran fluida dengan keliling basahnya (keliling bagian dari penampang yang
terlalui fluida). Untuk mendapatkan korelasi sederhana dengan mengombinasikan
ukuran dan pola pitch tube, maka telah disepakati jika jari-jari hidrolik dihitung bukan
pada sumbu panjang tabung, namun tepat pada penampang lubang tube. Maka, diameter
ekuivalen pada sisi shell merupakan empat kali diameter hidrolik yang diperoleh dari
pola pitch tube yang ditentukan.
𝜋
Wetted perimeter = 4 ( 4 𝐷𝑜 )
𝜋
4 (𝐿𝑡𝑝 2 − ( 4 𝐷𝑜 2 ))
(2.47.a)
𝐷𝑒 =
𝜋 𝐷𝑜
𝜋
Wetted perimeter = 3 ( 6 𝐷𝑜 )
𝜋
4 (𝐿𝑡𝑝 2 sin 60° − ( 4 𝐷𝑜 2 ))
(2.47.b)
𝐷𝑒 =
𝜋 𝐷𝑜
Dalam menentukan heat transfer coefficient pada sisi shell terdapat beberapa
metode, salah satunya adalah metode Bell-Delaware. Metode ini merupakan salah satu
metode yang paling kompleks dan yang paling lengkap. Pada metode diperhitungkan
pengaruh kebocoran dan aliran bypass pada shell menggunakan faktor koreksi empiris
untuk heat transfer coefficient dan pressure drop. Berikut ini merupakan persamaan
heat transfer coefficient sisi shell pada kondisi ideal.
𝐷𝑒
ℎ𝑜.𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 = 𝑗 𝐶𝑝ℎ 𝐺𝑠 𝑃𝑟 0,33 (∅𝑠 )𝑛 (2.48)
𝑘𝑓.ℎ
Di mana, j adalah faktor Colburn untuk kondisi ideal, yang didefinisikan sebagai
berikut.
𝑎
1.33
𝑗 = 𝑎1 ( ) 𝑅𝑒 𝑎2 (2.49)
𝐿𝑡𝑝 /𝐷𝑜
II-42
𝑎3
𝑎= (2.50)
1 + 0,14𝑅𝑒 𝑎4
Pada heat transfer coefficient sisi shell yang ideal tidak memperhitungkan faktor
koreksi aliran bocor pada sisi shell. Heat transfer coefficient sisi shell aktual dapat
dihitung dengan memperhatikan faktor koreksi untuk kebocoran aliran sisi shell.
Analisis heat transfer coefficient sisi shell untuk aliran satu fasa digunakan persamaan
berikut.
ℎ𝑜 = ℎ𝑜.𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 ( 𝐽𝑐 𝐽𝑅 𝐽𝐿 𝐽𝐵 𝐽𝑆 ) (2.51)
Di mana,
Di mana 𝐹𝑐 adalah fraksi dari tube yang melalui baffle terhadap jumlah tube.
1
𝐹𝑐 = 1 + (sin 𝜃𝑐𝑡𝑙 − 𝜃𝑐𝑡𝑙 ) (2.53)
𝜋
10 0,18
𝐽𝑅 = (𝑁 ) untuk Re < 20 (2.54.a)
𝑐
Sedangkan Ntcc adalah jumlah efektif tube yang melintas pada satu bagian aliran
crossflow
𝐷𝑠
𝑁𝑡𝑐𝑐 = − (1 − 2𝐵𝑐 ) (2.56)
𝐿𝑝𝑝
Serta Ntcw adalah jumlah efektif tube yang melintas pada satu bagian aliran window
II-44
0,8 𝐵𝑐 𝐷𝑐𝑡𝑙
𝑁𝑡𝑐𝑤 = (2.57)
𝐿𝑝𝑝
Di mana, rs adalah rasio antara luas aliran bocor shell-baffle dengan jumlah luas aliran
bocor.
𝑆𝑠𝑏
𝑟𝑠 = (2.59)
𝑆𝑠𝑏 + 𝑆𝑡𝑏
Sedangkan, rlm adalah rasio antara luas aliran bocor dengan luas aliran crossflow.
𝑆𝑠𝑏 + 𝑆𝑡𝑏
𝑟𝑙𝑚 = (2.60)
𝑆𝑚
Di mana 𝐹𝑠𝑏𝑝 adalah fraksi dari luas aliran bypass terhadap luas aliran crossflow.
𝐹𝑠𝑏𝑝 = 𝑆𝑏 /𝑆𝑚 (2.62)
Sedangkan, rss adalah rasio antara jumlah sealing strip dengan jumlah efektif tube yang
melintas pada satu bagian aliran crossflow.
𝑟𝑠𝑠 = 𝑁𝑠𝑠 /𝑁𝑡𝑐𝑐 (2.63)
Di mana,
n = 0,6 untuk 𝑅𝑒 > 100
Pressure drop ideal pada sisi shell ditunjukkan dengan persamaan berikut.
