Anda di halaman 1dari 36

Jul 2, '08 3:34 AM

Akad Transaksi Dalam Islam


for everyone

Dasar Fiqh Ekonomi Islam

PENDAHULUAN
    Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam
kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih adalah pada hukum-
hukum Islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan, seperti: wajib,
sunnah, haram, makruh, dan mubah (boleh). Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang
menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah,
dan urusan muamalah dalam kaitannya dengan hubungan horizontal antara manusia dengan manusia
lainnya.

Pengertian fiqih berbeda dengan pengertian syariah. Syariah adalah agama atau hukum-hukum yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengatur kehidupan manusia. Perbedaan yang paling
mendasar antara fiqih dan syariah adalah syariah itu berupa wahyu ilahy, sedangkan fiqih merupakan
hasil ijtihad (tafsiran) manusia yang ditafsirkan dari wahyu ilahy, berdasarkan pemahamannya tentang
dimensi praktis dalam syariah.

Ruang lingkup fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum,
dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab, dengan istilah
iqtishady. Iqtishady (ekonomi) adalah suatu cara bagaimana individu-individu dan masyarakat dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai alternatif pemakaian atas
alat-alat pemuas kebutuhan yang tersedia, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat
dipenuhi oleh manusia dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas.

  Fiqih ekonomi (fiqih iqtishady) dalam Islam, mencakup tentang aturan-aturan atau rambu-rambu yang
diperoleh dari hasil ijtihad manusia yang didasarkan pada wahyu Ilahi (Al-Qur’an dan Al-Hadist),
berkenaan dengan bagaimana manusia (individu-individu dan masyarakat) dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya, dengan membuat pilihan-pilihan dalam menggunakan sumber-sumber daya yang
tersedia. Kajian fiqih ekonomi terfokus pada bidang-bidang yang ada dalam ilmu ekonomi, yaitu
peraturan mengenai hak milik individu, teori produksi, teori konsumsi, dan berbagai prinsip-prinsip
ekonomi yang ada di dalamnya, seperti prinsip keadilan, prinsip ihsan (berbuat kebaikan), prinsip
mas’uliyah (pertanggungjawaban), prinsip kifayah (kecukupan), prinsip wasathiyah (keseimbangan),
prinsip waqi’iyah (realistis), prinsip kejujuran, dan sebagainya.
 

SUMBER-SUMBER FIQIH
Fiqih Islam secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly berupa Al-Qur’an dan Al-
Hadist, dan dalil aqly berupa akal (ijtihad). Penetapan sumber fiqih Islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-
Qur’an, Al-Hadist, dan akal (ijtihad) didasarkan pada hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Mua’dz
bin Jabal, yaitu:
Diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, bahwa ketika ia mendapat mandat dari Rasulullah sebagai duta ke
Yaman, Rasulullah berkata kepadanya: “Bagaimana anda akan memutuskan suatu hukum apabila
diharapkan kepada anda suatu perkara?” Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada kitab
Allah Al-Qur’an”. Nabi bertanya: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya di dalam Al-Qur’an?”.
Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada Sunnah (Al-Hadist)”. Nabi bertanya lagi:
“Bagaimana kalau anda tidak menemukannya?”. Dan Muadz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan
akal pikiran saya”.

Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab
yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akherat. Al-Qur’an
merupakan referensi utama umat Islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan perundang-
undangan. Sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, Al-Qur’an mesti dinomorsatukan oleh
umat Islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan. Ayat-ayat Al-
Qur’an mesti didahulukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul ke permukaan,
karena dari segi lafazh dan maknanya bersifat qath’iyyu al wuruud, yaitu tidak diragukan lagi
keasliannya. Umat Islam dilarang mengambil hukum dan jawaban atas problematika dari luar Al-Qur’an
selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash Al-Qur’an.

Al-Hadist.
Al-Hadist adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan. Al-Hadist merupakan sumber fiqih ke dua setelah Al-Qur’an yang berlaku dan
mengikat bagi umat Islam. Hal ini dipertegas Al-Qur’an dalam Surat Al-Hasyr ayat 7, yaitu:
“Dan apa yang berasal dari Rasulullah maka ambillah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah, dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah pedih siksanya”.

Fungsi Al-Hadist dalam sistematika hukum Islam ada tiga, yaitu: 1) Memperkuat apa yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an, 2) Sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang
global, membatasi ayat-ayat yang mutlak, dan mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
dalam aplikasinya, 3) Menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an.

Ijma’ dan Qiyas.


Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan
tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’
bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk
menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist),
dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash, dikarenakan oleh
persamaan illat (kausa) hukum. Secara teknis penggunaan metode qiyas dimulai dengan identifikasi illat
hukum yang terdapat dalam nash, dilanjutkan dengan memastikan apakah illat tersebut juga dimiliki
oleh hukum baru yang tidak tersebut dalam nash, baru diambil kesimpulan bahwa kedua kasus itu sama
illat, dan dengan kesamaan illat itu disimpulkan kesamaan hukum.

FIQIH MAQASHID SYARIAH


Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam
setiap hukum dari keseluruhan hukumNya. Inti dari tujuan syariah adalah “maslahah” atau manfaat.
Keseluruhan produk hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan manfaat bagi manusia. Kemaslahatan
manusia ini oleh Imam Ghozali dirinci dalam lima aspek kehidupan yang menjadi aspek pokok tujuan
syariat. Ke lima aspek tersebut adalah: 1) terpeliharanya agama, 2) terpeliharanya jiwa, 3)
terpeliharanya akal, 4) terpeliharanya keturunan, dan 5) terpeliharanya harta atau modal.
Dalam memelihara lima aspek pokok tujuan syariat di atas, ada dua metode yang digunakan, yaitu
pemeliharaan secara preventif, dan pemeliharaan secara pro aktif. Metode preventif berarti
melestarikan dan memelihara lima aspek tersebut dengan melarang perbuatan-perbuatan yang
berakibat bagi kerusakan lima aspek tersebut, atau dengan memberikan hukuman berupa sanksi bagi
yang melanggar. Contoh dalam pemeliharaan preventif ini adalah: sanksi bagi yang meninggalkan sholat
(pemeliharaan agama), larangan membunuh (pemeliharaan jiwa), larangan minum-minuman yang
memabukkan (pemeliharaan akal), larangan zina (pemeliharaan keturunan), larangan makan harta
orang lain secara bathil (pemeliharaan harta). Sedangkan metode pro aktif dilakukan dengan cara
memberikan perintah untuk mengerjakan amalan demi terpeliharanya ke lima aspek pokok tujuan
syariat. Contoh dalam pemeliharaan pro aktif ini adalah: perintah sholat (pemeliharaan agama), perintah
mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (pemeliharaan jiwa), perintah belajar (pemeliharaan akal),
perintah nikah (pemeliharaan keturunan), dan perintah bekerja (pemeliharaan harta).
Tujuan-tujuan syariah dalam ekonomi juga diatur dalam kaitannya dengan maqashid syariah.
Sebagaimana aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat, dalam hukum-hukum Islam yang mengatur
perekonomian juga memiliki tujuan dan hikmah. Tujuan dan hikmah dalam sistem ekonomi adalah: 1)
Perputaran atau sirkulasi (al tadaawul), 2) Jelas atau legal (al wudluuh), 3) Keadilan dalam harta (al adl fil
al amwaal), 4) Terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzoliman.
Dalam tujuan sirkulasi, hendaknya harta atau modal yang dimiliki seseorang mengalami perputaran di
tengah masyarakat dengan jalan infaq (belanja), baik infaq konsumsi, produksi, investasi maupun
donasi. Tujuan jelas dan legal, ditujukan agar harta atau faktor produksi yang dimiliki oleh seseorang itu
terhindar dari peluang adanya pertikaian dan perselisihan, sehingga harta tersebut mesti jelas statusnya
dan legal kepemilikannya. Tujuan keadilan dalam harta adalah agar manusia menginfakkan harta
tersebut melalui konsumsi, produksi investasi maupun donasi, dan menghindarkan diri dari perbuatan
berlebihan atau infaq yang diharamkan oleh agama. Tujuan terpeliharanya harta dengan
menghindarkan dari kedzaliman adalah melarang orang lain mengambil atau berbuat dzalim atas harta
seseorang yang berakibat terjadinya kerusakan atau hilangnya harta itu.

KAIDAH FIQIH DALAM TRANSAKSI EKONOMI


Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih
yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih
muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala
tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada
ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist),
maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Kaidah fiqih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene
urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang
bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut
tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi:
“antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan
kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan
mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang
bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada
umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan
dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam
penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru
yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka
transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip
yang dilarang dalam Islam. Sedangkan transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi
yang disebabkan oleh faktor: 1) haram zatnya (objek transaksinya), 2) haram selain zatnya (cara
bertransaksi-nya), 3) tidak sah/lengkap akadnya.

Haram Zatnya (Objek Transaksinya).


Dalam Islam, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang diharamkan, seperti
minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan transaksi yang berhubungan
dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “ma
haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula
atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram
yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi
halal.

Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya).


Ada beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar dalam
supply), bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir (ketidakpastian), dan riba (tambahan).
Tadlis. Tadlis adalah sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk
menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu
pihak tersebut atas ketidaktahuan atas informasi tersebut. Hal ini jelas-jelas dilarang dalam Islam,
karena melanggar prinsip “an taraddin minkum” (sama-sama ridlo). Informasi yang disembunyikan
tersebut bisa berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan
(time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
Ikhtikar. Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik.
Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni
menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli),
kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan),
sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut
akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang melimpah.
Bai’ Najasy. Bai’ Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand
(permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual
produk itu akan naik. Hal ini biasanya terjadi dalam bursa saham (praktek goreng-menggoreng saham).
Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan
sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan
melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar.
Taghrir. Taghrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari
kedua belah pihak yang bertransaksi. Taghrir terjadi bila pihak yang bertransaksi merubah sesuatu yang
seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Dalam hal ini ada beberapa hal yang bersifat tidak pasti,
yaitu kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery)
atas objek yang ditransaksikan.
Riba. Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis, baik transaksi hutang piutang
maupun jual beli. Riba dalam hutang piutang dimaksudkan untuk meminta kelebihan tertentu atas
utang yang dipinjamkan pada saat awal transaksi (riba qard), atau memberikan tambahan pembayaran
atas utang yang tidak bisa dikembalikan pada waktu jatuh tempo (riba jahiliyah). Riba dalam jual beli
dikenakan atas pertukaran dua barang sejenis dengan timbangan/takaran yang berbeda (riba fadl), atau
memberikan tambahan atas barang yang diserahkan kemudian (riba nasiah).

