Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM

TUJUAN HUKUM ISLAM

Dosen pengampu:

DISUSUN OLEH:

ABDUL SANI
IRWAN DEFRIYANTO
RAMADHAN

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS SYARIAH IAIN STS JAMBI
2013
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi
keguruan.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk

memberikan

masukan-masukan

yang

bersifat

membangun

untuk

kesempurnaan makalah ini.

Jambi, Nov 2013


penulis

BAB I
2

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur
paling mayoritas. Dalam tatanan dunia Islam internasional, umat Islam
Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang
berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami hukum Islam di
tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan
seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu
terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ? Maka dapat dijawab dengan
hukum Islam di Indonesia.
Tuhan Mensyariatkan hukum-Nya bagi manusia tentunya bukan
tanpa tujuan, melainkan demi kesejahteraan, kemaslahatan manusia itu sendiri.
Perwujudan perintah tuhan dapat dilihat lewat Al-quran dan penjabaran dapat
tergambar dari hadis Nabi Muhammad SAW. Manusia luar biasa yang
memiliki hak khusus untuk menerangkan kembali maksud Tuhan dalam Alquran. Tidak satu pun kalam Tuhan yang berakhir sia-sia tanpa dimengerti
oleh hamba-Nya bahkan mungkin berakibat rusaknya tatanan hidup manusia.
Kalam Tuhan tidak diinterpretasikan secara kaku (rigid) sehingga berakibat
tidak terejawantahkan nilai-nilai kemaslahatan universal bagi manusia.
Demi kemaslahatan manusia, interpretasi terhadap Al-quran harus
dilakukan secara arif dan bijaksana dengan menggunakan pendekatan filsafat.
Dengan demikian nilai-nilai filosofis (substansial) dalam Al-quran akan
mampu terungkap. Teraplikasikannya kemaslahatan manusia (maslahatul
ummat) merupakan cita-cita Tuhan (tujuan) menurunkan risalah-Nya jadi,
jangan membiarkan Alquran dan menggiringnya menjadi mimpi-Nya yang
tidak terungkap dan tidak tersentuh sama sekali (untouchable).
Dalam pandangan aksiologi, ilmu pengetahuan dijadikan sebagai alat
untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi manusia secara
keseluruhan di dunia ini . dalam konsep Al-quran tujuannya mencakap dunia
3

dan kehidupan setelah di dunia ini yang dalam bahasa al-Syatibi disebutkan
kebaikan dan kesejateraan ummat manusia.
1.2 Rumusan Masalah
1.1.1. Apa tujuan hukum Islam itu?
1.1.2. Bagaimana aspek aspek hukum Islam itu ?

1.3 Tujuan
1.1.3. Mengetahui tujuan hukum Islam tersebut.
1.1.4. Mengetahui aspek aspek hukum Islam tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tujuan Hukum Islam
Kajian tentang maksud (tujuan) ditetapkannya hukum dalam lslam
merupakan kajian yang sangat menarik dalam bidang usul fikih. Dalam
perkembangan berikutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat
hukum lslam. Sehingga dapat dikatakan baahwa istilah maqashid al-syariah
identik dengan istilah filsafat hukum lslam (the philosophy of lslamic law).
Istilah yang disebut terakhir ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis
tentang tujuan ditetapkannya suatu hukum.
Secara lughawi (etimologi), maqashid al-syariah terdiri dari dua kata
yakni maqashid dan al-syariah. maqashid berarti kesengajaan atau tujuan.
Syariah artinya adalah jalan menuju sumber air atau jalan sumber pokok
kehidupan. Menurut istilah (terminology) maqashid al-syariah adalah
kandungan nilai yang menjadi tujuan persyariatan hukum. Jadi sebagaimana
juga yang dikatakan oleh Ahmad al-Rausini dalam Nazhariyat al-maqashid
lnda

al-Syatibi,

maqashid

al-syariah

adalah

maksud

atau

tujuan

disyariatkannya hukum lslam.


