Islam adalah agama universal yang mengajarkan dan mendidik keadilan bagi
semua manusia tanpa pandang bulu. Ajaran Islam mengandung unsur-unsur
keyakinan (akidah), ritual (ibadah) dan pergaulan sosial (mu‟amalat). Dimensi
akidah memuat ajaran tentang keimanan; dimensi ibadah memuat ajaran tentang
mekanisme pengabdian manusia terhadap Allah; sedangkan dimensi mu‟amalat
memuat ajaran tentang hubungan manusia dengan sesama manusia dan dengan
lingkungan sekitar. Seluruh unsur-unsur ajaran tersebut dilandasi oleh ketentuan-
ketentuan yang disebut dengan istilah syari‟at (fikih). Dalam konteks syaria‟t inilah
terdapat ajaran tentang hak asasi manusia (HAM).
Sebagai agama kemanusiaan Islam meletakkan manusia pada posisi yang
sangat mulia. Manusia digambarkan oleh al-Qur‟an sebagai makhluk yang paling
sempurna dan harus dimuliakan. Bersandar dari hal tersebut, perlindungan dan
penghormatan terhadap HAM dalam Islam tidak lain merupakan tuntutan dari ajaran
Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluknya. Penghormatan terhadap
HAM dan bersikap adil terhadap manusia tanpa pandang bulu adalah esensi dari
ajaran Islam. Dalam Islam sebagaimana dinyatakan oleh Abu A‟la al-Maududi,
HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan Allah SWT kepada setiap manusia dan
tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Hak-hak yang
diberikan Allah itu bersifat permanent, kekal dan abadi, tidak boleh diubah atau
dimodifikasi.
Menurut kalangan ulama Islam, terdapat dua konsep tentang hak dalam Islam
yaitu hak manusia (haq al insan) dan hak Allah (haqullah). Satu dan lainnya saling
terkait dan saling mendasari. Hak Allah mendasari hak manusia dan begitu juga
sebaliknya. Misalnya, dalam pelaksanaan hak Allah berupa ibadah shalat, seorang
muslim yang taat memiliki kewajiban untuk mewujudkan pesan moral ibadah sholat
dalm kehidupan sosialnya. Sebagai konsekuensinya dari pesan moral ibadah sholat,
yang ditandai oleh ucapan mengagungkan nama Allah (takbir) di awal sholat dan
diakhiri dengan ucapan salam (kesejahteraan), seorang muslim yang taat dituntut
untuk menebar keselamatan bagi orang di sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hak
Tuhan dan hak Manusia terpancar dalam ajaran ibadah sehari-hari. Islam tidak
memisahkan antara hak Allah dan hak manusia.
Sedangkan hak manusia, seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak
untuk mengelola harta yang dimlikinya. Namun demikian Islam menekankan bahwa
pada setiap hak manusia terdapat hak Allah; meskipun seseorang berhak
memanfaatkan benda miliknya , tetapi ia tidak boleh menggunakan harta miliknya
untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran Allah. Sebagai ajaran kemanusiaan,
Islam menekankan bahwa hak kepemilikan harus memiki nilai sosial. Harta
kekayaan dalam Islam harus diorientasikan bagi kesejahteraan umat manusia. Hal ini
didasari pandangan teologis bahwa hanya Allah satu-satunya pemilik absolut harta
yang ada ditangan manusia.
174
Adanya penekanan relasi hak individu dengan nilai sosial dalam Islam
menunjukkan bahwa Islam mengajarkan bahwa tuntutan hak tetap harus dibarengi
dengan pelaksanaan kewajiban dalam kerangka melindungi hak manusia. Menurut
Islam, hak dan kewajiban adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan satu
dengan lainnya. Sebagai contoh sekalipun Islam melindungi hak seseorang atas
pemilikan property dan kekayaan, namun kita juga diberi kewajiban mengeluarkan
zakat yang salah satu tujuannya untuk melindungi hak hidup orang miskin. Bahkan
dalam Islam disebutkan bahwa dalam harta yang dimiliki seseorang terdapat hak
orang lain. Dengan demikian, dalam Islam hak yang kita miliki tdak bersifat absolut,
melainkan selalu dibatasi oleh hak orang lain dan tergantung pada pemenuhan
kewajiban oleh orang lain.
Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan
teosentris, atau pandangan yang menempatkan Allah sebagai pusat dari kehidupan
manusia melalui syari‟atnya. Syari‟at merupakan tolak ukur dari baik buruk tatanan
kehidupan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara. Dengan
demikin, konsep Islam tentang hak asasi manusia berpijak pada pendidikan tauhid.
Sebagai sebuah konsep pembebasan manusia, konsep tauhid Islam mengandung ide
persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep pendidikan tauhid juga mencakup ide
persamaan dan persatuan semua makhluk. Pandangan ini ditegaskan oleh Harun
Nasution dan Bachtiar Efendi sebagai ide perio kemakhlukan dalam Islam. Ide peri-
kemakhlukan mengandung makna bahwa manusia tidak boleh sewenang-wenang
terhadap sesama makhluk termasuk juga pada binatang dan alam sekitar. Senada
dengan pandangan ini Al-Ghazali berpendapat bahwa sikap kasih saying manusia
mencakup masyarakat binatang (Ubaidillah Abdul Rozak: 288).
Dapat dikemukankan bahwa pendidikan HAM versi Islam lebih bersifat
teosentris. Yakni ditetapkan oleh Allah SWT. Allah merupakan pusat segala-galanya.
Manusia hanya mempunyai kewajiban terhadap Allah, yang pada gilirannya akan
memperoleh semua hak, bila seluruh kewajiban yang dibebankan telah dilaksanakan.
Antara hak dan kewajiban dalam Islam berjalan beriringan. Sedangkan dalam konsep
barat , HAM lebih bersifat antroposentris, yakni manusia berada di pusat dan
menjadi tolak ukur segala sesuatu. Lebih lanjut HAM versi barat bersifat individualis
di mana manusia hidup hanya untuk memperjuangkan hak-hak individunya, tanpa
hak memperhatikan hak kolektif atau masyarakat. Sehingga manusia hanya memiliki
hak-hak asasinya, tanpa memiliki kewajiban sedikitpun kepada Tuhannya (Rahmad
Hidayat: 2003).
Dapat dipahami banwa sejarah lahirnya HAM di barat adalah merupakan
usaha yang berawal dari segala tuntutan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
sebagai manusia dalam upaya melenyapkan tindakan kekerasan terhadap manusia itu
sendiri, sehingga muncullah ide-ide cemerlang untuk menuangkannya dalam sebuah
piagam tentang HAM, yang bermula dari Piagam Magna Charta sampai pada
rumusan PBB dengan piagamnya The Universal Declaration of Human Right
sekaligus sebagai konsep HAM yang berlaku secara universal (Tholhah Hasan, 1977:
74).
Wacana HAM bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah peradaban Islam .
Bahkan para ahli mengatakan bahwa wacana tentang HAM dalam Islam jauh lebih
awal dbandingkan dengan konsep HAM yang muncul di barat. Menurut mereka,
Islam datang dengan membawa pesan universal HAM. Bahkan menurut Maududi,
pendidikan tentang HAM yang terkandung dalam Magna Charta tercipta 600 tahun
175
setelah kedatangan Islam di negeri Arabia. Hal senada diungkapkan oleh pandangan
Weeramantry bahwa pemikiran Islam mengenai hak-hak di bidang sosial, ekonomi
dan budaya telah jauh mendahului pemikiran Barat.
Konsep Islam tentang pendidikan HAM dapat dijumpai dalam sumber utama
ajaran Islam, al-Qur‟an dan hadits. Keduanya adalah sumber ajaran normatif.
