Anda di halaman 1dari 21

Makalah Hadits Ahkam Munakahat

DI
S
U
S
U
N

OLEH :
KELOMPOK 4

NAMA : SRI RAHMAWATI


: AMINAH
SEM/UNIT : VI/I
PRODY : S-I HKI
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan limpahan karunia yang
tidak terhingga sehingga penyusunan makalah ini terselesaikan dengan baik,
shalawat dan salam kepada janjungan alam Nabi besar Muhammad Saw. pembawa
risalah Allah swt mengandung pedoman hidup yang terang bagi umat manusia
didunia dan diakhirat.
Makalah ini membahas tentang “Hadits Ahkam Munakahat: Talak”. Saya
sadar bahwa penyusun makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka dari ini
saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan makalah
ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa/i. Semoga juga menjadi
amal yang baik dan diterima disisi Allah SWT. Amiin.

Sigli, 06 April 2017


Penulis

KELOMPOK 4

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan masalah................................................................................. 1

BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................. 2
A. Talak Sunni dan Bid’I........................................................................... 2
B. Talak Bain Kubra dan Sugra serta Ruju’.............................................. 5
C. Khulu’, Zihar, Li’an, Iddah dan Ihdad.................................................. 6

BAB III : PENUTUP...................................................................................... 16


A. Kesimpulan........................................................................................... 16
B. Saran..................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu karena
terjadinya talak yang dijatuhkan terhadap isterinya, atau karena perceraian yang
terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain. Hal-hal yang menyebabkan
putusnya perkawinan itu akan dijelaskan secara transparan dan jelas pada makalah
kami ini mengenai “talak” sebagaimana kami membuat makalah ini dengan maksud
memenuhi tugas mata kuliah hadist ahkam.
            Makalah ini kami buat juga dengan maksud untuk menjawab problematika
yang ada di masyarakat sekitar terutama mengenai talak, semoga pembaca dapat
memahami dan mengamalkan ilmu ini kepada seluruh umat manusia karena Nabi
kita mengajarkan bahwa ilmu itu penting dan alangkah lebih baiknya lahi kita
membagikan ilmu yang kita punya kepada orang lain.
Islam memberikan hak talak hanya kepada laki-laki saja. Karena ia yang lebih
bersikeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang dibiayainya dengan harta
begitu besar, sehingga kalu dia mau cerai atau kawin lagi ia
perlu membiayanyinya lagi dalam jumlah yang sama atau lebih banyak lagi.
Perempuan yang dicerai wajib dilunasi sisa maharnya yang belum
dibayarkannya, diberi uang hadiah talak dan diberi uang belanja selama masa
iddahnya. Dan untuk lebih jelasnya lagi mari kita mulai bab mengenai talak berikut
ini.

B. Rumusan Masalah
1. Talak Sunni dan Bid’i
2. Talak Bain Kubra dan Sugra serta Ruju’
3. Khulu’, Zihar, Li’an, Iddah dan Ihdad

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Talak Sunni dan Bid’i


1. Talak Sunni
‫عن عبد هللا أنه قال طالق السنة تطليق ة ويه ط اهر يف غ ري جامع ف إذا حاض ت وطه رت طلقه ا أخ رى ف إذا حاض ت‬
)‫وطهرت طلقها أخرى مث تعتد بعد ذكل حبيضة (رواه النسايئ‬
"Diterima dari Abdullah r.a, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda: Talak sunni adalah bahwa seseorang menjatuhkan talak isterinya satu,
sementara isterinya itu dalam keadaan suci yang belum disetubuhi (pada waktu suci
itu). Apabila masa hidbya telah berlalu dan telah dating pula masa sucinya,
iamentalak lagi isterinya itu. Kemudian ia menunggu berlalunya satu kali masa haid
lagi".
Thalaq sunni adalah thalaq yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah.
Talak sunni yaitu talak yang sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang suami
menalak istrinya yang pernah dicampuri dengan sekali talak di masa bersih dan
belum didukhul selama bersih tersebut.
Thalaq dapat dikatakan thalaq sunni jika memenuhi empat syarat:
a. Istri yang di thalaq sudah pernah digauli;
b. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah dithalaq, yaitu dalam keadaan
suci dari haid;
c. Thalaq itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci;
d. Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana thalaq itu
dijatuhkan.1
Abu Hanifah dan Ats-tsauri mengungkapkan bahwa thalaq sunnah adalah jika
seorang suami menjatuhkan thalaq tiga kali dengan cara dengan cara satu persatu
kepada istrinya, pada setiap masa suci. Dalam hal itu mereka mendalilkan dengan

1
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia,
2006),Jilid 4, h. 358

2
hadis Ibnu Umar, ketika Nabi berkata kepadanya: "Rujuklah ia kemudian tahanlah
sampai suci dari haid, lalu haid lagi kemudian suci." 
Menurut KHI pasal 121 bahwasannya thalaq sunni adalah thalaq yang
dibolehkan yaitu thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak
dicampuri dalam waktu suci tersebut.