Al- syatibi mengatakan bahwa doktrin ini (maqashid al-syariah)
adalah kelanjutan dan perkembangan dari konsep maslahah sebagaimana telah
dicanangkan sebelum masa al-Syatibi dalam tinjauannya tentang hukum
lslam, ia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kesatuan hukum lslam
berarti kesatuan dalam asal-usulnya dan terlebih lagi dalam tujuan
hukumnnya. Untuk menegakkan tujuan hukum ini, ia mengemukakan
ajarannya tentang maqashid al-syariah dengan penjelasaan bahwa tujuan
hukum adalah satu, yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Tidaklah
berlebihan bila dikatakan bahwa tidak ditemukan istilah maqashid al-syariah
secara jelas sebelum al-Syatibi era sebelumnya hanya pengungkapan masalah
illah hukum dan maslahat.
Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi mempergunakan kata yang
berbeda-beda berkaitan dengan maqashid al-syariah. Fi al-syariah dan al5

maqashid min syarI alhukum. Namun, pada prinsipnya semuanya


mengandung makna yang sama yaitu tujuan hukum yang diturunkan oleh
Allah SWT.
Menurutnya, sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Kajian ini bertolak dari
pandangan bahwa semua kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka
merealisasikan kemaslahatan hamba, tidak satu pun hukum Allah yang tidak
mempunyai tujuan. Sama dengan taklif mala mala yuthoq (membebankan
sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan). Suatu hal yang tidak mungkin terjadi
pada hukum-hukum tuhan.
Kandungan

maqashid

al-syariah

adalah

pada

kemaslahatan.

Kemaslahatan itu, melalui analasis maqashid al-syariah tidak hanya dilihat


dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan
pengembangan hukum dilihat sebagai sesuatu yang mengandung nilai-nilai
filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan tuhan kepada manusia.
Rumusan maqasid itu terbagi kepada dua: yang pertama qasd syar
yang bermakna tujuan pencipta hukum, yaitu terdiri dari beberapa aspek
yakni: tujuan utama pencipta hukum dalam melembagakan hukum itu sendiri;
tujuan melembagakan hukum adalah supaya dapat dipahami dan untuk
menuntut kewajiban taklifi serta memasukkan mukallaf (kondisi mukallaf baik
tingkatannya, ciri-cirinya), relativitasnya dan keabsolutannya. Aspek lain ialah
dimensi taklif yang dapat dipahami oleh subjeknya, tidak terbatas pada katakatanya namun juga pemahaman budayanya.
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat,
berdasarkan penelitian para ahli usul fikih, ada lima unsur pokok yang harus
dipelihara dan diwujidkan kelima unsur pokok tersebut adalah agama (hifz aldin), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nast) dan harta
(hifz al-mal).
Dalam usaha mewujudkan dan memelihara ke lima unsur pokok
tersebut, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkatan maqashid atau tujuan
syariah, yaitu: pertama, maqashid al-dharuriyaf (tujuan primer). Maqashid ini
dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia.
6

Kedua,

maqashid

alhajiyat

(tujuan

sekunder).

Maksudnya

untuk

menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur


pokok menjadi lebih baik lagi. Ketiga, maqashid al-Ahsiniyar (tujuan tertier).
Maksudnya

agar

manusia

dapat

melakukan

yang

terbaik

untuk

penyempurnaan pemelihara lima unsur pokok tersebut.


Yang disyariatkan lslam untuk hal-hal yang Dharuri bagi manusia.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa hal-hal yang dharuri bagi
manusia kembali kepada lima hal, yaitu: agama,jiwa,akal,kehormatan,dan
harta kekayaan. Agama lslam telah mensyariatkan berbagai hukum yang
menjamin terwujudkan dan terbentuknya masing-masing dari kelima hal
tersebut dan berbagai hukum yang menjamin pemeliharaannya. Agama lslam
mewujudkan hal-hal yang dharuri bagi manusia.
Tujuan Hukum Islam dapat dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu :

Segi pembuat Hukum Islam (Allah dan Rasul)

Tujuannya :
-

Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat primer, skunder dan


tersier.

Untuk ditati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Segi Manusia

Sebagai subyek : Tercapainya keridhoan Allah dalam kehidupan manusia


di dunia dan di akhirat.