Pendidikan HAM juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam praktek
kehidupan sehari-hari beliau, yang terkenal dengan sebutan sunnah. Tonggak sejarah
Islam sebagai agama yang memiliki komitmen sangat tinggi kepada hak asasi
manusia secara universal dibuktikan dengan deklarasi Nabi Muhammad di Madinah
yang dikenal dengan Piagam Madinah kemudian menjadi semangat deklarasi HAM
Islam di Kairo, Deklarasi Kairo.
Terdapat dua prinsip pokok pendidikan HAM dalam piagam Madinah;
Pertama, semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku
bangsa; Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan
pada prinsip-prinsip; 1. berinteraksi secara baik dengan semua tetangga; 2. saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama; 3. membela mereka yang teraniaya;
4. saling menasehati; 5. menghormati kebebasan beragama.
Sedangkan ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Kairo berdasarkan
isyarat pendidikan HAM yang terkandung dalam al-Qur,an sebagai berikut :
1. Hak persamaan dan kebebasan yang bersandar pada ajaran al-Qur‟an surat al-
Isra;70, an-Nisa;58,105,107,135, al-Mumtahanah;8
2. Hak hidup surat al-Maidah ; 45, al-Isra;33
3. Hak perlindungan diri surat al-Balad:12-17, at-Taubah;6
4. Hak kehormatan pribadi surat at-Taubah;6
5. Hak berkeluarga surat al-Baqarah ;221, al-Rum;21, an-Nisa;1, at-Tahrim;6
6. Hak kesetaraan wanita dengan pria surat al-Baqarah;228, al-Hujurat;13
7. Hak anak dari orang tua surat al-Baqarah;233, al-Isra;23-24
8. Hak mendapatkan pendidikan surat at-Taubah;122, al-„Alaq;1-5
9. Hak kebebasan beragama surat al-Kafirun;1-6, al-Kahfi;29
10. Hak kebebasan mencari suaka surat an-Nisa;97, al-Mumtahanh;9
11. Hak memperoleh pekerjaan surat at-Taubah;105, al-Baqarah;286, al-Mulk;15
12. Hak memperoleh perlakuan sama surat a-Baqarah;275-278, an-Nisa 161, al-
Imran;130
13. Hak kepemilikan surat al-Baqarah 29, an-Nisa;29
14. Hak tahanan surat al-Mumtahanah;8
176
B. Pengkajian tentang HAM dalam Lintasan Sejarah
177
Dalam ajaran Islam, individu dan masyarkat berjalan seiring. Individu tidak
berada diatas masyarakat, begitu juga masyarakat tidak berada di atas individu.
Dengan kata lain, Islam mengakui dan melindungi mana hak individu, dan mana hak
masyarakat. Hal ini dapat tergambar, seperti ketika Islam datang memberi aturan dan
anjuran kepada umatnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya (surat al-
Jumuah ayat 10). Sejalan dengan itu, Islam juga memberikan pengarahan dan rambu-
rambu yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh si pencari rezeki agar usaha yang
dilakukannya tidak melanggar hak dan kepentingan orang lain. Oleh sebab itu, Islam
mengatur tata cara melakukan transaksi jual beli, larangan untuk menimbun barang
dagangan, dan lain sebagainya. Penjelasan yang lengkap mengenai hal ini tersebar
diberbagai kitab fikih. Oleh karena itu kepentingan individu tidak boleh diabaikan
juga kepentingan masyarakat. Dengan demikian, kebebasan dalam Islam tidak bebas
sebebasnya , akan tetapi ada koridor yang membatasinya.
Beranjak dari perhatian Islam yang sangat besar tentang HAM, maka umat
Islam tergerak untuk mengadakan kajian-kajian tentang pendidikan HAM yang
dimulai sejak pertemuan Abu Dhabi pada tahun 1977 sehingga menghasilakan apa
yang disebut „Islamic Universal Declaration of Human Rights”, yang merupakan
suatu rumusan yang bisa dijadikan referensi bagi negara-negara lain dalam
merealisasikan perlindungan dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya dilahirkan pula Deklarasi Islam Universal tentang HAM oleh
Dewan Islam pada Konferensi Islam di Mekah yang berisi 23 Pasal dan menampung
2 kekuatan dasar, yaitu keimanan kepada Tuhan dan pembentukan tatanan Islam.