2. Talak Bid’i
‫عن عبد هللا بن معر ريض هللا عهنام أنه طلق امرأته ويه حائض عىل رسول هللا وسمل صىل هللا علي ه وس مل فس أل معر‬
‫بن اخلطاب رسول هللا صىل هللا عليه وسمل عن ذكل فقال رسول هللا صىل هللا عليه وس مل ( م ره فلريجعه ا مث لميس كها‬
‫حىت تطهر مث حتيض مث تطهر مث إن شاء أمسك بعد وإ ن شاء طلق قبل أن ميس فتكل الع دة ال يت أم ر هللا أن تطل ق له ا‬
)‫النساء (متفق عليه‬
"Diterima dari Ibnu 'Umar, sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya,
yang mana isterinya itu berada dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW.
kemudian Rasulullah berkata: aku menanyakannya kepada Rasulullah SAW tentang
hal itu, maka Rasulullah SAW menjawab: suruh ia untuk merujukinya, kemudian
hendaklah ia memegangnya sampai ia suci kemudian haid kemudian suci. Jika ia
mau peganglah atau ia talak sebelum disetubuhi. Demikianlah 'iddah yang
diperintahkan oleh Allah 'Azza Wa Jalla untuk menjatuhkan talak pada wanita"
Dalam hadits tersebut dapat dipahami bahwa suatu ketika 'Umar menjatuhkan
talak isterinya sementara isterinya itu dalam keadaan haid. Lalu Rasulullah SAW
memerintahkannya untuk rujuk kepada isterinya kembali. Menurut mereka, hal itu
mengidikasikan bahwa talak yang dijatuhkannya adalah yang termasuk talak bid'iy
itu telah berlaku.
Thalaq Bid'i adalah thalaq yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntunan
sunnah.Thalaq sunni ini merupakan thalak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah
yang tidak tepat. Maksud thalaq yang dijatuhkan pada waktu yang tidak tepat adalah
thalaq yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu istri tersebuat haid atau thalaq yang
dijatuhkan terhadap istri yang telah dicampuri pada waktu ia bersih, dan thalaq yang
dijatuhkan pada jumlah yang tidak tepat adalah thalaq yang diucapkan tiga kali pada

3
waktu yang bersamaan, ucapan thalaq tiga atau tiga thalaq yang diucapkan
sekaligus.2
Thalaq yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang dalam keadaan haid,
beberapa ulama berbeda pendapat tentang jatuhnya thalaq, antara lain:
a. Jumhur ulama berpendapat bahwa thalaq tersebut dapat disahkan.
Pendapat madzhab Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Maliki dan Imam
Hambali, menyatakan bahwa thalaq bid'i walaupun thalaqnya haram, tetapi
hukumnya sah dan thalaqnya jatuh. Adapun menurut Imam Malik hukum
merujuknya adalah wajib.
b. Segolongan ulama lain berpendapat bahwa thalaq tersebut tidak sah.
Mereka menolak memasukkan thalaq bid'i dalam pengertian thalaq pada
umumnya, karena thalaq bid'i adalah thalaq yang tidak diizinkan oleh Allah
SWT. Demikian juga Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim dan Ibnu Hazm menolak
jatuhnya thalaq sewaktu haid.
Mereka yang mengesahkan thalaq tersebut berpendapat bahwa laki-laki yang
telah menjatuhkan thalaq terhadap istrinya dalam keadaan istrinya haid harus
merujuk kembali istrinya. Dalil yang menjadi landasan pendapat ini adalah Ibnu
Umar, bahwa ia menceraikan istrinya ketika ia sedang menjalani haid. Maka Nabi
menyuruhnya untuk merujuknya kembali, karena dengan rujuk itu akan
menghilangkan hal-hal yang diharamkan akibat thalaq. Mengenai hukumnya rujuk
akibat thalaq yang dijatuhkan sewaktu haid, terbagi ke dalam dua golongan yaitu:
a. Golongan pertama yang berpendapat bahwa rujuknya itu wajib. Pernyataan
ini dikemukakan oleh Imam Malik berserta pengikutnya;
b. Golongan kedua berpendapat bahwa laki-laki yang menalak istrinya sewaktu
haid tersebut disunahkan rujuk kembali tanpa paksaan. Pendapat ini
dinyatakan oleh Syafi'i, Abu Hanifah, Ats-tsauri, dan Ahmad.
Mereka yang menolak jatuhnya thalaq sewaktu haid berpendapat bahwa
apabila dianggap sah thalaq pada waktu istri haid atau pada waktu istri suci namun
telah dicampuri, maka dalam hal itu terdapat unsur penganiyaan.

