Anda di halaman 1dari 20

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang mengatur semua sendi kehidupan, didalamnya

terdapat aturan aturan yang mengikat pada setiap antar individu maupun jama’i,

dimana aturan tersebut adalah hasil kesepakatan (Ijtima’) para ulama. Hasil

kesepakatan tersebut dikimpulkan beserta kaidahnya dan disusun secara sistematis

sehingga menjadi diaebut Taqnin Ahkam.

Pada dasarnya Taqnin al Ahkam adalah sebuah ikhtiar untuk memilih pendapat

yang lebih maslahat, tentang hukum di suatu negara dan waktu tertentu yang dianggap

memiliki daya maslahat yang lebih besar, demi kepentingan masyarakat secara luas.

Untuk itulah paran penguasa dalam hal ini adalah para pembuat konstitusi negara yang

mempunyai wewenang untuk membuat qonun terse but. Dalam hukum islam hal

tersebut diatur dalam ilmu siyasah Dusturiyah yakni siyasah yang mengatur hubungan

warga negara dengan lembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya dalam

batas-batas administrasi negara.

Dalam pembahasan ini akan di urai taqnin ditinjau dari aspek teori hukum

(Taqnin sebagai usaha untuk kepastian hukum, teori Al-Qhodhi Abu Ya’la Al-

Mawardhi dan Ibnu Kholdhun tentang Taqnin)

B. Rumusan Masalah

a. Bagaimanakah taqnin ditinjau dari aspek teori hukum sebagai usaha untuk

kepastian hukum?

b. Bagaimanakah taqnin menurut Al-Qhodi Abu Ya’la Al-Mawardi?

c. Bagaimanakah taqnin munurut Ibnu Kholdun ?

1
C. Tujuan Masalah

a. Untuk mengetahui taqnin ditinjau dari aspek teori hukum sebagai usaha untuk

kepastian hukum.

b. Untuk mengetahui taqnin menurut pandangan Al-Qhodi Abu Ya’la al-Mawardi.

c. Untuk mengetahui taqnin menurut pandangan Ibnu Kholdun.

2
BAB II

Pembahasan

A. Taqnin Tidinjau dari Aspek Teori Hukum

a. Pengertian Taqnin Ditinjau Dari Aspek Teori Hukum Secara Singkat.

Sebelum membahas lebih dalam, alangkah baiknya kita mengetahui secara

singkat pengertian tentang Taqnin, Kata Taqnin (‫ )تقنين‬ialah merupakan bentuk masdar

dari (‫)قنّن‬, yang berarti bentuk undang-undang.1 Namun ada yang berpendapat kata ini

merupakan serapan dari bahasa Romawi, dari kata Conana (ejaan bahasa Arab ‫) قانون‬.

Ada juga yang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata Persia. Pendapat lain seperti

Sobhi Mahmanasi kata Qonun berasal dari bahasa Yunani yang kemudian masuk

menjadi bahasa arab melalui bahasa Suryani yang berarti alat Pengukur atau kaidah.

Di eropa, istilah qonun atau conan dipakai untuk gereja yang disebut pula canonik.2

Qonun kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arabyang berarti ukuran segala sesuatu,

dan juga berarti jalan jalan atau cara (thariqoh).3

Adapun yang dimaksud hukum adalah sesuatu yang disampaikan oleh Allah

berkaitan dengan aturan terhadap perbuatan orang-orang Islam, sebagaimana yang

dikatakan oleh Ghazali dalam Mustashfa.4 Hukum Syar’i ini didapati dalam sumber

Islam yang disepakati yaitu Al-Qur’an, Hadits dan penggalian atas keduanya dengan

menggunakan akal yang diberikan Allah kepada manusia. Perbuatan yang dilingkupi

oleh syariat adalah yang berkaitan dengan hubungan dengan Allah (‫ )ﺣﺒﻞ ﻣن ﷲ‬dan

hubungan dengan manusia (‫)ﺣﺒﻞ ﻣن الناس‬

1
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif. 1984) hal. 1041
2
Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Ialam, (Bandung: al-Maarif, 1976), h. 27
3
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 2 h. 763.
4
Al-Ghozali, Mustafa.

3
Dengan demikian, Taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum dan kaidah

penetapan hukum yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya

secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas,

ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara

berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas

disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di

tengah masyarakat.5

Dalam konteks sekarang, menurut Mahmasani istilah qonun memiliki tiga arti

yaitu: pertama, pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex)

seperti qonun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga, dipakai

secara khusus untuk kaidahkaidah atau aturan yang tergolong dalam hukum muamalat

umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti dewan

legislatif membuat qonun larangan menimbun barang.6

Sebagai perbandingan, dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan

undangundang. Dalam ilmu hukum, hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup

(perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh

karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan

pelanggaran atas peraturan tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah

masyarakat itu. 7 Adapun yang disebut pengertian undang-undang secara umum

diartikan peraturan yang dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu

keputusan tertulis, dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah

laku, dan mengikat secara umum.8

5
Mustafa al-Zarqa, Al-Mudakhol al-Fiqh al-Am, Juz 1 (Bairut Dar al-Qolam, 1418 H), H, 313.
6
Shobhi ....... H, 30
7
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1957), h. 9.
8
Rosjidi Rangga Widjaja, Pengantar Ilmu perundang-undangan di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
1998), H. 10

4
Dalam literatur hukum Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum

Islam mengalami perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang

tertera dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan ulama atau dewan

ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan qonun.9

Qonun dalam konteks sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam,

yakni aturan syara’ yang dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan

berlaku secara umum. Lahirnya Qonun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi

dari sistem hukum yang berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum

Eropa. Atas hal ini, sebagian ulama menganggap formalisasi hukum Islam adalah

sesuatu yang penting sebagai panduan putusan hukum para hakim dalam suatu masalah

yang sama pada lembaga peradilan yang berbeda-beda. Sementara sebagian yang lain

tidak sependapat dengan taqnin al-ahkam dengan argumentasi tersendiri dari mereka.

b. Taqnin Sebagai Usaha Untuk Kepastian Hukum

Dalam perkembangannya, apabila taqnin atau qonun dimaknai secara luas dan

jika diambil salah satu maknanya adalah tasyri’ atau pembentukan hukum, maka

qonun dapat dilacak kebenarannya sejak jaman dimulainya risalah kenabian

Rosulullah SAW. 10 Akan tetapi apabila qonun yang dimaksud adalah konsep

pembentukan hukum sekarang ini, yakni hukum tertulis yang bersifat mengikat,

temporer dan memiliki sangsi hukum yang kuat.

Maka qonun dalam konsep tersebut diatas idenya baru ada dan diterapkan pada

masa Abbasiyah, dimana salah seorang sekertaris negara, Ibnu Muqaffa (w. 756

H/140 H) keturunan persia, mengusulkan gagasan kepada khalifah al-Mansyur

(khalifah kedua Abbasiyah) untuk meninjau kembali doktrin yang beraneka ragam,

9
Jaih Mubarok, Hukum Islam, (bandung: Benang Merah Press, 2006), h. 1
10
Deddy Ismatullah, Gagasan Pemerintahan Moderen dalam Konstitusi Madinah, (Bandung, