Anda di halaman 1dari 10

Latar belakang

Analisa terhadap konsep kesejahteraan menurut imam ghazali dan imam syatibi
Imam Ghazali, hidup pada abad ke-11 Masehi, berada di tengah-tengah krisis spiritual dan
filsafat yang melanda dunia Muslim. Abad tersebut menyaksikan pertentangan antara tradisi
keislaman dan pengaruh filsafat Yunani, menciptakan dinamika yang memaksa Ghazali untuk
merumuskan pandangan holistik tentang kehidupan dan kesejahteraan. Konteks ini akan diulas secara
rinci untuk memahami peran Ghazali sebagai pemikir sintesis yang mencoba menyatukan dimensi
rohaniah dan jasmani dalam pencapaian kesejahteraan. Sementara itu, Imam Syatibi, yang hidup pada
abad ke-8 Hijriyah di Andalusia, Spanyol Islam, menghadapi tantangan sosial dan politik yang unik.
Kondisi ini memaksa Syatibi, seorang ahli hukum, untuk mengembangkan pandangan kesejahteraan
yang terkait erat dengan prinsip-prinsip keadilan Islam.
Konteks sejarah dan kondisi sosial di Andalusia akan menjadi titik berat dalam analisis,
memberikan wawasan tentang bagaimana Syatibi memandang kesejahteraan sebagai konsep integral
dalam masyarakat Islam. Dalam penelitian ini, kita juga akan mengidentifikasi perbedaan dan
persamaan antara pandangan keduanya, menjelajahi bagaimana latar belakang sejarah dan pemikiran
memengaruhi perspektif mereka terhadap kesejahteraan. Dengan demikian, makalah ini akan
mengeksplorasi relevansi konsep kesejahteraan menurut Ghazali dan Syatibi dalam konteks
kontemporer, mengaitkan pandangan mereka dengan tantangan dan perubahan zaman yang terus
berkembang. Dengan mengintegrasikan elemen sejarah, teologis, dan sosial, makalah ini berusaha
memberikan gambaran yang komprehensif dan mendalam terhadap konsep kesejahteraan dalam
tradisi pemikiran Islam.
Later latur riview
Pengertian kesejahteraan konvensional dalam syariat islam
Kesejahteraan merupakan suatu kondisi yang harus diwujudkan bagi seluruh warga negara di
dalam pemenuhan kebutuhan material, spiritual, dan sosial agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.1

Kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan


pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs), keluarga atau
keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal) dan intelek atau akal (aql).2

Konesp Al-Ghazali (Maqashid Syari’ah)

Konesp Al-Syatibi (Maqashid Syari’ah)


Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok
kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara. Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid
menjadi tiga tingkatan yaitu:3
1. Dharuriyat
Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan
manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan
manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok
tersebut akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak.
2. Hajjiyat
Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau
menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia.
3. Tahsiniyat
Tujuan maqashid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk
menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. 4 Kesalahan apapun yang
mempengaruhi kategori daruriyat akan menghasilkan berbagai konsekuensi yang berbeda jauh, dapat
dikatakan sebagaiaspek-aspek hukum yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan urusan-urusan
agama dan keduniaan manusia secara baik. Pengabaian terhadap aspek-aspek tersebut akan
mengakibatkan kekacauan dan ketidakadilan di dunia.5
1
“Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial,” accessed December 9, 2023,
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2012/39TAHUN2012PPPenjel.htm.
2
Kusjuniati Kusjuniati, “‘Kesejahteraan Sosial Islami’ Sebuah Pemikiran Ekonomi Islam Imam Al-
Ghazali,” Widya Balina 4, no. 2 (December 31, 2019): 1–8, https://doi.org/10.53958/wb.v4i2.35.
3
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012) p. 382
4
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012) h 381-383
5
Wael B Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) p. 248
Maqashid syariah
Sesuai ilmu bahasa etimologi, campuran kedua kata dari maqashid al-syariah yaitu maqashid
yang memiliki berbagai jenis bentuk diantaranya qashd, maqshad, dan qushud yang menjadi turunan
kata kerja dari qashada yaqshudu dan memiliki berbagai arti antara lain mengarah ke sesuatu, sasaran,
benar, adil serta terbatas, searah, tidak berlebihan dan kekurangan. 6 Sesuai bahasa, definisi kaidah
maqashid ialah arti kata al-qawa’id al-maqashidiyah yaitu kombinasi kedua kata al-qawa’id dan al-
maqashidiyah yaitu membahas suatu kaidah yang menghasilkan permasalahan sasaran hukum
keislaman dengan sifat umum. Berdasarkan bahasan lain, penulis telah menjelaskan bahwasanya kata
al-qawa’id berbentuk jama’ ataupun bermacam-macam melalui kata al-qa’idah sesuai definisi bahasa
yang artinya dasar, prinsip ataupun pedoman umum.

