Anda di halaman 1dari 9

HUKUM ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS

DI SUSUN OLEH :
Kelompok 5
Sri indriyani Ahmad
Ifa rahmatunnisa Lambe
Rahayu Saputri Husain

Jurusan Hukum Pidana Islam


Fakultas Syariah
IAIN sultan amai Gorontalo
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana yang diyakini oleh banyak pakar, bahwa dunia ini tanpa terkecuali sedang
mengalami the grand process of modernization. Menurut ajaran islam, perubahan adalah
bagian dari sunatullah dan merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara
keseluruhan. Maka suatu kewajaran, jika manusia, kelompok masyarakat dan lingkungan
hidup mengalami perubahan. Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh scott gordon
tentang progress, dimana segala sesuatu itu mengalami evolusi, perpindahan atau
perubahan.
Modernisasi selalu melibatkan globalisasi dan berimplikasi pada perubahan tatanan sosial
dan intelektual, karena dibarengi oleh masuknya budaya impor kedalam masyarakat
tersebut. Menurut Boeke, ketika budaya impor yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak
kapitalis, berhadapan dengan budaya lokal, yang berwatak tradisional, terjadi pergulatan
antara budaya luar dengan budaya lokal. Pertarungan kedua budaya tersebut tidak selalu
berakhir dengan model antagonistik, tetapi unsur yang tersisih akhirnya tidak berfungsi
dan digantikan dengan unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan oleh unsur
impor.
Selain masuknya budaya asing globalisasi juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan
sekularisasi. Globalisasi dan sekularisasi seakan-akan merupakan satu paket yang terjadi
di dunia barat dan timur. Konsekuensinya, ajaran dan dogmatisme agama, termasuk
islam, yang semula sakral sedikit demi sedikit mulai dibongkar oleh pemeluknya yang
pandangannya telah mengalami perkembangan mengikuti realitas zaman.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hukum islam menjawab perkembangan modern ?
2. Bagaimana metode pembaruan hukum islam ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana hukum islam dalam menjawab perkembangan modern
2. Untuk mengetahui bagaimana metode pembaruan hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Islam Menjawab Pertanyaan Modern

Banyak orang yang melihat hukum Islam sebagai hukum yang kolot, dogmatis, dan tanpa
metodologi yang ketat.

Hukum Islam kadang dikonotasikan sebagai hukumnya orang-orang kolot yang hanya
mengajarkan cara-cara ibadah mahdhah. Padahal, hukum Islam didukung oleh metodologi
penemuan dan penetapan hukum yang tak kalah dari metode- metode ilmu hukum modern.

Ketika akan menugaskan Muadz bin Jabal ke Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz tentang
cara menetapkan hukum jika ada masalah yang harus dihukumi. Muadz pun menjawab,
dirinya akan menghukumi sesuai dengan ketentuan Alquran. ”Bagaimana jika tidak
ditemukan ketentuannya di dalam Alquran?” tanya Nabi. ”Saya akan berpedoman pada
Sunah Rasul,” jawab Muadz. ”Jika tidak menemukan di dalam Sunah?” tanya Nabi lagi.
”Saya akan menggunakan rarayu (akal) untuk berijtihad,” jawab Muadz. Lalu, Nabi memuji
Muadz sebagai sahabatnya yang alim dan ahli hukum. Berdasarkan hadis tersebut, secara
metodologis sejak awal kehadirannya, Islam sudah mengajarkan susunan hukum yang
hierarkis, tak bisa dibalik karena yang lebih tinggi harus menjadi dari dasar dari yang
sesudahnya, yakni, Alquran, Sunah Rasul, ijtihad, dan semua tingkatan-tingkatan dari ijtihad
itu sendiri.

Teori ini mendahului teori stupa dari Hans Kelsen yang menyebut bahwa hukum tersusun
secara berjenjang dan berlapis dengan keharusan bahwa peraturan yang lebih rendah harus
bersumber dan tak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya. Hans Kelsen yang
hidup pada abad ke-20 mengajarkan dalam teori hierarkinya bahwa peraturan perundang-
undangan berjenjang mulai konstitusi, UU, hingga seterusnya ke bawah.
Dalam tata hukum Indonesia pun, teori penjenjangan ini berlaku sehingga yang mengurutkan
peraturan dan perundang- undangan mulai UUD 1945, tap MPR, UU/perppu, PP, perpres,
perda, hingga seterusnya ke bawah. Begitu pun dalam soal hubungan antara hukum dan
masyarakat. Ada teori bahwa hukum berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakatnya
karena hukum bukan ada dalam vacuum.

