DI SUSUN OLEH :
Kelompok 5
Sri indriyani Ahmad
Ifa rahmatunnisa Lambe
Rahayu Saputri Husain
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hukum islam menjawab perkembangan modern ?
2. Bagaimana metode pembaruan hukum islam ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana hukum islam dalam menjawab perkembangan modern
2. Untuk mengetahui bagaimana metode pembaruan hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
Banyak orang yang melihat hukum Islam sebagai hukum yang kolot, dogmatis, dan tanpa
metodologi yang ketat.
Hukum Islam kadang dikonotasikan sebagai hukumnya orang-orang kolot yang hanya
mengajarkan cara-cara ibadah mahdhah. Padahal, hukum Islam didukung oleh metodologi
penemuan dan penetapan hukum yang tak kalah dari metode- metode ilmu hukum modern.
Ketika akan menugaskan Muadz bin Jabal ke Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz tentang
cara menetapkan hukum jika ada masalah yang harus dihukumi. Muadz pun menjawab,
dirinya akan menghukumi sesuai dengan ketentuan Alquran. ”Bagaimana jika tidak
ditemukan ketentuannya di dalam Alquran?” tanya Nabi. ”Saya akan berpedoman pada
Sunah Rasul,” jawab Muadz. ”Jika tidak menemukan di dalam Sunah?” tanya Nabi lagi.
”Saya akan menggunakan rarayu (akal) untuk berijtihad,” jawab Muadz. Lalu, Nabi memuji
Muadz sebagai sahabatnya yang alim dan ahli hukum. Berdasarkan hadis tersebut, secara
metodologis sejak awal kehadirannya, Islam sudah mengajarkan susunan hukum yang
hierarkis, tak bisa dibalik karena yang lebih tinggi harus menjadi dari dasar dari yang
sesudahnya, yakni, Alquran, Sunah Rasul, ijtihad, dan semua tingkatan-tingkatan dari ijtihad
itu sendiri.
Teori ini mendahului teori stupa dari Hans Kelsen yang menyebut bahwa hukum tersusun
secara berjenjang dan berlapis dengan keharusan bahwa peraturan yang lebih rendah harus
bersumber dan tak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya. Hans Kelsen yang
hidup pada abad ke-20 mengajarkan dalam teori hierarkinya bahwa peraturan perundang-
undangan berjenjang mulai konstitusi, UU, hingga seterusnya ke bawah.
Dalam tata hukum Indonesia pun, teori penjenjangan ini berlaku sehingga yang mengurutkan
peraturan dan perundang- undangan mulai UUD 1945, tap MPR, UU/perppu, PP, perpres,
perda, hingga seterusnya ke bawah. Begitu pun dalam soal hubungan antara hukum dan
masyarakat. Ada teori bahwa hukum berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakatnya
karena hukum bukan ada dalam vacuum.
Hukum dibuat untuk melayani masyarakatnya, sehingga kalau masyarakat berubah maka
hukumnya pun berubah. Kalau zaman atau tempatnya berubah maka hukumnya pun bisa
berubah. Ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum (untuk masyarakat
itu). Dalam teori konstitusi, ada teori resultante dari KC Wheare yang mengatakan bahwa
konstitusi itu adalah produk resultante (kesepakatan) sesuai dengan keadaan sosial ekonomi,
politik, dan budaya saat dibuat.
Karena itu, menurut Wheare, yang melempar teorinya pada abad ke-20, konstitusi bisa
berbeda- beda dan bisa berubahubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi
masyarakat, baik waktu maupun tempatnya. Belasan abad sebelum Wheare lahir, dalam
hukum Islam sudah ada kaidah yang kemudian dipakai oleh Wheare tersebut melalui yang
berbunyi, ”Tak terbantahkan bahwa hukum itu berubah sesuai dengan perubahan waktu,
tempat, dan budaya masyarakatnya”, laa yunkaru taghayyurul ahkaam bitaghayyuril azmaan
wal amkaan wal awalaa yunkaru taghayyurul ahkaam bitaghayyuril azmaan wal amkaan wal
awaid.