Definisi Maqashid Al-Syariah ialah ketetapan dari makna dan tujuan terhadap hukum-hukum
Allah. Sedangkan berdasarkan istilahnya bahwa Maqashid Al-Syari’ah dari pernyataan Wahbah
menerangkan sebagai sekumpulan arti ataupun tujuan yang ingin didapatkan bagi syara’ dari seluruh
ataupun beberapa permasalahan hukum, dan juga sebagai sasaran syari’at, dan juga dirahasiakan atas
perencanaan masing-masing hukum syar’i yang memegang penuh kuasa syari’at, Rasul dan Allah
SWT. Maqashid Al-Syari’ah juga memiliki arti yang diutarakan para ulama klasik maupun
kontemporer Berikut ini beberapa pendapat ulama kontemporer mengenai Maqashid Al-Syari’ah:
Pendapat dari Imam Al-Syaribi menjelaskan bahwa terdapat dua hubungan Maqashid Al-Syari’ah
yaitu dengan tujuan Allah sebagai pencipta syariah dan dengan tujuan mukalaf. Tujuan Syari’ ialah
faedah dan kegunaan bagi setiap hamba berdasarkan dua posisi yaitu dunia serta akhirat. Sedangkan
tujuan mukalaf ialah pada saat setiap hamba disarankan untuk melakukan seluruh aktivitas sesuai
kegunaan dan faedah di dunia serta akhirat antara lain menyisihkan terjadinya kerusakan di dunia.
Oleh sebab itu, diharuskan untuk menghasilkan penafsiran mashlahah (kegunaan) dan mafsadah
(kerusakan). 7

Tujuan’ maqashid
Kajian mengenai tujuan atau maksud (maqashid) dalam penetapan hukum dalam Islam
merupakan topik menarik yang banyak dibahas dalam bidang ushul fiqh. Lebih lanjut, kajian ini
berkembang menjadi pokok utama dalam filsafat hukum Islam. Oleh karena itu, istilah "maqashid
syari'ah" sering dianggap setara dengan istilah "filsafat hukum Islam" (the philosofy of islamic law)
Istilah terakhir ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai tujuan di balik pengesahan suatu
hukum, mengundang pemikiran mendalam terkait maksud dan nilai-nilai yang ingin dicapai melalui
implementasi hukum Islam.8

Kandungan maqashid syari’ah adalah pada kemaslahatan. Kemaslahatan itu, melaui analisis
maqashid syari’ah tidak hanya dilihat dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan
pengembangan hukum dilihat sebagai sesuatu yang mengandung nilainilai filosofis dari hukum-
hukum yang disyariatkan Tuhan kepada manusia. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia
dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara
dan diwujudkan, yaitu agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-
nasl), dan harta (hifz almal).9

