Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KAIDAH FIQIH MUAMALAH

MEMPERHATIKAN TRADISI DAN KEBIASAAN MASYARAKAT YANG TIDAK


MENYALAHI SYARIAT

DI SUSUN OLEH:

1. MUH. IKBAL (105251103719)


2. ANUGERAH ESAAWATY MOKOAGOW (105251104419)
3. LATIFAH AMALIA (105251104519)
4. JIHABUDDIN (105251105719)

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. karena masih memberikan kita rahmat berupa
kesehatan dan kesempatan untuk mengikuti perkuliahan daring yang dilaksanakan hari ini. Tidak
lupa pula kita kirimkan shalawat dan salam kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad Saw
yang telah membawa kita dari zaman yang gelap gulita ke zaman yang terang benderang seperti
sekarang ini.

Kami sebagai pemateri sangat bersyukur dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Sumber Hukum Peradilan Agama” ini. Kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang senantiasa membantu dalam proses pembuatan makalah ini sehingga makalah
ini terealisasikan dengan sangat baik. Alhamdulillah

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat membantu teman-
teman sekalian untuk menambah wawasan dan pengetahuan untuk materi seputar peradilan
agama, pun kami juga berharap agar makalah ini dapat di terima oleh teman-teman sekalian.

Terimakasih atas perhatian teman-teman sekalian, Wassalamualaikum Warahmatullahi


Wabarakatuh.

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Fikih Muamalah


B. Perbedaan Tradisi dan Ajaran
C. Tradisi dan Kebiasaan Masyarakat Yang Tidak Menyalahi Syariat

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fiqih muamalah merupakan hasil dari pengolahan potensi insani dalam meraih sebanyak
mungkin nilai-nilai ilahiyat, yang berkenaan dengan tata aturan hubungan antara manusia ,
secara keseluruhan dapat dikatakan disiplin ilmu yang tidak mudah untuk dipahami. Karenanya,
diperlukan suatu kajian yang mendalam agar dapat memahami tata aturan Islam tentang
hubungan manusia yang sesungguhnya.

Hubungan manusia sebagai mahluk sosial ini dalam Islam di kenal dengan muamalat
yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan pengelolaan
harta. Di dalam hukum Islam menggambarkan bahwa Islam mengatur dan melindungi terhadap
masing-masing pihak yang melakukan akad kerjasama, agar tidak terjadi saling merugikan satu
sama lainnya sehingga dapat tercapai tujuan dari akad tersebut. Salah satu contoh bermuamalah
dalam Islam adalah musharakah (shirkah) yakni kerjasama antara dua orang atau lebih dalam
sebuah usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugian, ditanggung secara bersama.

Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk semua umat manusia telah
memainkan peranannya di dalam mengisi kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Kehadiran
Islam di tengah- Deden Sumpena: Islam dan Budaya Lokal 102 Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 6 No.
19 | Edisi Januari-Juni 2012 tengah masyarakat yang sudah memiliki budaya tersendiri, ternyata
membuat Islam dengan budaya setempat mengalami akulturasi, yang pada akhirnya tata
pelaksanaan ajaran Islam sangat beragam.

Namun demikian, Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam tetap menjadi
ujung tombak di dalam suatu masyarakat muslim, sehingga Islam begitu identik dengan
keberagaman. Al-Quran sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam
adalah sumber kebenaran dan mutlak benarnya. Meskipun demikian, kebenaran mutlak itu tidak
akan tampak mana kala Al-Qur`an tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut
Quraish Shihab, di bumikan: di baca, di pahami, dan di amalkan. Ketika kebenaran mutlak itu
disikapi oleh para pemeluknya dengan latar belakang cultural atau tingkat pengetahuan yang
berbeda akan muncul kebenarankebenaran parsial, sehingga kebenaran mutlak tetap milik Tuhan.
Berdasarkan hal tersebut, maka kebenaran dalam Islam yang dikatakan kebenaran yang mutlak
itu bersumber dari Allah, sedangkan kebenaran yang parsial itu hadir pada realitas sosial suatu
masyarakat yang kebenarannya akan relatif. Dengan demikian pula, bahwa Islam tetap
menghargai keberagaman kebenaran yang ada dalam masyarakat, termasuk keberagaman budaya
yang dimiliki suatu masyarakat.

B. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan Fiqih Muamalah?
b. Apa saja perbedaan antara Tradisi dan Ajaran?
c. Apa sajakah Tradisi dan Kebiasaan Masyarakat yang tidak Menyalahi Syariat?

C. Tujuan
a. Mengetahui arti dari Fiqih Muamalah
b. Mengetahui perbedaan Tradisi dan Ajaran
c. Mengetahui Tradisi dan Kebiasaan Masyarakat yang tidak Menyalahi Syariat
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqih Muamalah 1

Fikih berasal dari kata ‫ فقه‬fa qo ha yang berarti ‫(الفهم الدقيق‬pemahaman yang mendalam)
atau dapat juga diartikan dengan kepintaran, ilmu dan kepahaman atau keterbukaan akan sebuah
ilmu. Sedangkan secara terminologis dapat berarti umum dan khusus. Secara umum
didefinisikan dengan pengetahuan tentang hukum-hukum syariat dengan cara ijtihad.
Sedangkan secara khusus didefiniikan dengan pengetahuan tentang hukum syariah Islamiyyah
yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat disertai dengan
dalil-dalil yang terperinci. Ibn Khaldun menambahkan bahwa fikih adalah mengetahui hukum-
hukum Allah dalam perbuatan mukallaf berupa kewajiban (wujub), larangan (hazhr), anjuran
(nadb), penghindaran (karoohah) dan kebolehan (ibaahah) yang didapat dari Al-Quran dan
Sunnah sebagai dalil.
Muamalah berasal dari kata ‫عامل يعامل معاملة‬yang berarti interaksi atau pergaulan dengan
yang lain. Dapat juga diartikan dengan transaksi jual beli dan sejenisnya. Sedangkan secara
terminologis dapat bermakna umum yaitu hukum-hukum syariat yang mengatur hubungan antar
manusia di dunia. Dalam hal ini muamalah berkaitan dengan harta dan juga wanita. Ibn Abidain
menyatakan bahwa muamalah ada 5 yaitu pertukaran harta, pernikahan, perdata dan pidana,
amanah dan waris. Atau dapat diefinisikan dengan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan
perkara dunia melihat terhadap eksistensi manusia mulai dari jual beli, sewa dan sejenisnya.
Sebagian ulama lain memberikan definisi muamalah secara khusus berupa hukum yang berkaitan
dengan harta benda.

1
Muhammad Utsman Syabiir, Al-Madkhol fii Fiqh Al-Muamalat Al-Maliyah, Amman: Daar An-
Nafaais, 2010, Hal:9
 Khalid bin Abdullah Asy-Syaqafah, Ad-Diraasaat Al-Fiqhiyyah ‘alaa Madzaahibi Al-Imaam
Asy-Syafi’I fi Al-‘Ibaadaat, Kairo:Daarussalaam, 2004, Hal. 15
 Muhammad Utsman Syabiir, Al-Madkhol fii Fiqh Al-Muamalat Al-Maliyah, Hal:10
 Muhammad Utsman Syabiir, Al-Madkhol fii Fiqh Al-Muamalat Al-Maliyah, Hal:10
2
Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Fiqih Muamalah adalah ilmu yang
mempelajari hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia dalam perkara harta dan
kebendaan. Hal ini mengambil definisi muamalah secara khusus yang menjadikan harta sebagai
objek kajiannya.
Secara detail definisi fikih muamalah adalah pengetahuan yang mendalam tentang
hukum-hukum yang berkaitan dengan pertukaran harta yang menyingkap maksud dari hukum
tersebut, alasan (illat), tatacara atau metode dan hubungannya dengan maqashid asy-syariah
(tujuan-tujuan syariah) Islamiyyah agar dapat menetapkan hukum terhadap perkara yang baru.
Jika dikembalikan pada permasalahan kontemporer, banyak hal yang berkaitan dengan
fikih muamalah bersifat baru dan belum ada hukumnya ketika periode Rasulullah dan para
sahabat. Oleh karena itu, definisi fikih muamalah dalam pembahasan ini berkaitan dengan
masalah-masalah kontemporer yang umumnya dibutuhkan penetapan hukum akibat
perkembangan transaksi ekonomi dan bisnis yang dilakukan manusia.

