Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Islam adalah agama yang dianugerahkan kepada seluruh manusia
melalui seorang Nabi terakhir yang ummi sebagai tuntunan untuk memperoleh
kebahagiaan di Dunia dan Akhirat. Sebagai sebuah anugerah dari yang maha
Esa tentunya segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah murni hanya untuk
kepentingan umat, karena Allah adalah dzat yang suci dari tujuan-tujuan
pribadi, bermula dari sini dan dalil-dalil nash maka Ulama’ membuat sebuah
kaidah pokok dari tujuan syari’at yaitu, mendatangkan berbagai
kemaslahatan serta menolak berbagai kerusakan atau bias disebut
juga Malahah Mursalah. Perlu kita ketahui bahwa semua mujtahid
menggunakan konsep ini dalam menghasilkan produk-produk hukum karena
mereka semua sepakat bahwa denganya Syari’at Islam telah membuktikan
bahwa ia adalah agama yang mampu untuk menjawab berbagai tantangan dari
perkembangan zaman dan peradaban yang tidak bisa kita pungkiri telah
memiliki wujud yang selalu berubah-ubah ditiap situasi dan kondisi.
Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran, teknologi, dan
budaya masyarakat, banyak problematika kehidupun muncul kepermukaan
bumi. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada
kalangan pejabat. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak
terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan untuk
menyelesaikan masalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Al Maslahah Sebagai Maqashid Metode Ijtihad
2. Pembagian Al-Maslahah
3. Maslahah Sebagai Tujuan Penetapan Hukum
4. Mashlahah sebagai Dalil dalam Menakwil Ayat al-Quran

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al Maslahah Sebagai Maqashid Metode Ijtihad


Sebagaimana telah dijelaskan, pada dasaarnya tujuan utama disyari’at-
kannya hukum Islam adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus
menghindari kemafsadatan, bak di dunia maupun di akhirat. Pencarian para
ahli ushul fiqih terhadap al-maslahah atau kemaslahatan itu diwujudkan dalam
bentuk metode ijtihad. Berbagai macam istilah telah digunakan oleh mereka
untuk menyebut metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya, semua
metode itu bermuara pada upaya penemuan kemaslahatan umat manusia, dan
menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidaka
disebutkan secara eksplisit baik dalam Alquran maupun dalam hadis. Atas
dasar asumsi ini maka dapat dikatakan, bahwa setiap metode penetapan hukum
yang dipakai oleh para ahli ushul fiqih beruara pada al-maqasid al-syari’ah.1
Metode istimbat hukum dengan menggunakan qiyas dan maslahah al-
mursalah ataupun yang lainnya adalah metode yang dapat digunakan dalam
pengembangan hukum Islam dengan menggunakan atau dikaitkan dengan
maqasid al-syari’ah sebagai dasar untuk memperoleh kemaslahatan yang
hendak dicapai dalam hukum yang ditetapkannya. Misalnya metode qiyas20
baru bisa dilaksanakan apabila dapat ditentukan maqasid al-syari’ah yaitu
denga cara menemukan illat hukum dari sebuah permasalahan hukum. Contoh
hukum tentang khamar adalah karena sifatnya yang dapat memambukkan dan
bisa merusak akal manusia, dengan demikian yang menjadi illat hukum khamar
adalah memabukkan dan merusak akal. Khamar adalah hanya salah satu contoh
dari sekian banyak hal yang memiliki kesamaan sifat dengannya. Terlebih
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maka
sangat banyak sifat-sifat dari zat-zat kimiawi yang memiliki kesamaan sidat
dan fungsi dengan khamar di atas. Dari sini dapat dilihat betapa erat hubungan

1 Abd. Wahbah Khalaf. Ilmu ushul fiqh.hlm. 86.

2
antara metode qiyas dengan maqasid al-syari’ahi. Para ahli ushul fiqih
mengelaborasi keterkaitannya, menurut mereka illat baru bisa dijadikan
sebagai dasar penetapan hukum setelah diketahui dan ditelusuri maksud
disyari’atkannya hukum itu. Dalam menentukan maksud dan tujuan hukum,
tidak dapat diabaikan pemahaman tentang maslahat dan mafsadat yang menjadi
inti kajian maqasid al-syari’ah.
Selain itu, untuk mengetahui kedudukan maslahah al-mursalah dalam
pandanga para ulama’, tampaknya memag harus dikaitkan dengan analisis
maqasid al-syari’ah. Analisis ini dapat melahirkan dua dampak positif.
Pertama, dapat menampakkan titik temu perbedaan pendapat antara ulama’
yang menggunakan maslahah al-mursalah. Kedua, analisis keterkaitan ini dapat
menunjukkan bahwa betapa pentingnya maqasid al-syari’ah dalam rangka
penajaman analisis metode maslahah al-mursalah sebagai corak penalaran
istislahi untuk memecahkan permasalahan-permasalhan hukum dalam Islam.
Dalam hubungannya dengan dampak yang pertama, yakni titik temu perbedaan
pendapat para ulama’, amat penting dan menarik untuk mengemukakan
pendapat Imam al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, apabila yang dimaksud dengan
maslahah adalag dalam rangka memelihara dan mewujudkan tujuan syara’,
maka tidak perlu diperselisihkan, bahkan harus diikuti karena ia merupakan
hujjah. Oleh karenanya Abu Zahrah misalnya langsung mengatkan maqasid al-
syari’ah dengan batasan maslahah al-mursalahnya.2 Baginya suatu
kemaslahatan harus sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum secara
umum. Keterkaitan maqasid al-syariah secara tegas dinyatakan oleh al-Syatibi.
Setiap kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh nash secara khusus, akan
tetapi hal itu sesuai dengan tindakan syara’, maka maslahah seperti ini dapat
menjadi dasar hukum, namun ia membatasi lapangan peranan maslahah al-
mursalah dalam arti pengembangan hukum untuk bidang mua’malah. Dalam
karyanya al-I’tisham, al-Syatibi banyak mengemukakan contoh maslahah al-