Salah satu kelebihan dari deklarasi ini adalah bahwa teksnya memuat acuan-acuan
yang gamblang dan unik dari totalitas peraturan-peraturan yang berasal dari al-
Qur‟an, sunnah Rasullullah SAW, dan hukum-hukum lainnya yang ditarik dari kedua
sumber tersebut dengan metode –metode yang sah menurut hukum Islam.
Secara umum hak asasi manusia pada dasarnya terdiri dari dua hak dasar
yakni hak persamaan dan hak kebebasan. Dari dua hak dasar inilah lahir hak-hak
asasi manusia yang lain. Tanpa kedua hak dasar ini, maka hak-hak asasi lainnya sulit
ditegakkan (Baharudin Lopa: 1996:2). Jelaslah bahwa dengan ajaran dasar
persamaan dan kebebasan manusia tersebut lahirlah kebebasan manusia, disamping
kebebasan perbudakan, kebebasan beragama , kebebasan dari kekurangan, kebebasan
dari ancaman, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan bergerak dan
kebebasan-kebebasan lainnya. Dari semua kebebasan tersebut lahirlah hak asasi
manusia, seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak mendapakan pekerjaan, hak
memperoleh pendidikan, hak keadilan, dan hak-hak lainnya.
Dalam Islam kedua hak dasar yakni hak persamaan dan kebebasan tersebut
mempunyai dasar yang sangat kuat di dalam al-Qur‟an diantaranya surat al-Hujurat
ayat 13 yang berbunyi :
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
178
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (Al-Hujarat: 13)
Dari keterangan ayat tersebut jelaslah, bahwa ayat itu memberikan isyarat adanya
prinsip persamaan antar sesama manusia , karena ta‟aruf antar berbagai suku bangsa
hanya dapat terealisasi dengan baik jika diantara mereka terdapat hak-hak yang
sama. Seingga hanya ada satu yang membedakan antara yang satu dengan yang
lainnnya yakni ketaqwaannya. Edangkan menurut Dr. Halo-N dalam buku al-Fathun
Nawa, menjelaskan bahwa ayat ini menerangkan arah, tujuan, dan prinsip hubungan
manusia sesame manusia dan hubungan kehambaan manusia dengan Tuhannya yang
dapat dilihat pada lima sudut kepentingan:
1. Ayat ini ditujukan kepada manusia agar mengetahui hakekat bahwa
kewujudan manusia dengan berbagai suku bangsa bertujuan untuk
menjadikan mereka berhubungan dan menjalin perhubungan di antara
mereka. Banyaknya manfaat yang bisa didapatkan dari jalinan hubungan itu.
Terutama dari sudut pertukaran ilmu, teknologi, ekonomi, dan budaya.
Jalinan hubungan yang memperlihatkan warna dunia yang beraneka ragam.
Kebolehan dan kelebihan yang perlu dibagi bersama oleh manusia sewaktu
hidup di muka bumi.
Berdasarkan kesimpulan ayat di atas, apakah generasi penerus telah
mengambil kesempatan yang ada demi manfaat untuk diri dan bangsa?
Apakah generasi penerus telah berhasil menjalin hubungan internasional.
2. Ayat ini secara jelas menerangkan prinsip kepentingan dari sudut, ukhuwah
keagamaan. Islam tidak diperuntukkan untuk satu bangsa saja, tetapi ia bebas
dianut oleh semua manusia di dunia dalam maksud “wama arsalna ka illa
rahmatan lil „alamin (QS. Al-Anbiya: 107)”.
3. Ayat ini secara tegas jelas menerangkan prinsip kepentingan dari sudut
kerjasama ilmu, teknologi dan perdagangan. Kemampuan satu bangsa dalam
konteks penguasaan ilmu, tekonologi dan perdagangan berbeda-beda. Oleh
sebab itu sector hubungan manusia sesame manusia harus diwujudkan agar
hubungan bilateral yang dibuat dapat menyeimbangkan berbagai kekurangan
ada.