Hukum dibuat untuk melayani masyarakatnya, sehingga kalau masyarakat berubah maka
hukumnya pun berubah. Kalau zaman atau tempatnya berubah maka hukumnya pun bisa
berubah. Ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum (untuk masyarakat
itu). Dalam teori konstitusi, ada teori resultante dari KC Wheare yang mengatakan bahwa
konstitusi itu adalah produk resultante (kesepakatan) sesuai dengan keadaan sosial ekonomi,
politik, dan budaya saat dibuat.

Karena itu, menurut Wheare, yang melempar teorinya pada abad ke-20, konstitusi bisa
berbeda- beda dan bisa berubahubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi
masyarakat, baik waktu maupun tempatnya. Belasan abad sebelum Wheare lahir, dalam
hukum Islam sudah ada kaidah yang kemudian dipakai oleh Wheare tersebut melalui yang
berbunyi, ”Tak terbantahkan bahwa hukum itu berubah sesuai dengan perubahan waktu,
tempat, dan budaya masyarakatnya”, laa yunkaru taghayyurul ahkaam bitaghayyuril azmaan
wal amkaan wal awalaa yunkaru taghayyurul ahkaam bitaghayyuril azmaan wal amkaan wal
awaid.

Atau kaidah bahwa ”hukum berubah sesuai dengan illah atau latar belakangnya”, alhukmu
yaduuru maalhukmu yaduuru maa illatihi. Umar ibn Khatthab dapat disebut sebagai
fuqohafuqoha yang memberi contoh bahwa implementasi hukum itu disesuaikan dengan
perubahan situasi masyarakat.

Umar tidak memberikan zakat kepada mualaf (orang-orang yang baru masuk Islam), padahal
dalam Alquran disebutkan mualaf adalah salah satu dari delapan kelompok yang berhak
mendapatkan zakat. Alasan Umar, zaman sudah berubah dan Islam sudah kuat sehingga tak
perlu memberi insentif agar orang masuk Islam. Adanya asas dalam hukum modern bahwa
jika ada hukum baru maka hukum lama tak berlaku (lex posteriori derogat legi priori), di
dalam Islam sudah ada asas naasikh dan mansuukh (hukum baru menghapus hukum lama
dalam hal yang sama).

Dalam konteks taksonomi hukum Islam juga dikenal pembidangan dalam berbagai jenis
hukum seperti hukum perdata (syakhshiyyah) , hukum pidana (jinaayah), hukum politik dan
ketatanegaraan (siyaasah) , dan hukum pemerintahan(imaamah) . Kaidah hukmul hakim
yarfaul khilaaf, putusan hakim itu menyelesaikan perbedaan, adalah kaidah di dalam hukum
Islam yang, hebatnya, kemudian berlaku di semua negara dan semua sistem hukum.

Meskipun ketentuan hukum tentang hak dan kewajiban manusia sudah jelas, kerap timbul
perselisihan di antara manusia karena pelanggaran ataupun karena perbedaan tafsir atas
hukum. Karena itulah, ada lembaga pengadilan dan hakim sebagai pengadil. Jika hakim
sudah memutus dengan kekuatan hukum yang tetap maka putusan itu mengikat, mengakhiri
perselisihan, terlepas dari disetujui atau tidak disetujui oleh pihakpihak yang bersengketa.

Kaidah ini menjamin kepastian agar perselisihan bisa diakhiri. Jika dalam membuat putusan
ternyata hakim melakukan kesalahan, hakimnya bisa dihukum tanpa harus mempersoalkan
vonisnya yang sudah final. Jauh sebelum lahirnya teori-teori hukum modern, sebenarnya
hukum Islam sudah modern lebih dulu.

Menurut beberapa literatur metode kodifikasi dan unifikasi hukum modern, yang ditandai
oleh munculnya code penal (kitab hukum pidana) dan code civil (kitab hukum perdata) di
Prancis, didahului dengan pengiriman ahli-ahli hukum Prancis untuk mendalami metodologi
hukum Islam di Universitas Al Azhar, Mesir.

B. Metode Pembaharuan Hukum Islam

Hukum islam itu harus dinamis, agar tidak luput dari suatu pembaruan. Maka untuk
melakukan suatu pembaruan hukum islam harus di tempuh melalui beberapa metode.