2 Dr M.ibn ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu al kitab al


tsaqofiyah. Hlm. 138

3
mursalah yang ia kaitkan secara erat denga maqasid al-syari’ah. Antara lain,
tentang pentadwinan atau kodifikasi al-Qur’an dan kesaksian anak-anak.
Terkait dengan kodifikasi al-Qur’an, memang tidak ada nash yang
memerintahkannya. Akan tetapi juga tidak terdapat nash yang melarangnya.
Sikap diam al-Syari’ ini dapat diduga bahwa pada waktu itu tidak ada motif
yang menjadi pendorong keharusan pentadwinan alQur’an. Dengan demikian
pentadwinan Qur’an yang terjadi kemudian tidaklah bertentangan dengan
dengan al-Syari’. Sedangkan dalam masalah kesaksian anak-anak, atas dasar
kemaslahatan kesaksian mereka dapat dipertimbangkan hakim dalam
memutuskan suatu perkara, walaupun tidak ada ketetapan dari al-Syari’. Al-
Syari’ hanya mengatakan bahwa kesaksian hanya sah dari seorang yang
dewasa. Kasus-kasus penganiyaan yang terjadi di kalangan anak-anak, yang
sulit mencari persaksian dari orang dewasa, maka persaksian anak-anak
menjadi bahan pertimbangan.3 Dari uraian dan contoh-contoh di atas,
tampaklah akan pentingnya pertimbangan maqasid al-syari’ah dan metode
mehaminya untuk memperkuat dan mempertajam analisis metode maslahah al-
mursalah sebagai corak penalaran istishlahi bagi setiap upaya pengembangan
dan dinamika hukum Islam.

B. Pembagian Al-Maslahah
Maslahah dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam,
yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya :
1. Maslahah dari Segi Tingkatannya
Ulama ushul membagi maslahah dari segi tingkatan kepada tiga
bagian, yaitu :
a. Maslahah Dharuriyah (Primer)
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat
tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah
kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan,
merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.

3 Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami. Hlm 89

4
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang
merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu :4
1) Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
2) Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql)
3) Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-
nasl)
4) Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
5) Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-
diin)
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara agama
adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk
mempertahankan akidah Islmiyah. Begitu juga menghancurkan orang-
orang yang suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu
juga menyiksa orang yang keluar dari agama Islam.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah
kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan
pakaian untuk mempertahankan hidupnya.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal
adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala
sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yang
meminumnya.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah
kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga
hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau
perempuan.
Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar
universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep
maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tata kehidupan akan
timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan

4 A. Hanafie, MA. Usul Fiqh, Cet. keenam; Jakarta: Wijaya, 1975), h. 109.

5
mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus
dipelihara dan dilindungi.
b. Maslahah Hajjiyah (Sekunder)
Yang dimaksud dengan maslahat hajiyyah adalah persoalan-
persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan
kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Dengan kata lain, dilihat dari
segi kepentingannya, maka maslahat ini lebih rendah tingkatannya dari
maslahat daruriyat.5 Diantara ketentuan hukum yang disyariatkan
untuk meringankan dan memudahkan kepentingan manusia adalah
semua keringanan yang dibawa oleh ajaran Islam, seperti boleh
berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sedang sakit, dan
mengqasar shalat ketika dalam perjalanan. Contoh yang disebutkan ini
merupakan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia. Sekiranya tidak
dapat terwujudkan dalam kehidupan tidaklah akan mengakibatkan
kegoncangan dan kerusakan, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan
saja.
c. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
Maslahah tahasiniyah adalah sifatnya untuk memelihara
kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya,
kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah
menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan
kehidupan manusia. Dengan kata lain, kemaslahatan ini lebih mangacu
kepada keindahan saja. Misalnya, seperti disebutkan oleh Muhammad
al-Said Ali Abd. Rabuh dalam urusan ibadah Allah telah
mensyariatkan berbagai bentuk kesucian, menutup aurat dan
berpakaian yang indah dan begitu pula dalam hadits Nabi diajarkan
untuk memakai harum-haruman yang pada dasarnya menjadi
kesenangan manusia.
Dan termasuk pula, misalnya yang berkenaan dengan adab dan
tata cara makan dan minum serta memebersihkan diri. Kesemua