2
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h.
315

4
B. Talak Bain Kubra dan Sugra serta Ruju’
Talak ba'in terbagi dua, yaitu talak ba'in sughra dan talak ba'in kubra. Adapun
talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan oleh seorang suami terhadap isterinya
yang mana dengan itu ia tidak dapat kembali lagi, kecuali melalui akad dan mahar
yang baru, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al- Zuhaili sebagai berikut:
‫هو اذلي ال يستطيع الرجل بعده أن يعد املطلقة إىل الزوجيه إال بعقد جديد وهمر وهو الطالق قب ل ادلخول أو عىل م ال‬
‫أو ابلكتابة عند احلنفية أو اذلي يوقعه القايض ال لعدم اإلنفاق أو بسبب اإليالء‬
"Yaitu talak yang mana laki-laki itu tidak dapat kembali mengikat tali
perkawinan kepada wanita yang ditalaknya itu, kecuali dengan akad dan mahar
yang baru, talak tersebut terjadi sebelum disetubuhi atau atas harta atau sindiran
menurut ulama Hanafiyyah atau yang diputuskan oleh hakim yang bukan karena
tidak memberi nafkah atau dengan sebab ila' "
Akibat hukum dari talak ba'in sughra adlah: a). Suami tidak boleh rujuk
kepada isterinya, kecuali dengan akad dan mahar yang baru, b). Bilangan talak yang
dimiliki suami berkurang, c). Mahar itu halal disebabkan kepada dua factor, yaitu
kematian dan talak, d). Tidak saling mewarisi antara suami dan isteri apabila
meninggal salah satu dari keduanya.
Adapun yang dimaksud dengan talak Ba'in kubra adalah talak tiga atau talak
yang ketiga, yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya, yang mana suami
tersebut tidak dapat kembali lagi sebelum isterinya itu menikah terlebih dahulu
dengan laki-laki lain, malakukan hubungan intim dalam artian yang sebenarnya dan
telah pula diceraikan oleh suaminya yang baru itu, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut:
‫هو اذلي ال يستطيع الرجل بعده أن يعيد املطلق ة إىل الزوجي ة إال بع د أن ت زتوج ب زوج آخ ر زواج ا حضيحا وي دخل هبا‬
‫دخوال حقيقة مث يفارقها أو ميوت عهنا وتنقيض عدهتا منه وذكل بعد الطالق الثالث‬
"Yaitu talak  yang mana laki-laki tersebut tidak dapak mengikat tali
perkawinan dengan wanita yang ditalaknya itu, kecuali setelah ia menikah dengan
laki-laki lain sebagai nikah yang benar dan telah melakukan hubungan initm dalam
artian yang hakiki kemudian laki-laki itu menceraikan wanita tersebut atau ia mati
dan telah habis pula mas 'iddahnya. Hal itu terjadi setelah dijatuhkan talak tiga".

5
Adapun akibat hukum dari talak ba'in kubra menurut ulama fikiah adalah terputusnya
seluruh ikatan dan hubungan suami isteri setelah talak dijatuhkan. Suami tidak
memilki hak talak lagi dan diantara keduanya tidak saling mewarisi meskipun dalam
masa 'iddah.

C. Khulu’, Zihar, Li’an, Iddah dan Ihdad


1. Khulu’
‫أخربان أزهر بن مجيل ق ال ح دثنا عب د الوه اب ق ال ح دثنا خادل عن عكرم ة عن ابن عب اس أن ام رأة اثبت ابن‬
‫قيس أتت النيب صىل هللا عليه وسمل فق الت ايرس ول هللا اثبت بن قيس أم ا إين م اأعيب علي ه يف خل ق والدين‬
‫ولكين أكره الكفر يف اإلسالم فقال رسول هللا صىل هللا عليه وس مل أت ردين علي ه حديقت ه ق الت نعم ق ال رس ول‬
‫هللا صىل هللا عليه وسمل اقبل حديقته وطلقها تطليقة‬
2. Terjemah Hadits
“Aku telah diberi khabar oleh sahabat Azhar bin Jamil, beliau
berkata: telah bercerita kepadaku sahabat Abdul Wahab, beliau berkata:
telah bercerita kepadaku sahabat Kholid, yang ia peroleh dari sahabat
Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya istri sahabat Tsabit
bin Qois datang mengadu kepada Nabi SAW, dan berkata: “Wahai utusan
Alloh, Tsabit bin Qois itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan
tidak pula dari segi keberagamannya.Cuma saya tidak senang akan terjadi
kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Maukah
kamu mengembalikan kebunnya?”. Kemudian si istri menjawab: “ya mau”.
Nabi SAW berkata kepada Tsabit: “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia
satu kali cerai”.
3. Kandungan Hadits
Hadits diatas menunjukkan tentang adanya hak khulu’ bagi wanita, dalam
artian istri bisa menggugat cerai suami dengan cara memberi ganti rugi
atau iwadh kepada suami dengan jalan khulu’ (gugatan cerai istri), sang istri bisa
memiliki dirinya sendiri, dalam artian dia bebas dari ikatan perkawinan,
walaupun pada dasarnya hak menceraikan itu dimiliki oleh suami.