Kepentingan Primer, meliputi :

2.1.1. Memelihara Agama (Hifz al-din)


Secara umum Agama berarti : kepercayaan kepada Tuhan. Sedangkan
Secara khusus Agama adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum dan
undang- undang yang disyariatkan oleh Allah SWT. Untuk mengatur
hubungan manusia.dengan Tuhan mereka, dan perhubungan mereka
satu sama lain. Untuk mewujudkan dan menegakkan Agama lslam telah
mensyariatkan iman dan berbagai hukum pokok yang lima yang
menjadi

dasar

Agama

lslam,

yaitu:

persaksian

bahwa

tiada

Tuhan.melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan


7

Allah, mendirikan shalat,mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan


Ramadhan danmenunaikan haji ke Baitullah.
Menjaga atau melihara Agama berdasarkan kepentingannya dapat
dibedakan menjadi tiga tingkat:
a.) Memelihara Agama dalam perinkat dharuriyat yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk perinkat, seperti
melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat diabaikan maka
terancamlah eksistensi agama.
b.)Memelihara Agama dalam perinkat hajiyat, yaitu melaksanakan
ketentuan Agama dengan maksud menghindari kesulitan seperti
shalat jamadan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian.
Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan megancam
eksistensi Agama. Tetapi hanya akan mempersulit bagi orang yang
akan melaksanakannya.
c.) Memelihara Agama dalam perangkat tahsiniyat yaitu memengkapi
pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan. Sebagai contoh adalah
menutup aurat dengan pakaian yang bagus dan indah baik dalam
shalat maupun di luar shalat membersihankan badan, pakaian dan
tempat kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak terpuji kalau hal ini
tidak mungkin dilakukan maka tidak akan megancam eksistensi
Agama tidak pula menyebabkan kesulitan bagi orang yang
melaksanakannya.

Maksudnya

jika

seseorang

tidak

dapat

menggunakan penutup aurat dengan pakaian yang bagus dan


sempurna, maka shalat Tetap dilaksanakan Sebagai dharuriyat
sekalipun dengan pakaian yang minim.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 193:

Artinya:
Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama
itu hanya untuk allah SWT. Jika mereka berhenti (memesuhimu) maka
tidak ada lagi permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang zalim
2.1.2. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)
Agama

lslam

dalam

rangka

mewujudkannya

mensyariatkan

perkawinan untuk mendapatkan anak dan penerusan keturuan sertia


kelangsungan jenis manusia dalam bentuk kelangsungan yang paling
sempurna.
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedaan
menjadi tiga peringkat:
a.) Memelihara jiwa dalam perinkat dharuriyat seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan atau mempertahankan hidup.
Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan maka akan berakibat
terancamnya eksistensi manusia.
b.) Memelihara jiwa dalam perinkat hajiyat, seperti diperbolehkan
memburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halai.
Kalau kegiatan ini diabaikan maka menyebabkan eksistensi
manusia.terancam tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan hidup.
c.) Memelihara jiwa dalam perinkat thasiniyat, seperti ditetapkannya
tata cara makan dan mimun. kegiatan ini hanya berhubungan
dengan kesopanan dan etika yang tidak akan mengancam eksistensi
hidup manusia dan tidak pula mempersulitnya jika tidak
dilaksanakan. Hal ini berbeda dengan pemeliharaan jiwa pada
peringkat atas.
sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 195,
yang berbunyi:

Artinya :
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik
2.1.3. Memelihara Akal (Hifz al-Aql)
Untuk memelihara akal agama lslam mensyariatkan pengharaman
meminum khamar dan segala yang memabukkan dan mengenakan
hukuman terhadap orang yang meminumnya atau mempergunakan
segala

yang

memabukkan.