Atau kaidah bahwa ”hukum berubah sesuai dengan illah atau latar belakangnya”, alhukmu
yaduuru maalhukmu yaduuru maa illatihi. Umar ibn Khatthab dapat disebut sebagai
fuqohafuqoha yang memberi contoh bahwa implementasi hukum itu disesuaikan dengan
perubahan situasi masyarakat.
Umar tidak memberikan zakat kepada mualaf (orang-orang yang baru masuk Islam), padahal
dalam Alquran disebutkan mualaf adalah salah satu dari delapan kelompok yang berhak
mendapatkan zakat. Alasan Umar, zaman sudah berubah dan Islam sudah kuat sehingga tak
perlu memberi insentif agar orang masuk Islam. Adanya asas dalam hukum modern bahwa
jika ada hukum baru maka hukum lama tak berlaku (lex posteriori derogat legi priori), di
dalam Islam sudah ada asas naasikh dan mansuukh (hukum baru menghapus hukum lama
dalam hal yang sama).
Dalam konteks taksonomi hukum Islam juga dikenal pembidangan dalam berbagai jenis
hukum seperti hukum perdata (syakhshiyyah) , hukum pidana (jinaayah), hukum politik dan
ketatanegaraan (siyaasah) , dan hukum pemerintahan(imaamah) . Kaidah hukmul hakim
yarfaul khilaaf, putusan hakim itu menyelesaikan perbedaan, adalah kaidah di dalam hukum
Islam yang, hebatnya, kemudian berlaku di semua negara dan semua sistem hukum.
Meskipun ketentuan hukum tentang hak dan kewajiban manusia sudah jelas, kerap timbul
perselisihan di antara manusia karena pelanggaran ataupun karena perbedaan tafsir atas
hukum. Karena itulah, ada lembaga pengadilan dan hakim sebagai pengadil. Jika hakim
sudah memutus dengan kekuatan hukum yang tetap maka putusan itu mengikat, mengakhiri
perselisihan, terlepas dari disetujui atau tidak disetujui oleh pihakpihak yang bersengketa.
Kaidah ini menjamin kepastian agar perselisihan bisa diakhiri. Jika dalam membuat putusan
ternyata hakim melakukan kesalahan, hakimnya bisa dihukum tanpa harus mempersoalkan
vonisnya yang sudah final. Jauh sebelum lahirnya teori-teori hukum modern, sebenarnya
hukum Islam sudah modern lebih dulu.
Menurut beberapa literatur metode kodifikasi dan unifikasi hukum modern, yang ditandai
oleh munculnya code penal (kitab hukum pidana) dan code civil (kitab hukum perdata) di
Prancis, didahului dengan pengiriman ahli-ahli hukum Prancis untuk mendalami metodologi
hukum Islam di Universitas Al Azhar, Mesir.
Hukum islam itu harus dinamis, agar tidak luput dari suatu pembaruan. Maka untuk
melakukan suatu pembaruan hukum islam harus di tempuh melalui beberapa metode.
A. Kesimpulan
Dalam era modern umat islam sering dihadapkan pada sebuah tantangan, diantaranya
adalah menjawab pertanyaan tentang dimana posisi islam di dalam kehidupan modern,
serta bentuk islam yang bagaimana yang harus ditampilkan guna menghadapi
modernisasi dalam kehidupan publik, sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemikiran.
Islam dan modernitasi sesungguhnya memiliki jalinan satu kesatuan yang tak bisa
dipisahkan, islam dan modernitasi dalam tingkat pemahaman menjadi sesuatu yang
integral dan tidak untuk dipertentangkan, melainkan satu sama lain untuk saling
melengkapi. Yang dimaksud islam memiliki cakupan rahmatan lil ‘alamin, adalah bahwa
islam harus bisa ditampilkan dalam konteks zaman manapun, dan dapat menyelamatkan
siapa saja.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompasiana.com/dakos/5f39cec4097f362c190350e2/metode-pembaruan-hukum-islam?
page=all
https://nasional.sindonews.com/berita/982341/18/hukum-islam-modern