6
Dari uraian hadits diatas memberikan petunjuk, bahwa dalam proses
khulu’ terdapat pemberian ganti rugi iwadh kepada suami, dalam hal ini menurut
interpretasi para ulama ahli fiqh dihukumi wajib dan menjadi syarat dalam akad
khulu’.
Khulu’ sendiri merupakan alternatif fiqh didalam meringankan beban
berat dari masalah rumah tangga, contoh akad khulu’ adalah wanita atau istri
mengucapkan kepada suaminya:“Ceraikanlah aku dan engkau akan
mendapatkan ganti rugi atau iwadh dari saya berupa uang seribu dirham”. Akad
khulu’ yang sah itu mempunyai implikasi hukum bahwa tertalak ba’in-nya wanita
yang melakukan khulu’.3

2. Zihar
Diriwayatkan dari Salamah bin Shakhr radhiyallahu “anhu, bahwasanya dia
berkata,
ِ ‫ول‬
‫هللا‬ ُ ‫ فَ َقا َل يِل َر ُس‬،‫ فَا ْن َكشَ َف يِل يَش ْ ٌء ِمهْن َا ل َ ْيةَل ً فَ َو قَ ْع ُت عَلَهْي َا‬،‫ فَ َـظاه َْر ُت ِمهْن َا‬، ‫ فَجِ ْف ُت َأ ْن َأ ِصي َْب ا ْم َرَأىِت‬،‫َد َخ َل َر َمضَ ُان‬
‫ َو َه ْل َأ َص بْ ُت اذَّل ِ ْي‬: ‫ ُقلْ ُت‬، ِ ‫ فَ ُـص ْم شَ ه َْـر ِي ِن ُمتَ َت ا ِب َعنْي‬: ‫ قَا َل‬، ‫ َما َأ ْمكِل ُ الَّ َرقَ َبيِت‬: ‫ قُلْ ُت‬،‫ َح ّ ِر ْر َرقَ َب ًة‬: ‫صىل هللا عليه وسمل‬
‫ِإ‬
ِ ِ
. ‫ َأ ْط ِع ْم َع َرقًا ِم ْن تَ ْم ٍر بَنْي َ ستّنْي َ م ْسك ْينًا‬: ‫الص َيا ِم؟ قَا َل‬
ِ ِ ِ ّ ‫َأ َصبْ ُت الَّ ِم َن‬
‫ِإ‬
“Telah datang bulan suci Ramadhan, lalu aku cemas bila sampai
berhubungan intim dengan istriku, maka aku pun menzhiharnya. Ternyata pada
suatu malam, bagian (tubuh)nya tersingkap olehku, sehingga aku pun bersetubuh
dengannya. Maka, Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam berkata kepadaku,
“Bebaskan budak,’ Lalu kukatakan, “Aku tidak punya budak selain budakku,’ Beliau
berkata lagi, “Kalau begitu, berpuasalah dua bulan berturut-turut,’ Kukatakan lagi,
“Tidakkah aku melanggar hal ini melainkan karena puasa?’ Beliau berkata lagi,
“Berilah makan 60 orang miskin dengan sekeranjang kurma.’” [Hadits hasan.
Riwayat Abu Dawud)
Zihar berasal dari kata azh-Zahr, artinya tulang belakang. maksudnya, ucapan
suami kepada istrinya, “bagiku, engkau seperti punggung ibuku” . Seorang Arab,