1. Memelihara Agama
6
P. D. Priyatno, “Fiat Money Vs Dinar-Dirham Fungsi Uang Dalam Kacamata Maqashid
Syariah”, Syiar Iqtishadi J. Islam. Econ. Financ. Bank. , 2020, 4, p.1,.39–57.
7
M. A. Rifqi A. H. Thahir, “Tafsir Maqasidi: Membangun Paradigma Tafsir Berbasis
Mashlahah”, Millah J. Stud. Agama, 2019, p.335–356.
8
M. Syukri Albani Nasution, Rahmat Hidayat Nasution, FILSAFAT HUKUM ISLAM & MAQASHID SYARIAH,
(Jakarta: Kencana, 2020) p. 46
9
M. Syukri Albani Nasution, Rahmat Hidayat Nasution, FILSAFAT HUKUM ISLAM & MAQASHID SYARIAH,
(Jakarta: Kencana, 2020) p. 58
Agama keperluan penting dan utama bagi manusia, maka penting dalam menjaga kelestarian dan
kemaslahatannya. Cara memelihara agama adalah dengan menunaikan syariat sesuai akidah , beribdah
yang tulus,dan berperilaku mulia hal ini harus dilaksanakan agar mencapai kemaslahatan kehidupan. 10
Jiwa juga dijadikan sebagai keperluan utama yang harus dijaga, maka seluruh sesuatu yang dinilai
menjadi wadah memelihara kejiwaan maka bersifat wajib, seperti kebutuhan pangan dalam
memelihara tubuh, tidak melakukan pembunuhan antar manusia, dan lainnya. Kewajiban ini bertujuan
dalam memelihara eksistensinya seorang manusia serta mewujudkan keamanan dan ketentraman
hidup.

2. Memelihara Jiwa
artinya menjaga atau memelihara hak dan jiwa manusia baik berupa hak untuk hidup, keselamatan,
kesehatan, ketenangan jiwa, akal dan ruhani. Dan untuk panjagaan terhadap jiwa tersebut,
ditetapkan hukum-hukum syaria’t seperti; larangan membunuh tanpa hak, disyari’atkan qishas,
larangan qoth at thoriq (pembegalan atau merampok), larangan membakar jenazah bahkan wajib
bagi kita memandikan, mengkafani, dan menguburnya sebagai wujud pemuliaan-, dan beberapa
syari’at lainnya yang berdimensi menjaga nyawa / jiwa.

3. Memelihara Akal
Akal adalah anugerah Allah dengan memiliki akal manusia bisa menjalankan kehidupan sebagai
khalifah di muka bumi.oleh karena itu penting menjaga dan memelihara akal untuk meraih
kemaslahatan. tidak mengkonsumsi miras dan narkoba adalah Cara yang dapat dilakukan untuk
memelihara akal .11

4. Memelihara Harta
Harta adalah hal yang dibutuhkan dalam keperluan hidup manusia. Dalam islam diajarkan cara yang
baik dan benar untuk pencarian dan pengelolaan harta. Oleh karena itu dalam upaya pencarian harta
dilarang melakukan tindakan-tindakan menyimpang diantaranya mencuri, korupsi, boros, dan hal hal
yang mengandung unsur tidak sesuai syariah.12

5. Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan salah satu dari keperluan primer manusia. Keturunan adalah generasi yang
disiapkan untuk memimpin di muka bumi selanjutnya. Di dalam Islam masalah pernikahan diatur
dengan berbagai syarat dan Islam melarang perzinaan yang bisa menodai kemuliaan manusia. 13