4. Ayat ini secara jelas menerangkan prinsip bahwa hubungan internasional
merupakan tolak ukur taraf pencapaian manusia dari sudut keberanian,
kecekatan atau lambatnya manusia dalam melangkahkan kaki dan fikirannya
untuk mencari peluang yang terbentang di persada dunia dalam kedudukan
“ya ibadiyallazinaamanu. Inna ardhi waasi‟atun. Fa iyya ya fa‟budun.”
5. Ayat ini secara jelas menerangkan prinsip kepentingan hubungan manusia
dengan Tuhannya. Manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka
yang bertaqwa pada kedudukan “inna aqramakum „indallahi atqa kum (Q.S.
Al-Hujurat: ayat 13)”. Satu dasar rajat yang tidak sekali-kali berdasarkan
keturuan, bangsa, dan warna kulit.
Kemudian dalm surat an-Nahl ayat 97, Allah juga menjelsakan lebih
terperinci mengenai kesamaan kedudukan diantara laki-laki dan perempuan, yang
berbunyi sebagai berikut:
179
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun
perempuan ia beriman, niscaya Kami ia dengan kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S Nahl {16} : 97).
Pada pangkal ayat tersebut jelas dipertalikan antara amal shaleh dan hasil
perbuatan yang baik dengan iman. Dalam hal amal saleh dan iman, kedudukan laki-
laki dan perempuan sama. Masing-masing sanggup menumbuhkan iman dalam
hatinya. Oleh sebab itu maka bagi laki-laki dan permepuan dengan iman dan amal
salehnya sama-sama dijanjikan Tuhan akan diberi kehidupan yang baik atau hayatan
thayyibah.
1. Hak Hidup
Hak hidup merupakan hak yang paling penting bagi manusia. Ia merupakan
hak pokok yang tanpanya tidak akan ada artinya hak-hak asasi yang lain, Mengenai
hak hidup, terdapat dalm surat al-Isra‟ ayat 33 yang berbunyi :
…
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. …” (Q.S al-Isra‟ {16} : 33)
180
bearti telah menyelamatkan semua kehidupan manusia (Daizar Putra: 1995:45). Hal
ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya surat al-Maidah ayat
32 :
….
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya.” (Q.S Maidah {5}: 32)
181
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Baqarah: {2}: 256)
182
yang cukup banyak, yang mengatakan bahwa Islam ditegakkan dengan pedang dan
kekerasan. Menurut Muhammad Abduh, prinsip dalam ayat tersebut merupakan
suatu masalah yang berdekatan dengan politik pemerintahan Islam, karena masalah
agama yang didasarkan pada keimanan adalah masalah mendasar dan pada intinya
tergantung pada kepatuhan seseorang (Muhammad Abduh: 36-37). Senada dengan
itu, Mustafa al-Maraghi mengatakan bahwa orang-orang Islam menjadikan ayat
tersebut sebagai dasar dan salah satu sendi menjalankan politik. Jadi, tidak boleh
memaksa seseorang memeluk agama Islam, begitu juga seorang muslim tidak boeh
dipaksa meninggalkan agamanya (Mustafa Al-Maraghi: 1979: 16-19). Sehubungan
dengan hak kebebasan memeluk agama terdapat perbedaan pand.angan antara
kebebasan dalam Islam dengan pandangan barat. Dalam Islam, kebebasan memeluk
agama yang disukai dan diyakini diberikan kepada mereka yang belum memeluk
agama. Mereka dapat leluasa memilih agama yang sesuai dengan hati dan
keyakinannya. Dalam hal ini Islam sangat melarang berbagai usaha yang mengarah
pada suatu pemaksaan agama kepada orang lain. Disini terlihat perlindungan Islam
terhadap eksistensi manusia dan hak asasi yang dimilikinya. Akan tetapi, kebebasan
tersebut menjadi berubah keteika seseorang menerima Islam dengan sukarela. Ia
tidak lagi bebas untuk mengganti agamanya, dengan kata lain Islam melarang
seorang muslim untuk keluar dari Islam. Bahkan larangan tersebut dibarengi dengan
pemberian hukum yang berat yaitu hukuman mati. Jadi dapat dipahami, bahwa Islam
merupakan agama perdamaian yang tidak pernah memaksakan kehendak dalam
persoalan apapun termasuk soal menganut suatu agama. Dalam hal ini terdapat
prinsip toleransi yang memberi ruang bagi terjaminnya hak-hak beragama.
