Anda di halaman 1dari 6

PENYELESAIAN HUKUM PEREMPUAN HAMIL DI LUAR NIKAH DI KOTA

SAMARINDA

Di Indonesia, banyak fakta yang telah mengungkapkan praktik kebebasan pergaulan yang
mengakibatkan hamil di luar nikah. Fenomena menyimpang tersebut telah mengurangi
kesakralan pernikahan yang seharusnya menjadi sesuatu yang suci dan melalui berbagai tahapan
yang butuh perhatian dan keseriusan bukan sekedar melegalkan pernikahan perempuan hamil di
luar nikah. Perkawinan bukan hanya sekedar untuk kepentingan biologis semata, tetapi juga
memperoleh keturunan dalam rangka membentuk keluarga adalah tujuan utama dari sebuah
perjanjian perkawinan. Keturunan diharapkan dapat melanjutkan misi dan impian orang tuanya
yang belum terealisasi dalam hidupnya.
Islam merupakan agama yang sangat menghormati kedudukan manusia yang dibuktikan
dalam berbagai hukum yang diterapkan. Penghormatan ini adalah untuk merealisir kemaslahatan
manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari
mereka.
Dalam Undang-undang Perkawinan secara jelas mendefenisikan tentang perkawinan
yang bertujuan untuk membangun kehidupan keluarga yang memiliki nilai bahagia dan
keagamaan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 yang berbunyi: Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suatu ikatan suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan
Yang Maha Esa.
Persoalan menikahi perempuan hamil karena zina bukan hanya menyisakan aspek status
dan keabsahan dari pernikahan yang terjadi oleh pelaku atau bukan pelakunya saja, tetapi
implikasi lainnya yang terkait dengan anak yang dikandung oleh perempuan tersebut manakala
lahir. Ini bermakna pula bahwa menikahi perempuan hamil luar nikah pada dasarnya telah terikat
sebuah keluarga yang memiliki ikatan hukum yang sah. Namun pernikahan ini membawa
persoalan bawaan yang terkait dengan tanggung jawab terhadap anak luar nikah dan aspek-aspek
kewarisan yang secara biologis melekat pada anak tersebut.
Secara umum, menikahi perempuan hamil luar nikah setidaknya memiliki dua
kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, pria yang menikahi perempuan hamil merupakan
orang yang menghamilinya. Hal ini sering terjadi dalam masyarakat akibat si pria tersebut
dituntut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya melakukan hubungan seks dengan seorang
perempuan sebelum adanya akad nikah. Kedua, pria yang menikahi perempuan hamil tersebut
bukanlah orang yang menghamilinya
Sebagai kerangka berpikir dalam melakukan penelitian ini, digunakan teori Maqāsid
Syarī’ah dan teori Maslahah. Penggunaan pendekatan melalui Maqāsid Syarī’ah dalam
menetapkan hukum telah lama berlangsung dalam Islam. Hal demikian tersirat dari beberapa
ketentuan Nabi saw. Hal ini dapat dilihat, antara lain pada suatu peristiwa ketika Nabi saw
melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal
untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi saw
itu dilanggar oleh beberapa sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi saw. Beliau
membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging
kurban adalah didasarkan atas kepentingan al-daffah (tamu yang terdiri atas orang-orang miskin
yang datang dari perkampungan sekitar Madinah).
Kajian Maqāsid Syarī’ah kemudian dikembangkan secara luas dan sistematis oleh Abū
Ishāq asy-Syātibī. Kajian tentang Maqāsid Syarī’ah ini menurut asy-Syātibī bertolak dari asumsi
bahwa segenap syari‟at yang diturunkan Allah senantiasa mengandung kemaslahatan bagi
hamba-Nya untuk masa sekarang (di dunia) dan sekaligus masa yang akan datang (di akhirat).
Tidak satupun dari hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai
tujuan sama dengan taklīf ma lā yutāq (pembebanan suatu yang tidak bisa dilaksanakan) yaitu
dalam ungkapan imam Syātibī yang berbunyi Sesungguhnya Syari‟ (pembuat hukum, yaitu
Allah) menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia untuk kehidupan sekarang
(dunia) dan akhirat secara bersamaan antara keduanya.
Secara global, tujuan hukum syara’ dalam menetapkan hukumhukumnya adalah untuk
kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun
kemaslahatan dihari yang baqa (kekal) kelak. Hal itu dapat dilihat dari persoalan pengutusan
Rasul oleh Allah swt, yang tertuang dalam firman-Nya pada surat an-Nisā’ ayat 165:
             
 
(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan
adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kemudian juga terdapat dalam Surat al-Anbiyā’ ayat 107:
     
