KEBANGSAAN
KELOMPOK 10
ISLAM RAHMATAN LIL
‘ALAAMIIN
Setiap masyarakat yang mengharapkan kedamaian dan kesejahteraan
sudah semestinya mengetahui dan memahami fakta kehidupan.
“Islam rahmatan lil ‘alamin”, yang bermakna bahwa kehadiran agama
Islam adalah rahmat, berkah, cinta, dan kebaikan bagi alam dan seisinya.
Istilah Islam rahmatan lil ‘alaimin pada dasarnya merupakan penafsiran
mendalam terhadap Surat Al-Anbiya ayat 107 yang menyatakan bahwa Nabi
Muhammad SAW diutus tiada lain sebagai rahmat bagi seluruh alam. Jadi,
pada dasarnya segala hal yang berkaitan dengan Islam rahmatan lil
‘alamin referensinya berada pada kepribadian Nabi Muhammad SAW.
Menurut Kuntowidjojo, terdapat 3 nilai yang menjelaskan makna rahmat
dalam ayat tersebut, yaitu:
1. Humanisasi
2. Liberalisasi
3. Transedensi
Humanisasi diartikan dengan memanusiakan manusia, menghilangkan
“kebendaan”, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia.
Humanisasi ini berangkat dari pemahaman Kuntowjijoyo terhadap konsep al-
amru bil ma’rūf yang diajarkan dalam Islam seperti tertera pada Surat Ali
Imran ayat 110.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. …” (QS. Ali Imran: 110).
Liberasi merupakan bentuk konkret dari ajaran Islam al-nahyu ‘anil
munkar. Konsep tersebut dalam pandangan Alquran berarti mencegah
kemungkaran, segala tindak kejahatan yang merusak, yang intinya
membebaskan manusia dari segela kejahatan.
Ketiga, transendensi, yang tiada lain merupakan konsep yang
diderivasikan dari tu’minūna bi-Allāhi. Transedensi bertujuan menjadikan nilai-
nilai transedental (ketuhanan) menjadi unsur penting dalam proses
pembangunan peradaban. Transendensi berperan penting dalam
memberikan makna yang akan mengarahkan manusia menuju nilai-nilai luhur
kemanusiaan.
Dengan memahami hakikat transendensi, manusia dapat menempatkan
diri secara tepat di hadapan Tuhan, sekaligus bersahabat secara hangat
dengan sesama manusia. Semangat inilah yang membawa pada kerukunan
dan ketenteraman.
Muqosidu Al-Syariah(tujuan
syari’at) sebagai pelindung
hak hak dasar kemanusian
(al-kulliyat al-khams)
Secara etimologis, maqasid berasal dari kata qasada yang berarti menghadap pada sesuatu.
Sedangkan secara terminologis adalah sasaran-sasaran yang dituju oleh syari’at dan rahasia-
rahasia yang diinginkan oleh Syāri’ dalam setiap hukum-hukum-Nya untuk menjaga
kemaslahatan manusia.
Maqashid Syariah secara istilah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam
setiap aturannya
tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani
maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk
kehidupan dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat
kelak.
Teori maqâshid al-syarî’ah tersebut mencakup perlindungan terhadap lima hal (aldharûriyyât al-
khamsah), yakni:
1. Al-Muhafazhah Ala Al-Dîn
Al-Muhafazhah Ala Al-Dîn yaitu menjaga agama. Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh
setiap manusia supaya martabat-nya terangkat lebih tinggi. Beragama merupakan kebutuhan
manusia yang mesti dipenuhi, karena agama-lah yang dapat menyentuh nurani manusia. Dalam
memeluk agama, Bahkan Islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk
menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya.
2. Muhafazhah Ala Al-Nafs
Al-Muhafazhah ala al-nafs ialah jaminan keselamatan atas hak hidup yang mulia. Termasuk
dalam pengertian umum dari jiwa ini adalah jaminan keselamatan nyawa, anggota badan dan
terjaminnya kehormatan kemanusian. Mengenai yang terakhir ini meliputi kebebasan memilih
profesi, kebebasan berpikir, dan mengeluarkan pendapatan, kebebasan berbicara dan
kebebasan memilih tempat tinggal.
3. Al-Muhafazhah Ala Al-'Aql.
Al-Muhafazhah Ala Al-'Aql Yaitu terjaminnya akal pikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang
yang bersangkutan tidak berguna ditengah masyarakat. upaya pencegahan yang bersifat
preventif yang dilakukan syari'at sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal
pikiran dan menjagannya dari berbagai hal yang membahayakan. Di haramkan meminum khamar
termasuk narkoba adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal. Dengan akal yang
sehat manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan dengan itu manusia
dapat mengelolah dan memakmurkan dunia dengan sebaik-baiknya.
4. Al-Muhafazhah Ala Al-Nasl
Al-Muhafazhah Ala Al-Nasl ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan
berkembang sehat baik fisik maupun psikis. Dalam memelihara keturunan Islam mengatur dengan
pernikahan dan melarang zina. Islam memberikan ketentuan dalam al-Qur'an dan as-sunnah
bagimana memilihara keturunan. Islam juga memberikan pelajaran bagaimana mendidik anak
dan memelihara keluarga.