Memelihara

akal

dilihat

dari

kepentungannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:


a.) Memelihara akal dalam daruriyat, menjaganya dari hal yang
merusak seperti meminum keras, narkoba, dan jenis lainnya.
b.) Memelihara akal dalam peringkat hajiyat, seperti dianjurkannya
menuntut ilmu pengetahuan jika hal ini tidak dilakukan maka tidak
akan menyebabkan eksistensi akal manusia hilang tetapi akan
menimbulkan kesulitan hidup karena kebodohan.
c.) Memelihara akal dalam peringkat tahsinikat seperti menghindarkan
dari menghayal atau memikirkan sesuatu yang tidak bermanfat.
2.1.4. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nas)
Untuk memelihara kehormatan Agama lslam telah mensyariatkan
hukum had bagi laki-laki yang berzina, perempuan yang berzina dan
hukum hal bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa
saksi. Memelihara keturunan dilihat dari segi tingkat kebutuhannya
akan dibedakan menjadi tiga peringkat:
a.) Memelihara

keturunan

dalam

peringkat

dharuriyat

seperti

disyariatkan nikah dan dilarang berzina, Kalau ketentuan akan


terancam sebab tidak akan dikenali nasib dan hilangnya tanggung
jawab tentang hak-hak yang harus dipenuhi terhadap anak.
b.) Memelihara

keturunan

dalam

peringkat

hajiyat

seperti

ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar dalam akad nikah dan


diberikan hak talak kepadanya. jika mahar tidak disebutkan pada
10

waktu akad maka akan menyulitkan bagi suami karena harus


membayar mahar mits. Maka jika suami tidak memiliki hal talak,
maka akan menyulitkan dirinya sebab situsi rumah tangga yang
tidak harmonis tidak mendapatkan jalan keluar.
c.) Memelihara

keturunan

dalam

peringkat

tahsinikat

sepert

disyariatkan khutbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini


dilakukan merupakan pelengkap kegiatan perkawinan. jika ini tidak
dilakukan maka tidak akan menimbulkan kesulitannya dalam
keturunan itu.
Sesuai denga firman Allah SWT dalam surat al-Isra ayat 32 :

Artinya :
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
2.1.5. Memelihara Harta (Hifzh al-Mal)
Untuk menghasilkan dan memperoleh hartakekayaan, agama lslam
mensyariatkan kewajiban berusaha mendapat rezeki, memperolehkan
berbagai muamalah, pertukaran, perdagangan dan kerjasama dalam
usaha. Sedangkan untuk memelihara harta kekayaan itu agama lslam
mensyariatkan pengharaman pencrian, menghukum had terhadap laki
laki maupun wanita yang mencuri,pengharaman penimpuan dan
pengkhianatan sertia merusakkan harta orang lain, pence-gahan orang
yang

bodoh

dan

lalai

serta

menghidarkan

bahaya.

Dilihat dari kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan


menjadi tiga peringkat:
a.) Memelihara harta dalam peringkat dharuriyat seperti syariat
tentang tata cara pemikikan harta dan larangan mengambil harta
orang lain dengan janlan yang tidak sah. Apabila ketentuan ini
dilanggar maka mengancam eksistensi harta manusia.
11

b.) Memelihara harta dalam peringkat hajiyat seperti syariat tentang


jual beli saham. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan
mengancam eksistensi harta tetapi akan mentebabkan kesulitan
bagi manusia untuk memiliki harta melalui transaksi jual beli.
c.) Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyat seperti ketentuan
tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini
erat kaitannya dengan etika muamalah atau bisnis.
Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 188 :

Artinya :
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
2.2 Aspek aspek Tujuan Hukum Islam
Aspek aspek tujuan hukum islam adalah sebagai berikut :
2.2.1. Aspek pemberian dan pembebanan taklief dan mukallaf
Perintah-perintah syara yang dibebankan kepada mukallaf
tidaklah dituntut kecuali yang sanggup kita kerjakan. Kerenanya tidak
dibebankan bagi kita untuk meninggalkan segala yang telah menjadi
tabiaat manusia seperti makan minum, karena yang demikian adalah
hal-hal yang harus terpenuhi untuk melangsungkan kehidupan.
Tujuan hukum syara adalah untuk dilaksanakan oleh hamba.
Ulama ushul menetapkan bahwa syarat pembebanan hukum ialah
kemampuan mukallaf untuk melaksanakannya, karenanya sesuatu yang
12