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Tujuan hukum (Maqāsid Syarī’ah) harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka
mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-
persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh al-Qur‟an dan al-
Hadis. Lebih dari itu tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus
masih dapat diterapkan berdasarkan ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur sosial.
Dengan demikian, hukum Islam akan tetap dinamis dalam menjawab berbagai fenomena sosial
yang senantiasa berubah dan berkembang.
Menurut ahli Ushul, Maqāsid Syarī’ah merupakan suatu kajian yang sangat penting.
Karena Maqāsid Syarī’ah merupakan perwujudan dari unsur mengambil manfaat dan menolak
kemudaratan dalam kehidupan, baik untuk dunia maupun untuk kehidupan akhirat. Karena
tujuan syari‟at kepada manusia pada dasarnya adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudaratan.
Kemudian teori kedua dalam penelitian ini adalah teori Maslahah Maslahah secara
etimologi adalah kata tunggal dari al-masālih, yang searti dengan kata salāh, yaitu mendatangkan
kebaikan. Terkadang digunakan juga istilah lain yaitu istislāh yang berarti mencari kebaikan. Tak
jarang kata maslahah atau istislāh ini disertai dengan kata al-munāsib yang berarti hal-hal yang
cocok, sesuai, dan tepat penggunaannya. Dari beberapa arti ini dapat diambil suatu pemahaman
bahwa setiap sesuatu apa saja yang mengandung manfaat di dalamnya baik untuk memperoleh
kemanfaatan, kebaikan, maupun untuk menolak kemudaratan, maka semua itu disebut dengan
maslahah.
Dalam konteks kajian ilmu Ushul Fiqh, kata tersebut menjadi sebuah istilah teknis yang
berarti berbagai manfaat yang dimaksudkan Syari' dalam penetapan hukum bagi hamba-hamba-
Nya, yang mencakup tujuan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan,
serta mencegah hal-hal yang dapat mengakibatkan luputnya seseorang dari kelima kepentingan
tersebut. Maslahah dalam pengertiannya dapat dimaknai dengan sesuatu yang mutlak menurut
istilah para ahli ilmu Ushul Fiqh ialah suatu kemaslahatan; di mana syari'ah tidak mensyariatkan
suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas
pengakuan dan penolakannya.
Maslahah merupakan salah satu metode analisa yang dipakai oleh ulama Ushul dalam
menetapkan hukum (istinbāt) yang persoalannya tidak diatur secara eksplisit dalam al-Qur'an dan
al-Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.
Maslahah secara umum, yaitu yang dapat menarik manfaat dan menolak mudarat, serta yang
direalisasikan oleh syariat Islam dalam bentuk umum. Nash-nash pokok ajaran Islam telah
menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur
berbagai aspek kehidupan. Pembuat syara' (Allah swt dan Rasul-Nya) tidak menentukan bentuk-
bentuk dan macammacam maslahat, sehingga maslahat seperti ini disebut dengan mursalah,
yaitu mutlak tidak terbatas.
Apabila sebuah maslahat didukung oleh nash, seperti menuliskan alQur'an supaya tidak
hilang, mengajar membaca dan menulis, atau terdapat nash yang mendukungnya, seperti
kewajiban mengajarkan dan menyebarkan ilmu, perintah mengajarkan segala kebaikan yang
diperintahkan syara' dan larangan mengerjakan segala macam kemungkaran yang dilarang syara',
maka maslahah semacam ini disebut maslahah mansūs (maslahah yang ada nashnya), maslahah
jenis ini tidak termasuk maslahah mursalah hukum maslahah mansus ditetapkan oleh nash bukan
oleh metode istislāh.
Para ahli Ushul Fikih mengemukakan beberapa pembagian maslahat Berdasarkan segi
kualitas dan kepentingan kemaslahatan, mereka membaginya dalam tiga bentuk sebagai berikut:
a. Al-Maslahah ad-Darūrīyah yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan
pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain Al-Maslahah ad-Darūrīyah
(kebutuhan primer) adalah kebutuhan mendasar yang menyangkut, mewujudkan, dan
melindungi eksistensi lima pokok yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Menurut para ahli Ushul
Fikih, kelima kemaslahatan ini disebut al-masālih al-khamsah. Apabila kemaslahatan ini
hilang, maka kehidupan manusia akan bisa hancur karenanya, dan tidak akan selamat
baik di dunia maupun di akhirat. Menurut asy-Syātibī, dari kelima hal ini adalah agama
dan dunia dapat berjalan seimbang dan apabila dipelihara akan dapat memberi
kebahagiaan bagi masyarakat dan pribadi.
b. Al-Maslahah al-Hājīyah yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok atau mendasar sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Dengan kata lain, kebutuhan
al-Hājīyah (kebutuhan sekunder), adalah suatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia,
akan tetapi tidak mencapai tingkat Darūrī. Seandainya kebutuhan ini tidak terpenuhi
dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupanitu sendiri,
namun keberadaannya dibutuhkan untuk memberi kemudahan dalam kehidupannya
c. Al-Maslahah at-Tahsinīyah yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa
keleluasan yang dapat melengkapi keemaslahatan sebelumnya Dengan kata lain adalah
sesuatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer dan lebih menyempurnakan
kesejahteraan hidup manusia Jika kemaslahatan Tahsinīyah ini tidak terpenuhi, maka
kemaslahatan hidup manusia akan terasa kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun
tidak sampai menimbulkan kemelaratan dan kebinasaan hidup. Keberadaannya
dikehendaki untuk kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan.
Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Penyelesaian Hukum Perempuan
Hamil di Luar Nikah Di Kota Samarinda ialah dengan menikahkan perempuan yang hamil di
luar nikah tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya. Walaupun terdapat pendapat yang
perempuan yang dinikahkan dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Praktik ini tidak
sesuai dengan hukum Positif tapi dibolehkan dalam Hukum Islam. Penyelesaian Hukum
Perempuan Hamil Di Luar Nikah Di Kota Samarinda dalam Konteks Pengembangan Hukum
Perkawinan Di Indonesia ialah pemberian sanksi bagi pelaku zina yang menyebabkan hamil di
luar nikah, diperlukan untuk efek jera bagi masyarakat dan kemaslahatan.

Hukum di Indonesia Permasalahan hamil diluar Pendekatan sistem;


tentang perempuan Normatif, sosiologis
nikah di Kota Samarinda
hamil diluar nikah dan fenomenologis
Perkembangan Hukum
Al Qur’an Maqhasid Syari’ah
dan Sunnah Perkawinan di Indonesia
Maslahah
(KHI)

1. Menikahkan
dengan laki-
Pelaku harus diberikan sanksi
laki yang agar menjadi efek jera dalam
menghamili kehidupan masyarakat sebagai
2. Menikahkan bentuk maslahat
dengan laki-
laki yang
bukan
menghamili

Anda mungkin juga menyukai