B. Perbedaan Tradisi dan Ajaran

2
Ibn Mandzuur, Lisaan Al-Arab, Beirut:Daar Lisaanul Arab, tt, Juz 3, Hal: 887
 Muhammad Rawwas Qal’ahji, Mu’jam lughotu Al-Fuqohaa, Beirut:Daar Al-Andalus, 1985,
Hal:438
 Ibn ‘Abidain, Haasyiyah Ibn ‘Abidain, Beirut: Daar Al-Fikr, 1979, Juz I, Hal:79
 Ahmad Asy-Syarbashi, Mu’jam Al-Iqtishoodi Al-Islaami, Daar Al-Jiil, 1981,Hal; 428
 Ali Fikri, Al-Muaamalat Al-Maaliyah wa Al-Adabiyah, Hal: 7
 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2003, Hal:5
3
Adat atau budaya yang bisa dijadikan sebagai ajaran atau bisa disandingkan dengan
agama, setidaknya berdasarkan pengertian sunnah secara bahasa, maka adat termasuk kategori
sunnah. Tetapi untuk membedah tradisi dalam sebuah hadis, apakah ia sebagai tradisi atau
sebagai ajaran (sunnah Nabi saw.), ini perlu analisis dengan menggunakan teori sunnah dan teori
hadis dalam pandangan ulama’ Ushul Fiqih. Pada hadis riwayat Imam Muslim dari Abu
Hurayrah sebagaimana pada dijelaskan 4 perkara yang menjadi motivasi pernikahan, yaitu harta,
status sosial, kecantikan dan agama. Menurut penjelasan Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi dalam
sebuah sharh}nya, yang benar makna hadis ini, sesungguhnya Nabi saw. hanya mengabarkan
kebiasaan orang-orang ketika menikah dengan termotivasi oleh 4 perkara itu, bukan
memerintahkan menikah karena 4 perkara itu, tetapi hanya karena 1 perkara, yaitu Agama.

Uraian selanjutnya tentang adat adalah sesuatu yang telah dikenal di masyarakat dan
dilakukan secara terus-menerus, baik berbentuk perkataan atau perbuatan. Contoh perkataan
yang menjadi adat adalah pemaknaan kata “al-walad” (anak), yang secara mutlak berarti anak
laki-laki, bukan anak perempuan, walaupun secara etimologi, berarti “anak laki-laki atau anak
perempuan”, pada persoalan waris atau harta pusaka, sebagaimana pada surat al-Nisa’, 11-12,
bahwa kata “walad” pada dua ayat itu, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan. Sedang
contoh perbuatan yang menjadi adat, adalah kebiasaan jual beli barang yang tidak bernilai
dengan hanya tukar-menukar secara langsung tanpa akad. Ini merupakan dasar penetapan hukum

di luar nas yang digunakan oleh madhhab Malikiyyah dan Hanafiyyah.