Tidak Sah/Lengkap Akadnya


Setiap transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam.
Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab
kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two
in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di
mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Two in one terjadi bila suatu transaksi
diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus
digunakan.

TEORI AKAD DALAM FIQIH EKONOMI ISLAM


Akad adalah pertalian ijab (yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan qabul
(yang diucapkan pihak lain) yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak. Pertalian ijab dan qabul
ini mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yaitu masing-masing pihak dalam akad terikat
untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing sesuai dengan kesepakatan. Di dalam akad,
terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga bila salah satu atau kedua
pihak yang terikat dalam akad tersebut melakukan wanprestasi (tidak dapat memenuhi kebutuhannya),
maka ia/mereka akan menerima sanksi seperti dalam kesepakatan dalam akad.
Di dalam fiqih muamalah, konsep akad dibedakan dengan konsep wa’ad (janji). Wa’ad adalah janji
antara satu pihak kepada pihak lainnya, yang mengikat satu pihak saja, yaitu pihak yang memberi janji
berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul
kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan
secara rinci dan spesifik, sehingga pihak yang melakukan wanprestasi (tidak memenuhi janjinya), hanya
akan menerima sanksi moral saja tanpa ada sanksi hukum.
Akad dalam fiqih muamalah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah. Akad
tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang tidak mengejar keuntungan
(non profit transaction). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat
kebaikan, sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun
kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan dari manusia. Namun
demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada rekan transaksi-nya untuk
sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari
tabarru’ tersebut. Contoh dari akad tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan
sebagainya.
Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang mengejar keuntungan
(profit orientation). Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersiil.
Hal ini didasarkan atas kaidah bisnis bahwa “business is an activity for a profit” (bisnis adalah suatu
aktivitas untuk memperoleh keuntungan). Contoh dari akad tijarah adalah akad-akad bagi hasil berupa
mudharabah, musyarakah, dan sebagainya, akad-akad jual beli berupa murabahah, salam, dan
sebagainya, dan akad-akad sewa menyewa berupa ijarah, ijarah muntahia bi at tamlik, dan sebagainya.
Kaidah fiqih yang berkaitan dengan konsep akad antara tabarru’ dan tijarah ada dua, yaitu: 1). Akad
tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah, dan 2). Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad
tabarru’. Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah memberi arti bahwa dalam setiap
transaksi yang asalnya bermaksud untuk tidak mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya
akad ternyata pihak yang terkait di dalamnya mengharapkan keuntungan dari transaksi tersebut, maka
transaksi itu dilarang. Hal ini didasarkan atas kaidah prinsip: “kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa riba”
(setiap qard yang mengambil manfaat adalah riba). Menggabungkan tabarru’ dengan manfa’ah adalah
kedzaliman karena melakukan suatu akad berlainan dengan definisi akadnya, sehingga transaksi
tersebut akan menimbulkan adanya riba nasi’ah. Hal ini juga melanggar prinsip “la tadzlimuna wa la
tudzlamun” (jangan mendzolimi dan jangan sampai didzolimi).
Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’ memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang
asalnya bertujuan mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad pihak yang terkait di
dalamnya meringankan/memudahkan pihak yang lain dengan menjadikan akad tersebut menjadi akad
tabarru’ (tanpa ada tambahan keuntungan), maka transaksi itu dibolehkan, bahkan dalam situasi
tertentu hal itu dianjurkan. Misalnya, terjadi suatu akad jual beli antara si A dan si B, di mana si A
menjual barang X kepada si B dengan harga Rp. Y secara tangguh (dibayar pada suatu waktu yang
ditentukan). Setelah terjadinya akad, pada saat jatuh tempo (maturity time) ternyata si B tidak dapat
membayar hutang karena mengalami kesulitan ekonomi. Maka dalam kaidah fiqih, si A dibolehkan atau
bahkan dianjurkan memberikan keringanan/kemudahan bagi si B untuk memberikan waktu tambahan
dalam pembayaran hutangnya, atau kalau keadaan si A memang benar-benar tidak dapat membayar, si
B diharapkan untuk memberikan keringanan berupa pembebasan hutang tersebut.

REFERENSI

Adiwarman Karim, 2003. Bank Islam: Analisa Fiqh dan Keuangan. The International Institute of
Islamic Thought, Jakarta

Ahmad Djalaluddin, 2002. Fiqih Ekonomi Islam. Materi Kuliah Brawijaya Intensive Study On Islamic
Economics (BREVITIES). CIES FE Univ. Brawijaya. Malang

Ahmad Nuryadi, 2002. Konsep Fiqih Tentang Riba, Gharar, dan Maysir. Makalah Training Fiqih
Ekonomi Islam. CIES FE Univ. Brawijaya. Malang

Syechul Hadi Permono, 2002. Fiqih Iqtishady Kontemporer. Makalah Seminar Nasional Ekonomi
Islam. BEM FE Univ. Airlangga. Surabaya
http://purwantohadi.multiply.com/journal/item/57/Akad_Transaksi_Dalam_Islam

FIQIH MUAMALAH
January 6th, 2009 by hadypradipta and tagged Fiqih Ekonomi

Fiqih Mumalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-
hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil
islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih muamalah adalh seluruh kegiatan muamalah manusia
berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau
larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah.hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-
hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertical antara
manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti
social,ekonomi,politik hokum dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut
dalam bahasa arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu cara bagaimana manusia
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai pemakaian atas
alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat
dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan yang terbatas.

Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly yang berupa
Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil Aqly yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber fiqih islam
ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits,dan ijtihad.
 Al-Quran
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab
yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akhirat. Al-
Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya masalah hokum dan
perundang-undangan.sebagai sumber hukum yang utama,Al-Quran dijadikan patokan pertama
oleh umat islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan.

 Al-Hadits
Al-Hadits adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa
perkataan,perbuatan,maupun ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-
Quran yang berlaku dan mengikat bagi umat islam.

 Ijma’ dan Qiyas


Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka
penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain
yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja.
Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat
dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang
sudah terdapat dalam nash.

 PRINSIP DASAR FIQIH MUAMALAH

Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia,
tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi
dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia
dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang
dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di
dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan
muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar
fiqh muamalah adalah sebagai berikut :

 Hukum asal dalam muamalat adalah mubah


 Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
 Menetapkan harga yang kompetitif
 Meninggalkan intervensi yang dilarang
 Menghindari eksploitasi
 Memberikan toleransi
 Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah

 KAIDAH FIQIH DALAM TRANSAKSI EKONOMI (MUAMALAH)

Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga
kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga
menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al
ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan
dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam
dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.

Kaidah fiqih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang
notabene urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan
apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya,
selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada Hadist
Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan
duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan
waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya,
tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak
bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan
potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai
khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).

Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat
luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu
transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum
ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak
melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam. Sedangkan transaksi-transaksi yang
dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor:

 Haram zatnya
Di dalam Fiqih Muamalah, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang
diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan
transaksi yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini
sesuai dengan kaidah fiqih: “ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan
atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah ini juga
memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang baik/halal,
maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.

 Haram selain zatnya


Beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar
dalam supply), bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir (ketidakpastian), dan riba
(tambahan).

 Tidak sah
Segala macam transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam
Islam. Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku,
objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling
berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan
pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad
kedua. Yang seperti ini, terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga
terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan.maka transaksi ini dianggap
tidak sah.

 KONSEP AQAD FIQIH EKONOMI (MUAMALAH)

Setiap kegiatan usaha yang dilakukan manusia pada hakekatnya adalah kumpulan transaksi-
transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam
kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek berupa
barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu
yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya sesuai dengan fitrahnya manusia harus berusaha
mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-
prinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:

Bekerja sama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi
pembiayaan dimana atas manfaat yang diperoleh yang timbul dari pembiayaan tersebut dapat
dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100% melalui akad
mudharaba maupun pembiayaan usaha bersama melalui akad musyaraka.

Kerjasama dalam perdagangan, di mana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan


fasilitas-fasilitas tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang
mendapat fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk
mendapatjan bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga
tunai.

 Kerja sama dalam penyewaan asset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari penggunaan
asset.

Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut
Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan
menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan.
Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:

1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan
pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.

2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.

3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan
kesepakatan menerima (kabul).

Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi
pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi
adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya,
jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga
termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat dibedakan
kedalam:

1. obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang sudah jelas keberadaannya atau segera dapat
diperoleh manfaatnya.

2. obyek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu
transaksi yang tidak tunai.

Secara garis besar aqad dalam fiqih muamalah adalah sebagai berikut :

1. aqad mudharaba
Ikatan atau aqad Mudharaba pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran
berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik Harta

2. aqad musyarakah
Ikatan atau aqad Musyaraka pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran
antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha,

3. aqad perdagangan
Aqad Fasilitas Perdagangan, perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu transaksi
jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan pembayaran atau penyerahan
obyek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut tidak dilakukan secara tunai atau seketika
pada saat transaksi.

4. aqad ijarah
Aqad Ijara, adalah aqad pemberian hak untuk memanfaatkan Obyek melalui penguasaan
sementara atau peminjaman Obyek dgn Manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada
pemilik Obyek. Ijara mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing, karena
Ijara dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.

Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan dahwa Fiqih Muamalah
merupakan ilmu yang mempelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian dan kesejahteraan dunia akhirat).
Perilaku manusia di sini berkaitan dengan landasan-landasan syariah sebagai rujukan berperilaku
dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Kedua hal tersebut berinteraksi dengan
porsinya masing-masing sehingga terbentuk sebuah mekanisme ekonomi (muamalah) yang khas
dengan dasar-dasar nilai ilahiyah.

http://hadypradipta.blog.ekonomisyariah.net/2009/01/06/fiqih-muamalah/
PENERAPAN DAN PENGEMBANGAN PRINSIP –
PRINSIP SYARI’AH DALAM LEMBAGA
KEUANGAN SYARI’AH
 Disusun Oleh : Nur Fakhrus Salis, Mahasiswa Perbankan Syari’ah STAIN Pekalongan

PENDAHULUAN Perkembangan industri keuangan syariah secara informal telah dimulai


sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan
syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan
non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut
menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat
memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat
bagi terwujudnya sistem perbankan yang sesuai syariah, pemerintah telah memasukkan
kemungkinan tersebut dalam undang-undang yang baru. UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki
dasar operasional bagi hasil yang secara rinci dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72
Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Ketentuan perundang-undangan
tersebut telah dijadikan sebagai dasar hukum beroperasinya bank syariah di Indonesia yang
menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di
Indonesia.Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syariah dan
78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan
UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah. Pada
tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan
kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip
syariah. Industri perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah kedua perangkat
perundangundangan tersebut diberlakukan. ARSITEKTUR PERBANKAN
INDONESIA 

Dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien untuk mencapai
stabilitas sistem keuangan dan mendorong pembangunan ekonomi nasional, Bank
Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API).Adapun tujuan dari penyusunan
API adalah untuk:      Terciptanya struktur perbankan yang sehat, yang mampu mendorong
pembangunan nasional secara berkesinambungan;      Terbentuknya industri perbankan yang
memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko;      Terciptanya good corporate governance;     
Terbentuknya sistem pengaturan dan pengawasan perbankan yang efektif dan efisien;     
Terwujudnya infrastruktur yang lengkap dan dapat mendukung efisiensi operasional sistem
perbankan;      Terwujudnya pemberdayaan dan perlindungan konsumen pengguna jasa
perbankan. PRINSIP-PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN EKONOMI DAN
KEUANGAN SERTA MANFAATNYA 

Teori ekonomi perusahaan yang selama ini berkembang menekankan pada prinsip
memaksimalkan keuntungan perusahaan (shareholder value), namun dewasa ini teori-teori
ekonomi tersebut telah mulai bergeser pada sistem nilai yang lebih luas (stakeholder value)
dimana manfaat yang didapatkan tidak lagi difokuskan hanya pada pemegang saham, akan tetapi
pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat hadirnya suatu unit kegiatan ekonomi. Sistem
ekonomi syariah menekankan konsep manfaat pada kegiatan ekonomi yang lebih luas lagi,
bukan hanya pada manfaat di setiap akhir kegiatan, akan tetapi juga pada setiap proses transaksi.
Setiap kegiatan termasuk proses transaksi harus mengacu pada konsep maslahat dan menjunjung
tinggi asas keadilan.Prinsip ini juga menekankan para pelaku ekonomi untuk selalu menjunjung
tinggi etika dan norma hukum dalam kegiatan ekonomi. Sebagai realisasi dari konsep syariah,
pada dasarnya sistem ekonomi/perbankan syariah memiliki tiga ciri yang mendasar yaitu prinsip
keadilan, menghindari kegiatan yang dilarang dan memperhatikan aspek kemanfaatan. Oleh
karena itu, keseimbangan antara memaksimalkan keuntungan dan pemenuhan prinsip syariah
menjadi hal yang mendasar bagi kegiatan operasional bank syariah.Dalam hal pelaksanaannya,
prinsip ekonomi syariah akan tercermin dalam nilai-nilai yang secara umum dapat dibagi dalam
dua perspektif yaitu mikro dan makro. Nilai-nilai syariah dalam perspektif mikro menekankan
aspek kompetensi / profesionalisme dan sikap amanah. Dalam perspektif makro nilai-nilai
syariah menekankan aspek distribusi, pelarangan riba dan kegiatan ekonomi yang tidak
memberikan manfaat secara nyata kepada sistem perekonomian. Dengan demikian, dapat dilihat
secara jelas potensi manfaat keberadaan sistem perekonomian/ perbankan syariah yang ditujukan
bukan hanya untuk umat muslim, akan tetapi bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin –
rahmat bagi alam semesta). TANTANGAN PENGEMBANGAN SISTEM PERBANKAN
SYARIAH DI
INDONESIA PADA SAAT INI 

Kenyataan menunjukkan bahwa dalam periode krisis ekonomi, perbankan syariah memiliki daya
tahan yang relatif lebih kuat.Berkaitan dengan itu perbankan syariah diharapkan dapat berperan
lebih besar dalam proses pemulihan perekonomian
Indonesia yang masih terus berlangsung. Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri
perbankan syariah yang masih berada dalam tahap awal pengembangan, beberapa hal penting
yang perlu mendapatkan perhatian antara lain:      Kerangka dan perangkat pengaturan
perbankan syariah belum lengkap;      Cakupan pasar masih terbatas;      Kurangnya
pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan jasa perbankan syariah;      Institusi
pendukung yang belum lengkap dan efektif;       Efisiensi operasional perbankan syariah yang
masih belum optimal;      Porsi skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah masih
perlu ditingkatkan;      Kemampuan untuk memenuhi standar keuangan syariah
internasional.      Nilai-nilai syariah dalam perspektif mikro 

  Menghendaki bahwa semua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola
dengan integritas tinggi dan sangat hati-hati:      Shiddiq, memastikan bahwa pengelolaan bank
syariah dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan nilai ini
pengelolaan dana masyarakat akan dilakukan dengan mengedepankan cara-cara yang
diperkenankan ( halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih lagi yang
bersifat dilarang (haram);      Tabligh, secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan
mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah. Dalam
melakukan sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata,
tetapi juga harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai manfaat bagi pengguna jasa
perbankan syariah;      Amanah, menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam
mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling
percaya antara pihak pemilik dana dan pihak pengelola dana investasi (mudharib);      Fathanah,
memastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga
menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat risiko yang ditetapkan oleh bank. Termasuk
di dalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan kecermatan dan kesantunan (ri’ayah) serta
penuh rasa tanggung jawab (mas’uliyah).      Nilai-nilai syariah dalam perspektif makro 

Berarti bahwa perbankan syariah harus berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dengan:     
Kaidah zakat, mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih menyukai berinvestasi
dibandingkan hanya menyimpan hartanya. Hal ini dimungkinkan karena zakat untuk investasi
dikenakan hanya pada hasil investasi sedangkan zakat bagi harta simpanan dikenakan atas
pokoknya;      Kaidah pelarangan riba, menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil (equity
based financing) dan melarang riba. Diharapkan produk-produk non riba ini akan mendorong
terbentuknya kecenderungan masyarakat untuk tidak bersikap memastikan dan bergeser ke arah
sikap untuk berani menghadapi risiko;      Kaidah pelarangan judi atau maisir tercermin dari
kegiatan bank yang melarang investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil. Kondisi ini
akan membentuk kecenderungan masyarakat untuk menghindari spekulasi di dalam aktivitas
investasinya;      Kaidah pelarangan gharar, mengutamakan transparansi dalam bertransaksi dan
kegiatan operasi lainnya dan menghindari ketidakjelasan.
PENUTUP  Perbankan syariah merupakan industri yang baru yang membutuhkan suatu keahlian
dan pengetahuan yang khusus. Kurangnya dukungan keahlian yang memadai pada akhirnya akan
membahayakan kesinambungan operasi perbankan dalam jangka panjang. Bank
Indonesia sebagai otoritas perbankan syariah, bersama stakeholder lainnya harus senantiasa
mendukung peningkatan kualitas SDI melalui program-program training yang ditujukan untuk: 

 Staf dari bank yang tertarik untuk beroperasi sesuai prinsip syariah dan juga staf dari
satuan kerja terkait di Bank
Indonesia;
 Mahasiswa dari perguruan tinggi dan lembaga akademis lainnya, yang diharapkan dapat
menjadi calon sumber daya insani di perbankan syariah atau paling tidak dapat menjadi
calon pengguna produk dan jasa perbankan syariah;
 Pengajar dari perguruan tinggi dan lembaga akademis lainnya, untuk mensosialisasikan
konsep perbankan syariah sebagai bagian dari kurikulum dan pengembangan program
studi khusus.

Sesuai dengan sifat transaksinya, sistem keuangan syariah merupakan fenomena kegiatan
ekonomi riil. Oleh karena itu, didalam kegiatan operasinya, sistem perbankan/keuangan syariah
perlu mendapatkan dukungan lembaga pemerintah lainnya dan lembaga-lembaga pendukung
terkait baik di dalam dan di luar negeri yang secara signifikan dapat meningkatkan efisiensi
operasi. Beberapa lembaga domestik terkait yang dapat disebutkan sebagai contoh misalnya
perguruan tinggi, Biro Pusat Statistik, Otoritas Pasar Modal, lembaga rating dan lembaga Zakat
Infaq dan Sadaqah.Salah satu aspek penting dalam pengembangan perbankan syariah adalah
tersedianya lembaga hukum yang mampu menangani setiap permasalahan hukum yang timbul
dari transaksi keuangan syariah secara lebih efisien dan efektif sertasejalan dengan nilai-nilai
syariah. Penanganan kasus keuangan yang berlarut-larut pada akhirnya akan mempengaruhi
kondisi likuiditas perbankan dan bahkandapat menimbulkan insolvensi.Pemahaman yang benar
mengenai kondisi, sifat dan karakteristik perbankan syariah oleh masyarakat akan sangat
membantu dalam upaya meningkatkan kestabilan sistem perbankan/keuangan syariah. Hal
tersebut dapat dipahami karena dengan semakin meningkatnya pengetahuan pasar akan kondisi
riil perbankan syariah, kondisi panik yang dapat menyebabkannya bank run dapat dicegah. Hal
tersebut dapat mulai dirintis dengan pembentukan suatu forum yang dapat secara efektif
mengkomunikasikan (secara dua arah) arah dan perkembangan bank syariah secara aktual.
Pembentukan forum semacam ini juga sangat sesuai dengan semangat tabligh yang bertujuan
untuk melakukan syiar secara berkesinambungan.

http://cuplies.wordpress.com/2007/02/13/penerapan-dan-pengembangan-prinsip-%E2%80%93-prinsip-
syari%E2%80%99ah-dalam-lembaga-keuangan-syari%E2%80%99ah/

Feb 7, '09 1:08 AM


Sistem Keuangan Syariah Diadopsi Ekonom Barat
for everyone

Seiring dengan terjadinya krisis global dalam


sistem keuangan kapitalis, kini para ekonom Barat mulai mengadopsi sistem keuangan
syariah. Banyak dari mereka yang melakukan kajian mendalam terhadap perekonomian
yang berlandaskan prinsip-prinsip Syariat Islam. Sistem yang bersumber dari ajaran
Allah Swt ini terbukti tetap tangguh menghadapi hempasan serangan krisis bertubi-tubi,
baik yang terjadi tahun 1998 maupun 2008 dan hingga kini, insya Allah sampai dunia
kiamat.

