Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN HAM (HAK ASASI MANUSIA) DALAM ISLAM

Oleh : Prof. Dr. H. Asasriwarni, MH


(Guru Besar Pada Fakultas Syari‟ah IAIN Imam Bonjol Padang )

A. Hak Allah dan Hak Manusia

Islam adalah agama universal yang mengajarkan dan mendidik keadilan bagi
semua manusia tanpa pandang bulu. Ajaran Islam mengandung unsur-unsur
keyakinan (akidah), ritual (ibadah) dan pergaulan sosial (mu‟amalat). Dimensi
akidah memuat ajaran tentang keimanan; dimensi ibadah memuat ajaran tentang
mekanisme pengabdian manusia terhadap Allah; sedangkan dimensi mu‟amalat
memuat ajaran tentang hubungan manusia dengan sesama manusia dan dengan
lingkungan sekitar. Seluruh unsur-unsur ajaran tersebut dilandasi oleh ketentuan-
ketentuan yang disebut dengan istilah syari‟at (fikih). Dalam konteks syaria‟t inilah
terdapat ajaran tentang hak asasi manusia (HAM).
Sebagai agama kemanusiaan Islam meletakkan manusia pada posisi yang
sangat mulia. Manusia digambarkan oleh al-Qur‟an sebagai makhluk yang paling
sempurna dan harus dimuliakan. Bersandar dari hal tersebut, perlindungan dan
penghormatan terhadap HAM dalam Islam tidak lain merupakan tuntutan dari ajaran
Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluknya. Penghormatan terhadap
HAM dan bersikap adil terhadap manusia tanpa pandang bulu adalah esensi dari
ajaran Islam. Dalam Islam sebagaimana dinyatakan oleh Abu A‟la al-Maududi,
HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan Allah SWT kepada setiap manusia dan
tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Hak-hak yang
diberikan Allah itu bersifat permanent, kekal dan abadi, tidak boleh diubah atau
dimodifikasi.
Menurut kalangan ulama Islam, terdapat dua konsep tentang hak dalam Islam
yaitu hak manusia (haq al insan) dan hak Allah (haqullah). Satu dan lainnya saling
terkait dan saling mendasari. Hak Allah mendasari hak manusia dan begitu juga
sebaliknya. Misalnya, dalam pelaksanaan hak Allah berupa ibadah shalat, seorang
muslim yang taat memiliki kewajiban untuk mewujudkan pesan moral ibadah sholat
dalm kehidupan sosialnya. Sebagai konsekuensinya dari pesan moral ibadah sholat,
yang ditandai oleh ucapan mengagungkan nama Allah (takbir) di awal sholat dan
diakhiri dengan ucapan salam (kesejahteraan), seorang muslim yang taat dituntut
untuk menebar keselamatan bagi orang di sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hak
Tuhan dan hak Manusia terpancar dalam ajaran ibadah sehari-hari. Islam tidak
memisahkan antara hak Allah dan hak manusia.
Sedangkan hak manusia, seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak
untuk mengelola harta yang dimlikinya. Namun demikian Islam menekankan bahwa
pada setiap hak manusia terdapat hak Allah; meskipun seseorang berhak
memanfaatkan benda miliknya , tetapi ia tidak boleh menggunakan harta miliknya
untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran Allah. Sebagai ajaran kemanusiaan,
Islam menekankan bahwa hak kepemilikan harus memiki nilai sosial. Harta
kekayaan dalam Islam harus diorientasikan bagi kesejahteraan umat manusia. Hal ini
didasari pandangan teologis bahwa hanya Allah satu-satunya pemilik absolut harta
yang ada ditangan manusia.

174
Adanya penekanan relasi hak individu dengan nilai sosial dalam Islam
menunjukkan bahwa Islam mengajarkan bahwa tuntutan hak tetap harus dibarengi
dengan pelaksanaan kewajiban dalam kerangka melindungi hak manusia. Menurut
Islam, hak dan kewajiban adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan satu
dengan lainnya. Sebagai contoh sekalipun Islam melindungi hak seseorang atas
pemilikan property dan kekayaan, namun kita juga diberi kewajiban mengeluarkan
zakat yang salah satu tujuannya untuk melindungi hak hidup orang miskin. Bahkan
dalam Islam disebutkan bahwa dalam harta yang dimiliki seseorang terdapat hak
orang lain. Dengan demikian, dalam Islam hak yang kita miliki tdak bersifat absolut,
melainkan selalu dibatasi oleh hak orang lain dan tergantung pada pemenuhan
kewajiban oleh orang lain.
Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan
teosentris, atau pandangan yang menempatkan Allah sebagai pusat dari kehidupan
manusia melalui syari‟atnya. Syari‟at merupakan tolak ukur dari baik buruk tatanan
kehidupan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara. Dengan
demikin, konsep Islam tentang hak asasi manusia berpijak pada pendidikan tauhid.
Sebagai sebuah konsep pembebasan manusia, konsep tauhid Islam mengandung ide
persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep pendidikan tauhid juga mencakup ide
persamaan dan persatuan semua makhluk. Pandangan ini ditegaskan oleh Harun
Nasution dan Bachtiar Efendi sebagai ide perio kemakhlukan dalam Islam. Ide peri-
kemakhlukan mengandung makna bahwa manusia tidak boleh sewenang-wenang
terhadap sesama makhluk termasuk juga pada binatang dan alam sekitar. Senada
dengan pandangan ini Al-Ghazali berpendapat bahwa sikap kasih saying manusia
mencakup masyarakat binatang (Ubaidillah Abdul Rozak: 288).
Dapat dikemukankan bahwa pendidikan HAM versi Islam lebih bersifat
teosentris. Yakni ditetapkan oleh Allah SWT. Allah merupakan pusat segala-galanya.
Manusia hanya mempunyai kewajiban terhadap Allah, yang pada gilirannya akan
memperoleh semua hak, bila seluruh kewajiban yang dibebankan telah dilaksanakan.
Antara hak dan kewajiban dalam Islam berjalan beriringan. Sedangkan dalam konsep
barat , HAM lebih bersifat antroposentris, yakni manusia berada di pusat dan
menjadi tolak ukur segala sesuatu. Lebih lanjut HAM versi barat bersifat individualis
di mana manusia hidup hanya untuk memperjuangkan hak-hak individunya, tanpa
hak memperhatikan hak kolektif atau masyarakat. Sehingga manusia hanya memiliki
hak-hak asasinya, tanpa memiliki kewajiban sedikitpun kepada Tuhannya (Rahmad
Hidayat: 2003).
Dapat dipahami banwa sejarah lahirnya HAM di barat adalah merupakan
usaha yang berawal dari segala tuntutan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
sebagai manusia dalam upaya melenyapkan tindakan kekerasan terhadap manusia itu
sendiri, sehingga muncullah ide-ide cemerlang untuk menuangkannya dalam sebuah
piagam tentang HAM, yang bermula dari Piagam Magna Charta sampai pada
rumusan PBB dengan piagamnya The Universal Declaration of Human Right
sekaligus sebagai konsep HAM yang berlaku secara universal (Tholhah Hasan, 1977:
74).
Wacana HAM bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah peradaban Islam .
Bahkan para ahli mengatakan bahwa wacana tentang HAM dalam Islam jauh lebih
awal dbandingkan dengan konsep HAM yang muncul di barat. Menurut mereka,
Islam datang dengan membawa pesan universal HAM. Bahkan menurut Maududi,
pendidikan tentang HAM yang terkandung dalam Magna Charta tercipta 600 tahun