5 MuhammadAbu Zahrah, Usul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1957), h. 277.

6
maslahah yang dikategorikan kepada maslahah tahsiniyah ini, sifatnya
hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak ddapat
diwujudkan dan dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan
dan merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia pandang penting dan
dibutuhkan diri.
2. Maslahah dari Segi Eksistensinya
Dilihat dari segi eksistensi atau wujudnya para ulama ushul, juga
membagi mashlahah menjadi tiga macam, yaitu :
a. Maslahat Mu’tabarah
Mashlalah mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam
nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya.
Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan
terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad
al – Said Ali Abd. Rabuh. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah
semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti
memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya
kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu. Allah SWT
telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama,
melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi
pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula
menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua
maslahat yang dikategorikan kepada maslahah mu’tabarah wajib
ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia
merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.
b. Maslahat Mulgah
Yang dimaksud dengan maslahat mulghah ini ialah maslahat yang
bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang
tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan
dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’
menyikapi maslahat ini dengan menolak keberadaannya sebagai
variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian

7
warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya.
Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan
dengan ketentuan nash.6 Namun penyamakan ini dengan alasan
kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan
Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang
yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang
terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik
yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera (al-zajr)
tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan
bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum
karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus
dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik
ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan
demi kemaslahatan yang lebih tepat.
c. Maslahah Mursalah
Yang dimaksud dengan mashlahah mursalah ialah maslahat yang
secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun
menolaknya. Secara lebih tegas, maslahat mursalah ini termasuk jenis
maslahah yang didiamkan oleh nash. Abdul Karim Zaidan
menyebutkan yang dimaksud dengan maslahat mursalah adalah
“Maslahat yang tidak disebutkan oleh nash baik penolakannya maupun
pengakuannya.”7
Dengan demikian maslahat mursalah ini merupakan maslahat yang
sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam
mewujudkan kebaikan yang dihajatkan manusia serta terhindar dari
kemudharatan. Diakui bahwa dalam kenyataannya jenis maslahat yang
disebut terakhir ini terus tumbuh dan berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh perbedaan

6 Al ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby. 217

7 Wahba Zuhaili,ilmu ushl al fiqh., juz II.hlm.799-800.

8
kondisi dan tempat. Menurut Jalaluddin Abdurrahman, bahwa
maslahat mursalah ini dapat dibedakan kepada dua macam:
1) Maslahat yang pada dasarnya secara umum sejalan dan sesuai
dengan apa yang dibawa oleh syari’at. Dengan kata lain, kategori
maslahat jenis ini berkaitan dengan maqasid al-syari’ah, yaitu agar
terwujudnya tujuan syariat yang bersifat daruri (pokok).
2) Maslahat yang sifatnya samar-samar dan sangat dibutuhkan
kesungguhan dan kejelian para mujtahid untuk merealisasirnya
dalam kehidupan.

C. Maslahah Sebagai Tujuan Penetapan Hukum


Di antara dimensi terpenting yang menyebabkan Islam mudah diterima
diberbagai belahan dunia adalah karena tujuan dasar syari’at Islam itu sendiri
yaitu mengutamakan al-maslahah (kemaslahatan bagi manusia) yang
merupakan keinginan dan kebutuhan (fitrah) setiap manusia yang memiliki hati
nurani. Prinsip ini bukanlah sesuatu yang berasal dari luar, tetapi muncul dari
dalam (kandungan) syari’at Islam sendiri, dalam hal ini dari wahyu Ilahi.
Prinsip ini bersifat mutlak dan jelas, karena kemaslahatan ini sebagai
kebutuhan manusia dan kehendak Ilahi. Oleh karenanya, Allah swt.
menurunkan ajara-ajaran Islam kepada rasul-Nya Muhammad saw. melalui
perantaraan malaikat Jibril, dengan membawa misi utama tersebut.
Sebagaimana yang diinformasikan oleh Allah swt. dengan firman-Nya dalam
QS. al-Anbiyâ’ (21): 107 dan QS. Yūnus (10): 57. Kedua ayat tersebut
menunjukkan bahwa syari’at dihadirkan dibumi ini, bertujuan sebagai rahmat
dan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia yang sekarang ini maupun
di akhirat nanti.8
Untuk mewujudkan misi utama itu, maka hukum Islam (syari’at Islam)
ditegakkan untuk menjaga tujuan pokok hukum Islam (al-maqâsid al-
syar’iyyah atau al-ushûl al-khamsah) yang pada dasarnya meliputi lima unsur

