Anda di halaman 1dari 11

BAB I

Pendahuluan

Latar Belakang

Dalam ilmu hukum, hukum dituntut dapat memainkan peranan ganda yang
sangat penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat kontrol sosial terhadap
perubahan-perubahan yang berlansung dalam kehidupan manusia, kedua, hukum dapat
dijadikan alat rekayasa sosial. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia
sebagai tujuan hakiki hukum itu sendiri. Tujuan yang demikian itu terdapat pada semua
sistem hukum termasuk hukum islam. Bahkan karena atas dasar wahyu terdapat
perbedaan dan keistimewaan dari sistem hukum yang lain. Selanjutnya kami akan
membahas secara detail tentang pengertian hukum islam dan tujuan dari hukum islam
itu.

Agama Islam diarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki penciptaNya


yang maha bijaksana. Demikian halnya hukum Islam, juga memiliki tujuan. Tujuan
hukum Islam pada hakikatnya adalah tujuan pencipta hukum itu sendiri. Tujuan hukum
Islam menjadi arah setiap perilaku dan tindakan manusia dalam rangka mencapai
kebahagiaan hidupnya dengan mentaati semua hukum-hukumNya. Sebagaimana kita
ketahui, bahwa pembuat hukum yang sesungguhnya adalah Allah. Ia tidak membuat
sesuatu yang sia-sia. Tetapi Allah mempunyai tujuan dalam mengadakan syariat yaitu
untuk manjaga kemaslahatan manusia. Adapun maslahah yang merupakan tujuan Allah
dalam syariatNya itu mutlak diwujudkan, karena kemaslahatan dan kesejahteraan
duniawi dan ukhrawi tidak akan mungkin dicapai tanpa maslahah, terutama yang
bersifat daruriyah, yang meliputi lima hal yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.
BAB II

Pembahasan

1.Pengertian hukum islam

Hukum islam adalah hukum yang bersumber Al-qur’an dan As-Sunnah dan
menajdi bagian dalam islam. Sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa istilah
kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, sebab, kadang kala membingungkan, kalau
tidak diketahui persis maknanya. Yang dimaksud adalah istilah-istilah:

a. Hukum: peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku


manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang
dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
b. Hukum: enetapkan sesuatu pada orang lain baik dalam bentuk menetapkan atau
meniadakan.
c. Syariah atau syariat, adalah jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim, atau
sesuatu yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, dan syariat ini terbagi menajdi 3
yaitu:
(1) Aqidah: hubungan dengan tuhan secara teologi atau merupakan suatu keyakinan
bukan pelaksanaan atau lebih spesifik dengan kepatuhan.
(2) Syariah (hukum) bersifat amaliyah (praktis).
d. Fiqh: pemahaman syariat yang secara praktis dengan menggunakan rasio atau nalar,
dan beberapa kata lain yang berkaitan dengan istilah-istilah tersebut.

2. Tujuan hukum islam secara global dan spesifik.

Secara global atau universal tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya


adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana
ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak. Hal ini berdasarkan firman
Allah SWT surat Al-Anbiya’ ayat 107 yang artinya: ”Dan kami (Allah) tidak mengutus
kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Inilah pokok utama tujuan yang menduduki martabat pertama, tujuan inilah yang tetap
terwujud dalam segala Hukum Islam, tidak ada sesuatu hukum Islam yang tidak
mengandung kemaslahatan yang hakiki, walaupun kemaslahatan itu tidak nampak bagi
sebagian orang.

Jadi, tujuan islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik rohani
maupun jasmani, individual maupun sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk
kehidupan di dunia saja akan tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akherat kelak.
Abu iskhaq al-syatibi merumuskan lima tujuan hukum islam yakni memelihara :

