Anda di halaman 1dari 8

TUJUAN HUKUM ISLAM (AL-UMURUD HAJIYAH )

Makalah Ini Dibuat Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata
Kuliah “HUKUM ISLAM”

Disusun Oleh : Kelompok 6

Muawwana (I0120022/HUKUM B 2020)


Mardina (I0120356/HUKUM B 2020)
Irma (I0120322/HUKUM B 2020)
Aco Nurfaizi (I0117367/HUKUM C 2017)

Ilmu Hukum

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Ilmu Universitas Sulawesi Barat

Jalan Prof. Baharuddin Lopa, SH, Talumung, Majene, Sulawesi Barat


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat tuhan yang maha kuasa atas segala limpahan rahmat, inayah,
taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat di pergunakan
sebagai salah satu ajuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi
pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Campalagian,September 2021

penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak dapat di pungkiri bahwa umat islam di Indonesia adalah unsur paling
mayoritas. Dalam tatanan dunia islam internasional, umat islam Indonesia bahkan
dapat di sebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu
batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami hukum islam di tengah
tengah komunitas islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa
jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan
hukum islam di tanah air? Maka dapat dijawab dengan hukum islam di Indonesia.
Tuhan mensyari’atkan hukum-NYA bagi manusia tentunya bukan tanpa tujuan,
melainkan demi kesejahteraan, kemaslahatan manusia sendiri. Perwujudan perintah
tuhan dapat di lihat lewat al-qur’an dan penjabaran dapat tergambar dari habis nabi
Muhammad saw. Manusia luar biasa yang memiliki hak khusus untuk menerangkan
kembali maksus tuhan dalam al-qur’an. Tidak satupun kalam tuhan yang berakhir sia
sia tanpa di mengerti oleh hambanya bahkan mungkin berakibat rusaknya tatanan
hidup manusia.kalam tuhan tidak diinterpretasikan secara kaku (rigid) sehingga
berakibat tidak terejewantahkan nilai-nilai kemashalatan universal bagi manusia.
Demi kemashalatan manusia, interpretasi terhadap al-qur’an harus dilakukan
secara arif dan bijaksan dengan menggunakan pendekatan fitsafat. Dengan demikian
nilai-nilai filosofis (substansial) dalam al-qur’an akan mampu terungkap.
Teraplikasikannya kemashalatan manusia (mashalatul ummat) merupakan cita-cita
tuhan (tujuan) menurunkan risalahnya jadi, jangan membiarkan al-qur’an dan
menggiringnya menjadi mimpinya yang tidak terungkap dan tidak tersentuh sama
sekali (untouchable).
Dalam pandangan aksiologi, ilmu pengetahuan dijadikan sebagai alat untuk
meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi manusia secara keseluruhan di dunia
ini. Dalam konsep al-qur’an tujuannya mencakap duniadan kehidupan setelah di dunia
ini yang dala bahasa al-syatibi di sebutkan kebaikan dan kesejahteraan ummat
manusia.
B. Rumusan Masalah
a. Apa tujuan hukum islam?
b. Apa itu Maqashid Al-Hajiyah?

C. Tujuan
a. mengetahui tujuan hukum islam tersebut
b. mengetahui Pengertian Maqashid Al-Hajiyah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan Hukum Islam
Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah Maqashid al-
syari'ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam. Karena
begitu pentingnya Maqashid Al-Syari'ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan
maqashid al-syari'ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang
melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori maqashid al-syari'ah adalah untuk
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat
dan menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari Maqashid Al-Syari'ah
tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara
kepada maslahat.
Kajian tentang maksud (tujuan) di terapkan hukum islam merupakan kajian
yang sangat menarik dalam bidang usul fiqih. Dalam perkembangan berikutnya,
kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum islam. Sehingga dapat di
katakan bahwa istilah Maqashid Al-Syari’ah identik dengan istilah filsafat hukum
islam.
Seorang pakar hukum Islam, Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H. dalam buku
Hukum Islam mengungkapkan bahwa tujuan dari syariat Islam adalah mengatur
kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun anggota masyarakat.
Secara etimologi, Maqashid Al-Syari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid
dan Al-Syari’ah. Maqasyid berarti kesengajaan atau tujuan sedangkan al-syari’at
adalah jalan menuju sumber air atau jalan sumber pokok kehidupan. Menurut istilah
terminologi Maqashid Al-Syari’ah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan
peryariatan hukum. Jadi sebagaimana juga dikatakan oleh Ahmad al-Rausini dalam
Nazhariyat Al-Maqashid ‘Inda Al-Syatibi, Maqasyid Al-Syari’ah adalah maksud atau
tujuan disyari’atkannya hukum islam.
Al-Syatibi mengatakan bahwa Maqashid Al-Syari’ah adalah kelanjutan dan
perkembangan dari konsep maslahah sebaimana telah di canangkan sebelum masa al-
syatibi dalam tinjauannya tentang hukum islam, ia akhirnya sampai pada kesimpulan
bahwa kesatuan dalam hukum islam berarti kesatuan dalam asal usulnya dan terlebih
lagi dalam tujuan hukumnya.
Untuk menegakkan tujuan hukum islam ini, ia mengungkapkan ajarannya
tentang Maqashid Al-Syari’ah dengan penjelasan bahwa tujuan hukum adalah satu,
yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Tidaklah berlebihan bila dikatakan
bahwa tidak ditemukan istilah Maqashid Al-Syari’ah secara jelas sebelum Al-Syatibi
era sebelumnya hanya mengungkapkan masalah ‘illah hukum dan maslahat.
Dalam karyanya al-muwafakat, al-syatibi mempergunakan kata yang berbeda-
beda berkaitan dengan maqashid al-syari’ah. Fi al-syari’ah dan al-maqashid min sya’I
alhukum. Namun, pada prinsipnya semuanya mengandung makna yang sama yaitu
tujuan hukum yang turunkan oleh allah swt. Menurutnya sesungguhnya syari’ah itu
bertujuan mewujudkan kemashalatan manusia di dunia dan akhirat.
Dalam rangka mewujudkan kemashalatan di dunia dan akhirat, berdasarkan
penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus di pelihara dan
diwujudkan dalam kelima unsur pokok tersebut adalah agama (hifz al-din), jiwa (hifz
al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nast) dan harta (hifz al-mal).
Dalam usaha mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok tersebut, Al-
Syatibi membagi kepada tiga tingkatan maqashid atau tujuan syari’ah, yaitu:
1. Maqasyid al-dharuriyah (tujuan primer)
2. Maqasyid al-hajiyat (tujuan sekunder)
3. Maqasyid al-ahsiniyah (tujuan tersier)
Tujuan hukum islam dapat dilihat dari dua segi,yaitu:
1. Segi pembuat hukum islam (allah dan rasul)
- Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat primer,sekunder, dan
tersier.
- Untuk di taati dan di laksankan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
2. Segi manusia
- Sebagai subjek: tercapainya keridhoan allah dalam kehidupan manusia di
dunia dan di akhirat.
- Kepentingan primer