8 MuhammadAbu Zahrah, Usul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1957), h. 277.

9
kebutuhan pokok manusia,9 yaitu: 1) Memelihara agama (hifz al-dîn), 2)
Memelihara jiwa (hifz al-nafs), 3) Memelihara akal (hifz al-‘aql), 4)
Memelihara keturunan (hifz al-nasl), dan 5) Memelihara harta dan kehormatan
(hifz al-mâl wa al-‘ird). Oleh karena itu, semua taklîf (pembebanan) dalam
bidang hukum Islam, menurut al-Syathiby, sebagaimana yang dikutip oleh
Fathurrahman Djamil, harus mermuara pada tujuan pokok hukum tersebut.
Tujuan hukum Islam yang berupa al-maslahah tersebut hendak dicapai
melalui taklîfi yang inplikasinya tergantung pemahaman terhadap sumber
hukum yang utama, yakni al-Qur’an dan al-Hadiś.10
Ulama ushul atau fuqaha’ secara umum membagi hukum Islam menjadi
dua kategori, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan ibadah murni
(ibadah mahdah) dan hukum Islam yang berhubungan dengan kemasyarakatan
(ibadah gair al-mahdah). Dalam kategori pertama, hamper tidak terdapat
campur tangan bagi penalaran, bersifat ta’âbbudiy (diterima apa adanya dan
dilaksanakan sebagaimana bentuk ibadah). Sedangkan yang kedua terbuka
peluang bagi pemikir atau penalaran intelektual untuk melakukan sebuah
penafsiran karena lebih bersifat ta’âqqulîy (dapat menerima pemikiran dalam
pelaksanaannya). Tolok ukur pengembangannya adalah kepentingan
masyarakat (al-maşlahah al-âmmah) dan prinsip keadilan (al-’adâlah).
Sementara itu, kepentingan masyarakatdan prinsip keadilan ini secara aplikatif
bisa mengalami perubahan atas pengaruh pergantian zaman, situasi, dan
budaya.
Ibn al-Qaiyyim al-Jauziy dalam kitabnya “I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an
Rabb al-Âlamîn” menyatakan bahwa sesungguhnya hukum Islam (syari’at) itu
disusun dan didasarkan atas kebijakan dan kemaslahatan umat, baik di dunia
maupu di akhirat. Syari’at itu adil sepenuhnya serta bijaksana seluruhnya.
Setiap sesuatu yang keluar dari keadilan, rahmat, kebaikan, dan dari

9 Abū Hamid Muhammad bin Muhammad al-Qhazâliy, Al-Musthafa min ‘Ilm al-Ushūl, Jilid I


(Beirūt: Dar al-Fikr, t.th.), h. 140.
10 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos, 1999), h. 22.

10
kebijaksanan, tidaklah termasuk dalam syariat walaupun dimasukkan ke
dalamnya segala macam dalil.11
Secara global, tujuan syari’at dalam menetapkan hukum-hukumnya
adalah untuk kemaslahatan (al-maşlahah) manusia seluruhnya, baik
kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari
yang baqa (kekal).12 Hal ini didasarkan atas firman Allah swt. dalam QS. al-
Anbiyâ (21 ): dan firman Allah swt. dalam Qs. Ali Imran (3): 159 serta firman
Allah swt. dalam QS. al-Baqarah (2) ayat 201. Demikian itulah tujuan syari’at
(maqaşid al-syarî’ah) secara global, Akan tetapi kalau diperinci, maka tujuan
syariat dalam menetapkan hukum-hukumnya oleh para ulama ushul
fiqh (fuqaha’) ada lima, yang disebut al-maqâsid al-khamsah (Panca
Tujuan).13 Kelima tujuan pokok itu, oleh al-Syatibi disebutkan adalah agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.14 Berikut penjelasan di antara para
ulama ushul fiqh:
1. Memelihara Agama
Agama adalah suatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya martabatnya
dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk yang lain, dan juga
untuk memenuhi hajat jiwanya. Agama Islam merupakan nikmat Allah
yang tertingi dan sempurna.15 Seperti yang dinyatakan Allah swt. dengan
firman-Nya di dalam Qs. al-Maîdah (5): 3. serta firman Allah swt. QS. al-
Anbiyâ (21): 107-108
2. Memelihara Jiwa
Untuk tujuan ini, Islam melarang membunuh dan pelaku pembunuhan
diancam dengan hukuman qishas (pembalasan yang seimbang), sehingga
dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan,
berpikir berpuluh-puluh kali, karena apabila orang yang dibunuh itu mati,
11 Ibn al-Qayyim al-Jauziy, ‘Ilam al-Muwâqqi’în ‘an Rabb al-Âlamîn, Jilid III (Bairut: Dar
al-Fikr, 1977), h. 1.
12 Ismail Muhammad Syah, dkk., Filsafat Hukum Islam, Cet. II (Jakarta: Bumi Aksara,
1992), h.65.
13 Ibid., h. 67.
14 Al-Syatibi, al-Muwâfaqât fi Ushul al Syari’ah, Jilid I, (Cet. II; Kairo: Mustafa
Muhammad, t.th.), h. 8.

11
maka si pembunuh itu juga akan dibunuh, akan mati, atau jika orang yang
dibunuh itu tidak sampai mati tetapi hanya cedera, maka si pelaku
pembunuhan itu juga akan cedera pula.16 Mengenai hal ini, dapat
dijumpai antara lain firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah (2): 178 dan
179.
3. Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk Allah swt. Ada dua hal yang telah membedakan
manusia dengan makhluk lain. Pertama, Allah swt. telah menjadikan
manusia dalam bentuk yang paling baik, dibandingkan dengan bentuk
makhluk-makhluk lain dari berbagai macam binatang. Hal ini telah
dijelaskan Allah swt. sendiri dengan firman-Nya, dalam QS. al-Tîn (95): 4.
Tetapi bentuk yang indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak ada hal yang
kedua, yaitu akal. Oleh karena itu Allah swt. menjelaskan lebih lanjut
dalam surat yang sama ayat 5 dan 6. Jadi jelas, akal lebih penting dalam
pandangan Islam. Oleh karena itu Allah swt. selalu memuji orang yang
berakal. Hal ini dapat dilihat antara lain pada firman Allah swt. dalam QS.
al-Baqarah (2): 164.
4. Memelihara Keturunan
Untuk hal ini, ajaran Islam mengatur pernikahan (perkawinan) dan
mengharamkan zina. Ajaran Islam menetapkan siapa-siapa yang boleh dan
tidak boleh dinikahi, bagaimana cara-cara pernikahan itu dilakukan dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi, sehingga pernikahan itu dianggap sah
dan percampuran antara dua manusia berlainan jenis itu tidak dianggap
berbuat zina, dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinilah sah dan
menjadi keturunan sah dari ayahnya. Bahkan tidak hanya melarang itu
saja, tetapi juga melarang dan mengharamkan hal-hal yang dapat
membawa kepada perbuatan zina. Pengaturan Islam mengenai pernikahan
dapat dilihat antara lain pada firman Allah swt. dalam QS. al-Nisa‟ (4): 3
dan 4, juga pada firman-Nya dalam QS. al-Nisa‟ (4): 22 dan 24.