1. Agama
2. Jiwa
3. Akal
4. Keturunan
5. Harta

yang kemudian disepakati oleh ilmuan hukum islam lainnya. Kelima tujuan hukum
islam itu didsalam kepustakaan disebut al-maqasid al- khamsah al-syariah atau biasa
disebut juga sebagai al-maqadis syariah (tujuan –tujuan hukum islam).
Tujuan hukum islam tersebut dapat dilihat dari dua segi yakni: 1, segi pembuat hukum
islam yaitu Allah dan pelaksana hukum islam itu. Dan yang ke 2, dari segi manusia
yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum islam itu. Kalau diliahat dari segi yang ke 1,
pembuat hukum islam, tujuan hukum islam itu adalah pertama, untuk memenuhi
keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tertier, yang dalam
kepustakawan disebut dengan istilah daruriyyat, hajjiyat, dan tahsiniyyat. Kebutuhan
primer (daruriyah) adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-
baiknya oleh hukum islam agar kemaslahtan hidup manusia benar-benar terwujud.
Kebutuhan sekunder (hajiyyah) adalah kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai
kehidupan primer dan yang bersifat menunjang eksistensi kebutuhan primer. Kebutuhan
tersier (tahsiniyyah) adalah kebutuhan hidup manusia selain dari yang sifatnya primer
dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup manusia
dalam masyarakat.kedua, tujuan hukum islam adalah untuk ditaati dan dilaksanakan
oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Ketiga, tujuan hukum islam ini supaya
dapat ditaati dan dilalaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan
kemampuannya untuk memahami hukum islam dengan mempelajari ushul fiqh yakini
dasar pembentukan dan pemahamna hukum islam sebagai metodologinya. Segi yang ke
2 sebagai pelaku hukum islam yakni manusia sendiri, tujuan hukum islam ini adalah
untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera.

Dalam karyanya al-muwafaqat, al- syatibi mempergunakan kata yang berbeda-


beda berkaitan dengan maqasid al-syariyyah, menurut al-syatiby bahwa sesungguhnya
syariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia didunia dan akhirat, selain itu
hukum-hukum disyariatkan untuk kemaslahatan hamba-hambanya. Apabila ditelaah
pernyataan al-syatiby tersebut dapat dikatakan bahwa kandungan maqasid as-syari’ah
atau tujuan hukum adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Pemahaman maqasid as-
syari’ah mengambil porsi cukup besar dalam karya al-syatibi, maqasid as-syari’ah
secara tidak langsung dipaparkan hampir dalam keempat volume al-muwafaqat.

Pemberian porsi yang besar terhadap kajian maqasid al-syari’ah oleh al-syatibi
ini, bertitik tolak dari pandangannya bahwa semua kewajiban (taklif) diciptakan dalam
rangka merealisasi kemaslahatan manusia. Tidak ada satupun hukum Allah dalam
pandangan al-syatiby yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai
tujuan sama dengan taklif ma la yutaq (membebankan sesuatu yang tidak dapat
dilaksanakan). Suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum tuhan. Dalam
mengomentari pandanagn al-syatibi ini, fathi al-daraini memperkuatkannya, ia
mengatakan bahwa hukum-hukum itu tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri,
melainkan dibuat untuk tujuan lain yakni kemaslahatan.

Muhammad Abu Zahrah dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki
hukum islam adalah kemaslahatan, tidak satupun hukum yang disyariatkan baik dalam
al-Qur’an maupun as-Sunnah melainkan didalamnya terdapat kemaslahatan. Al-syatibi
mengatakan bahwa maqasid al-syari’ah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-
aspek hukum secara keseluruhan, artinya apabila terdapat permasalahan-permasalahan
hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya, dapat dianalisis
melalui maqasid al-syari’ah yang dilihat dari ruh syariat dan tujuan umum dari agama
islam.
Maqasid al-syari’ah dalam arti maqasid al-syar’i mengandung empat aspek yaitu:
1. Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia didunia dan akhirat.

2. Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.

3. Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan

4.Tujuan syariat adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum

Aspek pertama berkaitan dengan muatan dan hakikat maqasid al-syari’ah. Aspek
kedua berkaitan dengan dimensi bahasa agar syariat dapat dipahami sehingga dicapai
kemslahatan yang dikandungnya. Aspek ketiga berkaitan dengan pelaksanaan
ketentuan-ketentuan syariat dalam rangka mewujudkan kemaslahatan . ini juga
berkaitan dengan kemampuan manusia untuk kemaslahatnnya. Aspek yang terakhir
berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf dibawah dan terhadap hukum-
hukum Allah atau istilah yang lebih tegas aspek tujuan syariat berupaya membebaskan
manusia dari kekangan hawa nafsu.

Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan
dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu, kata Al-Syatibi adalah agama, jiwa, keturunan,
akal dan harta, dalam usaha mewujud dan memelihara lima unsur pokok itu, ia
membagi kepada tiga tingkat maqasid atau tujuan syaruah yaitu:

1. Maqasihid al- dauriyat.

2. Maqashid al- hajiyyat.

3. Maqasid al-tanshiniyat.

Maqasid daruriyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam


kehidupan manusia. Maqashid hajiyyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan
atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi.
Sedangkan maqashid al-tanshiniyah dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang
terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.