tidak sangggup dikerjakan mukallaf maka tidak boleh dibebani baik


menurut syara maupun akal. Menyangkut dengan perbuatan yang
berindikasi kepada hukum maka mukallaf dibebankan dengan hukum
wajib, sunat, mubah, haram, dan makruh. Hal ini sesuatu dengan
tuntutan syarak yang dapat saja luput disebabkan oleh awaridh samawi
dan awaridh muktasabah yakni seperti gila, mabuk, tertidur, lupa dan
sebagainya.
Sekalipun perintah-perintah syarak secara muthlak dibebankan
kepada mukallaf untuk dikerjakan, tentunya dalam kepantasan itu
memiliki batas-batas yang dinilai memungkinkan untuk melaksanakan
seluruh tuntutan yang dibebankan, oleh karenannya seseorang yang
dinilai memiliki kecakapan adalah berdasarkan batas-batas tertentu
sebagaimana dijelaskan dari beberapa ulama mazhab. Hal ini sesuai
dengan pemahaman mereka dalam memahami hukum Allah dalam
menjelaskan maksud-naksud yang dikehendaki dalam ungkapan,
isyarah dan kehendak nash.
Dengan batas-batas tertentu yang menjadi penentu dalam
melaksanakan seluruh tuntutan hukum, maka dalam hal ini Allah
mengisyarahkan kepada manusia dengan tidak membebani melainkan
sesuai dengan kemampuan mukallaf, untuk itu diberikan kelonggaran
dan keringan hukum dalam keadaan-keadaan tertentu dan dengan batasbatas tertentu yang telah disepakati oleh para ulama dalam memahami
syariat.
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang yang dituntut oleh
Allah untuk berbuat dan segala tingkah lakunya diperhitungkan
berdasarkan tuntutan Allah. Jelasnya mukallaf adalah orang-orang yang
dibebani hukum. Para ulama ilmu ushul mengatakan bahwa mahkum
alaihi adalah mukallaf yang dituntut oleh hukum untuk suatu perbuatan.
jadi mukallaf itu merupakan devinisi lain dari mahkum alaihi. Dalam
paradigma hukum, mereka juga disebut subyek hukum. Adapun
Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk ism al-mafl dari fiil almdli kallafa (
(, (, ), yang bermakna membebankan. Maka, kata
13

mukallaf berarti orang yang dibebani hukum. Muhammad Abu zahrah


mendefinisikan mahkum alaih dengan orang mukallaf, karena dialah
yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak, dantermasuk
atau tidak dalam cakupan perintah dan larangan.
Dalam ilmu ushul fiqh mukallaf adalah orang yang telah
dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan
seluruh aktivitas mukallaf memiliki implikasi hukum, dan karenanya
harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.
Secara istilah, mukallaf adalah: Seorang manusia yang mana
perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan al-Syari atau
hukumnya.
Dari sini, dapat difahami bahwa mukallaf adalah orang yang
telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan
dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya. Semua tindakan
hukum

yang

dilakukan

mukallaf

akan

diminta

pertanggung-

jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan


kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya
kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai
dengan krateria hukum taklf yang sudah diterangkan.
Sebagian besar ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa dasar
adanya taklf (pembebanan hukum) terhadap seorang mukallaf adalah
akal ( )dan pemahaman (). Seorang mukallaf dapat dibebani
hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklf secara baik
yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang tidak atau
belum berakal tidak dikenai taklf karena mereka dianggap tidak dapat
memahami taklif dari al-Syari. Termasuk ke dalam kategori ini adalah
orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa.

14

Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:

::
(
(
Artinya :
Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai
bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh.

