Anda di halaman 1dari 5

1

DALIL-DALIL FIQH KONTEMPORER

Hidup dan kehidupan manusia tidak pernah statis, melainkan selalu bersifat dinamis
yang senantiasa mengalami perubahan yang menimbulkan problematika hukum. Sedangkan
wahyu yang mengatur dan memberi tuntunan kepada manusia dalam menghadapi berbagai
problem kehidupannya justru telah berhenti sejak wafatnya Nabi saw. Dalam konteks ini ada
sebuah kaidah menarik dalam ajaran Islam, bahwa:

‫الوحي قد ا نتهى والوقاءع ال تنتهى‬

‘Wahyu sudah selesai diturunkan, sedangkan peristiwa-peristiwa baru yang


memerlukan penyelesaian hukum tidak pernah berakhir.’

Kaidah di atas merupakan penyederhanaan dari ungkapan yang dikemukakan oleh


Syahrastani, bahwa “nas (al-Qur’an dan hadis) telah berakhir, namun peristiwa-peristiwa
hukum baru yang memburuhkan penyelesaian hukum selalu terjadi, sesuatu yang tidak
berakhir tidak dapat diatur oleh sesuatu yang sudah berakhir.”

Dari kaidah di atas dapat dipahami, bahwa penyelesaian berbagai problematika hukum
yang muncul dalam era modern ini tidak selamanya telah memiliki pijakan hukum dalam
wahyu. Akan tetapi justru banyak peristiwa hukum yang muncul itu tidak memiliki landasan
hukum secara tekstual dalam al-Qur’an dan atau hadis Nabi saw. Sehingga dibutuhkan suatu
ijtihad dalam merespon berbagai peristiwa hukum dimaksud. Karena di samping manfaatnya
dalam meningkatkan kemakmuran umat manusia, teknologi modern juga mengandung unsur-
unsur yang dapat membahayakan harkat dan martabat manusia, serta merusak keseimbangan
ekologis lingkungan hidupnya.

Dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi modern, masyarakat Islam tidak bisa
mengelak dari realitas. Namun harus meresponnya dengan bijak. Di sinilah pentingnya ijtihad
dengan metode pendekatan yang tidak hanya tekstual, tetapi juga kontekstual. Tegasnya,
bahwa dalam mengistinbat-kan hukum terhadap berbagai problem hukum Islam kontemporer
perlu menggunakan berbagai dalil yang relevan, seperti qiyas (analogi hukum antara kasus
hukum yang telah ada nasnya dengan kasus hukum yang belum ada nasnya karena kedua kasus
hukum itu sama illat (alasan hukum)nya; maslahah mursalah (penetapan hukum berdasarkan
unsur/nilai kemaslahatannya bagi masyarakat umum/publik) atau konsep maqasid al-syari’ah
(yang bertumpu pada pemeliharaan lima kemasalahatan: agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta); sadd al-zari’ah penetapan hukum berdasarkan prinsip preventif, untuk menutup pintu
kejahatan/dosa).

Perlu dijelaskan, bahwa meskipun suatu problem hukum kekinian dan kedisini-an telah
ada landasan hukumnya, namun bisa jadi telah terjadi pergeseran lantaran perbadaan situasi
sosial ketika wahyu itu turun atau hadis diinformasikan oleh Nabi saw. Dalam konteks ini
menurut Baqir Sadr terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nas-nas itu
diturunkan dengan situasi sosial dewasa ini. Sehingga tidak jarang terjadi para fuqaha atau
cendikiawan terjebak dalam empat bentuk kekeliruan, yaitu subyektifikasi, manipulasi,
justifikasi, interpolasi.1

1
Subyektifikasi adalah mengambil sikap tertentu secara prematur terhadap nas,
misalnya dua orang pemikir memahami nas yang sama, tetapi dengan kecenderungan yang
2
Dengan demikian pemikiran hukum Islam terhadap permasalahan-permasalahan
kontemporer masuk dalam wilayah fiqh. Fiqh secara etimologis berarti “maksud sesuatu” atau
“ilmu pengetahuan.” Dengan kata lain, fiqh berarti pemahaman yang mendalam yang
membutuhkan pengerahan potensi akal. Sedangkan secara terminologis, fiqh adalah
pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mukallaf yang
didasarkan kepada dalil-dalil yang terinci, atau kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia mukallaf yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.