Kebiasaan jual beli dengan hanya tukar-menukar barang dengan barang atau barang
dengan uang secara langsung tanpa akad menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah
adalah boleh, sepanjang telah menjadi sebuah adat yang berlaku sepanjang masa dan tidak
seorangpun yang mengingkarinya, karena itu menjadi indikasi adanya kerelaan. Tetapi Ulama
Syafi’iyyah mengatakan, tidak sah jual beli secara muamalah, karena jual beli harus
menggunakan akad sebagai wujud adanya kerelaan penjual dan pembeli. Dalam sebuah hadis,
Rasul Allah saw. bersabda : hanyalah sesungguhnya jual beli 4didasarkan atas kerelaan”. Akad
menjadi wujud kerelaan, karena kerelaan adalah sesuatu yang tidak tampak. Tradisi praktek jual
3
Al-Khat ……, 27.

 Zahrah,….., 273.
4
Ibid.
beli secara muamalah itu termasuk tradisi yang syari karena tidak bertentangan dengan dalil
syari, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Karena itu, tradisi ini
bisa dijadikan sebagai ajaran dan disandingkan dengan agama.

C. Tradisi dan Kebiasaan Masyarakat yang tidak Menyalahi Syariat

Harus diakui bahwa memang ada permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam dalam
membedakan antara agama dan budaya, antara ibadah dan muamalah, antara urusan agama dan

 Khallaf, …., 89.


urusan dunia, antara sunnah dan bid’ah. Secara teoritis perbedaan antara keduanya dapat
dijelaskan, tapi dalam praktek kehidupan kedua hal tersebut seringkali rancu, kabur, dan tidak
mudah untuk dibedakan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa agama bersumber dari Allah, sedangkan budaya
bersumber dari manusia. Agama adalah “karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia.
Dengan demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari agama.
Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan saling berhubungan erat satu
sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta
menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia, alam semesta dan hakekat
kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang disebut agama itu,
mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang memeluknya.
5
Tradisi atau kebiasaan (latin: traditio, "diteruskan") adalah sebuah bentuk perbuatan yang
dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang
tersebut menyukai perbuatan itu. Kebiasaan yang diulang-ulang ini dilakukan secara terus
menerus karena dinilai bermanfaat bagi sekelompok orang, sehingga sekelompok orang tersebut
melestarikannya. Kata "Tradisi" diambil dari bahasa latin "Tradere" yang bermakna
mentransmisikan dari satu tangan ke tangan lain untuk dilestarikan. Tradisi secara umum dikenal
sebagai suatu bentuk kebiasaan yang memiliki rangkaian peristiwa sejarah kuno. Setiap tradisi
dikembangkan untuk beberapa tujuan, seperti tujuan politis atau tujuan budaya dalam beberapa
masa.

Jika kebiasaan sudah diterima oleh masyarakat dan dilakukan secara berulang, maka
segala tindakan yang bertentangan dengan kebiasaan akan dirasakan sebagai perbuatan yang
melanggar hukum.

Ada beberapa Tradisi dan Kebiasaan yang sering dilakukan atau diterapkan oleh
masyrakat tetapi tetap tidak menyalahi syariat yang ada. Kebiasaan jual beli dengan hanya tukar-

5
Atik Catur Budiati (2009). Sosiologi Kontekstual Untuk SMA & MA (PDF). Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 35. ISBN 978-979-068-219-1.
 Folklore: an encyclopedia of beliefs, customs, tales, music, and art. Thomas A. Green. Santa
Barbara, Calif.: ABC-CLIO. 1997. ISBN 0-87436-986-X. OCLC 37155946.
 Serafica Gischa. "Perbedaan Hukum Kebiasaan dan Hukum Adat"
menukar barang dengan barang atau barang dengan uang secara langsung tanpa akad, menurut
ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah adalah boleh, sepanjang telah menjadi sebuah adat
yang berlaku sepanjang masa dan tidak seorangpun yang mengingkarinya, karena itu menjadi
indikasi adanya kerelaan. Tetapi Ulama Syafi’iyyah mengatakan, tidak sah jual beli secara,
karena jual beli harus menggunakan akad sebagai wujud adanya kerelaan penjual dan pembeli.
Dalam sebuah hadis, Rasul Allah saw. bersabda : hanyalah sesungguhnya jual beli didasarkan
atas kerelaan”. Akad menjadi wujud kerelaan, karena kerelaan adalah sesuatu yang tidak tampak.
Tradisi praktek jual beli itu termasuk tradisi yang shahih, karena tidak bertentangan dengan dalil
syar’i, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Karena itu, tradisi ini
bisa dijadikan sebagai ajaran dan disandingkan dengan agama.