12
5. Memelihara Harta Benda dan Kehormatan
Walaupun pada hakekatnya semua harta benda itu milik mutlak Allah swt.,
namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia
tama’ kapada harta benda, sehingga berusaha maksimal dengan jalan
apapun. Karena itu, Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi
bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu Islam mensyariatkan peraturan-
peraturan mengenai mu‟âmalah, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai
menggadai, dan sebagainya, serta melarang dan atau mengharamkan
penipuan, riba, sogok menyogok, dan lain-lain yang semacamnya.
Mengenai hal ini, dapat kita jumpai antara lain firman Allah swt. dalam
QS. al-Baqarah (2): 282-283, dan Ali Imran (3): 130.
Selanjutnya, para ulama ushul fiqh membagi al-maşlahah ke dalam
beberapa macam dan dari sudut pandang yang berbeda, di antaranya,
berdasarkan tingakat kekuatan dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.
Dari sudut pandang ini, al-mashlahah dibagi menjadi tiga bagian,17 yaitu:
1. Al-Maşlahah al-darûriyah (kemaşlahatan primer),18 yaitu kemaşlahâtan
memelihara urusan pokok yang keberadaannya bersifat mutlak dan tidak
bisa diabaikan, akan melakukan keseimbangan dalam kehidupan
keagamaan dan keduaniaan. Jika kemaslahatan ini tidak terwujud, maka
akan terjadi kekacauan dalam kehidupan keagamaan dan keduniaan
manusia, mereka akan kehilangan keserasian dan kebahagian di dunia dan
di akhirat. Al-maşlahah al- darûriyah atau kemaşlahatan primer ini,
seperti yang telah diuraikan dalam al-maqâşid al-syarî‟ah atau uşul al-
khamsah lebih awal.
2. Al-Maşlahah al-hâjîyah (kemaşlahâtan sekunder),19 yaitu sesuatu yang
diperlukan oleh seseorang untuk memudahkannya menjalani hidup dan
kehidupannya serta menghilangkan kesulitan dalam memelihara al-
maqâshid al-syarî‟ah. Jika tidak terpenuhi kemaslahatan tingkat ini,
manusia akan mengalami kesulitan dalam upaya untuk mendapatakan
keserasian dan kebahagian hidupnya. Hal ini dalam syari’at Islam

13
diimplementasikan dengan adanya hukum rukhshah dalam menjalankan
ibadah jika terdapat kesulitan.
3. Al-Maşlâhah al-tahsinîyah (kemaşlâhatan tersier),20 yaitu memelihara
kelima unsur pokok al-maqâshid al-syarî‟ah dengan cara meraih dan
menetapkan hal-hal yang pantas dan layak dari kebiasaan-kebiasaan hidup
yang baik, serta menghindarkan sesuatu yang dipandang yang sebaliknya
oleh akal sehat. Apabila tidak tercapai kemashlahatan tingkat ini, manusia
tidak sampai mengalami kesulitan, tetapi mereka dipandang menyalahi
nilai-nila kepatutan dan atau kewajaran, dan tidak mencapai tarap hidup
yang bermartabat. Sebagai contoh, dalam tata cara menutup aurat, dalam
kebiasaan hidup dengan mengikuti sopan santun dalam makan, minum,
dan sebagainya. Tujuan mengatur hal-hal semacam ini adalah untuk
menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih baik,21 dan atau indah.
Selain pembagian di atas, terdapat pula pembagian yang lain ditinjau
dari sudut pandang yang berbeda, di antaranya:
1. Berdasarkan ada atau tidaknya pengakuan syara’. Dalam hal ini, al-
maşlahah dapat dibagi atas tiga macam, yaitu: a. al-maşlahah al-
mu‟tabarah, atau kemaslahatan yang keberadaanya diakui oleh syara’.
Artinya kemaslahatan dilegitimasi oleh teks-teks dalil al-Qur’an dan al-
Sunnah; b. al-malahah al-mulgah, atau kemaşlâhatan yang dipersepsikan
sebagai kemaşlâhatan oleh perenungan akal manusia, tetapi ternyata
bertentangan dengan teks-teks dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Semua
kemaslahatan yang betentangan dengan teks-teks dalil qaş‟iy adalah
terabaikan (mulgah); dan c. al-maşlahah al-mursalah, atau kemaslahatan
yang berada dalam posisi antara al-maşlahah al-mu‟tabarah dan al-
muşlahah al-mulgah. Atau dengan kata lain, tidak ada teks-teks dalil al-
Qur-an dan al-Sunnah yang secara jelas melegitimasi keberadaannya dan
juga tidak membatalkan atau mengabaikan eksistensinya.
2. Berdasarkan Cakupannya. Ditinjau dari segi cakupannya, maka al-
maşlahah dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: a. al-maşalahah yang
berkaitan dengan semua orang, seperti menjatuhkan hukuman mati