Tidak terwujudnya aspek daruriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan
akhirat secara keseluruhan, pengabaian terhadsap aspek hajiyyat tidak sampai merusak
keberadaan lima unsur pokok akan tetapi hanya membawa kepada kesulitan bagi
manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya, sedangkan pengabaian terhadap
aspek tanshiniyah membawa upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.

Sebagai contoh, dalam memelihara unsur agama, aspek daruriyahnya antara lain
mendirikan shalat, shalat merupakan aspek daruriyat, keharusan menghadap ke kiblat
merupakan aspek hajiyat, dan menutup aurat merupakan aspek tanshiniyyat.
Sedangkan apabila sesuatu hajiyyat ini tiada terwujud, tiadalah menjadi cidera
kehidupan, hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan saja, hajiyyat ini berlaku
dalam bidang ibadat, bidang adat, bidang muamalat, dan bidang jinayat. Dalam bidang
ibadat, seperti rukhsah-rukhsah yang menimbulkan keringanan untuk menghindarkan
masaqah lantaran sait atau safar. Dalam bidang adat, seperti diperbolehkan berburu
memakan yang sedap dan lezat asalkan halal, memakai pakiaian yang baik, mendiami
rumah dengan baik, dan memaki kendaraan dengan baik, dalam bidang muamalat
seperti diperbolehkan penjualan secara salam, dibolehkan istina’ muzaraah, murabahah,
dan diperbolehkan talaq utuk menghindarkan kemelaratan dari suami dan istri, dalam
bidang uqubat, diharuskan tukang penatu atau tukang jahit membayar kerugian orang
yang memberikan pakaian kepadanya untuk dicuci, atau diberikan kain untuk dijahit
menjadi baju, mengenakan diyat atas aqilah.

Sedangkan pada tahsiniyat ini berlaku dalam bidang ibadat, adat, muamalat, dan
bidang uqubat, dalam bidang ibadat seperti: kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat,
mengerjakan amalan-amalan sunat. Dalam bidang adat, seperti memelihara adab makan,
adab minum, menjahui makanan-makanan yang najis, dalam bidang muamalat, seperti
larangan menjual benda najis, sedangkan dalam bidang uqubah, seperti tidak
membenarkan kita mengadakan kericuhan dalam peperangan, tidak boleh membunuh
wanita.

Apabila kita perinci lagi, maka tujuan syara’ dalam memenetapkan hukum islam
ada lima atau yang biasa disebut dengan Al-Maqashidu ‘l-khamsah (panca tujuan) yang
sydah disinggung diatas, dan lebih jelasnya macam-macam maqashidu ‘l-khamsah
yaitu:

A. Memelihara kemaslahatan Agama


Agama adalah suatu yang harus dimiliki orang manusia supaya martabatnya
dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk yang lain, dan juga untuk memenuhi
hajat jiwanya. Agama Islam merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna
seperti yang ada dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah: 3 yang artinya: “ pada hari telah
kusempurnakan agamamu dan telah pula kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan aku
telah rela Islam itu menjadi agama buat kamu”. Beragama merupakan kekhususan bagi
manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agamalah yang dapat
menyentuh nurani manusia. Allah memerintahkan kita untuk tetap berusaha
menegakkan agama, seperti firman Allah dalam surat Asy-Syura’:13 yang artinya: “
Allah telah mengatur (menjelaskan) (diwajibkan) kepada nuh, dan yang kami wajibkan
kepada ibrahim, musa, dan isa, ialah bahwa hendaklah kamu dirikan agama ini selalu
dan janganlah kamu berecerai berai dalam agama. Orang-orang musyrik tentu sangat
berat menerima apa yang kamu serukan kepada mereka yaitu: mengesakan Allah, Allah
memilih siapa yang dikehendaki-Nya kepada agama-Nya, dan ia memberi petunjuk
kepada siapa yang kembali kepada-Nya.

Agama islam harus terpelihara dari pada ancaaman orang-orang yang tidak
bertanggung jawab yang hendak merusakkan akidahnya, ibadah dan akhlaknya. Atau
yang akan mempercampuradukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan
aliran yang bathil. Agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi para
penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut ajaran agama
yang dianutnya. Agama islam tidak memaksa kepada penganut agama lain
meninggalkan agamanya supaya masuk kzedalam islam.

B. Memelihara jiwa

Untuk tujuan ini islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam
dengan hukuman qisash (pembatalan yang seimbang) sehingga dengan demikian
diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan , berfikir sepuluh kali, karena
apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang
yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cedera maka si pelakunya juga akan cedera
pula.
Mengenai hal ini terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179 yang artinya: “
wahai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu Qisash (pembalasan)
pada orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba
dan wanita dengan wanita. Barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya,
hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dan rahmat dari Tuhanmu, barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka
untuknya siksaan yang sangat pedih”. Dan “ Dalam Qisash itu terdapat kehidupan
bagimu, wahai orang-orang yang mempunyai akal “.