Dari uraian di atas yang dimaksud dengan fiqh kontemporer adalah kumpulan hukum-
hukum Islam yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hukum di era kontemporer (modern),
baik dari sisi teknologi, gender, ekonomi, hukum pidana, maupun politik.

Dalam pembahasan fiqh kontemporer selain mengacu kepada nas-nas juga akan
digunakan rasio (dalil aqli) yang tentunya tetap berada dalam koridor nas atau setidaknya tidak
bertentangan dengan nas secara substansial. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
bahwa dalam memahami nas, tidak selamanya harus secara tekstual, namun harus
dipertimbangkan kemungkinan pemahaman nas secara kontekstual. Hal ini selaras dengan
prinsip al-Islam salihun li kulli zaman wa makan. Sehingga keberadaan nas tetap relevan
dengan perkembangan zaman, terutama yang berkaitan dengan teknologi yang memang masuk
dalam wilayah muamalah, dan bukan ibadah. Dalam ibadah memang berlaku prinsip ta’abbudi
yang harus ditaati tanpa harus mengetahui alasan rasional suatu ibadah itu. Sedangkan urusan
muamalah atau keduniaan merupakan ta’aqquli yang mempunyai alasan rasional bagi
kemasalahatan manusia. Kalau dalam urusan ibadah berlaku kaidah “al-aslu fi al-asy-ya-i al-
tahrimu hatta yadulla al-dalilu ‘ala al-ibahah (hukum pokok ibadah adalah haram, sehingga
ada dalil yang menunjukkan kebolehannya) maka dalam urusan keduniaan berlaku kaidah:

‫اال صل أن األ شياء علي اإل باحة حتي يثبت النهي‬

‘Pada dasarnya (dalam urusan muamalah/keduniaan) adalah boleh sehingga ada


ketetapan/dalil yang melarangnya’

Dengan demikian semua produk teknologi yang berkaitan dengan hajat kehidupan
manusia pada hakekatnya adalah boleh dimanfaatkan. Namun demikian pemanfaatan produk
teknologi, apapun bentuk, dan produsennya, tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dasar dalam
ajaran Islam. Kalaupun tidak ada aturannya dalam nas al-Quran dan atau hadis, maka ia tidak
boleh bertentangan dengan prinsip kemaslahatan ataupun tujuan syari’ah (maqasid al-
syari’ah), yaitu pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Maslahat itu sendiri
terbagi tiga yaitu (1) yang bersifat daruriyat (mest ada/primer), (2) hajiyat (dibutuhkan,
sekunder), dan (3) tahsiniyat (dipuji, tersier).

Karena itu meskipun bayi tabung dan kloning tidak disinggung oleh wahyu secara
tekstual namun bukan berarti boleh digunakan atau ditolak secara mutlak. Perlu dipahami,

berbeda, sehingga menimbulkan kesimpulan nas yang berbeda jika kesimpulan ditarik secara
prematur sedemikian rupa tanpa dilakukan verifikasi. Manipulasi, adalah melepaskan dalil
syar’I dari situasi dan kondisinya. Justifikasi, adalah pembenaran realitas baru dengan cara
mendudukkan nas pada penafsiran yang sesuai atau justifikasi. Sedangkan interpolasi, adalah
memasukkan nas ke dalam kerangka berpikir tertentu sesuai keinginannya. Lihat Sayyid Baqir
Sadr, Iqtisaduna (Beirut: Dar al-Ta’ruf, 1979), h. 404-415.
3
bahwa pemanfaatan produk teknologi tidak bisa ditolak (diharamkan) hanya beralasan, bahwa
teknologi tersebut tidak pernah digunakan oleh Nabi saw dan para sahabatnya. Hal itu tidak
bisa dianalogikan dengan ibadah mahdah, yang memang sangat dilarang ditambah, dikurangi
atau mengada-adakan yang ibadah ritual baru, yang biasa dikenal dengan bid’ah.

