Anda di halaman 1dari 4

KEDUDUKAN HASIL IJTIHAD

Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadist.
Dalilnya adalah Al-Qur’an dan Hadist. Allah Swt berfirman:

Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidil Haram
dan dimana saja kamu (sekalian) berada maka palingkanlah wajahmu kearahnya.” (Q.S. Al-
Baqarah, 2: 150).

Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah
(Ka’bah) Masjidil Haram, apabila hendak mengerjakan shalat, ia dapat mencari dan menentukan
arah kiblat shalat itu (Masjidil Haram) melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya
berdasarkan tanda-tanda yang ada.

Hadist yang dijadikan dalil ijtihad ialah hadist riwayat Tirmidzi dan Abu Daud tentang dialog
antara Rasulullah Saw dengan sahabatnya Mu’az bin Jabal, yang telah disebutkan di muka.

Hadist lainnya, yang juga dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berijtihad adalah sabda
Rasulullah yang artinya: “Apabila seorang hakim didalam menjatuhkan hukum berijtihad, lalu
ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ijtihadnya itu salah, maka ia
memperoleh satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER METODE STUDI

Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang
dimiliki oleh ilmuan syariat islam untuk menetapkan atau menentukan suatu hokum syariat islam
dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan as-Sunnah.ijtihad
dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek Pendidikan, tetapi tetap
berpedoman pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun demikian, ijtihad harus mengikuti kaidah
kaidah yang diatur oleh para mujtahid tidak boleh bertentangan denga nisi Al-Qur’an dan as-
Sunnah tersebut. Ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hokum islam yang sangat dibutuhkan
sepanjang masa setelah Rasulallah wafat. Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yang diperlukan
dalam kehidupan, yang senantiasa berkembang, ijtihad bidang Pendidikan sejalan dengan
perkembangan zaman yang semakin maju, terasa semakin urgen dan mendesak, tidak saja dibidang
materi atau isi, melainkan juga dibidang system dalam artinya yang luas.

Ijtihad dalam Pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah yang di
oleh akal yang sehat daru para ahli Pendidikan islam ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang
berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup disuatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu.
Teori-teori Pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran islam dan kebutuhan hidup.

Ijtihad dibidang Pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran islam yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan prinsip-prinsipnya saja. Bila
ternyata ada yang agak terperinci, maka perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan
yang prinsipitu. Sejak diturunkan sampai nabi Muhammad SAW. Wafat, ajaran islam telah tumbuh
dan berkembang pula. Sebaliknya, ajaran islam sendiri telah berperan mengubah kehidupan
manusia menjadi kehidupan muslim.

Sebagai makhluk individu dan sekaligus makhluk social, manusia tentu saja mempunyai
kebutuhan individu dan kebutuhan social menurut tingkatan-tingkatannya. Dalam kehidupan
Bersama, mereka mempunyai kebutuhan Bersama untuk kelanjutan hidup kelompoknya.
Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi berbagai aspek kehidupan individu dan social, seperti system
politik, ekonomi, social dan Pendidikan. Pendidikan adalah kebutuhan yang terpenting karena ia
menyangkut pembinaan generasi mendatang dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
tersebut sebelumnya.

LANDASAN IJTIHAD

Islam adalah agama yang senantiasa sesuai untuk segala zaman dan tempat. Sifat dasar
Islam ini didukung oleh instrumen-instrumen hukum yang menjadikannya fleksibel dengan segala
perubahan zaman. Hal ini sebagaimana terlihat dalam sifat dasar hukum yang digariskan oleh al-
Qur’an yaitu ada hukum yang bersifat qat‘iyyat dan mutasyabihat (zanniyyat), di mana jenis yang
kedua terbuka untuk diinterpretasi sesuai ta‘lil al-ahkam (melihat hukum berdasarkan ‘illah) yang
dipahami mujtahid akademik dan juga tuntutan zaman serta realitas sosial dan budaya lokal.
Selain itu terdapat hadis-hadis, seperti dua hadis tersebut diatas yang memberikan
justifikasi untuk berijtihad kepada siapa saja yang berkelayakan terhadap persoalan-persoalan
yang muncul (kontemporer) yang tidak ditentukan hukumnya oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.
Bahkan dua hadis tersebut menunjukkan bahwa orang yang berijtihad mendapatkan tempat yang
utama dan mulai dalam ajaran Islam. Dengan demikian jelas sekali, bahwa al-Qur’an dan al-
Sunnah memberikan landasan yang kuat untuk melakukan ijtihad saintifik.
Di samping itu, setelah mendalami makna dan filosofi yang terkandung dalam al-Quran
dan al-Sunnah, para ulama menyimpulkan bahwa tujuan utama penetapan hukum Islam adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan
dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin.
Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungan antara
hukum Islam dengan kemaslahatan. Kemaslahatan yang dimaksud adalah bersifat dinamis dan
fleksibel, artinya pertimbangan kemaslahatan itu seiring dengan perkembangan zaman.
Konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap maslahat pada waktu yang lalu belum tentu dianggap
maslahat pada masa sekarang. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan hukum Islam bersifat
universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi, lahir dan batin, material dan spiritual,
maslahat individu dan maslahat umum, maslahat hari ini dan esok.
HUKUM MELAKUKAN IJTIHAD

Hukum ijtihad adalah wajib bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya. Adapun
ijtihad adalah proses pengambilan hukum (istinbat al-hukm) yang harus dilakukan dengan hati-
hati oleh ahli di bidangnya.

Syarat-syarat mujtahid dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian sebagai berikut. Pertama,
persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi:
1. baligh,
2. berakal sehat,
3. kuat daya nalarnya, dan
4. beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut
mujtahid supaya memiliki kecakapan:
1. mengetahui al-Quran,
2. memahami sunnah,
3. memahami maksud-maksud hukum syari’at, dan
4. mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-kulliyyat) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting
dimiliki mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup:
1. menguasai bahasa Arab,
2. mengetahui ilmu usul al-fiqh,
3. mengetahui ilmu mantik atau logika, dan
4. mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup:
1. tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi,
2. mengetahui tempat-tempat khilafiyyah atau perbedaan pendapat, dan memelihara kesalehan dan
ketaqwaan.

Anda mungkin juga menyukai