175
setelah kedatangan Islam di negeri Arabia. Hal senada diungkapkan oleh pandangan
Weeramantry bahwa pemikiran Islam mengenai hak-hak di bidang sosial, ekonomi
dan budaya telah jauh mendahului pemikiran Barat.
Konsep Islam tentang pendidikan HAM dapat dijumpai dalam sumber utama
ajaran Islam, al-Qur‟an dan hadits. Keduanya adalah sumber ajaran normatif.
Pendidikan HAM juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam praktek
kehidupan sehari-hari beliau, yang terkenal dengan sebutan sunnah. Tonggak sejarah
Islam sebagai agama yang memiliki komitmen sangat tinggi kepada hak asasi
manusia secara universal dibuktikan dengan deklarasi Nabi Muhammad di Madinah
yang dikenal dengan Piagam Madinah kemudian menjadi semangat deklarasi HAM
Islam di Kairo, Deklarasi Kairo.
Terdapat dua prinsip pokok pendidikan HAM dalam piagam Madinah;
Pertama, semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku
bangsa; Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan
pada prinsip-prinsip; 1. berinteraksi secara baik dengan semua tetangga; 2. saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama; 3. membela mereka yang teraniaya;
4. saling menasehati; 5. menghormati kebebasan beragama.
Sedangkan ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Kairo berdasarkan
isyarat pendidikan HAM yang terkandung dalam al-Qur,an sebagai berikut :
1. Hak persamaan dan kebebasan yang bersandar pada ajaran al-Qur‟an surat al-
Isra;70, an-Nisa;58,105,107,135, al-Mumtahanah;8
2. Hak hidup surat al-Maidah ; 45, al-Isra;33
3. Hak perlindungan diri surat al-Balad:12-17, at-Taubah;6
4. Hak kehormatan pribadi surat at-Taubah;6
5. Hak berkeluarga surat al-Baqarah ;221, al-Rum;21, an-Nisa;1, at-Tahrim;6
6. Hak kesetaraan wanita dengan pria surat al-Baqarah;228, al-Hujurat;13
7. Hak anak dari orang tua surat al-Baqarah;233, al-Isra;23-24
8. Hak mendapatkan pendidikan surat at-Taubah;122, al-„Alaq;1-5
9. Hak kebebasan beragama surat al-Kafirun;1-6, al-Kahfi;29
10. Hak kebebasan mencari suaka surat an-Nisa;97, al-Mumtahanh;9
11. Hak memperoleh pekerjaan surat at-Taubah;105, al-Baqarah;286, al-Mulk;15
12. Hak memperoleh perlakuan sama surat a-Baqarah;275-278, an-Nisa 161, al-
Imran;130
13. Hak kepemilikan surat al-Baqarah 29, an-Nisa;29
14. Hak tahanan surat al-Mumtahanah;8

Menurut tingkatannya, terdapat 3 bentuk hak asasi manusia dalam Islam.


Pertama, hak darury (hak dasar), sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut
dilanggar, bukan hanya manusia sengsara tapi juga hilang eksistensinya, bahkan
hilang harkat kemanusiaannya. Contoh sederhana hak ini adalah hak untuk hidup,
hak atas keamanan, dan hak untuk memilki harta benda. Kedua, hak sekunder (hajy),
yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak dasar
manusia. Misalnya, jika seorang kehilangan haknya untuk memperoleh sandang
pangan yang layak, maka akan berakibat hilangnya hak untuk hidup. Ketiga hak
tersier (tahsiny) yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan hak
sekunder (Ubaidillah Abdul Rozak: 28).

176
B. Pengkajian tentang HAM dalam Lintasan Sejarah

Secara konseptual, falsafah dasar dari hak manusia dalam Islam


sesungguhnya terdapat dalam pendidikan tauhid yang telah dikemukakan diatas,
tidak hanya mengandung ajaran tentang kemahaesaan Allah baik dalam zat, sifat dan
perbuatan-Nya. Akan tetapi doktrin ini juga berupaya dalam hal pembebasan
manusia dari segala bentuk perbudakan dan belengu kezaliman. Manusia yang
bertauhid harus mampu melepaskan diri dari segala macam rantai dan belenggu yang
menawannya (Syafi‟i Maarif: 1985: 169). Oleh karena itulah HAM dalam
pengertian Islam merupakan hak-hak yang diberikan Allah sekaligus kewajiban
ganda yang harus ditunaikan, baik yang berhubungan dengan seseorang (huquq
Allah) maupun yang berhubungan dengan dunia eksternal (huquq al-ibad).
Jadi dapat dipahami bahwa konsep pendidikan HAM dalam Islam bukan
evolusi dari pemikiran manusia, namun merupakan hasil dari wahyu Ilahi yang telah
diturunkan melalui para Nabi dan Rasul sejak permulaan eksistensi manusia diatas
permukaan bumi ini. Sebenarnya masih banyak permasalahan mendasar dalam
agama Islam yang membutuhkan penjelasan tentang sifat-sifat hak manusia ini,
apakah merupakan anugerah Tuhan ataukah hak yang diperoleh dari negara, ataukah
suatu hak yang sudah melekat pada diri masing-masing manusia sejak ia dilahirkan
ke dunia ini. Permasalahan tersebut masih terus menjadi bahan perdebatan yang
cukup alot, seakan tiada ujung (Rahmad Hidayat: 2003: 28).
Banyak sarjana muslim yang menaruh perhatian terhadap HAM. Islam
sendiri sebagai suatu sistem ajaran kemanusiaan banyak memberikan prinsip-prinsip
dasar pendidikan HAM. Secara kultural, kemunculan Islam di tanah arab mulanya
mendapatkan perlawanan atau tantangan dari masyarakat Arab waktu itu,
dikarenakan masyarakat kurang menghargai HAM. Hal ini bisa terlihat dari tidak
adanya penghargaan orang arab terhadap eksistensi wanita, sehingga dikenal dalam
sejarah kebiasaan mengubur anak wanita hidup-hidup karena malu, dan kasus lain
yang dapat memperkuat pernyataan sebelumnya.
Ketika Islam datang, tradisi masyarkat yang sudah sedemikian bobrok
perlahan diarahkan kepada tradisi yang penuh dengan kemanusiaan dan kemuliaan.
Dengan semangat mengedepankan persamaan hak, persamaan derajat diantara
golongan masyarakat. Allah SWT yang mengutus Nabi Muhammad sbagai
pengemban wahyu, jelas memberikan kontribusi yang besar bagi perbaikan hak asasi
manusia ketika itu, karena seperti yang disinyalir dalam al-Qur‟an bahwa Nabi
Muhammad merupakan rahmatan lil „alamin.
Sebelumnya, penulis telah menyinggung bahwa ketika Nabi Muhammad
hijrah dari Mekkah ke Madinah, diadakanlah suatu kesepakatan antara kaum
muslimin dengan golongan non-muslim, yang kesepakatan tersebut terkenal dengan
Piagam Madinah. Di dalam piagam ini juga disebutkan nilai-nilai pendidikan HAM.
Misalnya pasal 1, yang menjelaskan bahwa umat Islam diikat dengan tali ikatan
agama bukan berdasarkan suku, asal-usul, ras, dan kedudukan sosial. Kemudian
dalam pasal 25, yang menyebutkan bahwa kaum Yahudi adalah suatu umat yang
paralel, berdampingan dengan kaum muslim dan bebas menjalankan ibadh mereka,
seperti halnya kaum muslim. Kemudian pasal 14 yang menyebutkan bahwa sesama
muslim tidak boleh saling membunuh, dan terakhir pasal 26-35 yang secara global
menyebutkan tidak ada perbedaan diantara suku-suku yang ada karena mereka
sederajat (Ibnu Hisyam: 30-37).

177
Dalam ajaran Islam, individu dan masyarkat berjalan seiring. Individu tidak
berada diatas masyarakat, begitu juga masyarakat tidak berada di atas individu.
Dengan kata lain, Islam mengakui dan melindungi mana hak individu, dan mana hak
masyarakat. Hal ini dapat tergambar, seperti ketika Islam datang memberi aturan dan
anjuran kepada umatnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya (surat al-
Jumuah ayat 10). Sejalan dengan itu, Islam juga memberikan pengarahan dan rambu-
rambu yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh si pencari rezeki agar usaha yang
dilakukannya tidak melanggar hak dan kepentingan orang lain. Oleh sebab itu, Islam
mengatur tata cara melakukan transaksi jual beli, larangan untuk menimbun barang
dagangan, dan lain sebagainya. Penjelasan yang lengkap mengenai hal ini tersebar
diberbagai kitab fikih. Oleh karena itu kepentingan individu tidak boleh diabaikan
juga kepentingan masyarakat. Dengan demikian, kebebasan dalam Islam tidak bebas
sebebasnya , akan tetapi ada koridor yang membatasinya.
Beranjak dari perhatian Islam yang sangat besar tentang HAM, maka umat
Islam tergerak untuk mengadakan kajian-kajian tentang pendidikan HAM yang
dimulai sejak pertemuan Abu Dhabi pada tahun 1977 sehingga menghasilakan apa
yang disebut „Islamic Universal Declaration of Human Rights”, yang merupakan
suatu rumusan yang bisa dijadikan referensi bagi negara-negara lain dalam
merealisasikan perlindungan dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya dilahirkan pula Deklarasi Islam Universal tentang HAM oleh
Dewan Islam pada Konferensi Islam di Mekah yang berisi 23 Pasal dan menampung
2 kekuatan dasar, yaitu keimanan kepada Tuhan dan pembentukan tatanan Islam.
Salah satu kelebihan dari deklarasi ini adalah bahwa teksnya memuat acuan-acuan
yang gamblang dan unik dari totalitas peraturan-peraturan yang berasal dari al-
Qur‟an, sunnah Rasullullah SAW, dan hukum-hukum lainnya yang ditarik dari kedua
sumber tersebut dengan metode –metode yang sah menurut hukum Islam.
Secara umum hak asasi manusia pada dasarnya terdiri dari dua hak dasar
yakni hak persamaan dan hak kebebasan. Dari dua hak dasar inilah lahir hak-hak
asasi manusia yang lain. Tanpa kedua hak dasar ini, maka hak-hak asasi lainnya sulit
ditegakkan (Baharudin Lopa: 1996:2). Jelaslah bahwa dengan ajaran dasar
persamaan dan kebebasan manusia tersebut lahirlah kebebasan manusia, disamping
kebebasan perbudakan, kebebasan beragama , kebebasan dari kekurangan, kebebasan
dari ancaman, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan bergerak dan
kebebasan-kebebasan lainnya. Dari semua kebebasan tersebut lahirlah hak asasi
manusia, seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak mendapakan pekerjaan, hak
memperoleh pendidikan, hak keadilan, dan hak-hak lainnya.
Dalam Islam kedua hak dasar yakni hak persamaan dan kebebasan tersebut
mempunyai dasar yang sangat kuat di dalam al-Qur‟an diantaranya surat al-Hujurat
ayat 13 yang berbunyi :

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang

178
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (Al-Hujarat: 13)