3
Imam Nasa’i. Sunan Nasa’i. Beirut : Daar al-Kutub al-Islamiyyah, Juz 5. hal. 168

7
pada masa kegelapan Jahiliyah mungkin akan mengatakan”Anti ‘alayya ka zhahri
ummi”, hal ini disebut zihar. setelah kata-kata ini diucapkan, dengan seketika juga
hubungan suami istri itu berakhir seperti halnya perceraian .
pertama kali terjadi zhihar di dalam Islam, yaitu antara Khaulah binti
Tsa’labah dengan suaminya Aus bin Shamit. Khaulah radhiyallahu ‘anha sempat
menceritakan tentang peristiwa zhihar tersebut, seraya berkata, “Demi Allah, tentang
diriku dan diri Aus bin Shamit, Allah menurunkan ayat-ayat awal Surah Al-
Mujadilah.” Selanjutnya ia menuturkan: Ketika aku masih di sisinya, dia adalah
seorang lelaki lanjut usia dan akhlaknya kurang baik. Pada suatu hari, ia datang
kepadaku, lalu aku mengingatkannya tentang sesuatu. Maka ia pun marah dan
berkata: “Engkau bagiku adalah bagai punggung ibuku.” Khaulah melanjutkan: Lalu
ia pergi dan duduk-duduk di majlis rekan-rekannya sejenak dan setelah itu datang
kepadaku, dan ternyata ia menghendakiku (bersenggama). Maka aku katakan,
“Tidak! Demi Allah yang diri Khaulah ada di tangan-Nya, kamu tidak akan
mendapatkanku, karena engkau telah mengucapkan apa yang telah engkau ucapkan,
sebelum Allah dan rasul-Nya memberikan keputusan terhadap kita.” 4
Khaulah melanjutkan: “Maka ia melompat kepadaku, namun aku mengelak
darinya hingga aku bisa lepas darinya, karena dia sudah tua dan lemah hingga aku
dapat menolaknya dariku.”
Khaulah menuturkan: “Kemudian aku mendatangi salah seorang tetangga
perempuanku untuk meminjam pakaian darinya. Setelah itu aku pergi menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan aku pun duduk di hadapan beliau, aku
ceritakan kepadanya apa yang telah menimpaku. Aku laporkan semua tentang sikap
buruknya terhadapku.”
Khaulah melanjutkan: Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Wahai Khaulah, anak pamanmu itu (maksudnya: suaminya) adalah
seorang lanjut usia, maka bertaqwalah kamu kepada Allah tentang dia.”
Lalu, selang beberapa saat, turunlah Al-Qur’an mengenai aku. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjadi seperti tidak sadar (ketika menerima wahyu

4
Abdul Halim Abu Suqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta, Gema Insani, 1997)H. 85

8
tersebut), dan setelah itu beliau bersabda kepadaku, “Wahai Khaulah, Allah telah
menurunkan ayat mengenaimu dan suamimu.” Lalu Nabi membacakan
kepadaku: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya)
kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antar kamu berdua”[2], hingga
firman-Nya: “Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih.”
Khaulah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Suruh dia
memerdekakan budak.”
Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, dia tidak mempunyai sesuatu untuk
memerdekakan budak.” Rasulullah bersabda, “Suruh dia berpuasa dua bulan
berturut-turut.” Khaulah berkata, “Demi Allah, dia adalah seorang yang sudah lanjut
usia tidak dapat melakukan puasa.” Rasulullah bersabda, “Suruh dia memberi makan
enam puluh orang miskin berupa satu wasaq kurma.”
Khaulah berkata lagi, “Demi Allah, wahai Rasul, dia tidak mempunyai itu.” Lalu
Rasulullah bersabda, “Aku akan membantunya dengan satu tandan buah
kurma.” Khaulah berkata, “Ya Rasulullah, aku pun akan membantunya dengan
setandan kurma juga.” Maka Rasulullah bersabda, “Kamu tepat dan kamu benar.
Maka pergilah sekarang dan sedekahkanlah kurma itu atas nama dia, dan setelah itu
jaga suamimu dengan baik.” Khaulah menuturkan, “Maka aku pun melakukannya.”

3. Li’an
ِ ‫َحدَّ ثَنَا ُم َق َّد ٌم ْب ُن ُم َح َّم ِد ْب ِن حَي ْ َي َح َّدثَنَا مَع ِّى ْال َقامِس ُ ْب ُن حَي ْ َي َع ْن ُع َبيْ ِد‬
ُ َ ‫هللا َوقَ دْ مَس ِ َع ِمهْن ُ َع ْن اَن ِفع ٍ َع ِن ا ْب ِن مُع َ َر َريِض‬
‫هللا َعهْن ُ َم ا‬
‫هللا عَلَيْ ِه‬ ِ ‫هللا عَلَيْ ِه َو َس مَّل َ فََأ َم َرهِب ِ َم ا َر ُس ْو ُل‬
ُ ‫هللا َص َّىل‬ ُ ‫هللا َص َّىل‬ِ ‫َأ َّن َر ُج ًال َر َمى ا ْم َرَأتَ ُه فَ انْ َت َفى ِم ْن َودَل ِ هَا يِف َز َم ِان َر ُس ْو ُل‬
ِ ‫َو َسمَّل َ فَتَ َال َعنَا اَمَك قَا َل هللا مُث َّ قَىَض اِب لْ َودِل َ ِللْ َم ْرَأ ِة َوفَ َّر َق بَنْي َ الْ ُم َت َال ِعنَنْي‬
Artinya:   Telah menceritakan kepada kami Muqaddam bin Muhammad bin Yahya
Telah menceritakan kepada kami pamanku Al Qasim bin Yahya dari
‘Ubaidullah dia telah mendengar darinya dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar
Radliallahu ‘anhuma bahwa pada masa Rasulullah SAW ada seorang
lelaki meli’an (menuduh) isterinya dan tidak mengakui janin yang