C. Memelihara Akal Manusia

Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Pertama,
Allah SWT telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik, dibandingkan
dengan bentuk makhluk-makhluk yang lain dari berbagai macam binatang. Hal ini telah
dijelaskan oleh Allah sendiri dalam Al-Qur’an surat At-tiin ayat 4 yang artinya: “
sungguh kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”,
akan tetapi bentuk yang indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak ada hal yang kedua
yaitu akal, oleh karena itu Allah SWT melanjutkan firmannya dalam surat At-Tiin ayat
5-6 yang artinya: “ kemudian kami (Allah) mengembalikannya ketingkat yang paling
rendah, kecuali mereka yang beriman dan berbuat amal saleh, maka bagi mereka itu
pahala yang tiada putusnya. Jadi, akal paling penting dalam pandangan islam. Oleh
karena itu Allah SWT selalu memuji orang yang berakal.

D. Memelihara keturunan

Untuk tujuan ini, islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina,


menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara –cara perkawinan
itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu
dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak
dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dianggap sah dan menjadi
keturunan sah dari ayahnya. Malahan tidak hanya melarang itu saja, tetapi juga
melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina. Mengenai hal ini dijelaskan oleh
Allah dalam surat An-Nisa ayat 3-4 yang artinya: “ maka kawinilah wanita-wanita yang
berkenan dihatimu dua atau tiga atau empat orang. Akan tetapi jika kamu khawatir tidak
akan dapat bertindak adil maka cukuplah seorang saja. Dan berikanlah kepada wanita-
wanita itu maskawin mereka (wanita yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh
kerelaan. Jika mereka dengan senang hati menyerahkan kepadamu sebagian dari
maskawin itu, maka makanlah (ambillah) pemberian itu dengan selamat dan baik
akibatnya.

E. Memelihara Harta Benda dan Kehormatan

Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun
islam juga mengakui hak pribadi seorang. Oleh karena manusia itu sangat tama’ kepada
harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka islam
mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk tujuan
ini, islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalat seperti jual-beli, sewa
menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba, dan
mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain, untuk memabayarnya, harta
yang dirusak oleh anak-anak yang dibawah tanggunagnnya, bahkan yang dirusak
binatang peliharaannnya sekalipun. Mengenai hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 275-284.
BAB II

Penutup
Kesimpulan

Secara global atau universal tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya


adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana
ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak. Hal ini berdasarkan firman
Allah SWT surat Al-Anbiya’ ayat 107 yang artinya: ”Dan kami (Allah) tidak mengutus
kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Inilah pokok utama tujuan yang menduduki martabat pertama, tujuan inilah yang tetap
terwujud dalam segala Hukum Islam, tidak ada sesuatu hukum Islam yang tidak
mengandung kemaslahatan yang hakiki, walaupun kemaslahatan itu tidak nampak bagi
sebagian orang.

Jadi, tujuan islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik rohani
maupun jasmani, individual maupun sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk
kehidupan di dunia saja akan tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akherat kelak.
Abu iskhaq al-syatibi merumuskan lima tujuan hukum islam yakni memelihara 1.
Agama, 2, jiwa, 3, akal, 4, keturunan, dan 5, harta yang kemudian disepakati oleh
ilmuan hukum islam lainnya. Kelima tujuan hukum islam itu didsalam kepustakaan
disebut al-maqasid al- khamsah al-syariah atau biasa disebut juga sebagai al-maqadis
syariah (tujuan –tujuan hukum islam).

Maqasid al-syari’ah dalam arti maqasid al-syar’i mengandung empat aspek


yaitu:

1. Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia didunia dan akhirat

2. Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami

3. Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan

4. Tujuan syariat adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum


Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan
dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu, kata Al-Syatibi adalah agama, jiwa, keturunan,
akal dan harta, dalam usaha mewujud dan memelihara lima unsur pokok itu, ia
membagi kepada tiga tingkat maqasid atau tujuan syaruah yaitu:

1. Maqasihid al- dauriyat

2. Maqashid al- hajiyyat

3. Maqasid al-tanshiniyat

Maqasid daruriyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam


kehidupan manusia. Maqashid hajiyyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan
atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi.
Sedangkan maqashid al-tanshiniyah dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang
terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.

Anda mungkin juga menyukai