Sedangkan penggunaan teknologi bayi tabung dan kloning merupakan bagian dari
urusan keduniaan. Namun harus dikonfirmasikasin dengan nilai-nilai kemaslahatan dalam
pemanfaatan teknologi bayi tabung dan kloning. Nilai kemaslahatan tersebut harus juga
mempertimbangkan unsur mafsadat (bahaya/kerugian) yang ditimbulkannya. Maka dalam
kaitan ini harus mempertimbangkan kaidah fiqh, bahwa:

‫در ء المفا سد مقدم على جلب المصا لح‬

Maksudnya, bahwa unsur kemaslahatan pemanfaatan teknologi apapun termasuk bayi


tabung dan kloning sedapat mungkin harus mengeliminir dampak negatif (unsur mafsadat)nya.
Dalam konteks ini Izzuddin bin ‘Abdul Salam mengatakan, bahwa

‫و الشريعة كلها مصا لح إما تدرأ المفا سد أو تجلب المصا لح‬

‘Semua kandungan syari’ah adalah maslahat, baik dengan cara penolakan terhadap
kerusakan-kerusakan (mafsadat) maupun dengan cara menarik manfaat-manfaat (masalahat).’

Menurut Izzuddin Abdul Salam, maslahah terbagi 4 jenis yaitu (1) kelezatan, (2)
sebab-sebab/sarananya, (3) kesenangan, dan (4) sebab-sebab/sarananya. Sedangkan mafsadah
juga ada 4 jenis, yaitu (1) rasa sakit/tidak enak, (2) penyebab rasa sakit/tidak enak, (3) rasa
sedih, dan (4) penyebab rasa sedih.

Karena itu meskipun ada kemaslahatannya bagi pasangan suami isteri yang gagal
memiliki anak secara alami, namun pemanfaatan teknologi bayi tabung dan kloning tersebut
tidak boleh melanggar prinsip pemeliharaan keturunan sebagai salah satu maqasid al-syari’ah,
sehingga penggunaan donor baik sperma maupun ovum serta rahim rental harus dihindari.
Dengan demikian prinsip maslahah al-mursalah yang merujuk kepada maqasid al-syari’ah
menjadi salah satu dalil dalam penyelesaian kasus fiqh kontemporer.

Di samping itu pemecahan masalah hukum Islam kontemporer juga harus


menggunakan pendekatan interdisipliner, dalam hal ini ilmu-ilmu yang relevan. Dalam
masalah hukum teknologi bayi tabung, kloning misalnya harus menggunakan pendekatan
medis (ilmu kedokteran), khususnya embriologi, genetika. Demikian pula dalam masalah
hukum aborsi, euthanasia, transplantasi organ tubuh, operasi selaput dara. Selain pendekatan
medis perlu pula digunakan pendekatan sosiologis, psikologis, ekonomi, dan teleologis.
Pendekatan ilmu-ilmu sosial ini sangat dibutuhkan dalam menganalisis masalah hukum
keluarga berencana, aborsi, operasi selaput dara, transfusi darah, perkawinan antar orang beda
agama, marital rape, pemanfaatan uang korupsi untuk kepentingan umum dan wanita sebagai
kepala negara. Jelasnya, bahwa pemecahan masalah hukum Islam kontemporer tidak sekedar
dengan metodologi ushul fiqh namun juga harus digunakan interpretasi kontekstual,
intertekstual, di samping tekstual serta pendekatan interdisipliner.

Dengan penggunaan interpretasi multidisipliner tersebut diharapkan produk hukum


Islam kontemporer dalam merespon problematika hukum Islam yang muncul pada masa
kekinian dan kedisinian dapat aplikatif dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Sehingga
prinsip al-Islam salihun li kulli zaman wa makan tidak sekedar slogan namun akan senantiasa
4
menjadi living law dalam masyarakat Islam pada setiap ruang dan waktu. Sekaligus
menegaskan bahwa hukum Islam bukan sekedar law in book, hukum yang tertulis dalam
berbagai kitab fiqh. Namun hukum Islam merupakan law in action dalam kehidupan umat
Islam.

Menurut Yusuf Qardhawi sumber ijtihad fiqh kontemporer selain didasarkan kepada al-
Qur’an, hadis, ijma dan qawaid al-syar’iyyah al-kulliyah juga logika atau qiyas.