PEMBAHASAN BAB III

Konsep kesejahteraan menurut maqashid syariah

10
Bakry, Muammar (2019) Asas Prioritas dalam Al-Maqashid Al-Syar’iah. Al-Azhar Islamic Law Review, 1 (1). pp.
1-8. ISSN (p) 2656-6133 (e) 2654-7120
11
A. Bahsoan, “Mashlahah Sebagai Maqashid Al Syariah (Tinjauan Dalam Perspektif Ekonomi
Islam)”, J. Inovasi.2011 . 8, 01.
12
A. Iswandi, “Maslahat Memelihara Harta Dalam Sistem Ekonomi Islam”, Salam J. Sos. Dan
Budaya Syar-I, 2014. 1, 1,
13
A. R. Talib, “Penilaian Kelayakan Asnaf Fakir Dan Miskin Berdasarkan Had Kifayah: Had Kifayah
Adalah Satu Ukuran Kecukupan Seseorang Untuk Menanggung Perbelanjaan Bagi Keperluan
Asas Diri Dan Tanggungannya. Keperluan Asas Yang Menjadi Keperluan Asasi Bagi Setiap
Indivi”, Int. J. Humanit. Technol. Civiliz.,. 1,2019 . 23–41.
Dalam wacana mengenai kesejahteraan merupakan salah satu pembahasan dalam ilmu
ekonomi dan telah menjadi perhatian utama bagi seluruh negara di dunia 14 Hal ini terlihat dari
beragam definisi mengenai konsep kesejahteraan yang dirumuskan oleh para ekonom kenamaan serta
berbagai macam alat ukur kesejahteraan yang terdiri dari berbagai indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan penduduk suatu negara
Kesejahteraan memiliki beragam interpretasi dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris,
istilah "welfare" merujuk pada kesehatan, kebahagiaan, dan kenyamanan individu atau kelompok.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kesejahteraan diartikan sebagai keadaan sejahtera yang
mencakup rasa aman, sentosa, makmur, dan selamat. Dalam bahasa Arab, terdapat beberapa kata
seperti rafahiyyah dan shalih 'am yang mencerminkan makna kesejahteraan, di mana rafahiyyah lebih
terkait dengan aspek keduniawian karena kata "rafaha" berarti bermewah-mewahan. Kesejahteraan,
dalam makna kata "shalih 'am," mengandung konotasi kebaikan yang berdampak positif pada
kepentingan masyarakat.15
Lahirnya konsep kesejahteraan dapat ditelusuri dari sejarah ideologi global. Kapitalisme dan
sosialisme, sebagai dua ideologi dominan, membentuk dasar perkembangan ilmu ekonomi. Pengaruh
ideologi ini terlihat dalam pemikiran ekonomi, dari klasik hingga modern, dan bahkan menghasilkan
sintesis yang menggabungkan elemen-elemen dari keduanya.
Pemikir ekonomi klasik abad ke-17 dan ke-18, termasuk John Stuart Mill, menyatakan bahwa
ilmu ekonomi harus menjelaskan bagaimana manusia menciptakan keuntungan dan kesejahteraan
bersama. Tugas ekonomi adalah memberikan dasar untuk fokus pada kesejahteraan bersama dan cara
rasional meningkatkan kekayaan serta kesejahteraan masyarakat. Mereka meyakini ekonomi
bertanggung jawab memberikan prinsip bagi kegiatan bisnis untuk memberi surplus pada
kesejahteraan bersama.16

Dalam ajaran Islam, etika dianggap sebagai dasar ketiga setelah iman dan hukum.
Komponen-komponen tersebut iman, hukum, dan etika merupakan bagian integral dari identitas
Islam. Salah satu tujuan umum dalam hukum Islam, yaitu Maqāshid, adalah pembentukan prinsip
etika yang meresapi segala aspek kehidupan, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis sebagai elemen
krusial. Prinsip-prinsip tersebut merefleksikan keseluruhan Maqāshid Syariah. Sasaran utama hukum
Islam adalah menghilangkan etika buruk dan perilaku yang keliru dalam masyarakat, sekaligus
menerapkan perilaku yang baik, atau dalam istilah lain, mendatangkan kebaikan dan mencegah
keburukan.
Tanpa adanya etika yang mengatur perilaku manusia, masyarakat berisiko mengembangkan
nilai-nilai buruk seperti egoisme dan keserakahan, yang dapat merusak nilai persaudaraan.
Sebaliknya, penerapan etika yang tepat akan memberikan dampak positif pada pengelolaan bisnis,
pencapaian tujuan perusahaan yang benar, dan pengambilan keputusan yang adil tanpa merugikan
orang lain.17 Prinsip etika yang dijelaskan di atas menggarisbawahi pentingnya mengutamakan
produksi yang memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, yang termasuk dalam kategori dharuriyyat.
Dharuriyyat mencakup aspek-aspek vital seperti penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan,
harta benda, dan kehormat. Dalam konteks Maqāshid Syariah, prinsip ini menegaskan bahwa sektor
produksi harus memberikan prioritas utama pada pemenuhan kebutuhan esensial ini, mengutamakan
kesejahteraan manusia di atas sektor-sektor lain seperti hajiyyat dan tahsiniyyat. Keselarasan ini

