Anda di halaman 1dari 2

MEMBUMIKAN HUKUM ISLAM DAN HAM MELALUI PENDEKATAN MAQASHID

SYARIAH
Muhammad Zaky Gavicky 201810020311019 Program Studi Hukum Keluarga Islam Kelas A

Islam sebagai agama yang muncul belakangan setelah agama samawi lainnya yaitu
Yahudi dan Nasrani, disebut-sebut sebagai agama penyempurna dari kedua agama tersebut
serta memiliki ajaran yang lengkap. Islam mengatur lengkap segala perangkat kehidupan
umat manusia mulai dari urusan dunia hingga urusan akhirat. Pengaturan terhadap segala
perangkat kehidupan pada tubuh Islam ini disebut sebagai hukum Islam.
Hukum Islam sering kali diidentikkan dengan dua istilah yakni “Syariah” dan “Fikih”.
Hukum Islam yang diistilahkan dengan “Syariah” adalah peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh Allah atau ditetapkan dasar-dasarnya oleh Allah agar manusia berpegang
teguh kepadanya dalam hubungannya dengan Tuhannya, berhubungan dengan saudaranya
sesama muslim, berhubungan dengan alam semesta, dan berhubungan dengan kehidupan
(Syaltut, 1966). Sedangkan hukum Islam yang diistilahkan dengan “Fikih” diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari atau memahami syariat dengan memusatkan perhatian pada
perbuatan (hukum) manusia mukallaf, yakni manusia yang menurut ketentuan Islam sudah
baligh (dewasa). Sederhananya, Fikih adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang
mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Tuhan (Djamil, 1997). Dibuat
pengklasifikasian seperti ini agar tidak salah baik dalam penyebutannya maupun ha-hal lain
yang berkaitan dengan kedua istilah tersebut.
Hukum Islam dalam perkembangannya sempat mengalami kejumudan, berawal dari
isu tertutupnya pintu ijtihad yang sangat mendominasi selama berabad-abad hingga
menjadikan umat Islam bergantung kepada referensi intelektual abad pertengahan yang
dibarengi oleh ketidakmampuan berdialog dengan realitas yang senantiasa berkembang.
Kendati demikian, jauh sebelum itu, hukum Islam telah mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Hal itu tidak terlepas dari para mujtahid yang berperan aktif dalam berijtihad
secara kontinu untuk menjawab permasalahan-permasalahan zaman. Begitu pentingnya
menggiatkan aktivitas ijtihad agar hukum Islam selalu tetap berkembang dan relevan
dengan perkembangan zaman serta bisa menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang
belakangan ini sering muncul.
Islam merupakan sebuah agama yang di dalamnya memuat beberapa konsep ajaran
aqidah, ibadah, dan muamalat. Di dalamnya terdapat ajaran keimanan dan juga ajaran
agama Islam yang berlandaskan kepada ketentuan berupa berupa Syariah ataupun Fikih.
Menurut Abu al-A’la al-Maududi (1998), di dalam agama Islam membahas dua konsep
tentang hak. Pertama, hak manusia (huquq al-dharuriyyah). Kedua, hak Allah (huquq Allah).
Dua jenis hak tersebut tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling mendasari satu dengan yang
lainnya. Artinya, bahwa Allah menjadi landasan hak manusia dan sebaliknya (Hazin,
Rahmawati, & Shobri, 2021).
Hak manusia dalam Islam disebut dengan istilah haq al-insan. Konsep hak manusia
dalam Islam bersifat theosentris (segala sesuatu berpusat kepada Tuhan). Artinya, Islam
lebih memihak hak Tuhan dari pada hak-hak pribadi. Manusia dalam hal ini dilihat hanya
sebagai makhluk yang dititipi hak-hak dasar dari Tuhan, bukan sebagai pemilik mutlak. Oleh
karena itu, manusia wajib memeliharanya sesuai dengan aturan Tuhan. Penggunaan
tersebut tidak boleh bertentangan dengan keinginan Tuhan. Larangan dan perintah lebih
didasarkan atas ajaran Islam yang bersumber Al-Qur’an dan Hadis. Disini Al-Qur’an menjadi
transformasi dari kualitas kesadaran manusia. Manusia diperintah untuk hidup dan bekerja
di dunia ini dengan kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada
kehendak Allah. Mengakui hak-hak dari manusia adalah sebuah kewajiban dalam rangka
kepatuhan kepada Allah (Wahyu M.S, 1986).
Hak yang melekat pada tubuh manusia atau disebut Hak Asasi Manusia (HAM)
menurut Islam terdapat beberapa ketentuan yang disesuaikan dengan Al-Qur’an, yaitu;
Pertama, hak hidup, yaitu karunia yang diberikan kepada seluruh manusia dari Allah SWT.