Ada juga beberapa tradisi masyarakat yang sesuai dengan syariat Islam atau masih
diperbolehkan oleh syariat dalam kasus pernikahan atau perkawinan. Contohnya adalah
pemberian mas kawin. Adapun adat yang rusak adalah adat yang berlaku di suatu tempat, namun
bertentangan dengan dalil syar’i, menghalalkan yang haram dan membatalkan kewajiban.
Contohnya, pesta dengan menghidangkan minuman haram, dan membunuh anak perempuan
yang baru lahir dan kumpul kebo (hidup bersama lain jenis tanpa nikah). Imam Malik banyak
menetapkan hukum berdasarkan perbuatan penduduk Madinah. Imam Abu Hanifah dan para
pengikutnya menetapkan hukum yang berbeda karena perbedaan adat. Imam Syafi’i ketika
tinggal di Mesir dikenal mempunyai pendapat yang baru karena perbedaan adat dari pendapatnya
yang lama ketika tinggal di baghdad. Hal itu membuktikan bahwa ketiga madhhab fiqih itu
berhujjah.6

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

6
Khallaf…., 90 dan Zahrah …, 275
1. Pengertian Fiqih Muamalah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum yang mengatur
hubungan antar manusia dalam perkara harta dan kebendaan. Hal ini mengambil definisi
muamalah secara khusus yang menjadikan harta sebagai objek kajiannya. Secara detail
definisi fikih muamalah adalah pengetahuan yang mendalam tentang hukum-hukum yang
berkaitan dengan pertukaran harta yang menyingkap maksud dari hukum tersebut, alasan
(illat), tatacara atau metode dan hubungannya dengan maqashid asy-syariah (tujuan-
tujuan syariah) Islamiyyah agar dapat menetapkan hukum terhadap perkara yang baru.
2. Sesuatu yang telah dikenal di masyarakat dan dilakukan secara terus-menerus, baik
berbentuk perkataan atau perbuatan. Contoh perkataan yang menjadi adat adalah
pemaknaan kata “al-walad” (anak), yang secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak
perempuan, walaupun secara etimologi, berarti “anak laki-laki atau anak perempuan”,
pada persoalan waris atau harta pusaka, sebagaimana pada surat al-Nisa’, 11-12, bahwa
kata “walad” pada dua ayat itu, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan. Sedang
contoh perbuatan yang menjadi adat, adalah kebiasaan jual beli barang yang tidak
bernilai dengan hanya tukar-menukar secara langsung tanpa akad.
3. Secara umum dapat dikatakan bahwa agama bersumber dari Allah, sedangkan budaya
bersumber dari manusia. Agama adalah “karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya
manusia. Dengan demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan
bagian dari agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan
saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan
rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah,
manusia, alam semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-
ajaran Allah, yang disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh
manusia-manusia yang memeluknya.

DAFTAR PUSTAKA

1. https://syariah.iainkediri.ac.id/membedakan-tradisi-dan-ajaran-sunnah-nabi-dalam-hadis-
mengulas-perpaduan-ajaran-islam-dan-kearifan-lokal/
2. https://maharah.or.id/memahami-definisi-fikih-muamalah/
3. https://lppi.unisayogya.ac.id/antara-agama-dan-budaya-dalam-perspektif-islam/

Anda mungkin juga menyukai