14
Azizy, H. Satria, Mendudukkan kembali makna kesejahteraan dalam islam, p. 1.
15
ibid 4-5
16
.Dua, Mikhael, Filsafat Ekonomi: Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius. Cet ke-1. 2008, p. 18.
17
Lahsasna, Ahcene, Maqasid al-Shari’ah in Islamic Finance, Kuala Lumpur: IBFIM. 2013, p. 301.
mencerminkan tujuan Maqāshid Syariah dalam sektor produksi untuk menciptakan kondisi yang
mendukung kesejahteraan masyarakat.18

Konsep kesejahteraan menurut imam ghazali


Pemikiran sosio-ekonomi Al-Ghazali didasarkan pada suatu konsep yang disebutnya
kesejahteraan sosial Islami. Semua karya Al-Ghazal mempunyai konsep manfaat atau kesejahteraan
atau dukungan sosial (kebaikan bersama). Imam Al-Ghazali mengidentifikasi segala permasalahan,
baik masalihi (keuntungan, manfaat) maupun mafasi (tidak ada gunanya, kerusakan) dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan manusia (maslahah). masyarakat bergantung
pada pencapaian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yaitu agama. (dien), nyawa atau jiwa (nafs),
keluarga atau keturunan (nasl), harta benda atau kekayaan (mal) dan akal atau akal (aql). Al-Ghazali
menegaskan, sesuai petunjuknya, wahyu merupakan tujuan utama tujuan hidup manusia adalah
mencapai kebaikan dunia dan akhirat (maslahat al-din wa al-dunya).19 Kelima kebutuhan ini tidak
terpenuhi dengan baik jika orientasi setiap orang hanya terfokus pada akhirat . Oleh karena itu, setiap
orang perlu melakukan kegiatan ekonomi jika menginginkannya keamanan baik di dunia maupun di
akhirat.
Al-Ghazali mendefinisikan hakikat ekonomi kesejahteraan sebagai berikut: Utilitas pribadi
dan sosial, kerangka hierarki kebutuhan ketiga. (kejutan), kesenangan dan kenyamanan (hajat),
kemewahan (ta-sinat). hirarki Dari tradisi Aristoteles ada penggolongan yang disebut kepentingan.
Kebutuhan dasar, kebutuhan barang luar, Kebutuhan akan manfaat psikologis. 20 Al- Ghazali
memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban social (fard al-
kifayah) yang sudah ditetapkan Allah, jika hal-hal ini tidak dipenuhi kehidupan dunia akan runtuh dan
kemanusiaan akan binasa. Al-Ghazali menegaskan bahwa aktivits ekonomi harus tegas dilakukan
secara efesien karena merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang. Al-Ghazali
mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas ekonomi, yaitu untuk
mencukupi kebutuhan hidup, untuk mensejahterakan keluarga dan untuk membantu orang lain yang
membutuhkan.keselamatan baik di dunia maupun akhirat. Berdasarkan wawasan sosio ekonomi Al-
Ghazali dapat diidentifikasi beberapa konsep dan prinsip ekonomi yang spesifik yang kemudian
diungkap ulang oleh ilmuwan muslim dan non-muslim. Dalam kitabnya Ihya Ulum Al-Din tema
ekonomi yang berasal dari pemikiran Al-Ghazali adalah : pertukaran sukarela dan evolusi pasar,
aktivitas produksi, barter dan evolusi uang serta peran Negara dan keuangan publik.
Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar: Al-Ghazali mendorong pertukaran sukarela sebagai
suatu tindakan yang baik dalam Islam. Dalam konteks ekonomi, hal ini mengacu pada perdagangan
atau pertukaran barang dan jasa secara adil dan sukarela antara individu. Evolusi pasar merujuk pada
perkembangan dan dinamika pasar sebagai mekanisme yang dapat menguntungkan masyarakat. Al-
Ghazali juga menyuguhkan pembahasan terperinci tentang peranan dan signifikansi aktivitas
perdagangan yang dilakukan dengan sukarela, serta proses timbulnya pasar yang berdasarkan
kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba.21
Aktivitas Produksi: Al-Ghazali mungkin membahas aktivitas produksi sebagai bagian integral
dari kehidupan ekonomi. Produksi barang dan jasa dilihat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, dan Al-Ghazali mungkin menyoroti pentingnya keadilan dalam proses produksi.Al-
Ghazali juga dalam melakukan aktivitas produksi perlu dilakukan kerjasama dan koordinasi, teutama

