Anda di halaman 1dari 9

AGUS BUDIONO

MAKHLUK
SEMPURNA

1441 H / 2020 M

MAKHLUK SEMPURNA 1
MAKHLUK SEMPURNA

Manusia adalah makhluk yang sempurna.


Kesempurnaan manusia dapat dibuktikan dengan
kemampuannya untuk berpikir, yang dikenal dengan akal.
Kemampuan berpikir (akal) adalah kemampuan
menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan fakta
yang tersalurkan pada otak melalui fungsi indera.
Kemampuan inilah yang dimiliki manusia selama
hidupmya. Kemampuan inilah yang mendorong manusia
untuk memilih suatu sikap dan melakukan perbuatan.
Dengan kata lain sikap dan perbuatan manusia tergantung
pemahaman yang dimilikinya tentang sesuatu.

Kemampuan inilah yang akan mengantarkan


manusia sebagai makhluk yang sempurna, yang mampu
memahami hakikat/esensi manusia, kehidupan, dan alam
semesta. Dengan kemampuan berpikirnya, manusia dapat
menyimpulkan bahwa ketiganya (manusia, kehidupan,
dan alam semesta) bersifat kompleks, teratur, berwaktu,
dan terbatas, serta adanya ketergantungan pada yang lain.
Kesimpulan tersebut mengarah pada satu titik bahwa
“ketiganya hadir dengan sendirinya adalah hal yang tidak
mungkin”, dengan kata lain bahwa “ketiganya adalah
ciptaan (makhluk)”.

Manusia dewasa menyadari bahwa dibalik sifat


ketiga hal tersebut terdapat satu pencipta yang memiliki

MAKHLUK SEMPURNA 2
tujuan diciptakannya manusia, kehidupan, dan alam
semesta. Berawal dari pemahaman tersebut, manusia
mencoba memahami tujuan penciptaan ketiganya, yang
jatuh pada kesimpulan bahwa pencipta memberi
informasi berkaitan tujuan penciptaan, yang akan terus
bisa digunakan, dan tidak mungkin bisa disampaikan
langsung pada setiap manusia, melainkan hanya manusia
yang terjamin.

Ajaran islam mampu menjawab semua pertanyaan


tersebut. Islam menjelaskan bahwa terdapat satu pencipta
yang memiliki tujuan penciptaan keberadaan manusia,
kehidupan, dan alam semesta, serta disampaikan pada
manusia seluruhnya melalui manusia yang terjamin. Islam
menjawab bahwa satu pencipta yang dimaksud adalah
“Allah SWT”, manusia yang terjamin tersebut adalah
“Nabi dan Rasul”, dan tujuan penciptaan ketiganya
berupa wahyu dari Allah SWT, yang berbentuk “risalah
dan ajaran para nabi dan rasul”. Dari kemungkinan –
kemungkinan yang ada, bahwa tujuan dan ajaran berupa
wahyu, yang mampu dijangkau oleh kemampuan berpikir
manusia, yang terjamin kemurniannya, dan tidak
memiliki pertentangan – pertentangan didalamnya dari
awal diketahui oleh manusia hingga dunia modern saat ini
adalah “Alqur’an”, yang diperuntukkan sebagai pedoman
manusia melalui perantara manusia terjamin, yaitu nabi
sekaligus rasul “Muhammad SAW”.

MAKHLUK SEMPURNA 3
Islam mengajarkan bahwa terdapat tiga waktu
berkaitan penciptaan manusia, kehidupan, dan alam
semesta. Ketiga waktu tersebut adalah waktu sebelum
adanya penciptaan, waktu adanya keberadaan penciptaan,
dan waktu setelah berakhirnya penciptaan. Waktu
sebelum adanya penciptaan, islam mengajarkan bahwa
“tiada kehidupan selain hanya adanya keberadaan Allah
SWT”. Waktu adanyan keberadaan penciptaan, islam
mengajarkan bahwa tujuan diciptakan makhluk adalah
untuk “beribadah pada Allah SWT” dengan mengikuti
jalan hidup Nabi Muhammad SAW. Waktu setelah
berakhirnya penciptaan, islam mengajarkan bahwa “Allah
SWT menciptakan kehidupan akhirat”, dimana
kesempurnaan hidup di akhirat hanya bisa dicapai dengan
kesempurnaan menjalani hidup pada saat adanya
penciptaan.

Kesempurnaan hidup manusia di akhirat adalah hak


perogatif Allah SWT, namun Allah SWT memberikan
rambu – rambu agar manusia dapat mencapainya. Rambu
– rambu tersebut terdapat dalam Alqur’an dan ajaran Nabi
Muhammad SAW. Rambu – rambu tersebut berkaitan
dengan sikap dan perbuatan manusia dalam menyikapi
sebuah keadaan.

Pengkajian terhadap manusia, akan menghasilkan


kesimpulan bahwa manusia hidup pada dua area, yaitu
area yang menguasainya dan area yang dikuasainya. Hal

MAKHLUK SEMPURNA 4
ini menunjukkan bahwa rambu – rambu kesempurnaan
hidup di akhirat berkaitan erat dengan sikap dan perbuatan
manusia dalam menjalani kehidupan di dunia.
Berdasarkan hal tersebut juga, Allah SWT menyediakan
nilai (pahala) bagi manusia yang mau mengikuti rambu –
rambunya dan menyediakan siksa bagi manusia yang
tidak mengikutinya.

“Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah


diperbuatnya” (Al – Mudattsir: 38)

Aturan (rambu – rambu) inilah yang akan menjadi


pedoman manusia dalam menyikapi dan melakukan
tindakan terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya dan
pemuasan potensi naluri, yang secara alami telah ada
dalam dirinya. Aturan inilah yang juga akan
mengantarkan manusia pada kesempurnaan hidup di
dunia. Aturan tersebut berkaitan dengan hukum dan
tatacara (fikroh dan thoriqoh) seharusnya manusia
bersikap dan berbuat di segala aspek kehidupan, yang
mengatur hubungan dirinya dengan Allah SWT dan
hubungan dengan sesama makhluk. Aturan hidup inilah
yang dikenal dengan nama ideologi kehidupan, yang
menjelaskan hokum permasalahan (fikroh) dan
menjelaskan tatacara pelaksanaan hokum permasalahan
(thoriqoh). Aturan tersebut yang akan secara otomatis
menghantarkan manusia membentuk dan menjalin sebuah
ikatan dengan manusia lainnya, yaitu ikatan yang

MAKHLUK SEMPURNA 5
berlandaskan keimanan dan ketakwaan, yang berfungsi
sebagai solusi pemecahan problematika kehidupan
manusia. Ikatan yang mampu dipahami dan memuaskan
akal sehat, menentramkan jiwanya, dan sesuai fitrah
manusia.

Namun saat ini, tidak semua manusia dewasa mau


mengikuti aturan tersebut, tidak mau mengikat diri
dengan ikatan yang berlandaskan keimanan dan
ketakwaan. Mereka terdorong melakukan pemuasan yang
salah dan berlebihan terhadap kebutuhan hidupnya dan
terhadap pemuasan nalurinya, yang berujung pada ketidak
seimbangan kehidupan di dunia. Mereka berusaha
mengumpulkan cara pemuasan kebutuhan hidup dan
pemuasan nalurinya yang tidak berlandaskan aturan yang
telah ditetapkan Allah SWT. Sekumpulan cara dan
pemahaman tentang kehidupan seperti inilah yang disebut
dengan hadlarah batil.

Berbeda dengan hadlarah, madaniyah adalah


bentuk fisik yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai
aspek kehidupan. Madaniyah ini adakalanya terpancar
dan lahir dari sebuah hadlarah tertentu dan adakalanya
madaniyah tidak berhubungan dengan hadlarah tertentu.
Sebagai muslim yang beriman pada Allah SWT, Nabi
Muhammad SAW, dan Alqur’an hendaknya menolak
madaniyah khas yang lahir dan terpancar dari hadlarah
selain islam.

MAKHLUK SEMPURNA 6
Berkaitan dengan cara penyikapan terhadap suatu
keadaan dan pemanfaatan sebuah madaniyah, seorang
muslim diharuskan mengikuti aturan yang telah disajikan
di dalam Alqur’an dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Di
dalamnya telah tercantum secara jelas dan sebagian tersaji
dengan dasar – dasar umum. Oleh sebab itu, dibutuhkan
penjelasan dari orang – orang yang mampu menjelaskan
dasar – dasar umum tersebut dengan syarat memuaskan
akal, menentramkan jiwa, dan sesuai fitrah. Penjelasan –
penjelasan tersebut bisa diperhatikan melalui ijma’
shahabat dan penyamaan suatu kasus (qiyas) dengan
kasus baru oleh seorang mujtahid, hal ini dikarenakan
tidak semua muslim mampu menyimpulkan sendiri
sebuah hukum.

“Katakanlah: Apakah sama antara orang – orang


yang tahu dan orang – orang yang tidak tahu?” (Az
– Zumar: 9)

Berdasarkan empat sumber pengambilan hukum


(alqur’an ,sunnah, ijma’ shahabat, dan qiyas), diperoleh
penjelasan bahwa terdapat lima hukum dasar penyikapan
dan pengamalan dalam suatu keadaan. Lima hukum dasar
tersebut adalah “wajib, mandub (sunnah), mubah,
makruh, dan haram”. Lima jenis hukum dasar peraturan
islam tersebut berkaitan dengan aspek ibadah, akhlak,
makanan, pakaian, muamalah, dan uqubat. Oleh sebab itu

MAKHLUK SEMPURNA 7
seorang muslim tidak diperbolehkan meninggalkan lima
hukum tersebut dikarenakan untuk menjauhi kerugian,
mengambil keuntungan, atau aspek adab (akhlak) semata.

Akhlak merupakan bagian dari produk syariat islam,


yang terikat pada aspek akidah, ibadah, dan mu’amalah.
Dengan kata lain bahwa akhlak merupakan nilai yang
muncul dikarenakan penerapan akidah, ibadah, dan
mu’amalah. Penerapan perintah dan larangan dalam aspek
akidah, akan memunculkan nilai akhlak. Penerapan
perintah dan larangan dalam aspek ibadah, akan
memunculkan nilai akhlak. Begitu pula dengan penerapan
perintah dan larangan dalam aspek mu’amalah, akan
memunculkan nilai akhlak. Oleh sebab itu, setiap muslim
hendaknya memiliki sifat akhlak luhur, tidak lain sebagai
wujud ketaatan atas perintah dan larangan Allah SWT
agar tercapai kesempurnaan hidup di dunia dan layak
mendapatkan kesempurnaan hidup di akhirat.

“Sesungguhnya orang – orang yang beriman dan


beramal sholeh, mereka adalah sebaik – baiknya
makhluk” (Al – Bayyinah: 07)

“Balasan bagi mereka dari tuhannya adalah Surga


Adn, yang mengalir dibawahnya sungai – sungai,
mereka kekal didalamnya. Allah ridlo kepada
mereka dan mereka ridlo kepadanya, hal itu

MAKHLUK SEMPURNA 8
diperuntukkan orang – orang yang takut pada Allah
SWT” (Al – Bayyinah: 08)

MAKHLUK SEMPURNA 9

Anda mungkin juga menyukai