Sebuah universitas di Inggris, yaitu University of Reading, mengadopsi modul-modul


pembelajaran ekonomi syariah dari Internasional Center for Education in Islamic Finance
(INCEIF) Malaysia untuk program master di sana. Direktur International Capital Market
Association Capital Market Association Centre di University of reading, John Board
mengatakan bahwa keuangan Islam dapat memperkuat hal yang telah dimengerti bankir
Barat selama 200 tahun, namun telah dilupakan dalam 50 tahun terakhir. Adanya
ketidakmampuan untuk menambahkan modal di situasi seperti saat ini, katanya, membuat
segala instrumen yang bisa meningkatkan permodalan dilirik, termasuk sistem keuangan
syariah.

Bahkan otoritas Inggris pun berencana menjadi pemerintah Barat pertama yang
menerbitkan sukuk sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sukuk tersebut pun dibuat
sesuai dengan prinsip syariah yang melarang pembarayan bunga dan investasi untuk
perjudian, alkohol, tembakau, dan pornografi. Itu terjadi seiring dengan peningkatan
jumlah masyarakat Barat yang mencari investasi yang bertanggung jawab. Sudah lebih
dari 26 bank di Inggris kini menawarkan produk keuangan syariah, termasuk lembaga
besar seperti HSBC.

Di Amerika Serikat, sebuah bank kecil di Michigan, bernama University Islamic Financial,
telah menerapkan prinsip-prinsip syariah. Bank ini memiliki dua tipe pembiayaan yaitu
penjualan dengan cicilan dan sewa. Upah yang didapat dari pembiayaan tersebut
sebanding dengan pembayaran bunga pada pinjaman tradisional. Secara khusus bank
tersebut memberikan pembiayaan sesuai dengan nilai syariah. Ini berarti bank tersebut
tak menarik bunga dan tak ada transaksi yang memiliki risiko tinggi. Saat ini pemerintah
AS memandang perlu untuk membahas efektivitas sistem perbankan syariah dalam
kondisi krisis keuangan global.

Nilai-nilai Islam melarang transaksi perbankan syariah dari hal-hal berbau ribawi,
maksiat, perjudian dan ketidak pastian menjadi keunggulan perbankan syariah. Hukum
Islam menyatakan bahwa uang tak dapat tumbuh dengan sendirinya melalui bunga yang
berlipat ganda. Transaksi dagang dapat diterima selama harga yang ditawarkan sesuai
dengan komoditas yang diperdagangkan.

Akhirnya di tengah krisis global, kini makin banyak negara di Eropa dan Amerika Serikat
yang mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS) maupun Bank Umum Syariah (BUS). Kini
saatnya Syariat Islam perlahan tapi pasti mulai memimpin sistem keuangan dunia.

Referensi:
Republika, Rabu, 4 Februari 2009, hal. 28
www.kompas.com/data/photo/2008/02/14/053736p.jpg

http://rumahsantri.multiply.com/journal/item/69

Prinsip-prinsip Dasar Ekonomi Syariah


By

LPES Salman
Published: Tuesday, 16 February 2010Posted in: Ekonomi Syari'ah
Foto: Media Indonesia

Tiga dekade yang lalu, Bank Syariah sebagai representasi keuangan Islam, belum dikenal oleh
masyarakat. Kini sistem keuangan syariah telah beroperasi di lebih dari 55 negara yang pasarnya
tengah bangkit dan berkembang (Lewis dan Algaoud, 2007).

Meskipun pemikiran ekonomi syariah baru muncul beberapa tahun terakhir ini di negara-negara
muslim, namun ide-ide tentang ekonomi Islam dapat dirunut dalam Alquran yang di turunkan
pada abad ke-7.

Makna harfiah syari’ah adalah “jalan menuju mata air”, dan dalam
pengertian teknis berarti sistem hukum dan aturan perilaku yang sesuai dengan Alquran dan
Hadist, seperti yang dituntunkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu, kaum
muslim tidak dapat memilah perilaku mereka ke dalam dimensi religius dan dimensi sekuler.
Selain itu, tindakan mereka harus selalu mengikuti syariah sebagai hukum Islam.

Adapun prinsip-prinsip keuangan syariah meliputi:

1. Riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis riba berarti
pengambilan dari harta pokok atau modal secara batil (Antonio, 1999). Ada beberapa pendapat
dalam menjelaskan riba. Namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam
secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang
dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun
kelompok kedua, riba jual beli terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah.
Riba Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap
yang berhutang. Riba Jahiliyyah adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena si
peminjam tidak mampu membayar utang pada waktu yang telah ditetapkan.
Riba Fadhl adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Riba NasiÃ
¢â‚¬â„¢ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya
perbedaan, perubahan, atau penambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan
kemudian.
2. Zakat
Zakat merupakan instrumen keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Keadilan dan kesetaraan
berarti setiap orang harus memiliki peluang yang sama dan tidak berarti bahwa mereka harus
sama-sama miskin atau sama-sama kaya.
Negara Islam wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal warga negaranya, dalam bentuk
sandang, pangan, papan, perawatan kesehatan dan pendidikan (QS. 58:11). Tujuan utamanya
adalah untuk menjembatani perbedaan sosial dalam masyarakat dan agar kaum muslimin
mampu menjalani kehidupan sosial dan material yang bermartabat dan memuaskan.
3. Haram
Sesuatu yang diharamkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah sesuai yang telah diajarkan
dalam Alquran dan Hadist. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa praktek dan aktivitas
keuangan syariah tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka diharapkan lembaga keuangan
syariah membentuk Dewan Penyelia Agama atau Dewan Syariah. Dewan ini beranggotakan 
para ahli hukum Islam yang bertindak sebagai auditor dan penasihat syariah yang independen.
Aturan tegas mengenai investasi beretika harus dijalankan.  Oleh karena itu lembaga
keuangan syariah tidak boleh mendanai aktivitas atau item yang haram, seperti perdagangan
minuman keras, obat-obatan terlarang atau daging babi. Selain itu, lembaga keuangan syariah
juga didorong untuk memprioritaskan produksi barang-barang primer untuk memenuhi
kebutuhan umat manusia.
4. Gharar dan Maysir
Alquran melarang secara tegas segala bentuk perjudian (QS. 5:90-91). Alquran menggunakan
kata maysir untuk perjudian, berasal dari kata usr (kemudahan dan kesenangan): penjudi
berusaha mengumpulkan harta tanpa kerja dan saat ini istilah itu diterapkan secara umum pada
semua bentuk aktivitas judi.
Selain mengharamkan judi, Islam juga mengharamkan setiap aktivitas bisnis yang mengandung
unsur judi. Hukum Islam menetapkan bahwa demi kepentingan transaksi yang adil dan etis,
pengayaan diri melalui permainan judi harus dilarang.
Islam juga melarang transaksi ekonomi yang melibatkan unsur spekulasi, gharar (secara harfiah
berarti “resiko). Apabila riba dan maysir dilarang dalam Alquran, maka gharar dilarang
dalam beberapa hadis. Menurut istilah bisnis, gharar artinya menjalankan suatu usaha tanpa
pengetahuan yang jelas, atau menjalankan transaksi dengan resiko yang berlebihan. Jika unsur
ketidakpastian tersebut tidak terlalu besar dan tidak terhindarkan, maka Islam
membolehkannya (Algaoud dan Lewis, 2007).
5. Takaful
Takaful adalah kata benda yang berasal dari kata kerja bahasa arab kafala, yang berarti
memperhatikan kebutuhan seseorang. Kata ini mengacu pada suatu praktik ketika para
partisipan suatu kelompok sepakat untuk bersama-sama menjamin diri mereka sendiri terhadap
kerugian atau kerusakan. Jika ada anggota partisipan ditimpa malapetaka atau bencana, ia akan
menerima manfaat finansial dari dana sebagaimana ditetapkan dalam kontrak asuransi untuk
membantu menutup kerugian atau kerusakan tersebut (Algaoud dan Lewis, 2007).
Pada hakikatnya, konsep takaful didasarkan pada rasa solidaritas, responsibilitas, dan
persaudaraan antara para anggota yang bersepakat untuk bersama-sama menanggung kerugian
tertentu yang dibayarkan dari aset yang telah ditetapkan. Dengan demikian, praktek ini sesuai
dengan apa yang disebut dalam konteks yang berbeda sebagai asuransi bersama (mutual
insurance), karena para anggotanya menjadi penjamin (insurer) dan juga yang terjamin
(insured).

Prinsip Bagi Hasil

Gagasan dasar sistem keuangan Islam secara sederhana didasarkan pada adanya bagi hasil (profit
and loss sharing). Menurut hukum perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi
bisnis didirikan dengan tujuan pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama. 
Mudharabah dan musyarakah adalah dua model bagi hasil yang lebih disukai dalam hukum
Islam.

Mudharabah (Investasi)

Mudharabah dipahami sebagai kontrak antara paling sedikit dua pihak, yaitu pemilik modal
(shahib al mal atau rabb al mal) yang mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, dalam
hal ini pengusaha (mudharib) untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Dalam mudharabah,
pemilik modal tidak mendapat peran dalam manajemen. Jadi mudharabah adalah kontrak bagi
hasil yang akan memberi pemodal suatu bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang
mereka biayai. (Algaoud dan Lewis, 2007)

Musyarakah (Kemitraan)

Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak  atau lebih untuk suatu usaha
tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

http://salmanitb.com/2010/02/prinsip-prinsip-dasar-ekonomi-syariah/

Sistem Keuangan Syariah Solusi Krisis Ekonomi Global

Awal Berdirinya Bank Syariah:

Semenjak 14 abad silam Allah telah menyatakan akan memerangi riba dan memusnahkannya,
dalam firman-Nya:

‫ق هّللا ُ ْالرِّ بَا‬


ُ ‫يَ ْم َح‬
"Allah memusnahkan riba". (Al-Baqarah : 276).

Menurut ahli tafsir yang dimaksud dengan kemusnahan adalah hartanya menjadi hilang dan
lenyap.
ْ ُ‫أْ َذن‬ccccccccccccccccccccccَ‫وا ف‬cccccccccccccccccccccc
ٍ ْ‫ ر‬cccccccccccccccccccccc‫وا بِ َح‬
‫ب‬ ْ ُ‫إِن لَّ ْم تَ ْف َعل‬ccccccccccccccccccccccَ‫ف‬

‫ِّم َن هّللا ِ َو َرسُولِ ِه‬


"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu". (Al-Baqarah : 279).