14
terhadap pengedar nakoba, dan semacamnya; b. al-maşlahah yang
berkaitan dengan mayoritas (kebanyakan) orang, tidak bagi semua orang,
seperti orang mengerajakan bahan baku pesanan orang lain untuk
menjadikan sebuah barang jadi atau setengah jadi, wajib menggantikan
bahan baku yang dirusakkannya; dan c. al-maşlahah yang berkaitan
dengan orang-orang tertentu, seperti adanya kemaslahatan bagi seorang
isteri agar hakim menetapkan keputusan fasakh karena suaminya
dinyatakan mafqûd (hilang).
3. Berdasarkan ada tidaknya perubahan. Dari sudut pandang ini, menurut
Mushthafa Syalabi sebagaimana yang dikutip oleh Nasroen Haroen, al-
maşlahah dibagi menjadi dua bagian,24 yaitu: a. al-maşlahah yang
mengalami perubahan sejalan dengan perubahan waktu, lingkungan dan
atau orang-orang yang menjalaninya. Hal ini terjadi hanya pada masalah-
masalah yang berkaitan dengan mu‟âmalah dan ‘urf (kebiasaan); dan b.
al-maşlahah yang tidak mengalami perubahan, bersifat tetap sampai akhir
zaman. Kemaşlahatan bersifat tetap walaupun waktu, lingkungan, orang-
orang yang berhadapan dengan kemaşlahatan tersebut telah berubah.
Kemaşlahatan yang tidak berubah ini adalah yang berkaitan dengan
masalah-masalah ibadah. (khusus ibadah mahdah).
4. Pembagian al-maşlahah ke dalam beberapa macam dari sudut pandang
yang berbeda itu adalah hasil perenungan panjang para pakar uşul fiqh
sejak abad III sampai IV H., dan berlangsung hingga saat ini. Kesimpulan
tersebut merupakan karya abstraksi intelektual yang luar biasa, dan tentu
saja juga dipikirkan secara serius.25 Pembagian tersebut dapat juga
dikatakan sebagai informasi atau sinyal agar tidak seluruh al-maşlahah
yang hinggap dalam benak seseorang dengan begitu saja dapat dijadikan
sebagai sumber dan atau dasar hukum Islam.

15
D. Mashlahah sebagai Dalil dalam Menakwil Ayat al-Quran
Telah menjadi konsensus dikalangan ulama bahwa setiap hukum yang
disyari`atkan Allah SWT bagi umat manusia mengandung mashlahah ataupun
kebaikan bagi mereka. Sehingga disadari atau tidak, secara otomatis aturan
yang ditetapkan tersebut akan menggiring manusia menuju
kebahagiaan.Meskipun mereka berbeda pendapat dalam menyatakan apakah
perbuatan Allah SWT dalam menetapkan hukum terikat dengan mashlahah
atau tidak.
Al-Quran – dalam hal ini diwakili oleh ayat-ayat hukum- senantiasa
memperhatikan pengwujudan mashlahah pada setiap tindak tanduk yang
bersumber dari mukallaf. Oleh sebab itu,dalam term hukum islam,mashlahah
menjadi salah satu patokan mujtahid dalam upaya mengenali hukum pada
permasalahan yang tidak memiliki keterangan pasti dari nushush al-
muqaddasah (teks-teks suci al-Qur’an dan Sunnah). Sehingga dengan
demikian, produk hukum yang dilahirkan oleh mujtahid senantiasa relevan
dengan kondisi zaman.
Kesepakatan ulama tentang adanya eksistensi mashlahah dalam syari`at
Islam berdasarkan kepada istiqra’ atas nushush yang terdapat dalam al-Qur’an
dan Sunnah berkaitan dengan pensyari`atan hukum. Dari metode analisa ini
menyimpulkan bahwa bahwa kontruksi hukum Islam senantiasa dilekati oleh
hikmah dan illah yang bermuara pada mashlahah. Jadi, tidak satu pun dalil
yang mensyariatkan tentang hukum melainkan bertujuan untuk kebaikan
manusia. Kebaikan yang diinginkan oleh al-Syari’ selama hidup di dunia dan
kebaikan yang diinginkan oleh al-Syari’ untuk hidup di akhirat nanti.
Imam Syathiby menguatkan hal yang demikian dengan mengatakan
bahwa Allah SWT menurunkan syari`at bagi manusia adalah untuk
kemashlahatan ataupun kebaikan hidup mereka selama di dunia dan akhirat
nantinya secara bersamaan. Jadi tidak satu hukumpun yang digariskan
melaiankan untuk mendatangkan kebaikan ataupun kebahgaiaan bagi manusia.
Argumen ini dilantangkan oleh al-Syathiby sebagai bentuk bantahan atas