18
Fauzia, Yunia Ika, dan Riyadi K. Abdul, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syari’ah.
Jakarta: Prenadamedia Group. Cet. 2, 2015, p. 114-115.
19
Al-Ghazali dalam Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Keempat, Rajawali
Pers, Depok ,2017
20
Ibid p. 261
21
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Keempat, PT Rajagrafindo Persada,
Depok, 2017, p.264.
jenis aktivitas yang sesuai dengan dasar-dasar etos Islam. Al-Ghazali menganggap bahwa bekerja
sebagai bagian dari ibadah, bahwa produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial
(fard al-kifayah).22
Barter dan Evolusi Uang: Menurut Al-Ghazali pasar terbentuk karena kesulitan yang dihadapi
saat transaksi dilakukan dengan menggunakan barter, sistem barter (pertukaran barang), dimana tidak
setiap orang dan setiap waktu mereka bersedia menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang
orang lain yang membutuhkan barangnya. Barter mencerminkan pertukaran langsung barang tanpa
menggunakan uang. Al-Ghazali mungkin membahas keberlanjutan sistem barter dan evolusi konsep
uang sebagai alat yang memfasilitasi pertukaran. Pendekatan ini dapat memberikan wawasan tentang
peran uang dalam mempermudah transaksi ekonomi.
Peran Negara dan Keuangan Publik: Dalam konteks ini, Al-Ghazali mungkin membahas
peran negara dalam mengatur ekonomi dan keuangan publik. Ia mengatakan bahwa sumber daya
publik seharusnya dibelanjakan untuk pembuatan jembatan-jembatan, bangunan-bangunan
keagamaan (masjid), pondokan , jalan-jalan dan aktivitas lainnya yang senada yang manfaatnya dapat
dirasakan oleh rakyat secara umumnya.
Al-Ghazali juga menyampaikan bahwa pengeluaran public dapat diadakan untuk fungsi-
fungsi seperti pendidikan, hukum dan administrasi publik, pertahanan dan pelayanan kesehatan. Hal
ini dapat mencakup tanggung jawab negara untuk memastikan keadilan ekonomi, distribusi kekayaan
yang merata, serta pengelolaan keuangan publik dengan prinsip-prinsip moral Islam.