1. Pemahaman Baru Terhadap Kitabullah


Dalam kita memahami alqur'an mesti dengan menggunkan secara konteks dan jiwanya.
Pemahaman koteks yaitu mengetahui asbab an nuzul. Sedangkan pemahaman jiwa
adalah memperhatikan makna dan subtansi ayat tersebut.
2. Pemahaman Baru Terhadap Sunnah
Dilakukan dengan cara mengklasifikasikan sunnah, antara Tasyri' Al-Ahkam (penetapan
hukum) yang wajib menjadi landasan bagi hukum islam dan basyariyyah (kemanusian)
kebiasaan rasulullah sebagai manusia biasa yang tidak wajib semua untuk diikuti.
3. Pendekatan Ta'aqquli (Rasional)
Pendekatan ini dilakukan agar mengetahui kualitas 'illat hukum islam dan tinjauan
filosofisnya, sehingga mudah dipahami oleh umat islam.
4. Penekanan Zawazir Dalam Pidana
Zawazir disini artinya adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana
sehingga ia tidak mengulanginya. Maka hukum islam disini tidak mesti terikat oleh pada
apa yang tertera dalam nash.
5. Masalah Ijma'
Pemahaman ijma' disini adalah dengan mengikuti tingkatan atau kualitas ijma' sarih yang
terjadi hanya pada masa sahabat, mereka para mujtahid berkumpul dalam satu tempat
serta mengemukakan pendapatnya tentang hukum secara jelas, sehingga memiliki
sandaran hukum yang qath'i
6. Masalik Al-'illat (cara penetapan 'illat)
Dalam hal ini kaidah-kaidah yang dirumuskan mengidentifikasi 'ilat hukum yang
basanya dibicarakan dalam kaitang dengan qiyas.
7. Maslahah Mursalah
Artinya kaidah kemashalatan dapat dijadikan sebagai sebagai landasan hukum terhadap
masalah baru yang tidak di singgung dalam al-qur'an dan sunnah.
8. Saad Az-Zari'ah
Mengandung arti bahwa sarana yang membawa ke hal yang haram. Mulanya sarana
hukum itu mubah, akan tetapi karena dapat membawa kepada maksiat, maka sarana itu
diharamkan.
9. Irtijab Akhalf Ad-Dararain
Dalam kaidah ini sangat efektif untuk pembaruan hukum islam terhadap pemecahan
masalah baru. Umpamanya perang di bulan muharram hukumnya haram, tetapi karena
pihak musuh menyerang, maka boleh dibalas karena serangan musuh dapat merusak
terhadap eksistensi agama islam.
10. Keputusan Waliyy al-Amr
Kebijakan atau peraturan undang-undang yang di buat oleh pemerintah waib ditaati
selama tidak bertentangan dengan syariat islam
11. Memfiqihkan Hukum Qath'i
Menurut fukaha kebenaran dalam fiqih tu relatif sedangkan kebenaran qath'i bersifat
absolut, jadi tidak ada ijtohad terhadap nash qath'i. Tapi hal itu hukum islam menjadi
kaku, maka dalam masalah ini qath'i dibagi atas ; Qath'i fi jami' al-ahwal tidak berlaku
ijtihad dan Qoth'i fi ba'd al-ahwal ijthad yang dapat diberlakukan tidak semua hukum
qath'i dari segi penerapannya dan berlaku pada semua masa.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam era modern umat islam sering dihadapkan pada sebuah tantangan, diantaranya
adalah menjawab pertanyaan tentang dimana posisi islam di dalam kehidupan modern,
serta bentuk islam yang bagaimana yang harus ditampilkan guna menghadapi
modernisasi dalam kehidupan publik, sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemikiran.
Islam dan modernitasi sesungguhnya memiliki jalinan satu kesatuan yang tak bisa
dipisahkan, islam dan modernitasi dalam tingkat pemahaman menjadi sesuatu yang
integral dan tidak untuk dipertentangkan, melainkan satu sama lain untuk saling
melengkapi. Yang dimaksud islam memiliki cakupan rahmatan lil ‘alamin, adalah bahwa
islam harus bisa ditampilkan dalam konteks zaman manapun, dan dapat menyelamatkan
siapa saja.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/dakos/5f39cec4097f362c190350e2/metode-pembaruan-hukum-islam?
page=all

https://nasional.sindonews.com/berita/982341/18/hukum-islam-modern

Anda mungkin juga menyukai