16
pendapat al-Razy yang menafikan bahwa syariat yang digariskan Allah SWT
kosong ataupun sepi dai dari nilai- nilai mashlahah.
Sebagai pembuktian atas eksistensimashalahah dalamal- Quran, penulis
akan mengupas beberapa ayat yang menjadi penegas bahwa Islam sangat
memperhatikan mashlahah. Di antaranya adalah: Allah SWT berfirman: ‫َو َما‬
107 :‫اء‬UU‫الَ ِمینَ (األنبی‬UU‫ ةً لِ ْل َع‬U‫ك إِالَّ َرحْ َم‬
َ ‫ ْلنَا‬U ‫ (أَرْ َس‬Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus
kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
(QS. Al-Anbiya’: 107) Dalam menafsirkan kata rahmatan pada ayat di atas,
Muhammad Sa`id Ramadhân al-Buthy menyebutkan bahwa tujuan diutusnya
seorang rasul dengan syari`at yang dibawanya merupakan sebagai bentuk
rahmat bagi umat manusia. Sebab misi langit yang mereka sampaikan kepada
umat manusia untuk menciptakan kesejahteraan bagi mereka di dunia dan
akhirat. Seandainya syari`at yang diturunkan bersama rasul tidak mampu
menciptakan dan menjaga kemaslahatan bagi umat manusia maka syari`at yang
diturunkan tersebut bukanlah rahmat akan tetapi niqmah (bencana).
Dalamayatlain Allah SWT berfirman: :‫رة‬UU‫ َر (البق‬U‫ ُد بِ ُك ُم ْالع ُْس‬U‫ َر َوالَ ی ُِری‬U‫ ُد هللاَّ ُ بِ ُك ُم ْالی ُْس‬U‫ی ُِری‬
185(Artinya:“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (QS. Al- Baqarah: 185) Imam al-Maraghi menyebutkan
bahwa Allah SWT memberikan keringanan kepada umat Islam yang
menjalankan ibadah puasa dengan berbagai bentuk. Keringanan tersebut tidak
terkhusus pada puasa saja, akan tetapi Allah SWT juga memberikan berbagai
keringanan di setiap hukum yang disyariatkan. Imam al-Maraghy menekankan
bahwa agama yang diturunkan bertujuan untuk menciptakan kemudahan bukan
kesusahan.
Dapat dipahami dari ayat di atas bahwasanya Allah SWT senantiasa
menginginkan kemudahan bagi manusia untuk menjalankan berbagai aturan
yang telah ditetapkan-Nya, baik berupa perintah ataupun larangan agar
terciptanya kemaslahatan bagi umat manusia selama hidup dunia dan akhirat
nantinya.Dan Allah SWT juga tidak pernah menginginkan adanya kesukaran
bagi manusia dalam aktivitas mereka, sebab yang demikian dapat menghalangi
mereka untuk mewujudkan kemaslahatan. Dalamayatlain, Allah SWT

17
menerangkan bahwa Dia tidak pernah menginginkan adanya ke susahan
ataupun kesempitan bagi hamba-Nya. Hal ini diterangkan dalam firman-Nya: ‫َما‬
ٍ ‫ل َعلَ ْی ُك ْم ِم ْن َح َر‬UUUUَ
6 :‫دة‬UUUU‫ج (المائ‬ َ ‫ ُد هللاَّ ُ لِیَجْ ع‬UUUU‫ (ی ُِری‬Artinya: “...Allah tidak hendak
menyulitkan kamu,...” (QS. Al- Maidah: 6) Ayat di atas memiliki kandungan
keuniversalan sebuah nilai yang bisa menjadi dalil atas setiap dimensi hukum
perbutan manusia. Sebab Allah SWT menekankan bahwa ajaran Islam yang
diturunkan beserta dengan aturan-aturanya tidaklah untuk menyulitkan
manusia karena hal ini bertentangan dengan iradah Allah SWT yang
menginginkan kemudahan dan kelapangan. Jadi, pada hakikatnya Allah SWT
menginginkan setiap manusia mampu mewujudkan kemahlahatan bagi dirinya
di dunia dan di akhirat, tidak ada pembebanan hukum melainkan manusia
ْ ‫إِ َّن هللاَّ َ یَأْ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َوا‬
mampu melaksanakannya. Dalam firman-Nya yang lain: ْ‫إل ِح‬
:‫ل‬UUUU‫ َذ َّكرُونَ (النح‬UUUUَ‫ر َو ْالبَ ْغ ِي یَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم ت‬UUUU
ِ ‫ا ِء َو ْال ُم ْن َك‬UUUU‫رْ بَى َویَ ْنھَى َع ِن ْالفَحْ َش‬UUUUُ‫ا ِء ِذي ْالق‬UUUUَ‫ا ِن َوإِیت‬UUUU‫َس‬
90( Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Ia member pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Nahl: 90)
Pada ayat di atas Allah SWT memerintahkan manusia untuk berbuat
adil dan juga berbuat kebaikan.Keadilan dan kebaikan yang diperintahkan
Allah SWT bermuatan mashlahah yang mesti diwujudkan sehingga tidak
menimbulkan konflik dalam kehidupan manusia.Sebagaimana Allah SWT
melarang perbuatan keji, munkar dan permusuhan karena segala bentuk dari
perbuatan ini bermuatan mafsadah ataupun keburukan. Dalamayatlain Allah
SWT berfirman: َ َّ‫وا أَ َّن هللا‬UU‫ا یُحْ یِی ُك ْم َوا ْعلَ ُم‬UU‫ا ُك ْم لِ َم‬UU‫و ِل إِ َذا َد َع‬U‫َّس‬ ْ ‫یَا أَیُّھَا الَّ ِذینَ آَ َمنُوا‬
ُ ‫تَ ِجیبُوا ِ َّ ِ َولِلر‬U‫اس‬
24 :‫ال‬UU‫رُونَ (األنف‬U‫رْ ِء َوقَ ْلبِ ِھ َوأَنَّھُ إِلَ ْی ِھ تُحْ َش‬UU‫ (یَحُو ُل بَ ْینَ ْال َم‬Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, penuhi lah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru
kamu kepada suatu yang member kehidupan kepada kamu ketahuilah bahwa
Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya
kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.”