9
dikandungnya adalah anaknya. Maka Rasulullah menyuruh keduanya
menghadap namun keduanya malahsaling menuduh. Sebagaimana firman
Allah, Rasululah SAW memutuskan anaknya milik sang istri dan
memisahkan keduanya (suami dan istri).5
Kata li’an diambil dari kata al-la’nu yang artinya jauh dan laknat
ataukutukan, disebut demikian karena suami istri yang saling berli’an itu
berakibatsaling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri
untukselama-lamanya, atau karena yang bersumpah li’anitu dalam kesaksiannya
yangkelima menyatakan bersedia menerima laknat (kutuk) Allah jika pernyataannya
tidakbenar.
Secara terminologi li’anmerupakan suatu ucapan sumpah yang dilakukan
olehseorang suami kepada istrinya dengan lima kali sumpah dan pada sumpah
yangterakhir suami mengucapkan sumpah yang diikuti dengan laknat kepadanya jika
diadusta.
Menurut istilah Hukum Islam, li’an adalah sumpah yang diucapkan oleh
suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia
termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian
kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta
dalam tuduhannya itu.6
Li’an merupakan ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang
telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (berzina) yang kemudian menjadi
alasan suami untuk menolak anak. Suami melakukanli’an apabila telah menuduh
berzina, tuduhan berat ini pembuktiannya harus mengemukakan empat orang saksi
laki-laki.
Terjadinya li’an terdapat dalam tiga gambaran kasus, yaitu:
1) Suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak punya empat orang saksi
laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Jika ada laki-
laki yang menzinai istrinya dan suami melihat laki-laki tersebut sedang

5
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhory, Jami’S}ah}i>h} Bukhary juz VI,(Beirut :
Daru ibnu katsir,tt)
6
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor : Kencana, 2003), hlm. 239

10
menzinai istrinya atau istri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan
kebenaran pengakuannya tersebut, maka dalam keadaan seperti ini lebih
baik ditalak, bukan dengan jalan meli’an atau mengadakan mula’anah.
Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang menzinainya, maka suami boleh
menuduhnya berbuat zina. Menurut ulama Mazhab Maliki, suami yang
mengaku melihat istrinya berzina itu disyaratkan tidak melakukan
senggama dengan istrinya tersebut setelah tuduhan dijatuhkan. Dalam hal
ini, bisa saja suami ketika melakukan tuduhan zina terhadap istrinya tanpa
disertai dengan pengingkaran terhadap sahnya anak yang dikandung
ataupun yang telah lahir dari istrinya tersebut. Pihak suami sebagai
pemegang hak pengingkaran anak, adalah boleh mempergunakannya dan
dapat pula tidak mempergunakannya.
2) Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya.
Suami boleh tidak mengakui kehamilan istri, biar dalam keadaan
bagaimanapun, karena ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri
istrinya sejak akad nikahnya, atau ia merasa mencampurinya tetapi baru
setengah tahun lalu atau telah lewat setahun, sedangkan umur
kandungannya tidak sesuai.
Dalam Hukum Islam seorang suami dapat menolak untuk mengakui
bahwa anakyang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami
dapat membuktikan bahwa:
a) Suami belum pernah menjima’ istrinya akan tetapi istri tiba–tiba
melahirkan;
b) Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima’ istrinya
sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur;
c) Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak di
jima’suaminya.
3) Suami menuduhkan kedua-duanya kepada istrinya, yakni menuduh
istrinya berzina dan tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari
benihnya, dan ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat
orang saksi.Kalau suami tetap pada tuduhannya itu, ia dituntut untuk

11
bersaksi dengan nama Allah. Bentuk persaksiannya, yaitu bersumpah
sebanyak empat kali bahwa apa yang dituduhkannya adalah benar.
Kemudian dalam sumpahnya yang kelima, jika tuduhannya bohong/dusta,
laknat Allah akan menimpa dirinya.7