Konsep kesejahteraan menurut Imam Syatibi

Pembedanya dan Persamaannya


Imam Ghazali dan Al-Syatibi, dua cendekiawan Islam utama, berbagi perspektif dan
perbedaan terkait kesejahteraan. Dalam hal persamaan, keduanya sepakat bahwa kesejahteraan sejati
terwujud melalui keselarasan dengan nilai-nilai Islam. Ajaran Islam menjadi landasan etis yang
mendasari pencapaian kebahagiaan dan kesejahteraan. Kesejahteraan, dalam pandangan keduanya,
bukan hanya tentang pencapaian materi, melainkan juga keselarasan antara dimensi spiritual dan
material, serta harmoni antara kebutuhan individu dan tuntutan masyarakat. Di sisi lain, perbedaan
muncul dalam pendekatan mencapai kesejahteraan. Imam Ghazali cenderung menekankan metode
spiritual dan introspektif, terutama melalui tasawuf atau mistisisme Islam.
Al-Syatibi, sebaliknya, menekankan pemahaman hukum Islam dan adab (norma-norma
moral) sebagai fondasi utama. Konteks pemikiran juga memainkan peran penting. Imam Ghazali,
hidup pada abad ke-11, menyoroti dimensi spiritual dalam kehidupan Muslim. Sementara itu, Al-
Syatibi, yang hidup pada abad ke-14, menempatkan penekanan lebih besar pada pemahaman hukum
dan etika Islam dalam masyarakat yang sudah terstruktur. Dalam meraih kesejahteraan, peran akal dan
hikmah menjadi perbedaan lainnya. Ghazali menekankan peran akal dan hikmah sebagai sarana
mencapai kesejahteraan, sementara Al-Syatibi lebih menekankan pemahaman hukum dan norma etika
sebagai dasar untuk mencapai kesejahteraan. Secara keseluruhan, pemikiran keduanya memberikan
wawasan yang berharga tentang kesejahteraan dalam konteks Islam, menegaskan nilai-nilai spiritual
dan moral sebagai kunci utama kebahagiaan dan hidup yang bermakna.

22
Adiwarman Azwar Karim, op.cit, hal. 269
PENUTUP
BAB III
Kesimpulan
Imam Syatibi dan Imam Ghazali, dua tokoh besar dalam pemikiran Islam, memiliki
pandangan sejalan dalam mengukur konsep kesejahteraan yang bersumber dari prinsip-prinsip
Maqāshid Syariah. Kesejahteraan menurut mereka tidak sekadar terbatas pada dimensi materi,
melainkan juga melibatkan aspek spiritual, moral, dan sosial.
Imam Syatibi, dengan penekanannya pada keadilan sosial, menegaskan bahwa kesejahteraan
tidak dapat tercapai tanpa memperhatikan aspek moralitas dalam aktivitas ekonomi. Baginya,
keberhasilan ekonomi harus sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan etika Islam. Sementara itu,
Imam Ghazali memberikan penekanan pada keselarasan dengan nilai-nilai etika Islam dalam
mencapai kesejahteraan. Baginya, keberkahan dan kesejahteraan sejati terletak dalam keselarasan
antara tindakan duniawi dan amalan rohaniah. Keduanya sepakat bahwa kesejahteraan yang
komprehensif melibatkan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi. Kesejahteraan sejati
tidak hanya mengandalkan kekayaan materi, melainkan juga melibatkan pemeliharaan nilai-nilai
spiritual, moral, dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulan ini mencerminkan pendekatan
holistik dalam Maqāshid Syariah, di mana pemenuhan kebutuhan esensial manusia melibatkan
berbagai dimensi kehidupan untuk mencapai kesejahteraan yang menyeluruh.
Imam Ghazali dan imam Syatibi sejalan dalam memandang bahwa kebahagiaan dan
kesejahteraan umat Islam dapat dicapai dengan memelihara nilai-nilai keimanan, kehidupan, akal
budi, keturunan, dan harta benda. Pemahaman dan implementasi Maqashid Syariah menjadi kriteria
utama dalam mengukur kesejahteraan, yang tidak hanya mencakup dimensi spiritual, tetapi juga
aspek-aspek sosial dan ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam
REFRENSI
.

Anda mungkin juga menyukai