Dari keterangan ayat tersebut jelaslah, bahwa ayat itu memberikan isyarat adanya
prinsip persamaan antar sesama manusia , karena ta‟aruf antar berbagai suku bangsa
hanya dapat terealisasi dengan baik jika diantara mereka terdapat hak-hak yang
sama. Seingga hanya ada satu yang membedakan antara yang satu dengan yang
lainnnya yakni ketaqwaannya. Edangkan menurut Dr. Halo-N dalam buku al-Fathun
Nawa, menjelaskan bahwa ayat ini menerangkan arah, tujuan, dan prinsip hubungan
manusia sesame manusia dan hubungan kehambaan manusia dengan Tuhannya yang
dapat dilihat pada lima sudut kepentingan:
1. Ayat ini ditujukan kepada manusia agar mengetahui hakekat bahwa
kewujudan manusia dengan berbagai suku bangsa bertujuan untuk
menjadikan mereka berhubungan dan menjalin perhubungan di antara
mereka. Banyaknya manfaat yang bisa didapatkan dari jalinan hubungan itu.
Terutama dari sudut pertukaran ilmu, teknologi, ekonomi, dan budaya.
Jalinan hubungan yang memperlihatkan warna dunia yang beraneka ragam.
Kebolehan dan kelebihan yang perlu dibagi bersama oleh manusia sewaktu
hidup di muka bumi.
Berdasarkan kesimpulan ayat di atas, apakah generasi penerus telah
mengambil kesempatan yang ada demi manfaat untuk diri dan bangsa?
Apakah generasi penerus telah berhasil menjalin hubungan internasional.
2. Ayat ini secara jelas menerangkan prinsip kepentingan dari sudut, ukhuwah
keagamaan. Islam tidak diperuntukkan untuk satu bangsa saja, tetapi ia bebas
dianut oleh semua manusia di dunia dalam maksud “wama arsalna ka illa
rahmatan lil „alamin (QS. Al-Anbiya: 107)”.
3. Ayat ini secara tegas jelas menerangkan prinsip kepentingan dari sudut
kerjasama ilmu, teknologi dan perdagangan. Kemampuan satu bangsa dalam
konteks penguasaan ilmu, tekonologi dan perdagangan berbeda-beda. Oleh
sebab itu sector hubungan manusia sesame manusia harus diwujudkan agar
hubungan bilateral yang dibuat dapat menyeimbangkan berbagai kekurangan
ada.
4. Ayat ini secara jelas menerangkan prinsip bahwa hubungan internasional
merupakan tolak ukur taraf pencapaian manusia dari sudut keberanian,
kecekatan atau lambatnya manusia dalam melangkahkan kaki dan fikirannya
untuk mencari peluang yang terbentang di persada dunia dalam kedudukan
“ya ibadiyallazinaamanu. Inna ardhi waasi‟atun. Fa iyya ya fa‟budun.”
5. Ayat ini secara jelas menerangkan prinsip kepentingan hubungan manusia
dengan Tuhannya. Manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka
yang bertaqwa pada kedudukan “inna aqramakum „indallahi atqa kum (Q.S.
Al-Hujurat: ayat 13)”. Satu dasar rajat yang tidak sekali-kali berdasarkan
keturuan, bangsa, dan warna kulit.

Kemudian dalm surat an-Nahl ayat 97, Allah juga menjelsakan lebih
terperinci mengenai kesamaan kedudukan diantara laki-laki dan perempuan, yang
berbunyi sebagai berikut:

179
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun
perempuan ia beriman, niscaya Kami ia dengan kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S Nahl {16} : 97).

Pada pangkal ayat tersebut jelas dipertalikan antara amal shaleh dan hasil
perbuatan yang baik dengan iman. Dalam hal amal saleh dan iman, kedudukan laki-
laki dan perempuan sama. Masing-masing sanggup menumbuhkan iman dalam
hatinya. Oleh sebab itu maka bagi laki-laki dan permepuan dengan iman dan amal
salehnya sama-sama dijanjikan Tuhan akan diberi kehidupan yang baik atau hayatan
thayyibah.

C. Bentuk-bentuk HAM dalam Islam

Dengan adanya hak persamaan akan muncul dengan sendirinya hak


kebebasan, sebab dengan persamaan akan menghilangkan hegemoni dari bangsa
tertentu yang akan menghalangi kebebasan suku atau bangsa lainnya. Sekalipun
demikian kebebasan dalam Islam bukan kebebsan mutlak yang tanpa batasan.
Islam menjamin masyarakat dalam suatu negara memperoleh hak-hak asasi
mereka. HAM yang dijamin oleh Islam itu menurut Syekh Syaukat Husain dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori, pertama adalah hak dasar yang telah
ditetapkan oleh Islam bagi seorang manusia. Kedua, HAM yang dinugerahkan oleh
Islam bagi kelompok rakyat yang berbeda dalam situasi tertentu, status, posisi dan
lain-lain yang mereka miliki (Syaukat Husein: 1996: 59). Di dalam kategori
pertama yakni hak dasar bagi manusia, terdapat beberapa hak yang ditemukan
landasannya dalam Islam, yaitu sebagai berikut :

1. Hak Hidup
Hak hidup merupakan hak yang paling penting bagi manusia. Ia merupakan
hak pokok yang tanpanya tidak akan ada artinya hak-hak asasi yang lain, Mengenai
hak hidup, terdapat dalm surat al-Isra‟ ayat 33 yang berbunyi :


“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. …” (Q.S al-Isra‟ {16} : 33)

Berdasarkan ayat diatas Islam melarang seseorang untuk melenyapkan nyawa


orang lain tanpa alasan yang jelas. Hal ini merupakan implementasi hak hidup yang
harus diberikan kepada setiap manusia dan perlu dicatat bahwa hak hidup adalah hak
yang paling fundamental dan esensial yang tidak dapat diabaikan sama sekali.
Karena tanpa hak hidup mustahil manusia akan dapat menikmati hak-hak lainnya.
Kehidupan mengandung arti yang sangat penting bagi manusia. Oleh karena
itu Allah memandang bahwa melenyapkan hidup seseorang tanpa alasan yang
dibenarkan oleh Allah SWT sama artinya melenyapkan semua manusia, karena orang
yang dibunuhnya adalah salah satu anggota masyarakat, dan dengan membunuhnya
bearti membunuh keturunannya. Sebaliknya menyelamatkan kehidupan seseorang