4. Iddah
‫حدثين إحسق بن منصور حدثنا عبد الرمحن عن س فيان عن أيب بك ر بن أيب اجلهم ق ال مسعت فاطم ة بنت قيس تق ول‬
‫أرسل إيل زويج أ بو معرو بن حفص بن املعرية عي اش بن أيب ربيع ة بطاليق و أرس ل مع ه خبمس ة آص ع متر و مخس ة‬
‫آصع شعري فقلت أمايل نفقة إال هذا اعتد يف مزنلمك قال ال قالت فشددت عيل ثيايب و أتيت رسول هللا صىل هللا عليه‬
‫و س مل فق ال مك طلقت قلت ثالاث ق ال ص دق ليس كل نق ة اعت دي يف بيت ابن معك ابن ام مكت وم فإن ه رضير البرص‬
‫تقيل ثوبك عند فإذا انقضت عدتك فأذنيين قالت خفطبين خطاب مهنم معاوية و ابو اجلهم فقال الن يب ص ىل هللا علي ه و‬
‫سمل ان معاوي ة ت رب خفي ف احلال و اب و اجلهم من ه ش دة عىل النس اء (او يرضب النس اء او حنو ه ذا) و لكن علي ك‬
)‫بأسامة بن زيد (رواه مسمل‬
“Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Mansur menceritakan kepadaku
Abdurrahman dari Sufyan dari Abi Bakar bin Abi al-Jahm  berkata, aku
mendengarkan Fathimah binti Qays berkata suamiku  mengutusku yakni Abu Amr,
Ibn Hafsh bin Mu’irah Ayyash bin Abi Rabi’ah dengan mentalakku, serta
mengirimkan lima sho’ kurma dan lima sho’ gandum, kemudian berkata, apakah
tidak ada bagiku  nafkah? kecuali benda ini (lima sho’ kurma dan gandum), dan
aku tidak beriddah di  rumahmu, kemudian  Abu  Amr  berkata,  tidak,  Fathimah 
berkata kemudian mengikat bajuku dan aku menemui Rasullullah, kemudian Rasul
bertanya, berapa thalaq yang dijatuhkan suamimu? Aku menjawab, tiga, kemudian
Rasul bersabda benar, kamu tidak berhak mendapatkan nafkah beriddahlah di
rumah sepupumu, yakni Ibn Ummi Maktum, karena dia adalah buta matanya,
taruhlah  pakaianmu di rumahnya, dan kalau sudah habis masa iddahmu,
beritahulah aku, Fathimah berkata kemudian melamarku beberapa orang, di
antaranya Mu’awiyah dan Abu al-Jahm, kemudian Rasul bersabda, sesungguhnya

7
Amir Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), hlm. 284

12
Mu’awiyah adalah miskin, minim dalam  berusaha, sedangkan Abu al-Jahm
adalah laki-laki yang keras terhadap perempuan (memukul perempuan dan yan g
sejenis dengan hal itu) dan baik bagimu Usamah bin Zayd”. (H.R Muslim). 8
Berdasarkan ketentuan di atas, maka bagi perempuan yang ditinggal mati
oleh suaminya, wajib baginya melaksanakan iddah serta ihdad, iddah merupakan
masa penantian seorang perempuan sebelum menikah lagi, setelah bercerai dari
suaminya atau setelah suaminya meninggal dunia. Dari beberapa definisi yang
dikemukakan di atas  dapat disusun hakikat dari iddah tersebut  sebagai
berikut: “masa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai
dari suaminya supaya dapat kawin lagi untuk mengetahui bersih  rahimnya  atau 
untuk melaksanakan perintah Allah”.

5. Ihdad
‫عن ابو الربيع الزهراين عن حامد عن أيوب عن حفصة عن أم عطية قالت أن رسول هللا صىل هللا عليه و سمل قال ال‬
‫حتد ام رأة عيل ميت ف وق ثالث إال غىل زوج أربع ة أش هر و عرشا و ال نلبس ثواب مص بوغا إال ث وب عص ب و ال‬
‫ متف ق علي ه و ه ذا لف ظ مس مل و أليب داود و النس ايئ‬.‫نكتحل و ال متس طيبا إال إذا طهرت نبذة من قسط او إظفار‬
)‫من الزايدة (و ال خنتضب) و للنسايئ (و ال متتشط‬
“Dari Abu Rabi’ al-Zuhry sesungguhnya aku dari Hammad dari   Ayyub
dari Hafshah dari Ummi Athiyyah dia berkata sesungguhnya  Rasulullah S.A.W
bersabda tidak boleh berkabung bagi seorang  perempuan atas satu mayit lebih
dari tiga malam kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari dan
janganlah memakai pakaian (yang dimaksudkan untuk perhiasan, sekalipun
pencelupan itu dilakukan sebelum  kain  tersebut  ditenun, atau  kain itu menjadi
kasar/kesat (setelah dicelup).” dan janganlah bercelak, memakai wangai-wangian 
kecuail ia bersih dari qusth dan adzfar.”9