B. Maqashid Al-Hajiyah (Tujuan Sekunder)


Yang di maksudkan dengan hajiyah adalah tidak termasuk dalam kebutuhan-
kebutuhan yang esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia
dari kesulitan hidup mereka. Maqashid al-hajiyah, yaitu kamashalatan yang tingakat
kebutuhan manusia padanya tidak berada pada tingkat dharuri. Ia tidak secara
langsung memenuhi kebutuhan dasar lima pokok yang lima tetapi secara langsung
menuju kearah sana, seperti dalam hal memberi kemudahan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup manusia.
Kebutuhan hajiyah ialah kebutuhan sekunder, di mana tidak terwujudkan
keperluan ini tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami
kesulitan dan kesukaran bahkan mungkin berkepanjangan, tetapi tidak sampai ke
tingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak berdaya. Jadi yang
membedakan al-dharuriyah dengan al-hajiyah adalah pengaruhnya kepada keberadaan
manusia. Namun demikian, keberadaannya yang di butuhkan untuk memberikan
kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam kehidupan makallaf.
Prinsip utama dalam al-umurul-hajjiyah adalah untuk menghilangkan
kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan manusia dalam bermuamalah
dan tukar menukar manfaat.
Untuk maksud tersebut, Islam telah menetapkan beberapa ketentuan dalam
bidang ibadah, adat, muamalah, dan pidana Islam (‘uqubat).
Dalam bidang ibadah, syariat Islam memberikan rukhsah (kemurahan) dan
takhfif (keringanan) apabila pelaksanaan kewajiban mengalami kesulitan. Misalnya,
seseorang diperbolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadlan karena sedang dalam
keadaan sakit atau menjadi musafir; diperbolehkan mengqasar shalat karena
bepergian; diperbolehkan tayamum karena tidak mendapat air atau tidak dapat
menggunakan air 9menurut keterangan dokter).
Dalam bidang adat, syariat Islam menghalalkan makanan dan minuman,
pakaian, rumah, dan kendaraan yang diperoleh atau diusahakan secara halal.
Dalam bidang muamalah, syariat Islam memperbolehkan petani yang
memiliki sawah untuk mengadakan bagi hasil (muzaroah) dengan pemilik sawah
untuk mencukupi kebutuhannya.
Dalam bidang pidana Islam (‘uqubat) syariat Islam menetapkan kewajiban
membayar denda, bukan qisas bagi orang yang membunuh karena khilaf dan
mengharuskan membayar ganti rugi bagi orang yang merusakkan milik orang lain.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua paparan di atas, tampak bahwa maqashid al-syari'ah merupakan aspek
penting dalam pengembangan hukum Islam. Ini sekaligus sebagai jawaban bahwa hukum
Islam itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat. Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada landasan-
landasan yang kuat dan kokoh serta masih berada pada ruang lingkup syari'ah yang
bersifat universal. Ini juga sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu selalu sesuai untuk
setiap zaman dan pada setiap tempat.
Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah Maqashid al-syari'ah
merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu
pentingnya Maqashid Al-Syari'ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqashid
al-syari'ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad.
Adapun inti dari teori maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus
menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah yang
sepadan dengan inti dari maqashid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan
hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.
Secara etimologi, Maqashid Al-Syari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al-
Syari’ah. Maqasyid berarti kesengajaan atau tujuan sedangkan al-syari’at adalah jalan
menuju sumber air atau jalan sumber pokok kehidupan. Menurut istilah terminologi
Maqashid Al-Syari’ah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan peryariatan hukum.
Jadi sebagaimana juga dikatakan oleh Ahmad Al-Rausini dalam Nazhariyat Al-Maqashid
‘Inda Al-Syatibi, Maqasyid Al-Syari’ah adalah maksud atau tujuan disyari’atkannya
hukum islam.
Kebutuhan hajiyah ialah kebutuhan sekunder, di mana tidak terwujudkan keperluan
ini tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan dan
kesukaran bahkan mungkin berkepanjangan, tetapi tidak sampai ke tingkat menyebabkan
kepunahan atau sama sekali tidak berdaya. Jadi yang membedakan Al-Dharuriyah
dengan Al-Hajiyah adalah pengaruhnya kepada keberadaan manusia. Namun demikian,
keberadaannya yang di butuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan
kesukaran dan kesulitan dalam kehidupan makallaf.

Anda mungkin juga menyukai