180
bearti telah menyelamatkan semua kehidupan manusia (Daizar Putra: 1995:45). Hal
ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya surat al-Maidah ayat
32 :

….
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya.” (Q.S Maidah {5}: 32)

Ibnu Katsir, menjelaskan penefsiran ayat di atas, bahwa seseorang membunuh


jiwa tanpa ada sebab seperti qishash atau membuat kerusakan di muka bumi dan
menghalalkan membunuhnya tanpa sebab jinayat maka seakan-akan ia membunuh
semua manusia. Dan siapa yang menghidupkannya artinya mengharamkan
membunuhnya maka berarti ia menyelamatkan manusia seluruhnya (Ibnu Katsir:
509).
Hamka dalam kitab tafsirnya juga menjelaskan bahwa membuat kerusakan di
muka bumi disamakan dengan membunuh manusia, karena perbuatan tersebut
merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Diantara perbuatan yang
termasuk kategori membuat kerusakan adalah mengamcam keamanan, merampok,
memberontak kepada imam yang adil, mendirikan gerombolan pembuat keonaran,
merampas harta benda seseorang, membakar rumah orang dan lain sebagainya
(Hamka: 203).
Lebih lanjut Hamka menyebutkan bahwa tegasnya ayat diatas menjelaskan
seseorang yang membunuh dan merusak ketertiban umum dan keamanan sama
dengan membunuh semua manusia. Hal ini disebabkan perbuatannya manusia lain
merasa tidak aman dan tidak terjamin lagi hak hidupnya, lalu lintas ekonomi dan
hubungan daerah terputus dengan sendirinya karena ketakutan. Bila kita telah
menjaga kehidupan orang lain, tentu seluruh masyarakat menjadi bebas dari rasa
takut dan kecemasan(Hamka: 203).

2. Hak untuk memilih agama.

Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa masalah kepercayaan menduduki posisi


yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Sebab kepercayaan (agama)
merupakan suatu hal yang diyakini dan mampu membimbing jalan hidup manusia
yang mengimaninya. Oleh sebab itu kebebasan beragama menjadi hak asasi setiap
manusia. Oleh karena pentingnya masalah agama bagi seseorang, agama Islam
menjamin kebebasan seseorang memilih agama sesuai dengan keyakinannya. Hal ini
tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 256, yang berbunyi sebagai berikut:

181
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Baqarah: {2}: 256)

Berbicara mengenai sebab turun ayat diatas, Muhammad Husein al-Himsi


dalam Tafsir al-Bayan menjelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan Allah sebagai
antisipasi terhadap persoalan yang ditujukan kepada Rasul, ketikan Husain dari suku
Bani Salim bin „Auf yang mempunyai dua orang anak yang beragama Nasrani
bercita-cita agar kedua anaknya tersebut memeluk agama Islam, namun kedua
anaknya itu tidak bersedia. Akhirnya ia datang kepada Rasul untuk diiizinkan
memaksa kedua anaknya untuk memeluk Islam, maka kemudian turunlah ayat
tersebut kepada Rasul (Muhammad Hussein Al Himsin: 83). Dalam hak untuk
memilih agama terkandung dua prinsip penting, pertama yakni kewajiban bagi setiap
orang untuk menganut agama atau kepercayaan yang diyakininya. Kedua, adanya
larangan untuk memaksakan orang lain beragama(Syafi‟i Ma‟arif: 134-135).
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan bahwa ayat 256
surat al-Baqarah secara umum menyebukan bahwa seseorang tidak boleh dipaksa
memeluk agama Islam, karena dalil dan argumentasi Islam telah jelas dan nyata
kebenarannya. Kata-kata Laaikraahaa fiddin bearti kaum muslimin dilarang untuk
memaksa seseorang memeluk agama Islam. Pendorong seseorang untuk memeluk
agama Islam adalah tergantung hidayah Allah SWT. Jadi tidak perlu memaksa
seseorang untuk memeluk agama Islam, karena orang yang sudah diberi hidayah oleh
Allah SWT akan terbuka mata hatinya dan akan memeluk Islam dengan sendirinya,
sedangkan, orang yang tertutup hatinya tidak akan ada manfaat untuknya masuk
Islam apalagi jika dilakukan dengan kekerasan. Lebih lanjut Ibnu Katsir
menyebutkan, bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan salah seorang
kaum Anshar. Meskipun demikian hukum yang terkandung dalam ayat ini berlaku
umum (Ibnu Katsir: 383).
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaily, bahwa tidak
perlu memaksa seseorang memeluk agama Islam, karena keimanan didirikan
berdasarkan ketundukan, hujjah dan argumentasi yang jelas. Tidak ada artinya orang
dipaksa masuk Islam, sebab yang diinginkan dari orang yang masuk Islam adalah
orang yang mempunyai keyakinan dan kesadaran dari lubuk hatinya yang paling
dalam. Artinya orang yang masuk Islam dengan terpaksa akan menjadi beban saja.
Dengan kata lain ayat ini mengisyaratkan bahwa kualitas calon pemeluk agama Islam
harus benar-benar terseleksi dengan baik bukan sembarang orang(Wahbah Zuhaily:
21).
Selanjutnya dalam Tafsi al-Manar dan Tafsir al-Maraghi, dijelaskan bahwa
ayat tersebut dapat dijadikan argumentasi menangkis tuduhan musuh-musuh Islam