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Mun akahat dan
8

Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2007), hal 304

9
Ahmad  Hassan, Tarjamah  Bulugh al-Amaram,  (Bandung:  Diponegoro, 1991), hal 585

13
Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda, dan
kadang-kadang bisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata hadda. Secara
etimologis (lughawi) ihdad berarti al-Man’u (cegahan atau larangan). Sedangkan
menurut Abdul Mujieb, bahwa yang dimaksud dengan ihdad adalah masa
berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalaha
empat bulan sepuluh hari disertai dengan larangan-larangannya, antara lain:
bercelak mata, berhias  diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa. 10
Yang dimaksud dengan ihdad (masa berkabung) adalah masa di mana
seseorang harus memiliki rasa, yaitu; 1) Mempersiapkan. 2) Menata mental. 3)
Menambahkan kesabaran bagi orang yang ditinggal. Di mana tiga poin di sini
adalah merupakan tawaran hukum agar seseorang melakukan hal yang sesuai
dengan (M‫( )مبادئ الشريعة‬dasar syari’at) dari dasar syari’at tersebut antara lain, dengan
kompromi, keserasian dan keadilan. 
Sedangkan menurut Sayyid Abu Bakar al-Dimyati, definisi ihdad adalah:
“Menahan diri dari bersolek/berhias pada badan.” Dengan redaksi sedikit berbeda,
Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi tentang makna ihdad: 
“Ihdad ialah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata dan
minyak, baik minyak yang mengharumkan maupun yang tidak.”
Selanjutnya, sebagaimana definisi kedua di atas, Wahbah al-Zuhaili
menegaskan maksud meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan
minyak adalah khusus yang berkaitan dengan anggota badan perempuan. Karena
itu, perempuan yang sedang dalam keadaan ihdad tidak dilarang memperindah
tempat tidur, karpet, gorden dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang
duduk di atas kain sutera. 11
  Ali al-Salusi, dalam hal ini juga mendefinisikan ihdad, antara lain sebagai
berikut:

10
Tihami dan  Sohari  Sahrani,  Fikih  Munakahat:  Kajian Fikih Nikah  Lengkap, (Jakarta: 
Rajawali Press, 2009), hal 342

11
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Press, 2009), hal 343

14
“Di antara makna ihdad secara etimologi adalah mencegah, dan di antara
pencegahan tersebut adalah pencegahan seorang perempuan  dari bersolek,
dan termasuk dalam kategori makna ihdad secara  bahasa  adalah
menjelaskan kesedihan, adapun ihdad menurut terminologi adalah
pencegahan atau menjaganya seorang perempuan dari bersolek dan
termasuk dalam makna ihdad adalah suatu masa tertentu di  antara masa-
masa yang dikhususkan, begitu juga di antara makna ihdad adalah
mencegahnya seorang perempuan dari tempat tinggalnya yang bukan tempat
tinggalnya.”

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Talak sunni yaitu talak yang sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang
suami menalak istrinya yang pernah dicampuri dengan sekali talak di masa bersih
dan belum didukhul selama bersih tersebut
Thalaq Bid'i adalah thalaq yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntunan
sunnah.Thalaq sunni ini merupakan thalak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah
yang tidak tepat.
Talak ba'in terbagi dua, yaitu talak ba'in sughra dan talak ba'in kubra. Adapun
talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan oleh seorang suami terhadap isterinya
yang mana dengan itu ia tidak dapat kembali lagi, kecuali melalui akad dan mahar
yang baru.
Khulu’ sendiri merupakan alternatif fiqh didalam meringankan beban berat
dari masalah rumah tangga, contoh akad khulu’ adalah wanita atau istri
mengucapkan kepada suaminya:“Ceraikanlah aku dan engkau akan mendapatkan
ganti rugi atau iwadh dari saya berupa uang seribu dirham”. Akad khulu’ yang sah
itu mempunyai implikasi hukum bahwa tertalak ba’in-nya wanita yang melakukan
khulu’.
Zihar berasal dari kata azh-Zahr, artinya tulang belakang. maksudnya, ucapan
suami kepada istrinya, “bagiku, engkau seperti punggung ibuku” . Seorang Arab,
pada masa kegelapan Jahiliyah mungkin akan mengatakan”Anti ‘alayya ka zhahri
ummi”, hal ini disebut zihar. setelah kata-kata ini diucapkan, dengan seketika juga
hubungan suami istri itu berakhir seperti halnya perceraian .
Li’an merupakan ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang
telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (berzina) yang kemudian menjadi
alasan suami untuk menolak anak. Suami melakukanli’an apabila telah menuduh
berzina, tuduhan berat ini pembuktiannya harus mengemukakan empat orang saksi
laki-laki.

16
B. Saran
Semoga makalah ini memberikan dorongan, semangat, bahkan pemikiran
para pembaca,dengan makalah ini menjadi pedoman kaidah yang baik. Demikianlah
penjelasan tentang  Hadis Ahkam Munakahat: Talak, bila kiranya ada salah dalam
penulisan kata-kata kami mohon maaf, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor : Kencana, 2003)

Abdul Halim Abu Suqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta, Gema Insani, 1997)

Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhory, Jami’S}ah}i>h} Bukhary juz VI,


(Beirut : Daru ibnu katsir,tt)

Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-
Tazkia, 2006),Jilid 4

Ahmad  Hassan, Tarjamah  Bulugh al-Amaram,  (Bandung:  Diponegoro, 1991)

Amir Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004)

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Mun akahat
dan Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2007)

Imam Nasa’i. Sunan Nasa’i. Beirut : Daar al-Kutub al-Islamiyyah, Juz 5

Tihami dan  Sohari  Sahrani,  Fikih  Munakahat:  Kajian Fikih Nikah  Lengkap,
(Jakarta:  Rajawali Press, 2009)

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, (Jakarta: Gema Insani, 2001)

18

Anda mungkin juga menyukai