3. Hak Ekonomi
183
Pertama: dalam Islam, bekerja dan berusaha adalah wajib oleh sebab itulah setiap
muslim dituntut untuk bekerja dan berusaha dan tidak menyukai orang yang hidup
bermalas-malasan mengharapkan belas kasihan orang lain. Banyak ayat dan hadits
yang menganjurkan umat berusaha untuk kehidupannya. Salah satunya yaitu
Diceritakan daari Yahya bin Bakir dari Laits dari „Aqil dari Ibnu Syihab dari Abu
Ubaidah Maulana Abdurrahman bin „Auf bahwa ia mendengar Abu Hurairah r.a
berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Apabila seseorang dari kamu mencari kayu
bekerja dan memikulnya dipundaknya lebih mulia dari pada minta-minta kepada
orang lain yang kadang-kadang memberinya atau menolaknya.” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
b. Kemampuan kerja
„Telah diceritakan kepada kami dari Abdullah dari ayahku dari Yazid dari
al-Mashudy dari Wa‟il Abi Bakrin dari „Ibayah bin Rifa‟ah bin Rafi‟ bin
Khadij dari kakeknya Rafi‟ bin Khadij berkata ; Ditanya Rasullullah
pekerjaan apa yang aling baik? Rasullullah menjawab ; “Usaha seseorang
dengan tangannya (daya upayanya sendiri) dan setiap jual beli yang
mabrur” (HR Ahmad: 141)
184
Selain itu Islam juga tidak memaksa seorang hamba untuk melakukan
pekerjaan yang tidak sesuai atau diluar kesanggupannya. Hal ini terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 286 :
……
“ Sesungguhnya kamu akan ditanyai tetang apa yang telah kamu kerjakan
(an-Nahl 93)
“Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang
mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu)…”
185
5. Hak kebebasan berkumpul dan berbicara
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat
Allah orang-orang yang bersaudara”
186
ajaran tentang keesaan Tuhan, baik dalam zat, sifat maupun perbuatan-Nya, tetapi
doktrin ini juga berimplikasi pada upaya pembebasan manusia dari segala bentuk
perbudakan, kesewenang-wenangan dan belenggu kezaliman (Syafi‟i Ma‟arif: 1985:
27).
Prinsip persamaan dalam hak asasi manusia juga tergambar dari doktrin
tauhid ini. Manusia tidak hanya bebas merdeka, namun juga sadar bahwa kedudukan
antara manusia yang satu dengan yang lain adalah sama. Sebagai hamba Allah,
manusia yang satu tidak memiliki rasa superioritas terhadap yang lainnya (Amin
Rais: 1987: 14).
Apabila ditelaah secara seksama, akan terlihat dengan jelas bahwa secara
umum para rasul selalu berhadapan dengan berbagai bentuk penyimpangan dan
kejahatan yang merajalela di tengah masyarakat. Nabi Musa misalnya hidup
ditengah-tengah masyarakat yang sangat rusak moralnya dan sangat menginjak hak-
hak asasi manusia, dimana anak laki-laki dari Bani Israil terpaksa harus mengakhiri
nasibnya di tangan para algojo Fir‟aun, akibat kesewenang-wenangan dan ketakutan
Fir‟aun dengan munculnya seorang pahlawan yang akan menjatuhkan kedudukannya
sebagai penguasa. Begitu juga dengan yang dialami nabi Muhammad. Ia juga hidup
di tengah-tengah masyarakat yang sangat menginjak-injak hak asasi manusia seperti
merndahkan harkat wanita, dengan kebiasaan para bapak yang tega mengubur anak
perempuannya hidup-hidup karena tidak tahan menanggung malu. Hal ini merupakan
fakta yang tidak dapat dibantah kebenarannya.