182
yang cukup banyak, yang mengatakan bahwa Islam ditegakkan dengan pedang dan
kekerasan. Menurut Muhammad Abduh, prinsip dalam ayat tersebut merupakan
suatu masalah yang berdekatan dengan politik pemerintahan Islam, karena masalah
agama yang didasarkan pada keimanan adalah masalah mendasar dan pada intinya
tergantung pada kepatuhan seseorang (Muhammad Abduh: 36-37). Senada dengan
itu, Mustafa al-Maraghi mengatakan bahwa orang-orang Islam menjadikan ayat
tersebut sebagai dasar dan salah satu sendi menjalankan politik. Jadi, tidak boleh
memaksa seseorang memeluk agama Islam, begitu juga seorang muslim tidak boeh
dipaksa meninggalkan agamanya (Mustafa Al-Maraghi: 1979: 16-19). Sehubungan
dengan hak kebebasan memeluk agama terdapat perbedaan pand.angan antara
kebebasan dalam Islam dengan pandangan barat. Dalam Islam, kebebasan memeluk
agama yang disukai dan diyakini diberikan kepada mereka yang belum memeluk
agama. Mereka dapat leluasa memilih agama yang sesuai dengan hati dan
keyakinannya. Dalam hal ini Islam sangat melarang berbagai usaha yang mengarah
pada suatu pemaksaan agama kepada orang lain. Disini terlihat perlindungan Islam
terhadap eksistensi manusia dan hak asasi yang dimilikinya. Akan tetapi, kebebasan
tersebut menjadi berubah keteika seseorang menerima Islam dengan sukarela. Ia
tidak lagi bebas untuk mengganti agamanya, dengan kata lain Islam melarang
seorang muslim untuk keluar dari Islam. Bahkan larangan tersebut dibarengi dengan
pemberian hukum yang berat yaitu hukuman mati. Jadi dapat dipahami, bahwa Islam
merupakan agama perdamaian yang tidak pernah memaksakan kehendak dalam
persoalan apapun termasuk soal menganut suatu agama. Dalam hal ini terdapat
prinsip toleransi yang memberi ruang bagi terjaminnya hak-hak beragama.

3. Hak Ekonomi

Menurut syekh Syaukat Husain, pandangan Islam tentang masalah ekonomi


adalah suatu persoalan yang sangat penting sekali, seperti hak milik, hak mendapat
pekerjaan, dan lain sebagainya (Yunar Bakhtiar: 97). Islam sangat menghargai hak
milik seorang indivdidu. Lebih jauh Islam memberikan kebebasan kepada seorang
individu untuk memiliki sesuatu sebanyak-banyaknya sesuai dengan hasil yang telah
ia usahakan. Islam menyuruh manusia untuk bekerja keras agar mendapat hasil yang
lebih baik, sesuai dengan firman Allah surat al-Jumu‟ah ayat 10 yang berbunyi
sebagai berikut :

Artinya: Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka


bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung. (Q.S Jum‟ah : {62}: 10)

Dari ayat di atas, terlihat bahwa Islam memberikan legitimasi kepada


seseorang untuk bekerja keras memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya. Namun
ia mesti memperhatikan hak milik orang lain. Seseorang tidak boleh melanggar
norma-norma yang telah ditetapkan Islam dalam kehidupan masyarakat.
Kemudian dalam hal kebebasan mendapatkan pekerjaan, Delizar Putra
menjelaskan sebagaimana dikutip Rahmat Hidayat menjabarkan konsepsi Islam
tentang hal ini sebagai berikut(Rahmad Hidayat: 2003: 34).

183
Pertama: dalam Islam, bekerja dan berusaha adalah wajib oleh sebab itulah setiap
muslim dituntut untuk bekerja dan berusaha dan tidak menyukai orang yang hidup
bermalas-malasan mengharapkan belas kasihan orang lain. Banyak ayat dan hadits
yang menganjurkan umat berusaha untuk kehidupannya. Salah satunya yaitu
Diceritakan daari Yahya bin Bakir dari Laits dari „Aqil dari Ibnu Syihab dari Abu
Ubaidah Maulana Abdurrahman bin „Auf bahwa ia mendengar Abu Hurairah r.a
berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Apabila seseorang dari kamu mencari kayu
bekerja dan memikulnya dipundaknya lebih mulia dari pada minta-minta kepada
orang lain yang kadang-kadang memberinya atau menolaknya.” (H.R. Bukhari dan
Muslim).

Kedua; Islam menganjurkan kebebasan dalam mencari rezeki dan mengumpulkan


kekayaan asalkan dilaksanakan dengan dua syarat, yakni jangan sampai
menyebabkan lalai terhadap Allah SWT dan menyeleweng dari norma-norma akhlak
yang luhur, kemudian pekerjaan tersebut hendaklah pekerjaan yang baik dan halal
tidak membahayakan orang lain ataupun masyarakat umum. Ketiga ; Islam
menetapkan tiap-tiap pekerjaan itu merupakan ibadah dan diwarnai dengan ubudiyah
(Dalizar Putra: 65-66).
Inilah beberapa prinsip pokok dalam mendapatkan pekerjaan. Walaupun
terdapat perbedaan kemampuan diantara manusia dalam berusaha, namun janganlah
hal itu menyebabkan timbulnya tindakan yang dapat melanggar hak-hak orang lain.
Selain itu Islam juga melindungi hak-hak pekerja. Hal ini dapat ditemukan
dalam berbagai ayat dan hadits Rasullulah. Secara umum, beberapa masalah yang
menyangkut hak-hak pekerja juga diatur oleh Islam antara lain :
a. Masalah upah. Dalam Islam upah merupakan hak pekerja. Bila seseorang
telah melakukan pekerjaan, maka ia berhak untuk memperoleh upah dari
pekerjaannya tersebut. Hal inilah yang sangat ditekankan oleh Islam,
sebagaimana disebutkan dalam surat Fushilat ayat 8:

“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang


saleh mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya".

Juga dari hadits Rasullullah :


„Diceritakan pada kami dari Abbas bin Walid al-Damasyqy dari Wahab bin
Said bin „Athiyah al-Silmy dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari
ayahnya dari Abdullah bin Umar yang berkata : Rasullullah bersabda ;
„Berikan upah pekerja itu sebelum kering keringatnya” ( Ibnu Majah: 817)

b. Kemampuan kerja
„Telah diceritakan kepada kami dari Abdullah dari ayahku dari Yazid dari
al-Mashudy dari Wa‟il Abi Bakrin dari „Ibayah bin Rifa‟ah bin Rafi‟ bin
Khadij dari kakeknya Rafi‟ bin Khadij berkata ; Ditanya Rasullullah
pekerjaan apa yang aling baik? Rasullullah menjawab ; “Usaha seseorang
dengan tangannya (daya upayanya sendiri) dan setiap jual beli yang
mabrur” (HR Ahmad: 141)

184
Selain itu Islam juga tidak memaksa seorang hamba untuk melakukan
pekerjaan yang tidak sesuai atau diluar kesanggupannya. Hal ini terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 286 :

“Allah tidak akan membebani kaumnya kecuali sebatas kemampuannya”

c. Masalah tanggung jawab, baik menyangkut tanggung jawab seorang pekerja


maupun taggung jawab seorang majikan. Dalam al-Qur‟an Allah menjelaskan
bahwa :

……
“ Sesungguhnya kamu akan ditanyai tetang apa yang telah kamu kerjakan
(an-Nahl 93)

d. Masalah jaminan sosial.