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pensyari’atan hukum Islam oleh al-Syari’ dalam hal ini adalah Allah
swt. tidak lain hanya untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan
menjauhkan manusia dari kemafsadatan yang dapat merugikannya baik di
dunia maupun di akhirat. Hanya saja pensyari’atan hukum Islam yang tertuang
dalam Alquran dan hadis Rasulullah saw. adakalanya penunjukan terhadap
maksud diturunkan atau disyari’atkannya syari’at tersebut bersifat ekspilisit
atau jelas dan adakalanya tidak tidak jelas. Selain itu, perkembangan dan
kemajuan hidup manusia membuat munculnya persoalan-persoalan hukum
baru yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam Alquran dan hadis.
Sesungguhnya yang menjadi tujuan utama diturunkannya ajaran Islam
dalam al-Quran adalah untuk menciptakan kebaikan (mashlahah) bagi umat
manusia berupa kebahagiaan dan juga ketentraman serta menolak segala
bentuk keburukan (mafsadah) berupa kesengsaraan dan kebinasaan selama
hidup di dunia dan juga di akhirat nantinya.17 Untuk mempertegas tujuan ini,
Allah SWTberfirman dalam al-Qur’an bahwa: Mashlahah Dalam Al-Qur’an
Zul Ikromi 238 An-Nur, Vol. 4 No. 2, 2015 :‫ك إِالَّ َرحْ َمةً لِ ْل َعالَ ِمینَ (األنبیاء‬
َ ‫َو َما أَرْ َس ْلنَا‬
107( Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(QS. Al-Anbiya’: 107) Kata
rahmatan pada ayat di atas mengisyaratkan bahwa tujuan diutusnya seorang
rasul dengan syari`at yang dibawanya merupakan sebagai bentuk rahmat bagi
umat manusia. Seandainya syari`at yang diturunkan bersama rasul tidak
mampu menciptakan dan menjaga kemaslahatan bagi umat manusia maka
syari`at yang diturunkan tersebut bukanlah rahmat akan tetapi niqmah
(bencana). Syari`at Islam yang diturunkan Allah SWT tidak sebatas teori yang
menyeru kepada kemashlahatan berupa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
nanti. Akan tetapi, untuk terciptanya kemashlahatan tersebut Allah SWT
menurunkan seperangkat aturan atau yang dikenal juga dengan hukum agar

19
berupa perintah agar dilaksanakan dan larangan agar ditinggalkan. Hukum ini
dibebankan bagi manusia yang telah memiliki kemampuan ataupun kapasitas
untuk berbuat hukum (aqil dan balig). Atas segala perbuatan hukum tersebut,
suatu sa`at nanti manusia akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan
Allah SWT.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, mudah-mudahan dengan adanya
makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi kita semua.
Untuk kesempurnaan makalah ini, kami selaku pemakalah bersedia menerima
kritik dan saran yang membangun untuk menuju yang lebih baik nantinya.
untuk perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

20
DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafie, MA. Usul Fiqh, Cet. keenam; Jakarta: Wijaya, 1975),

MuhammadAbu Zahrah, Usul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1957),

Abū Hamid Muhammad bin Muhammad al-Qhazâliy, Al-Musthafa min ‘Ilm al-


Ushūl,  Jilid I (Beirūt: Dar al-Fikr, t.th.),

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos, 1999),

 Ibn al-Qayyim al-Jauziy, ‘Ilam al-Muwâqqi’în ‘an Rabb al-Âlamîn, Jilid III
(Bairut: Dar al-Fikr, 1977),

Ismail Muhammad Syah, dkk., Filsafat Hukum Islam, Cet. II (Jakarta: Bumi


Aksara, 1992),

Al-Syatibi, al-Muwâfaqât fi Ushul al Syari’ah, Jilid I, (Cet. II; Kairo: Mustafa


Muhammad, t.th.),

Al ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby.

Wahba Zuhaili,ilmu ushl al fiqh., juz II.

Abd. Wahbah Khalaf. Ilmu ushul fiqh.

Dr M.ibn ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu


al kitab al tsaqofiyah.

Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami.

21
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pengertian Maqashid Al-
Syariah” Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen yang telah
berkenan membimbing kami dalam mata Kuliah “Ushul Fiqih II” yang telah
membantu. Oleh karenanya kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan dan terlebih dahulu kami ucapkan terima kasih.
Demikian makalah ini kami sajikan semoga bermanfaat bagi kami dan
pembaca.

Ujung Gading, Maret 2021

Penulis,

22
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Al Maslahah Sebagai Maqashid Metode Ijtihad....... 2

B. Pembagian Al-Maslahah........................................... 4

C. Maslahah Sebagai Tujuan Penetapan Hukum........... 8

D. Mashlahah sebagai dalil Menakwil Ayat al-Quran... 16

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................ 19
B. Saran.......................................................................... 20

DAFTAR KEPUSTAKAAN

23

Anda mungkin juga menyukai