) )
Artinya :
Beban hukum diangkat dari umatku apabila mereka khilaf, lupa dan
terpaksa.
2.2.2. Aspek disyariatkan hukum Islam
Hukum syariat atau hukum syara adalah kata majemuk yang
tersusun dari kata hukum dan syara. Kata hukum berasal dari
bahasa

Arab,

hukum secara

etimologi

berarti

memutuskan,

menetapkan, dan menyelesaikan. Hukum syara dalam istilah


ushul, yaitu pembicaraan syari bersangkut paut dengan perbuatan
mukallaf. Adapun hukum syari menurut istilah fuqaha, yaitu berarti
yang melakukan pembicaraan syari dalam perbuatan, seperti wajib,
haram dan mubah.
Ahli fiqhi memberikan definisi hukum syara sebagai berikut:
Sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah
Allah terhadap orang mukallaf. Dalam bentuk ini yang disebut hukum
syara adalah : wajibnya shalat sebagai pengaruh dari titah Allah yang
menyuruh shalat, atau haramnya memakan harta orang secara batil,
sebagai akibat dari larangan Allah memakan harta orang secara batil.
Dengan demikian, dapat dianalogikan bahwa hukum syara
adalah otoritas Allah SWT dalam menetapkan hukum kepada hamba15

Nya melalui rasul-Nya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar
iman, baik berkaitan dengan akidah, amaliah (ibadah dan muamalah)
maupun dengan akhlak, baik terhadap Allah, terhadap sesama muslim,
alam lingkungan serta kehidupan yang lebih luas.
Dengan menelaah kutipan di atas dapat dipahami bahwa esensi
dari syariat Allah yang ditujukan kepada manusia adalah untuk
membina dan memelihara keselamatan dan kesejahteraan hidup di
dunia dengan menjalin hubungan baik pribadi manusia dengan Tuhan,
manusia dengan sesama manusia, manusia dengan makhluk lain serta
alam lingkungannya.

Dan untuk mendapatkan keselamatan dan

kebahagiaan di akhirat, hanya dapat diukur dari seberapa kadar


keimanan manusia untuk mengimplementasikan beberapa komponen
hubungan dimaksud yang telah disyariatkan kepada mukallaf.
Dilihat dari beberapa pembebanan taklif pada mukallaf, maka
syariat Islam bertujuan untuk membina dan menjaga serta memenuhi
hajat hidup manusia dari berbagai dimensi, menghindarkan perbuatan
manusia yang didominasi oleh otoritas hawa nafsu dan kembali pada
tujuan hidupnya yaitu untuk mengabdi kepada Allah semata. Menjaga
manusia tetap utuh eksistensinya, serta menjaga syariat sendiri sebagai
amanah Allah yang harus dilaksanankan. Dengan begitu, syariat
mempunyai dua posisi :
1. Sebagai kewajiban karena titah ibadah itu berasal dari Allah SWT
yang aturannya wajib diikuti secara apa adanya, dan manusia tidak
berhak membuat aturan sendiri tentang tata cara ibadah.
2. Dipandang sebagai kebutuhan, karena pelaksanaan ibadah pada
dasarnya memenuhi hajat hidup manusia yang mempunyai pengaruh
positif dan dapat menjaga eksistensi manusia sebagai makhluk unik
yang menerima amanah dari Allah SWT.
Mashlahat yang merupakan tujuan Tuhan dalam syariat-Nya
itu mutlak diwujudkan karena keselamatan dan kesejahteraan duniawi
16

dan ukhrawi tidak akan mungkin dicapai tanpa mashlahah, terutama


yang meliputi dharuriyah, meliputi lima hal : pemeliharaan agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Kelima hal tersebut sedemikian penting
karena merupakan mashlahah yang dipelihara dalam segenap agama.
Adapun mashlahah yang merupakan tujuan syariat itu adalah
tegaknya kehidupan duniawi demi tercapainya kehidupan ukhrawi
(min hayts taqam al-hayat al-dunnya lil al-ukhra). Dengan demikian
segala hal yang hanya mengandung kemashlahatan dunia tanpa
kemashlahatan akhirat, bukanlah mashlahah yang menjadi tujuan
syariat.
2.2.3. Aspek mukallaf dalam menerima taklief
Taklif adalah tanggungjawab melaksanakan syariat dalam segala
aspek kehidupan. Pemikul tanggung jawabnya adalah mukallaf. Ia
adalah mukmin yang memenuhi syarat balig dan berakal sehat.
Perempuan bila mencapai usia 9 tahun atau mengalamai haid menjadi
mukallafah. Pria bila mencapai uia 14 tahun atau mengalami mimpi
jenabat atau mengalami perubahan hormonal.
Mukallaf mesti melaksanakan syariat dengan salah satu dari dua
cara; berijtihad dan bertaqlid. Mukallaf yang memilih taqlid sebagai
sumber dan cara melaksanakan taklif disebut muqallid. Sedangkan
mukallaf yang memilih ijtihad sebagai sumber dan cara melaksanakan
taklif disebut mujtahid.Mujtahid yang dijadikan sebagai rujukan disebut
dengan muqallad atau marja taqlid.
Muqallid memikul tanggungjawab-tanggungjawab