5. Al-Muhafazhah Ala Al-irdh
Harta merupakan perhiasan hidup bagi manusia pada umumnya. Harta asasi hidup dan
kehidupannya. Untuk itu manusia diberi amanah sebagai khalifah Allah SWT, di muka bumi agar
dapat mengelolah alam ini sesuai dengan kemampuannya. Sebenarnya menurut Islam segala
sesuatu adalah milik Allah secara mutlak. Namun manusia dilindungi hanya untuk memperoleh
harta dengan cara-cara yang halal. Oleh karenanya diperlukan adanya kepastian hukum dalam
masyarakat, guna menjamin kedamaian dalam kehidupan bersama
Eksistensi kemuliaan manusia (karamah insâniyyah) akan terwujud dengan perlindungan terhadap
lima hal tersebut. Tujuan syari’ah (maqâshid al-syari’ah) tersebut diperkuat dengan prinsip-prinsip
hukum Islam yang meliputi ‘adl (keadilan), rahmah (kasih sayang), dan hikmah (kebijaksanaan)
baik dalam hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan alam.
Para ulama dan intelektual Muslim kemudian mengembangkan konsep tersebut dengan berbagai
hak sebagaimana yang terdapat dalam Deklarasi HAM tersebut, terutama:
(1) hak untuk hidup,
(2) hak kebebasan beragama,
(3) hak kebebasan berpikir dan berbicara,
(4) hak memperoleh pendidikan,
(5) hak untuk bekerja dan memiliki harta kekayaan,
(6) hak untuk memilih tempat tinggal sendiri.
Di antara hal-hal yang dinilai tidak kompatibel antara ajaran Islam dan HAM adalah terkait
dengan batas-batas kebebasan dan ketidaksamaan antara pria dan wanita. Dalam pasal 1 DUHAM
disebutkan: “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama”,
tetapi di dalam Islam terdapat batasan-batasan yang lebih besar dalam mengekspresikan
kebebasan ini. Sebagai sebuah agama yang berarti juga panduan yang mengikat, Islam tentu saja
memberikan batasan-batasan yang lebih besar terhadap kebebasan dari pada HAM universal.
kebebasan beragama diartikan sebagai sebuah gagasan yang mempromosikan kebebasan
individu atau kolektif untuk mengekspresikan agama mereka dan kepercayaan dalam pengajaran
dan praktek, baik dalam kehidupan pribadi maupun publik. Kebebasan ini juga umumnya
mengakui kebebasan untuk mengubah agama atau tidak mengikuti agama apapun. Dalam hal
kebebasan beragama yang merupakan kebebasan yang paling fundamental, Q.S. al-Baqarah:
256 secara jelas menyebutkan adanya kebebasan ini, yakni “Tidak ada paksaan dalam agama”.
Di samping itu, di dalam Islam terdapat ketidaksamaan tertentu antara pria dan wanita, suatu
kondisi yang dinilai tidak sesuai dengan salah satu prinsip HAM yang menyatakan persamaan
manusia. Ketidaksesuaian antara doktrin Islam dan HAM “universal” ini hanya terdapat dalam
beberapa hal saja, Kebebasan mengandung pengertian, bahwa “seorang dalam batas-batas
tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang ia inginkan. Batas-batas ini mungkin
bersifat biologis atau hukum positif”.
Sedangkan tentang kedudukan wanita, dalam al-Qur’an terdapat tiga ketentuan yang secara
lahirnya terlihat ketidaksamaan kedudukan antara wanita denga pria, yakni tentang hukum
kewarisan (al-Nisa’: 11) dan kesaksian (al-Baqarah: 282) yang menunjukkan perbandingan antara
laki-laki dan perempuan 2:1, dan tentang poligami (al-Nisa: 3) yang menunjukkan perbandingan
4:1. Pada umumnya ulama dan intelektual Muslim tetap mempertahankan ketentuan-ketentuan
tersebut karena dalil-dalinya bersifat absolut (qath’i). Memang tidak mudah menjelaskan tentang
perbedaan ini secara rasional dan dalam persepktif HAM. Di antara mereka kemudian menyadari
bahwa ketidaksamaan itu mengandung hikmah yang belum diketahui oleh manusia
Dalam konteks ini, yang bisa dilakakukan dalam konteks
kesataraan kedudukan antara wanita dan pria ini adalah
upaya-upaya menghilangkan ketidaksamaan atau diskriminasi
yang didasarkan pada dalil-dalil relatif (zhannî) dan yang
disebabkan oleh faktor-faktor sosiologis, seperti kesempatan
memperoleh pendidikan dan pekerjaan serta kesempatan
memegang jabatan dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Letak persoalan dasarnya sebenarnya perbedaan filosofi dan
budaya antara negara negara Barat yang sekular yang
dijadikan sebagai acuan utama dalam pelaksanaan HAM
dengan negara-negara Muslim yang tidak bisa melepaskan
aspek agama (syari‘ah).
Tiga pilar kebangsaan
(Musyawarah, Keadilan,
Persamaan)
MUSYAWARAH (SYURA)
Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang terambil dari Bahasa
arab ‘adl. Kamus-kamus Bahasa arab menginformasikan bahwa kata ini
pada mulanya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan
dengan hal-hal yang bersifat immaterial. Dalama Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “adil” diartikan (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2)
berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang
Al-Quran menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan bermasyarakat
adalah keadilan. Tidak lebih dan tidak kurang. Berbuat baik melebihi
keadilan-seperti memaafkan yang bersalah atau memberi bantuan
kepada yang malas-akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat. Memang Al-Quran memerintahkan perbuatan adil dan
kebajiakan seperti bunyi firman-Nya, “sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan” (QS Al-Nahl [16]: 90), karena
ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. Namun
dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama daripada
kedermawanan atau ihsan.
PERSAMAAN (AL-MUSAWAH)