Jaminan sosial mencakup perumahan dan kendaraan, atau keselamatan di hari
tua. Dalam hal ini terdapat hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Abu Daud :
“Telah diceritakan kepada kami dari Abdullah dari ayahku dari Musa bin
Daud dari Ibnu Luhai‟ah dari Ibnu Habirah dan al-Haris in Yazid dari
Abdurrahman bin Jabir, ia berkata : Saya mendengar Nabi Muhammad SAW
bersabda; Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan dia tidak
mempunyai rumah, maka hendaklah ia memperoleh rumah, kalau ia belum
kawin hendaklah ia kawin, dan bila ia tidak mempunyai kendaraan, maka
hendaklah ia mengambil kendaraan.” (HR Ahmad: 229)

4. Hak untuk merdeka

Pada prinsipnya ajaran Islam tidak membolehkan seseorang berada daam


keadaan tertekan, terjajah, dan tidak mempunyai kebebasan pribadi dalam hidupnya.
Karena itulah Islam menghapus praktek perbudakan, disebabkan tidak sesuai dengan
harkat manusia sebagai makhluk Allah SWT. Berkenaan dengan ini, terdapat banyak
ayat yang secara tidak langsung menyuruh menghapus perbudakan, seperti salah satu
pilihan kafarat pembunuhan tersalah yakni memerdekakan budak, yang terdapat
dalam surat an-Nisa‟ ayat 92 :

“Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang
mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu)…”

185
5. Hak kebebasan berkumpul dan berbicara

Agama Islam mengutamakan umatnya untuk selalu bersatu demi menggalang


kekuatan bersama. Karena dengan cara itulah umat Islam akan menjadi kuat unuk
menegakkan agamanya dan mempertahankan Islam dari serangan orang luar. Hal ini
disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 103 :

Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat
Allah orang-orang yang bersaudara”

Menurut Syekh Syaukat yang termasuk kategori kedua mengenai HAM,


diantaranya adalah hak asasi wanita, dimana Islam tidak mengenal diskriminasi
dalam hal jenis kelamin. Karena itu pandangan Islam tentang hak wanita selaras
dengan hak-hak yang dimiliki kaum pria, seperti hak hidup, hak kemerdekaan, hak
memperoleh pendidikan, hak beribadah, dan lain sebagainya (Yurna Bahktiar: 102).
Hanya saja yang membedakannya adalah kodrat yang dimiliki masing-masing.
Bila diperhatikan, masalah persamaan kedudukan antara pria dan wanita
dalam Islam, sering disalahpahami dan diselewengkan oleh berbagai pihak di luar
Islam. Islam dianggap mendiskriminasikan pria dan wanita, ini ditandai banyaknya
aturan-aturan dalam Islam yang membedakan pria dan wanita, seperti dalam masalah
menutup aurat, kesempatan menjadi saksi, kelebihan kedudukan suami dari istri dan
sebagainya.
Anggapan miring yang dilontarkan pihak non muslim tersebut pada dasarnya
tidak memiliki alasan dan bukti yang kuat. Mereka tidak memahami apa rahasia yang
terkandung di balik perbedaan tersebut. Dalam hal ini dapat kita lihat beberapa
contoh yang dapat mematahkan pandangan miring tersebut. Dalam hal menutup
aurat, khususnya para feminisme di barat sering menyebut hal ini sebagai salah satu
taktik Islam untuk mengukung kebebasan wanita, sehingga wanita tidak bebas untuk
memilih pakaian yang disukainya. Padahal aturan untuk menutup aurat diberikan
Islam bukan dengan maksud mengukung kebebasan wanita untuk mengekspresikan
diri, akan tetapi dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi wanita dari pandangan
laki-laki nakal yang tidak bertanggung jawab. Hal ini ditemukan dalam al-Qur‟an
surat an-Nur ayat 31. Begitu juga dalam hal kesaksian seorang wanita khususnya
mengenai masalah pidana, menurut sebagian ulama wanita tidak dapat menjadi saksi
(Kamil Muhammad Uwaidah: 2001: 604). Hal ini bukan dimaksudkan untuk
merendahkan wanita, akan tetapi dimaksudkan untuk melindungi kaum wanita itu
sendiri. Sebagaimana diketahui, seorang saksi memiliki beban yang sangat berat,
kadang-kadang kesaksian yang diberikannya dapat mengancam keselamatan
jiwanya. Selain itu wanita sangat dalam perasaannya, dan dikhawatirkan sulit untuk
memberi kesaksian yang murni.
Secara konseptual, falsafah dasar dari hak-hak asasi manusia dalam Islam
sebenarnya terdapat dalam ajaran tauhid. Doktrin tauhid ini tidak hanya megandung