sebagai

berikut:
Menjadikan bertaqlid sebagai isu di luar masalah-masalah fatwa.
Dengan kata lain, bagi muqallid pemula, taqlid kepada seorang
mujtahid tidak boleh didasarkan pada taqlid, harus dengan ijtihad.
1. Melakukan istifta, yaitu mengajukan soal fatwa dengan sarana
apapun kepada marja melalui komunikasi langsung, bertanya
kepada seseorang yang dipastikan jujur dan memahami fatwa marja
17

yang ditaqlid atau merujuk ke buku pedoman praktis (risalah


amaliyah) yang berisikan kumpulan fatwa-fatwa dari marjanya.
2. Melakukan tahkim, yaitu memperlakukan marjanya sebagai hakim
syari pengadilan. Namun, sebagian ulama beranggapan bahwa
fungsi yudikatif adalah wewenang wali fakih, kecuali bila tidak
ditangani atau diserahkan oleh wali fakih bersangkutan kepada
mujtahid lain.
3. Menyerahkan dana-dana syari (al-huquq asy-syariyah), seperti
khumus dan madhalim kepada marja yang ditaqlidnya selaku
wakil

imam

maksum.

Sebagian

ulama

juga

menganggap

penerimaan dana-dana syari sebagai hak dan wewenang wali


fakih.
4. Merujuk kepada marja alam lain yang memberikan fatwa
berkenaan dengan masalah yang sama, jika marja yang dijadikan
sebagai muqallad tidak memberikan fatwa (hukum yang tegas)
namun hanya menyarankan untuk ber-ihtiyath berkenaan dengan
suatu masalah.
5. Bertaqlid dalam masalah-msalah ibadah yang berifat zhanni (bukan
dharuri), seperti hukum wajib shalat asar dan puasa Ramadhan.
6. Melakukan identifikasi terhadap subjek hukum atau kasus spesifik.
Dengan kata lain, fatwa hanyalah hukum yang bersifat umum.
(Ketika marja, mislanya, berfatwa bahwa diharamkan makan ikan
tidak bersisik, maka muqallid bertanggungjawab unruk melakukan
verifikasi dan identifikasi apakah ikan gurame yang di depan
mejanya bersisik ataukah tidak).

18

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tujuan hukum lslam adalah
menciptakan kemaslahatan terhadap kehidupan manusia dengan memelihara
unsur-unsur pokok kemaslahatan manusia berupa agama jiwa akal keturunan
dan harta. Tingkat pemeliharaan terhadap unsur-unsur ini dibedakan dalam
tingkat yang disebut dengan al-dharuriyat, al-hajiyat dan al-tahsiniyat.
Al-Quran dan al-sunnah sebagai sumber ajaran lslam yang lengkap dalam arti
prinsip-prinsip dasar tentang hukum dengan berbagai aspeknya harus
dipahami dengan metode-metode ijtihad dengan memberi penekanan pada
maqashid alsyariah.
Konsep ini merupakan altenatif terbaik untuk pengembangan metodemetode ijtihad. Pemahaman terhadap pertimbangan maqashid al-syariah
sebagai pendekakan filosofis dapat lebih dinamis dalam memahami hukum
lslam seecata konsetekstual dan dapat menangkap ruh ajaran lslam yang
sebenarnya.

19

DAFTAR PUSTAKA
http://www.generalfiles.biz/download/gs5a9180e1h17i0/makalah%20tujuan
%20hukum%20islam.doc.html

20

Anda mungkin juga menyukai