Bila dipalingkan pandangan ke belakang, sesungguhnya penegakan hak asasi
manusia dalam Islam telah dimulai oleh manusia pertama Nabi Adam a.s yang
tongkat estafetnya dilanjutkan oleh para nabi dan Rasul yang datang setelahnya. Pada
masa nabi Muhammad, lebih terlihat setelah masa Mekah prahijrah, bahwa Islam
telah memberikan jaminan atas terbebasnya manusia dari kelaparan dan ketakutan,
karena yang paling asasi dari kebutuhan manusia adalah hasrat kuat untuk
membebaskan manusia dari bahaya kelaparan dan ketakutan. Dalam rangka ini,
meskipun dalam ajaran Islam tidak tersurat dijelaskan jaminan bagi tegaknya HAM,
tetapi sejak awal Islam telah menegaskan komitmennya terhadap penghapusan
kelaparan dan membebaskan manusia dari ketakutan, seperti yang ditegaskan al-
Qur‟an surat al-Quraisy ayat 4 yang berbunyi sebagai berikut :
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan”
Dan juga Firman Allah dalam surat al-Isra‟ ayat 70 ;
187
D. Penutup
Pendidikan HAM dalam Islam dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran
Islam. Bahkan pendidikan tentang HAM yang terkandung dalam Piagam Magna
Charta tercipta 600 tahun setelah kedatangan Islam di Saudi Arabia. Hak-hak
manusia dilindungi dan diakui dalam Islam, baik mengenai hak hidup, kebebasan
memeluk agama, hak pekerja, adanya prinsip persamaan antara warga muslim dan
non muslim.
Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasaran pada pendekatan
teosentris, yakni ditetapkan oleh Allah SWT. Syari‟at merupakan tolak ukur tentang
baik dan buruk tatanan kehidupan manusia. Sedangkan dalam konsep barat HAM
lebih bersifat antroposentris yakni manusia berada di pusat dan menjadi tolak ukur
segala sesuatu, dan bersifat individualis dimana manusia hidup hanya untuk
memperjuangkan hak-hak individunya tanpa memperhatikan hak kolektif atau
masyarakat.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufiq, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jld 2, Jakarta : PT.Ichtiar Van
Hoeve, 1999
al-Ja‟fari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibnu al-Mughirah bin
Bardizbah al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, t,t:Dar al-Fikr,1981
al-Qazwini, Al Hafiz Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah Kairo:
Dar al-Hadits,t,th
Bakhtiar, Yarna, Wacana Keadilan dan HAM dalam Perspektif Islam, Jakarta:
Nuansa Madani, 1999
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi hokum Islam, Jakarta : PT.Ichtiar baru Van Hoeve,
1997
188
Depertemen Agama RI, Al-Qur‟an: Thoha Putra, 1989
Hanbal, Ahmad bin, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut: Dar al-Fikr, t,th
Hidayat, Rahmad, Pengadilan Ham dalam Hukum Pidana Islam, Tesis PPS IAIN
“IB” Padang 2003
Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (terj) judul asli “Hukum
Right in Islam” t.tp, GIP, 1996
Lopa, Baharuddin, Al-Qur‟an dan HAk Asasi Manusia, Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, al-Qur‟an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah Sebuah
Refleksi, Bandung : Pustaka, 1985
Muhammad, Syaikh Kamil, „Uwaidah‟, Fiqh Wanita (terj) M. Abdul Ghaffar dari
judul asli al-Jami‟ fi Fiqh al-Nisa‟, Jakarta;Al-Kautsar, 2001
Rais, Amien, Cakrawala Islam Antar Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:
UI Prss,1993
189