Seakan-akan mengamini firman Allah di atas, pada tahun 1930, Mr. Arthur Kinston berujar
lantang di hadapan komite keuangan dan industri Mc Millan setelah terjadinya great depression
yang melumpuhkan Wall Street," Saya adalah anti riba dalam segala bentuknya, riba
merupakan kutukan dunia semenjak kemunculannya, riba telah menghancurkan imperium-
imperium terdahulu dan imperium ini, dan akan menghancurkan imperium yang lainnya". (lihat:
Al Asyqar, Riba wa Atsaruhu, 633).

Akan tetapi, peringatan-peringatan tersebut tidak pernah diindahkan dengan serius oleh para
pengambil keputusan ekonomi dunia abad modern yang didominasi oleh para penganut paham
neoliberal, sebaliknya mereka semakin gencar menciptakan inovasi produk-produk keuangan
yang sama sekali tidak mengindahkan norma-norma yang ada dan tanpa diatur oleh sebuah
aturan main yang jelas.

Di bagian lain belahan bumi, di negara Emirat Arab tepatnya di kota Dubai, seorang pengusaha
muslim Haji Said Lotah tidak mau menyerah dengan kenyataan yang ada, dimana riba menjadi
urat nadi sistem keuangan, padahal ia adalah satu diantara dosa besar.

Dengan tekad seorang muslim dan berangkat dari sabda nabi, "Barangsiapa yang melihat
kemunkaran hendaklah mengubahnya ..." bermodalkan uang 10 juta Dollar US dan 30 orang
pegawai dia mulai membuka bank Islam pertama di dunia dengan nama "Dubai Islamic Bank"
pada tahun 1975, sebulan setelahnya berdirilah "Islamic Development Bank" di Jeddah.

Kemudian diikuti dengan pendirian "Faisal Islamic Bank" di Mesir dan di Sudan, lalu
bermunculan bank-bank islam di hampir sebagian besar negara Islam di dunia.

Untuk Asia Tenggara, pada tahun 1983 di Malaysia didirikan "Bank Islam Malaysia Berhad" dan
pada tahun 1991 di Indonesia didirikan "Bank Muamalat Indonesia".

Perkembangan pesat bank-bank Islam tersebut sangat meresahkan bank-bank konvensional


(ribawi), menurut DR. Abdul Hamid Ghazali, pakar ekonomi dari Cairo University bahwa
berdasarkan dari berbagai laporan lebih dari 30% konsumen bank-bank konvensional beralih ke
bank-bank islam dan diperkirakan dalam 3 tahun mendatang bank-bank konvensional akan
kehilangan 50 % nasabahnya yang beralih ke bank-bank Islam. (Iqtishad Islami, edisi: rabiul
awal 1429H, hal.52).

Kenyataan ini memaksa bank-bank ribawi untuk membuka Unit Usaha Syariah demi merebut
kembali pasar mereka yang hilang. Mulailah bank-bank besar kelas dunia dengan jaringan global
membuka Unit Usaha Syariah seperti HSBC, ABN AMRO, Deutche Bank, Citibank, Standard
Chartered membuka investasi syariah dan lain-lain.

Pada tahun 2004, di Inggris berdiri bank Islam pertama "Islamic Bank Of Britain", lalu diikuti
oleh bank-bank lainnya dan sekarang terdapat 22 bank islam di Inggris. Bahkan menteri ekonomi
Inggris mencanangkan London sebagai pusat investasi Syariah.

Sekarang terdapat lebih 400 bank islam dan ribuan unit usaha Syariah di seluruh dunia dengan
aset mencapai 1 trilyun Dollar US.

Pasca krisis ekonomi global:

September 2008, krisis mendera lembaga-lembaga keuangan Amerika yang menyebabkan


beberapa bank-bank komersial, lembaga investasi dan lembaga keuangan non bank yang besar di
Amerika Serikat seperti: Fannie Mae, Freddie Mac, Lehman Brothers, American Insurance
Group menjadi kolaps. Dan berdampak terhadap krisis ekonomi global yang mengimbas kepada
lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia.

Namun, berdasarkan laporan dari "International Financial Services", London yang berjudul: "
Islamic Finance 2009" memuat, " Dampak krisis keuangan dan ekonomi global tidak menerpa
lembaga keuangan syariah begitu fatal seperti yang dialami oleh bank-bank konvensional. Hal
ini disebabkan: syariat Islam yang merupakan haluan bank-bank tersebut mengharamkan
produk-produk yang menyebabkan timbulnya krisis." (Iqtishad Islami, edisi: Jumadil Ula
1430H, hal.53).

Arus mulai berbalik, para pakar mulai menyalahkan sistem ekonomi kapitalis serta menyerukan
sistem ekonomi syariah sebagai solusi;

-          Boufice Fanson Pimred Majalah Prancis "Challenges" edisi oktober 2008 dalam kolom
pengantar redaksi yang berjudul "Paus atau Al Quran" mengatakan kepada Paus Benektidus
XVI," Saya pikir, dalam menghadapi krisis ekonomi global ini kita sangat membutuhkan
membaca Al Quran dari pada membaca Injil untuk memahami apa yang sedang terjadi dengan
dunia perbankan kita, karena jika para praktisi perbankan kita menghargai ajaran, undang-
undang dan sistem yang disampaikan Al Quran serta menerapkannya saya yakin krisis dan
bencana ekonomi ini tidak akan melanda kita yang membawa kita kepada kondisi yang
menggenaskan, karena sesungguhnya "uang tidak bisa melahirkan uang [riba]". (lihat: DR.
Samir Kantakji : Azmat Al Mâliyyah, 104).

-          Seolah-olah menjawab himbauan di atas, Vatikan melalui harian resminya "Observatory
Romano" dalam salah satu artikel yang berjudul "Masukan Dari Sistem Keuangan Syariah Untuk
Barat Yang Dirundung Krisis" dijelaskan tentang manfaat riba diharamkan sesuai dengan syariat
Islam dan sistem keuangan syariah sangat berperan untuk membangun kembali undang-undang
serta peraturan baru agar dunia dapat keluar dari krisis ekonomi global yang terjadi, terutama
sekali Islam menekankan larangan menggunakan uang sebagai barang dagangan yang
mendatangkan laba. (Iqtishad Islami, edisi: Jumadil Ula 1430H, hal.51).
-          Roland Laskin, Pimred Harian "Law Journal the Finance" dalam kolom redaksi lebih
lantang menuntut penerapan sistem ekonomi syariah di bidang keuangan dan ekonomi agar dapat
menyelamatkan pasar ekonomi dunia dari krisis yang timbul akibat tindakan para spekulan di
pasar bursa. Kolom tersebut ia beri judul "Tibalah saatnya Wall Street menerapkan sistem
ekonomi syariah". (lihat: DR. Samir Kantakji : Azmat Al Mâliyyah, 105).

-          Mengamini himbaun di atas Robert Keymet wakil menteri keuangan Amerika saat
berkunjung ke Riyadh mengatakan pernyataan yang dianggap cukup berani," Sistem perbankan
dan ekonomi Islam merupakan prioritas kajian pemerintah Amerika dalam rangka
menyelamatkan ekonominya". (Harian Al Jazirah, Riyadh 26 oktober 2008).

Di dunia perbankan, beberapa negara mulai mengumumkan sistem keuangan syariah menjadi
acuannya, seperti Malta. Dan bank sentral Australia akan menerapkan sistem keuangan Syariah
tanpa riba dan menarik laba melalui  transaksi mudârabah dan musyarakah dalam hal kredit
perumahan. (Harian Al Jazirah, Riyadh 20 Juni 2009).

Prancis negara yang paling sekuler di Eropa barat akhirnya memenuhi tuntutan para pengusaha
untuk mengesahkan undang-undang perbankan syariah. (Iqtishad Islami, edisi: Jumadil Ula
1430H, hal.8).

Inilah hasil perang melawan Allah dan Rasul-Nya melalui riba, bendera putih dilambaikan oleh
para ekonom dan praktisi perbankan. Dan dalam perang ini tidak seorangpun tahu berapa jumlah
kerugian yang akan ditanggung oleh pihak yang kalah. Laporan harian Al Hayat, Riyadh pada
tanggal 31 oktober 2008 memberitakan bahwa hingga hari itu dunia telah rugi sebanyak ± 5
trilyun Dollar US (± 50 kali lebih besar dari APBN Indonesia di tahun yang sama).

Rahasia Ketahanan Bank Islam Menghadapi Krisis:

Seperti yang dinyatakan oleh "International Financial Services" bahwa rahasia ketahanan bank
Islam menghadapi krisis adalah    syariat islam yang mengharamkan faktor-faktor terjadinya
krisis ekonomi global.

Faktor pertama: Riba.

Dalam buku "Krisis Ekonomi Global Dan Solusi Ekonomi Islam" dijelaskan bahwa faktor utama
penyebab krisis adalah riba. (hal. 34).

Hal ini bisa kita lihat dari kronologis krisis:

Dalam rentang tahun 2002-2006 suku bunga (riba) bank di Amerika cukup rendah sedangkan
harga properti mengalami kenaikan yang cukup tajam, maka pengajuan kredit properti warga
Amerika meningkat. Hal ini disambut baik oleh bank-bank konvensional dengan memudahkan
pemberian kredit .

Sebagaimana dimaklumi bahwa suku bunga bank tidak tetap, naik-turun seiring dengan naik-
turunnya suku bunga yang ditetapkan oleh bank sentral.
Pada awal tahun 2006 terjadi perubahan drastis, dimana suku bunga bank naik sedangkan harga
properti menurun.

Maka para kreditur tidak memiliki pilihan selain menghentikan angsuran kredit karena angsuran
yang harus mereka bayar begitu besar disebabkan naiknya suku bunga bank, juga tidak senilai
dengan harga properti yang mereka beli disebabkan menurunnya harga properti.

Dengan terjadinya kredit macet, institusi keuangan Amerika menjadi lumpuh sehingga beberapa
bank mengumumkan jatuh pailit. Itulah penyebab awal terjadinya krisis ekonomi global.

Dan untuk mengetahui bahwa riba adalah unsur utama krisis ekonomi global, juga bisa kita lihat
dari tindakan yang diambil oleh bank sentral Amerika untuk menghadapi krisis kredit perumahan
dengan menurunkan suku bunga hingga mencapai 1 persen untuk meredam ketatnya likuiditas,
dengan demikian mereka hanya bermain dengan menurunkan dan menaikkan suku bunga (riba).
(lihat wawancara majalah Al Bayan no: 255, edisi zulqa'dah 1429H dengan DR Muhammad Al
Ushaimi direktur Syariah Board di Bank Al Bilad, Riyadh).

Faktor kedua: Gambling di bursa.