Menurut Yusuf Qardawi ada tiga macammetodologis dan alternatif dalam ijtihadyang
ditawarkan oleh al-Qardhawi, yaituijtihad intiqa’i (ijtihad selektif), ijtihad insya’I (ijtihad
kreatif), dan ijtihad integrasi antaraijtihad intiqa’i dan insya’i.

1. Ijtihad intiqa’i

Yang dimaksud Ijtihad al-Intiqa’i atau tarjih adalah memilih salah satu dari beberapa
pendapat yang terdapat dari beberapa khazanah fiqh Islam, baik dalam formulasi fatwa atau
keputusan hakim, dengan menggunakan instrument eksplanasi untuk mengambil beberapa
pendapat tersebut.

Dalam konteks ini, ketika seorang faqih berhadapan dengan beberapa fatwa dalam
suatu masalah, maka ia mesti melakukan seleksi terhadap pendapat-pendapat tersebut, apakah
formulasi dalil yang digunakan berasal dari nash atau interpretasi terhadap nash. Kemudian
dilakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang terkuat sesuai dengan realita, dalam
kerangka al-Maqashid al-Syar’iyyah, dengan tetap mempertimbangkan kepentingan publik dan
menghindari Mafsadah.

Kriteria yang digunakan untuk melakukan tarjih, menurut al-Qardhawi seperti berikut:

 Mempunyai relevansi dengan kehidupan sekarang


 Lebih memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud syara’
 Untuk kemaslahatan manusia
 Menolak bahaya
Al-Qardhawi menambahkan bahwa kegiatan tarjih yang dilakukanoleh ahli tarjih pada
masa kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa
kemunduran hukum Islam. Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai
kegiatan yang tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat para ahli fikih di lingkungan intern
madzhab tertentu,seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Sedangkan pada
periode kebangkitan Islam, tarjih berarti menyeleksi berbagai pendapat ijtihad para shahabat,
tabi’in dan ulama dari bermacam madzhab, beraliran sunni (ahli al-sunnah wa al-jama’ah), dan
juga meneliti pendapat-pendapat dari ulama syi’ah al-zaidiyah dan imamiyah.

Jadi, sifatnya lintas madzhab, karena semua hasil ijtihad dari berbagai mazhab
terdahulu menempati pada posisi yang sejajar. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
hasil dari ijtihad tarjih ini. Sedikitnya menurut al-Qardhawi ada tiga hal, yakni perubahan
sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan adanya desakan dari
perkembangan zaman.
5
2. Ijtihad Insya’i

Yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah usaha untuk menetapkan konklusi hukum
dari suatu persoalan baru yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, karena
memang belum muncul waktu itu. Atau dalam masalah lama, tetapi mujtahid kontemporer
mempunyai pendapat baru dalam masalah itu, karena belum ditemukan di dalam pendapat
ulama terdahulu. Boleh juga ketika para pakar fikih terdahulu berselisih pendapat sehingga
terkatub pada dua pendapat, maka mujtahid masa kini memunculkan pendapat ketiga.

Sebagian besar ijtihad insya’i ini terjadi pada masalah-masalah baru yang belum
dikenal dan diketahui oleh ulama terdahulu serta belum pernah terjadi pada masa mereka.
Kalaupun mengenalnya, tentu masih dalam skala kecil yang belum mendorong mereka untuk
mengadakan penelitian demi mencari penyelesaiannya. Mengenai ijtihad insya’i ini, al-
Qardhawi berpendapat bahwa setelah mengutip berbagai pendapat para ulama, maka langkah
selanjutnya adalah mengkaji kembali berbagai pendapat tersebut, kemudian menarik simpulan
yang sesuai dengan nash al-Quran dan hadis, kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyah sambil
berdo’a semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak menghalangi tabir pahala, dan menjaga
dari belenggu fanatisme dan taqlid serta hawa nafsu dan prasangka buruk terhadap orang lain.

3. Integrasi antara Ijtihad intiqa’i dan insya’i

Di antara bentuk ijtihad kontemporer adalah ijtihad perpaduan antara intiqa’i dan
insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat
kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.

Anda mungkin juga menyukai