186
ajaran tentang keesaan Tuhan, baik dalam zat, sifat maupun perbuatan-Nya, tetapi
doktrin ini juga berimplikasi pada upaya pembebasan manusia dari segala bentuk
perbudakan, kesewenang-wenangan dan belenggu kezaliman (Syafi‟i Ma‟arif: 1985:
27).
Prinsip persamaan dalam hak asasi manusia juga tergambar dari doktrin
tauhid ini. Manusia tidak hanya bebas merdeka, namun juga sadar bahwa kedudukan
antara manusia yang satu dengan yang lain adalah sama. Sebagai hamba Allah,
manusia yang satu tidak memiliki rasa superioritas terhadap yang lainnya (Amin
Rais: 1987: 14).
Apabila ditelaah secara seksama, akan terlihat dengan jelas bahwa secara
umum para rasul selalu berhadapan dengan berbagai bentuk penyimpangan dan
kejahatan yang merajalela di tengah masyarakat. Nabi Musa misalnya hidup
ditengah-tengah masyarakat yang sangat rusak moralnya dan sangat menginjak hak-
hak asasi manusia, dimana anak laki-laki dari Bani Israil terpaksa harus mengakhiri
nasibnya di tangan para algojo Fir‟aun, akibat kesewenang-wenangan dan ketakutan
Fir‟aun dengan munculnya seorang pahlawan yang akan menjatuhkan kedudukannya
sebagai penguasa. Begitu juga dengan yang dialami nabi Muhammad. Ia juga hidup
di tengah-tengah masyarakat yang sangat menginjak-injak hak asasi manusia seperti
merndahkan harkat wanita, dengan kebiasaan para bapak yang tega mengubur anak
perempuannya hidup-hidup karena tidak tahan menanggung malu. Hal ini merupakan
fakta yang tidak dapat dibantah kebenarannya.
Bila dipalingkan pandangan ke belakang, sesungguhnya penegakan hak asasi
manusia dalam Islam telah dimulai oleh manusia pertama Nabi Adam a.s yang
tongkat estafetnya dilanjutkan oleh para nabi dan Rasul yang datang setelahnya. Pada
masa nabi Muhammad, lebih terlihat setelah masa Mekah prahijrah, bahwa Islam
telah memberikan jaminan atas terbebasnya manusia dari kelaparan dan ketakutan,
karena yang paling asasi dari kebutuhan manusia adalah hasrat kuat untuk
membebaskan manusia dari bahaya kelaparan dan ketakutan. Dalam rangka ini,
meskipun dalam ajaran Islam tidak tersurat dijelaskan jaminan bagi tegaknya HAM,
tetapi sejak awal Islam telah menegaskan komitmennya terhadap penghapusan
kelaparan dan membebaskan manusia dari ketakutan, seperti yang ditegaskan al-
Qur‟an surat al-Quraisy ayat 4 yang berbunyi sebagai berikut :

“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan”
Dan juga Firman Allah dalam surat al-Isra‟ ayat 70 ;

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam “.

Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi menjelaskan dalam kitab tafsirnya,


bahwa manusia telah diberi kemuliaan dan keutamaan oleh Allah, baik dari segi
bentuk penciptaannya, dan kemampuan mengolah serta mencari rezki yang baik.
Oleh karena itu berdasarkan ayat ini, diketahui bahwa Allah melebihkan manusia
dari makhluk-makhluk-Nya yang lain, memberikan segala yang ada di daratan dan
lautan berupa makanan, minuman dan pakaian sehingga manusia terhindar dari
kesulitan dan rasa lapar (Al-Qurthubi: 1954: 293-295).

187
D. Penutup

Pendidikan HAM dalam Islam dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran
Islam. Bahkan pendidikan tentang HAM yang terkandung dalam Piagam Magna
Charta tercipta 600 tahun setelah kedatangan Islam di Saudi Arabia. Hak-hak
manusia dilindungi dan diakui dalam Islam, baik mengenai hak hidup, kebebasan
memeluk agama, hak pekerja, adanya prinsip persamaan antara warga muslim dan
non muslim.
Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasaran pada pendekatan
teosentris, yakni ditetapkan oleh Allah SWT. Syari‟at merupakan tolak ukur tentang
baik dan buruk tatanan kehidupan manusia. Sedangkan dalam konsep barat HAM
lebih bersifat antroposentris yakni manusia berada di pusat dan menjadi tolak ukur
segala sesuatu, dan bersifat individualis dimana manusia hidup hanya untuk
memperjuangkan hak-hak individunya tanpa memperhatikan hak kolektif atau
masyarakat.

Daftar Pustaka

Abdul, Muhammad, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Abdullah, Taufiq, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jld 2, Jakarta : PT.Ichtiar Van
Hoeve, 1999

Al-Himshin, Muhammad Husein, al_Qur‟an al-Karim; Tafsir al-Bayan, Beirut: Dar


al Rasyid, t.th

al-Ja‟fari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibnu al-Mughirah bin
Bardizbah al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, t,t:Dar al-Fikr,1981

Al-Maraghi, Mustafa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar-al Fikr, 1971

al-Qazwini, Al Hafiz Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah Kairo:
Dar al-Hadits,t,th

Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1954

Al-Zuhaily, Wahbah, Tafsir al-Munir, Beirut al-Fikr, t.th

Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, Padang : IAIN Press, 2000

Bakhtiar, Yarna, Wacana Keadilan dan HAM dalam Perspektif Islam, Jakarta:
Nuansa Madani, 1999

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi hokum Islam, Jakarta : PT.Ichtiar baru Van Hoeve,
1997

188
Depertemen Agama RI, Al-Qur‟an: Thoha Putra, 1989

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Panji Mas 1983

Hanbal, Ahmad bin, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut: Dar al-Fikr, t,th

Hasan, M. Tolhah, Hak-hak Asasi Manusia dan Pluralisme Agama; Tinjauan


Kultural dan Teologi Islam, dalam Anhari Thaib, (ed) HAM dan
Pluralisme Agama, (Jakarta: Pusat Kajian dan Strategi dan
Kebijaksanaan, 1977

Hidayat, Rahmad, Pengadilan Ham dalam Hukum Pidana Islam, Tesis PPS IAIN
“IB” Padang 2003

Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (terj) judul asli “Hukum
Right in Islam” t.tp, GIP, 1996

Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: Daar al-Jiil, t.th


Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Adzim, Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Lopa, Baharuddin, Al-Qur‟an dan HAk Asasi Manusia, Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996

Ma‟arif, Ahamad Syafi‟i Islam dan Masalah Ketatanegaraan (Studi tentang


Percaturan Konstituante), Jakarta: LP3S, 1985

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, al-Qur‟an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah Sebuah
Refleksi, Bandung : Pustaka, 1985

Muhammad, Syaikh Kamil, „Uwaidah‟, Fiqh Wanita (terj) M. Abdul Ghaffar dari
judul asli al-Jami‟ fi Fiqh al-Nisa‟, Jakarta;Al-Kautsar, 2001

Putra, Daizar, HAM Menurut Al-Qur‟an, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995

Rais, Amien, Cakrawala Islam Antar Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987

Razak, A. Ubaedillah Abdul, Demokrasi ; Hak-hak Asasi Manusia dan Masyarakat


Madani, Diterbitkan oleh ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja
sama The Asia Fondation, t.th

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:
UI Prss,1993

189

Anda mungkin juga menyukai