Para kreditur menyerahkan sertifikat properti mereka kepada pihak bank sebagai agunan.
Kemudian pihak bank melalui bank-bank investasi menjadikan sertifikat-sertifikat tersebut
sebagai underlying untuk dijadikan surat berharga (securitization), setelah diasuransikan surat
berharga tersebut masuk bursa internasional dan diperjual-belikan, juga untuk leveraging,
dengan cara-cara yang diharamkan islam, seperti: short selling, option, buy on margin, futures *
dan lain-lain.

Surat hutang inilah yang disebut sebagai securitization berbasis subprime mortgage yang dibeli
oleh lembaga-lembaga keuangan di dunia kecuali lembaga keuangan syariah karena transaksi ini
disebut (bai' dayn liighairi man huwa alaihi) yang diharamkan syariah bila tidak sama harganya
dengan yang tercantum dalam surat hutang.

Saat kredit di sektor properti tersebut menjadi macet sampai pada taraf yang mengkhawatirkan,
otomatis lembaga-lembaga keuangan yang berinvestasi pada surat berharga berbasis subprime
mortgage mengalami kerugian besar karena menurunnya nilai pada alat investasi yang telah
ditanamkan.

Faktor ketiga: Kebebasan Pasar.

Inti dari mazhab ekonomi liberal adalah kebebasan pasar yang tidak terikat dengan norma
apapun. Ini merupakan sebab utama terjadinya krisis dimana setiap lembaga keuangan,
khususnya bank-bank investasi dan lembaga keuangan non bank, bebas membuat produk apapun
tanpa diikuti dengan pembuatan aturan main yang jelas oleh regulator atau norma apapun.
Sehingga berbagai produk diciptakan tanpa terikat dengan norma dan regulasi manapun.

Hal ini berbeda dengan sistem perbankan syariah yang tunduk dengan ketentuan Allah dan rasul-
Nya dalam setiap praktek dan produk yang mereka tawarkan.
Solusi Islami:

Islam adalah agama yang sempurna, dia tidak melarang sesuatu melainkan memberikan ganti
yang lebih baik daripada yang diharamkan.

Allah mengharamkan riba akan tetapi menghalalkan jual beli.

‫َوأَ َح َّل هّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ بَا‬


"Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba". (Al Baqarah: 275).

Islam mengharamkan pembiayaan melalui pinjaman berbunga akan tetapi memberikan solusi
pembiayaan melalui: mudharabah, musyarakah, murabahah lil amir bisysyira, istishna', salam
dan tawarruq ghair munazzam * yang jauh lebih mencerahkan ekonomi karena berasaskan
kepada prinsip taqasumul arbah wal khasair (Profit and Loss Sharing). Serta sistem perbankan
syariah dapat memberikan efek anti-inflasi kepada sistem perekonomian, sebaliknya pembiayaan
melalui pinjaman berbunga adalah penyebab utama terjadinya inflasi.

Untuk bursa, bila rukun dan syarat umum jual-beli terpenuhi dalam setiap transaksi maka bursa
tersebut bebas dari gharar yang dilarang syariat. Ini sangat mungkin diciptakan sebagai contoh
pada penghujung 2006 "Dubai Financial Market" telah memenuhi standar syariah.

Untuk efek (surat-surat berharga yang dapat diperdagangkan) dapat diganti dengan sukuk
mudharabah, musyarakah, ijarah, salam, murabahah, istishna' atau saham perusahaan yang
tidak bergerak dibidang usaha yang diharamkan syariat.

Tantangan Keuangan Syariah:

Meningkatnya keinginan para pemodal untuk investasi di bidang syariah dan semakin besarnya
modal yang mengalir ke investasi syariah yang diperkirakan pada tahun 2014 akan mencapai 4
trilyun Dollar US berarti semakin besarnya tantangan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga
keuangan syariah.

Diantara tantangan yang paling mendesak untuk dicarikan solusi secepatnya adalah:

-          Standarisasi internasional produk-produk bank syariah dan regulasi terkait yang
dibutuhkan perbankan syariah. Kenyataan saat ini setiap bank syariah di timur tengah khususnya
masih memiliki Dewan Syariah masing-masing yang mensahkan sebuah produk.

Karena keragaman ini maka tidak jarang sebuah produk bank syariah disahkan oleh suatu dewan
syariah di sebuah bank akan tetapi diharamkan oleh dewan syariah di bank syariah lainnya.
Seperti: pembiayaan "Tawarruq Munazzam", atau "qalbuddayn" pada kartu kredit. Ini baru
dalam sebuah kawasan, belum lagi antara timur tengah dengan Indonesia, contohnya: pemberian
hadiah oleh pihak bank syariah kepada nasabah yang disahkan oleh dewan syariah di Indonesia
namun diharamkan oleh dewan syariah di timur tengah.
Hal ini sering membuat bingung para pemodal, Alhamdulillah sekarang sudah berdiri AAOIFI
(Accounting and Auditing Organization of Islamic Finance Institutions) -yang terdiri dari para
pakar perbankan syariah yang berasal hampir dari seluruh negara islam yang bertugas membuat
standarisasi produk-produk bank syariah dan sampai sekarang telah disahkan 80 standar produk.
Juga sudah dibentuknya IFSB (Islamic Financial Services Board) yang mengatur tentang
manajemen resiko dan ketentuan permodalan untuk perbankan syariah.

Akan tetapi sifatnya belum mengikat sepenuhnya, maka baru beberapa negara saja yang
menerapkan standarisasi tersebut.

-          Sumber Daya Manusia. Ini adalah tantangan terbesar. Karena kenyataan sekarang para
ahli syariah (fiqh) umumnya tidak mengerti tentang ekonomi dan perbankan, dan disisi lain, para
ekonom dan praktisi perbankan tidak mengerti syariah.

Maka perlu didirikan sekolah tinggi dengan kurikulum yang menggabungkan antara ilmu fiqh
dan ilmu ekonomi, serta perlu dibentuknya lembaga-lembaga pelatihan yang mumpuni untuk
para praktisi perbankan syariah.

Di sisi lain, sangat diharapkan bank-bank syariah sudah mulai berani untuk berinvestasi secara
sungguh-sungguh dalam hal pengembangan sumber daya manusianya dan prasarana pendukung
seperti sistem teknologi informasi. Sehingga diharapkan bisa menarik dan menciptakan tenaga-
tenaga professional yang berkualitas untuk hijrah atau masuk ke dalam industri perbankan
syariah, yang juga didukung dengan sistem teknologi informasi yang mumpuni, yang pada
gilirannya bisa membantu perkembangan perbankan syariah kedepan untuk menjadi sebagai
sebuah alternatif solusi yang tak diragukan untuk sistem perbankan secara keseluruhan.

-          Ketidak independenan dewan pengawas syariah di beberapa bank.

Sebagai contoh, perekrutan Dewan Pengawas Syariah di Indonesia sesuai dengan panduan
investasi syariah yang dikeluarkan oleh BI "bahwa bank wajib mengajukan calon anggota
Dewan Pengawas Syariah untuk mendapat persetujuan BI dan penetapan oleh Dewan Syariah
Nasional".

Ini berarti bahwa yang mengangkat dan menentukan Dewan Pengawas Syariah adalah direksi
bank. Maka sangat sulit bagi anggota DPS tersebut untuk bisa memberikan pengawasan syariah
secara maksimal bila bertentangan dengan kebijakan dewan direksi.

Berbeda jika DPS benar-benar independen yang diangkat dan diberhentikan oleh pihak lain dan
bukan dewan direksi bank yang bersangkutan seperti DSN umpamanya. DPS tentu lebih akan
maksimal untuk bertindak.

Sebagai pertimbangan: Bank Al Rajhi di Riyadh, Dewan Pengawas Syariahnya sejajar dengan
dewan direksi karena mereka ditunjuk dan diangkat langsung oleh Rapat Umum Pemegang
Saham. Dalam salah satu kasus: seorang direktur cabang Bank Al Rajhi di London mengadakan
transaksi yang bertentangan dengan syariah maka DPS memerintahkan dewan direksi untuk
mengambil sikap tegas terhadap oknum dan bila perlu diberhentikan dari jabatannya.
Harapan:

Sebagai seorang muslim harapan kita tentulah, bukan hanya sistem keuangan yang berdasarkan
syariah akan tetapi juga sistem ekonomi secara menyeluruh berdasarkan prinsip syariah, dimana
zakat ditarik oleh negara, pajak bisa dihapuskan, uang bukan sekedar kertas yang setiap hari
nilainya bisa menurun setiap saat.

Dan lebih dari itu bukan hanya ekonomi saja yang sesuai syariah akan tetapi ideologi, politik,
sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan juga berdasarkan prinsip syariah sehingga
manusia benar-benar menjadi hamba Allah dan bukan hamba dari kekuatan lainnya. Dan rahmat
serta kedamaian menyelimuti alam semesta.

Lampiran

Short Sale: Transaksi yang terjadi di pasar spot maupun future market dengan cara seorang
pedagang memperkirakan harga saham perusahaan A akan turun, maka dia memberikan perintah
kepada suatu pialang untuk menjual 100 saham A dengan transaksi pinjaman yang akan dibayar
pedagang kepada pialang dalam jangka waktu tertentu, maka pialang mencari pembeli dengan
harga di hari itu, umpamanya: harga saham A 100 ribu rupiah per-saham di hari itu, maka
pialang menjualnya dan uangnya diterima pialang dan dipegang sebagai jaminan. Saat waktu
penyelesaian transaksi terjadi ternyata harga saham A turun menjadi 80 ribu rupiah per-saham,
maka pedagang tadi membeli 100 saham A di bursa lalu menyerahkannya kepada pialang dan
mengambil uang keuntungan selisih harga jual saham awal dengan saham yang diberikannya
kepada pialang sekitar 2 juta rupiah.

Pada hakikatnya: pedagang jual (bear) menjual barang yang belum dimilikinya, karena dia
memerintahkan pialang menjual saham A yang bisa jadi milik pialang atau milik pedagang lain
yang merupakan agunan di tangan pialang dengan cara dipinjamkan kepada pedagang jual. Ini
dalah transaksi yang diharamkan. ( lihat. Al Aswâq al mâliyyah al mu'asirah, hal. 743 ).

Option: adalah salah satu cara jual beli instrumen di bursa dimana penyerahan uang yang berarti
mendapatkan hak untuk membeli atau menjual instrumen pasar keuangan dalam jangka waktu
tertentu dengan harga yang tertera dalam kontrak.