2 𝑓𝑠 𝑁𝑡𝑐𝑐 𝐺𝑠 2
∆𝑃𝑏,𝑖 = (2.66)
𝑔 𝜌𝑠 𝑠
II-46
𝑏
1,33 𝐷𝑜
𝑓𝑠 = 𝑏1 ( ) 𝑅𝑒𝑠 𝑏2 (2.67)
𝐿𝑡𝑝
𝑏3
𝑏= (2.68)
1 + 0,14𝑅𝑒𝑠 𝑏4
Pressure drop pada tiap tengah baffle diperoleh dengan mengalikan pressure
drop ideal dengan faktor-faktor koreksi untuk memperhitungkan kebocoran dan aliran
bypass, dan kemudian mengalikan dengan jumlah baffle space, maka berikut persamaan
pressure drop crossflow.
Di mana 𝑅𝐿 adalah faktor koreksi untuk bocoran aliran pada baffle, umumnya bernilai
0,4-0,5 bahkan bisa lebih rendah jika jarak antar baffle yang dekat.
Sedangkan 𝑅𝐵 adalah faktor koreksi untuk bocoran aliran pada baffle, umumnya bernilai
0,5-0,8 tergantung dari jenis konstruksi HE dan jumlah sealing strip. Nilai 𝑅𝐵 akan
rendah pada HE jenis pull-through floating head, dan akan lebih tinggi pada HE jenis
fixed tube.
(2 + 0,6𝑁𝑡𝑐𝑤 )𝑚̇𝑠 2
∆𝑃𝑤,𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 = (2.73.a)
2 𝑔 𝜌 𝑆𝑚 𝑆𝑤
Perlu diperhatikan juga bahwa laju massa pada windows yang digunakan di sini, karena
kebocoran aliran tidak mengalir melalui windows dan juga, luas aliran yang digunakan
dalam area aliran windows, yaitu, √𝑆𝑚 𝑆𝑤 . Sedangkan diameter ekuivalen baffle
didefinisikan seperti diameter hidrolik yaitu 4 kali luas aliran dibagi dengan wet
perimeter semua tube di baffle windows.
4 𝑆𝑤
𝐷𝑤 = (2.74)
𝜋 𝐷𝑜 𝑁𝑡 × 0,51 (1 − 𝐹𝑐 ) + 𝐷𝑠 𝜃𝑠
𝑁𝑡𝑐𝑤
∆𝑃𝑒 = 2∆𝑃𝑏,𝑖 (1 + )𝑅 𝑅 (2.75)
𝑁𝑡𝑐𝑐 𝐵 𝑆
II-48
Di mana 𝑅𝑆 adalah faktor koreksi untuk jarak baffle yang tidak sama. Kisaran praktis
𝑅𝑆 adalah sekitar 0,3 sampai 1,0. Ketika jarak baffle sama di seluruh shell, maka nilai
𝑅𝑆 adalah 1,0.
2−n 2−n
𝐿𝑏𝑐 𝐿
𝑅𝑆 = ( ⁄𝐿 ) + ( 𝑏𝑐⁄𝐿 ) (2.76)
𝑏𝑖 𝑏𝑜
Setelah menghitung heat transfer coefficient pada sisi tube dan sisi shell serta
menggunakan faktor fouling pada permukaan dalam maupun luar tube, maka dapat
dihitung overall heat transfer coefficient baik itu yang meliputi faktor kekotoran
maupun overall heat transfer coefficient bersih.
𝐸𝑓 : Efisiensi sirip
𝑅𝑤 : Resistansi dinding tube mengacu permukaan luar tube
Untuk tube lurus
𝐷𝑜 𝐷𝑜
𝑅𝑤 = 𝑙𝑛 (2.78.a)
24 𝑘𝑚.𝑡 𝐷𝑖
Untuk tube dengan sirip
𝑡 𝐷𝑜 + 2 𝑁 ∙ 𝑤 (𝐷𝑜 + 𝑤)
𝑅𝑤 = (2.78.b)
12 𝑘𝑚.𝑡 (𝐷𝑜 − 𝑡)
𝑘𝑚.𝑡 : Konduktivitas termal tube
𝑁 : Jumlah sirip per inch
𝑤 : Tinggi sirip
II-49
B. Dirt factor
Dirt factor (RD) adalah total faktor kekotoran yang terdapat pada fluida yang
mengalir pada sisi tube dan fluida pada sisi shell. Adanya faktor kekotoran ini akan
mengurangi nilai perpindahan panas.
𝐴𝑜
𝑅𝐷 = 𝑅𝑓𝑜 + 𝑅𝑓𝑖 ( ) (2.79)
𝐴𝑖
Di mana,
𝑅𝑓𝑜 : Faktor fouling pada permukaan luar tube