Kedua, hak merdeka, ialah hak bebas dari segala keterpaksaan dan tekanan atau kekangan
merupakan salah satu hak asasi manusia untuk dihormati dan dihargai. Ketiga, hak
mendapatkan pendidikan, manusia diberi kelebihan oleh Allah dengan akal pikiran untuk
berpikir. Keempat, hak kehormatan diri, adalah upaya eksistensi manusia untuk
menjalankan sistem dalam kehidupan sosial. Kelima, hak memiliki, namun hal ini bukan
berarti menjadi hak mutlak yang hanya dimiliki oleh individu tertentu untuk memanfaatkan
dunia dan seisinya, akan tetapi semua yang ada di bumi ini hanyalah untuk kepentingan
umat manusia dan menjadi sistem yang harus manusia patuhi saat dalam suasana hidup
yang terhormat dan merdeka (Hazin, Rahmawati, & Shobri, 2021).
HAM dalam Islam pada umumnya berdasarkan pada prinsip persaudaraan
(solidarity), prinsip kebebasan (liberty), dan prinsip persamaan (equality) (Al-Qardhawi,
1898). Prinsip persaudaraan, adalah jaminan terhadap hak-hak asasi manusia yang menjadi
bukti kepedulian sosial dalam bermasyarakat. Prinsip kebebasan, diartikan dengan
menyelamatkan manusia dari berbagai keterpaksaan dan tekanan, misalnya kebebasan
beragama. Prinsip persamaan, yaitu hakikat kemanusiaan dengan adanya persamaan antar
manusia dengan lainnya.
Betitik-tolak pada kerangka teori terkait Islam dan HAM di atas, penulis ingin
mengulas lebih mendalam terkait membumikan hukum Islam dan HAM melalui pendekatan
Maqashid Syariah. Menurut hemat penulis juga dengan alat bantu berupa Maqashid
Syariah, akan lebih memudahkan untuk menyebarkan nilai-nilai dalam hukum Islam maupun
HAM.
Sebelum memahami konsep membumikan hukum Islam dan HAM melalui
pendekatan Maqashid Syariah, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang
Maqashid Syariah. Secara istilah, Maqashid Syariah ialah suatu nilai yang menjadi tujuan
dari penetapan hukum (Nashrullah K.M. & Noor, 2014). Konsep Maqashid Syariah adalah
teori perumusan (istinbat) hukum dengan menjadikan tujuan penetapan hukum syara’
sebagai referensinya, dalam hal ini tema utamanya adalah maslahah (Nasuka, 2017).
Sasaran dan tujuan dalam Maqashid Syariah ialah untuk meningkatkan maslahah dan
menghindari mafsadah (Hamdan, 2016). Untuk itu, dengan hadirnya Islam dalam menjamin
kemerdekaan bagi manusia agar terhindar dari keterpaksaan yang ada kaitannya dengan
persoalan ideologi, sosial, politik, dan masalah agama.
Imam Ghozali merumuskan Maqashid Syariah ke dalam lima poin utama (Mulia,
2010), yaitu; Pertama, Hifdz al-Nafs, yaitu Islam menjamin hak kelangsungan hidup. Kedua,
Hifz al-Aql, yakni Islam menjamin hak kebebasan beropini dan berekspresi. Ketiga, Hifz ad-
Din, yaitu Islam menjamin hak kebebasan agama. Keempat, Hifz an-Nasl, yaitu Islam
menjamin hak dan kesehatan reproduksi. Kelima, Hifz al-Maal, yaitu Islam menjamin hak
harta dan properti, yakni hak untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak.
Kelima hal pokok inilah yang mendasari umat Islam untuk menjaga tatanan
kehidupan yang manusiawi dengan menjaga penghormatan antar individu, masyarakat,
bangsa, dan negara. Sedangkan tujuan Maqashid Syariah ini ialah untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia dengan memberikan perlindungan dan memenuhi apa yang menjadi
kebutuhan dalam hidupnya.
Tujuan dasar Syariah ini secara jelas terimplementasi dalam nilai-nilai keadilan
(al-‘adl), kemaslahatan (al-maslahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah),
kasih sayang (al-rahmah), pluralisme (al-ta’addudiyah), dan hak asasi manusia (al-huquq al-
insaniyah) (Mulia, 2010). Maqashid Syariah ini berisi tentang perlindungan terhadap agama,
akal, jiwa, harta, dan keturunan (Fauzi, 2014). Tegak dan terpeliharanya HAM dalam Islam
mampu berdiri tegak karena Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Menjadi maksud dan
tujuan hukum Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an sebagai perlindungan dan jaminan
kebutuhan dasar manusia (Abdillah, 1999). Relevansi HAM yang dibangun berdasarkan
orientasi Maqashid Syariah adalah dengan mewujudkan kepentingan manusia, menjaga
serta mengutamakan kemakmuran umat atau disebut dengan maslahah ‘ammah (Hafniati,
2018).

Anda mungkin juga menyukai