Misalnya: Hari ini harga saham salah satu perusahaan  bernilai 100 ribu rupiah, Pak Khalid
memperkirakan saham ini akan naik pada masa yang akan datang, maka dia memutuskan
melakukan transaksi opsi dengan pak Zaid dengan nilai Rp. 5.000,- sebagai imbalan kesediaan
pak Zaid untuk menjual sahamnya yang seharga 100 ribu rupiah kapanpun diminta pak Khalid
selama jangka waktu 100 hari. Andai perkiraan pak Khalid benar dan harga saham perusahaan
tersebut menjadi 120 ribu rupiah maka pak Khalid mengambil haknya dengan kontrak opsi dan
membeli saham dengan harga 100 ribu rupiah pada hari dimana harga saham tersebut 120 ribu
rupiah, dari kontrak ini pak Khalid mendapat untung sebanyak Rp. 15.000,- yang merupakan
selisih dari dua harga, harga kontrak opsi sebesar Rp. 5.000,- yang telah diberikan sebelumnya
kepada pak Zaid.
Jika harga saham tersebut turun menjadi 90 ribu rupiah dapat dipastikan pak Khalid akan
membelinya di bursa saham daripada membelinya dari pak Zaid. Dalam kondisi ini pak Khalid
telah menderita kerugian sebanyak Rp. 5.000,- uang biaya kontrak opsi.

Transaksi opsi hukumnya haram, karena mengandung gharar (judi) dalam jumlah yang besar.
(Muamalat Mashrafiyyah, Dr. Syubaily).

Buy on Margin: pembelian aktiva dengan pembayaran di muka yang disebut margin, sisanya
ditutup dengan pinjaman dari bank atau pialang, umumnya pinjaman tersebut berbunga. Hukum
transaksi ini diharamkan karena menggunakan riba.

Futures: Transaksi berjangka, adalah: salah satu bentuk cara jual beli instrumen di bursa dimana
berlangsungnya pembayaran dan penerimaan instrumen pada masa yang akan datang yang
disebut dengan pay-day (waktu pelunasan).

Transaksi ini hukumnya haram karena; Penyerahan barang dan uang tidak tunai. Dan para ulama
sepakat mengharamkan jual beli barang dan uang yang tidak tunai

Mudharabah: transaksi penanam dana oleh pemilik dana (shahibul mal) kepada pengelola
(mudharib) untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagiana hasil berdasarkan nisbah yang
disepakati oleh kedu pihak dan kerugian ditanggung oleh pemilik dana.

Murabahah lil amir bisysyira: transaksi jual-beli barang sebesar harga perolehan barang
ditambah dengan margin yang disepakati oleh kedua pihak, dimana penjual menginformasikan
terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.

Istishna: transaksi jual-beli barang dengan cara pemesanan pembuatan barang dengan kriteria
dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.

Salam: transaksi jual-beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan
pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.

Tawarruq ghair munazzam: Seseorang butuh uang tunai, lalu dia membeli barang dengan cara
kredit, kemudian barang tersebut dijualnya kepada pihak lain yang bukan pihak penjual dengan
cara tunai dan dengan harga di bawah harga beli.

Qalbuddayn: transaksi yang digunakan pada kartu kredit syariah bila pemegang kartu terlambat
melunasi tagihan dengan cara pihak bank membuat transaksi baru dengan nasabah seperti
tawarruq, kemudian uang dari transaksi tawarruq tersebut ditarik oleh bank untuk melunasi
hutang awal.

http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/muamalat/198-sistem-keuangan-syariah-solusi-krisis-
ekonomi-global.html?lang=
prinsip keuangan dalam syariah
May 12th, 2010 • Related • Filed Under

Prinsip-prinsip Dalam Keuangan Syariah

prinsip-prinsip keuangan syariah meliputi:


1. Riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah . Sedangkan menurut istilah teknis riba berarti
pengambilan dari harta pokok atau modal secara batil. Namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual
beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam
Islam.
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang
dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun
kelompok kedua, riba jual beli terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah.
Riba Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang. Riba Jahiliyyah adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam
tidak mampu membayar utang pada waktu yang telah ditetapkan.
Riba Fadhl adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran berbeda, sedangkan
barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Riba Nasi’ah adalah
penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis
barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
penambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
2. Zakat
Negara Islam wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal warga negaranya, dalam bentuk
sandang, pangan, papan, perawatan kesehatan dan pendidikan (QS. 58:11). Tujuan utamanya
adalah untuk menjembatani perbedaan sosial dalam masyarakat dan agar kaum muslimin mampu
menjalani kehidupan sosial dan material yang bermartabat dan memuaskan.
3. Haram
Sesuatu yang diharamkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah sesuai yang telah diajarkan
dalam Alquran dan Hadist. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa praktek dan aktivitas
keuangan syariah tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka diharapkan lembaga keuangan
syariah membentuk Dewan Penyelia Agama atau Dewan Syariah.
4. Gharar dan Maysir
Alquran melarang secara tegas segala bentuk perjudian. Selain mengharamkan judi, Islam juga
mengharamkan setiap aktivitas bisnis yang mengandung unsur judi. Hukum Islam menetapkan
bahwa demi kepentingan transaksi yang adil dan etis, pengayaan diri melalui permainan judi
harus dilarang.
Islam juga melarang transaksi ekonomi yang melibatkan unsur spekulasi, gharar (secara harfiah
berarti “resiko). Apabila riba dan maysir dilarang dalam Alquran, maka gharar dilarang dalam
beberapa hadis. Menurut istilah bisnis, gharar artinya menjalankan suatu usaha tanpa
pengetahuan yang jelas, atau menjalankan transaksi dengan resiko yang berlebihan. Jika unsur
ketidakpastian tersebut tidak terlalu besar dan tidak terhindarkan, maka Islam membolehkannya.
5. Takaful
Takaful adalah kata benda yang berasal dari kata kerja bahasa arab kafala, yang berarti
memperhatikan kebutuhan seseorang. Pada hakikatnya, konsep takaful didasarkan pada rasa
solidaritas, responsibilitas, dan persaudaraan antara para anggota yang bersepakat untuk
bersama-sama menanggung kerugian tertentu yang dibayarkan dari aset yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, praktek ini sesuai dengan apa yang disebut dalam konteks yang berbeda
sebagai asuransi bersama (mutual insurance), karena para anggotanya menjadi penjamin
(insurer) dan juga yang terjamin (insured).
Prinsip Bagi Hasil
Gagasan dasar sistem keuangan Islam secara sederhana didasarkan pada adanya bagi hasil (profit
and loss sharing). Menurut hukum perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi
bisnis didirikan dengan tujuan pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama. Mudharabah
dan musyarakah adalah dua model bagi hasil yang lebih disukai dalam hukum Islam.
Mudharabah (Investasi)
Mudharabah dipahami sebagai kontrak antara paling sedikit dua pihak, yaitu pemilik modal
(shahib al mal atau rabb al mal) yang mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, dalam
hal ini pengusaha (mudharib) untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Dalam mudharabah,
pemilik modal tidak mendapat peran dalam manajemen. Jadi mudharabah adalah kontrak bagi
hasil yang akan memberi pemodal suatu bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang
mereka biayai. (Algaoud dan Lewis, 2007)
Musyarakah (Kemitraan)
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu
yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan
dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/05/prinsip-keuangan-dalam-syariah/

Macam-Macam Akad Keuangan Syariah

Hal-hal penting dalam Akad Keuangan Syariah

Sistem keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk
mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik
dengan menggunakan prinsip penyertaan dalam rangka pemenuhan permodalan (equity
financing) maupun dengan prinsip pinjaman dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembiayaan
(debt financing). span class=”fullpost” Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (profit and loss sharing}, sebagai metode
pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’) untuk
memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing). Bank Islam tidak menggunakan metode
pinjam-meminjam uang dalam rangka kegiatan komersial, karena setiap pinjam-meminjam uang
yang dilakukan dengan persyaratan atau janji pemberian imbalan adalah termasuk riba. Oleh
karena itu mekanisme operasional perbankan Syariah dijalankan dengan menggunakan piranti-
piranti keuangan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut:

a. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)


Ada dua macam kontrak dalam kategori ini yaitu: musyarakah (joint venture profit sharing) dan
mudharabah (trustee profit sharing).

1). Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing) Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih
(termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal
mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (syirkah al inan)[9] sebagai sebuah badan hukum
(legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal
mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya.
Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian ke-untungan secara proporsional
dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan
sebelumnya. Bila perusahaan merugi, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional
kepada masing-masing pemberi modal.[10] Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad
yang diterapkan pada usaha atau proyek di mana bank membiayai sebagian saja dari jumlah
kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini
juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan. Dalam kontrak tersebut, salah
satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak lain tersebut menerima kembali
modal mereka secara bertahap. Inilah yang disebut Musyarakah al Mutanaqishah. Aplikasinya
dalam perbankan adalah pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank
dengan lembaga keuangan lainnya, di mana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil
alih oleh pihak lainnya dengan cara mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan pada
mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal
yang tetap.

2). Mudharabah (Trustee Profit Sharing) Kontrak mudharabah[11] juga merupakan suatu bentuk
equity financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada
mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana
(shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib
(dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk bank)
memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib
dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Jika proyek selesai, mudharib akan
mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah
disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal.
Sedang mudharib kehilangan keuntungan (imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah
dilakukannya. Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak.
Mereka dapat menjadi pengelola dana (mudharib) dalam hubungan mereka dengan para
penabung dan investor, atau dapat menjadi penyedia dana (shahibul maal) dalam hubungan
mereka dengan pihak pengguna dana. Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah (tidak terikat)
dan Muqayyadah (terikat).[12] a) Mudharabah Mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan
penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik
dan menguntungkan. Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan
praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf). b) Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana
menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan
jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut
dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan. b. Prinsip
Jual-Beli Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara
suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah
atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun
secara tangguh (deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt
financing) syarat-syarat al bai’ menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh (deferred
contract of exchange). Dalam hukum ekonomi Islam, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-
macam jual-beli, termasuk jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang
yang dipertukarkan, jual beli terbagi empat macam;[13]

1) Bai’ al muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan
sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan
yang didasar-kan atas prinsip jual-beli.

2) Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang
(barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi
ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran
barang dangan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut
counter trade.

3) Bai’ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang
asing lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang
asing yang diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk
uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer). 4) Bai’ as salam adalah akad jual-beli di mana
pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya,
sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang
disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.
Sedangkan pembagian jual beli berdasarkan harganya terbagi empat macam;[14]

1) Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut
penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan
keuntungan yang diambil.

2) Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga
pokok dan keuntungan yang didapatnya.

3) Bai’ al muwadha’ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang
lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini
biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah
sangat rendah.

4) Bai’ al-tauliyah, yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang sama
dengan harga pokok barang. Terdapat bentuk jual-beli lain yang disebut dengan Bai’ al istishna’,
yaitu kontrak jual-beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur
sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli
diproduksi dan diserahkan kemudian. Di antara jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim
digunakan sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai’ al
murabahah, bai’ as- salam dan bai’ al istishna’. a. Al-Murabahah Murabahah adalah salah satu
bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini berlandaskan pada sabda Rasulullah
SAW dari Shuhaib ar Rumy r.a.: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara
tunai (murabahah), muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan mencampur tepung dengan
gandum untuk kepentingan rumah, bukan untuk diperjualbelikan.”(HR. Ibnu Majah) Al
Murabahah adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli tersebut
penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk
barang haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan yang diambil dan cara
pembayarannya harus disebutkan dengan jelas. Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad
jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk
membeli barang. Bank memperoleh keuntungan dari jual-beli yang disepakati bersama. Rukun
dan syarat murabahah adalah sama dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-
syarat lain seperti barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang
bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang
disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank. Selama akad
belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan maka akad
tersebut menjadi batal. Cara pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama, bisa secara
lumpsum ataupun secara angsuran. Murabahah dengan pembayaran secara angsuran ini disebut
juga bai’ bi tsaman ajil. Dalam prak-teknya nasabah yang memesan untuk membeli barang
menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan barang dengan spesifikasi dan harga
yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan pembelian secara tunai dari
pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian menjualnya secara tangguh kepada
nasabah yang bersangkutan. Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya
untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai
lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan
barang tersebut. b. Bai’ as Salam Secara etimologi salam berarti salaf (dahulu). Bai’ as salam
adalah akad jual-beli suatu barang di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan
barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati.[15] Beberapa
landasan Syariah dapat disebutkan antara lain: Ibn Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam
yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar dihalalkan oleh Allah dan diizinkan,” kemudian
ia membaca ayat 282 dari QS Al Baqarah. Menjual sesuatu yang tidak ada pada diri penjual
tidak diperbolehkan. Sabda Rasulullah: “Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada
padamu” (HR Ahmad, At Tarmidzi, dan Ibn Hibban). Oleh karena itu dalam bai’ as salam harus
ada jaminan bahwa penyediaan barang yang dipesan dapat dipenuhi. Ibnu Abbas r.a.
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tiba di Madinah di mana mereka melakukan salaf untuk
penjualan buah-buahan dengan jangka waktu satu tahun atau dua tahun, lalu beliau bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan salaf hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas pula, sampai pada batas waktu tertentu.”(HR. Bukhari)[16] Dalam teknis
perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari nasabah dengan
pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang
dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang
dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh
barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam
prakteknya transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan transaksi
penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga dilakukan
dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank dapat juga melakukan
penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah. Pada umumnya nasabah yang
memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang menerima pesanan dari pelanggannya dengan
syarat bahwa harga atas barang itu akan dibayar setelah barang diserahkannya. Sementara
nasabah tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan pengadaan barang yang dipesan
tersebut. Agar nasabah dapat memperoleh dana yang dibutuhkan itu maka ia bukan melakukan
penjualan langsung kepada pemesannya, melainkan menjual kepada bank dengan salam dan
posisinya sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh bank. Tentu saja harga dalam
jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih rendah daripada harga yang disepakati
antara produsen dengan pemesan barang. Selisih harga itu menjadi keuntungan bank. c. Bai’ al-
Istishna’ Bai’ al-Istishna’ adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan
produsen/penjual (shani’) di mana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dulu
dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, bedanya hanya terletak
pada cara pembayarannya; pada salam, pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada
istishna’ pembayarannya boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara
bertahap. Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (shani’ ke-1) kepada
pemesan/pembeli dan mensubkannya kepada produsen (shani’ ke-2). 3. Prinsip Sewa dan Sewa-
Beli Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina’ atau disebut juga ijarah muntahiyah bi
tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah
Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing lease. Al
ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau
manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang
disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina’ atau al
ijarah muntahiyah bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik
barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan
pokok harga barang.

4. Prinsip Qard

Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan[17]. Dalam
literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqd tathawwu’, yaitu akad saling membantu dan bukan
transaksi komersial. Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank Islam dapat
memberikan fasilitas yang disebut al qard al hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada
pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban
membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk
memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi bank sama sekali dilarang untuk
meminta imbalan apapun. Bank juga dapat menggunakan akad ini sebagai produk pelengkap
untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang
sangat pendek

5. Prinsip Al Wadi’ah

Wadi’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk
dijaga. Barang yang dititipkan disebut ida’, yang menitipkan disebut mudi’ dan yang menerima
titipan disebut wadi’[18]. Dengan demikian maka pengertian istilah wadi’ah adalah akad antara
pemilik barang (mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) dari
kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta. Ada dua tipe wadi’ah, yaitu wadi’ah yad
amanah dan wadi’ah yad dhamanah.[19] a). Wadi’ah Yad Amanah Wadi’ah yad amanah adalah
akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya
ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset
titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan
atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah. Di bawah prinsip yad
amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan aset tersebut tidak boleh
dipergunakan dan custodian tidak berhak untuk memanfaatkan aset titipan tersebut. Status
penerima titipan berdasarkan wadi’ah yad amanah akan berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah
apabila terjadi salah satu dari dua hal ini: (1) harta dalam titipan telah dicampur, dan (2)
custodian menggunakan harta titipan. Penerapannya dalam perbankan dapat dilihat, misalnya
dalam pelayanan jasa penitipan surat-surat berharga (custodian). b). Wadi’ah Yad Dhamanah
Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee
yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan
bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan
tersebut. Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemiliknya yang
memerlukan jasa penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya
kembali sewaktu-waktu. Di bawah prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-
gunakan dalam perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari
pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan. Jadi, custodian memperoleh izin dari pemilik
harta untuk menggunakannya dalam perniagaan selama harta tersebut berada di tangannya.
Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh harta yang mereka miliki.
Dengan demikian mereka memerlukan jaminan penerimaan kembali atas simpanan mereka.
Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta tersebut selama dalam status
simpanan adalah menjadi hak custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus
kepada pemilik harta atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian.

6. Prinsip Lainnya

a). Prinsip Rahn Rahn menurut Syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan
yang memungkinkan untuk ditarik kembali.[20] Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta menurut pandangan Syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan
boleh mengambil utang semuanya atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad
menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya. Rahn
adalah satu jenis transaksi tabaru’, karena apa yang diberikan Rahin (pemilik barang) untuk
murtahin (pemegang barang) bukan atas imbalan akan sesuatu,[21] ia termasuk transaksi (uqud)
‘ainiyah, di mana tidak dianggap sempurna secuali bila sudah diterima ‘ain al ma’qud. Dan akad
(transaksi) jenis ini ada lima, yaitu hibah, i’arah, ida’, qard dan rahn. Tabaru’ itu tidak sempurna
kecuali dengan qard. Dalam teknis perbankan, akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada
pembiayaan yang berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi
produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah guna keperluan yang bersifat jasa dan
konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Bank atau lembaga keuangan tidak
menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan
tersebut.

b). Prinsip Wakalah Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama
mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama.[22]
Ada beberapa jenis wakalah, antara lain: Ø Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara
mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan. Ø Wakalah al muqayyadah, yaitu
penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu. Ø Wakalah al
ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada al
mutlaqah. Dalam aplikasinya pada perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk
penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank
di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada
pihak lain.

c). Prinsip Kafalah Istilah kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab
seseorang ke dalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain
menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan
dengan masalah nyawa, utang atau barang. Meskipun demikian penjamin yang ikut bertanggung
jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan
jaminan pihak penjamin. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, kafalah
adalah menjadikan seseorang (penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang
dalam pelunasan/pembayaran utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang.
Ulama sepakat tentang bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah
masyarakat, dan agar yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang
berutang.[23] Dalam lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (bank
guarantee). Ada tiga jenis kafalah, yaitu: 1) Kafalah bin nafs, yaitu jaminan dari diri si penjamin
(personal guarantee); 2) Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran utang atau pelunasan
utang. Aplikasinya dalam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment
bond) atau jaminan pembayaran (payment bond). 3) Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak
yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini
diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance bonds) atau jaminan
penawaran (bid bonds).

d). Prinsip Hawalah Hawalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak
lain. Dalam hal ini ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang
memberi utang (muhal atau da’in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal ‘alaih).[24]
Menurut mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu: 1) Hawalah mutlaqah: Seseorang
memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang ada pada
orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi, kalau muhal ‘alaih tidak punya utang
kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridaan tiga pihak
(da’in, madin dan muhal ‘alaih). 2) Hawalah Muqayyadah: Seseorang memindahkan utang dan
mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan
kesepakatan para ulama. Ketiga mazhab selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hawalah
muqayyadah dan mensyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan
utang muhal ‘alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Kalau sudah sama
jenis dan jumlahnya maka sahlah hawalah. Kalau berbeda salah satunya, maka hawalah tidak
sah. Di pasar keuangan konvensional praktek hawalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang
(factoring). Namun sebagaimana diuraikan di atas, kebanyakan ulama tidak memperbolehkan
mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan utang/piutang tersebut.

e). Prinsip Ju’alah Ju’alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan
tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak
kedua untuk kepentingan pihak pertama.[25] Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam
menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti Referensi Bank,
Informasi Usaha dan sebagainya. Prinsip ini juga digunakan oleh Bank Indonesia dalam
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) f). Prinsip Sharf Sharf adalah transaksi pertukaran
antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, di mana mata uang asing dipertukarkan
dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya[26]. Bank Islam sebagai
lembaga keuangan dapat menerapkan prinsip ini, dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat
yang disebutkan dalam beberapa hadits, antara lain: (1) harus tunai; (2) serah terima harus
dilaksanakan dalam majelis kontak; dan (3) bila dipertukarkan mata uang yang sama harus
dalam jumlah/kuantitas yang sama. /span

http://masmashum.students.uii.ac.id/2009/05/22/resume-macam-macam-akad-keuangan-perbankan-
syariah/

Anda mungkin juga menyukai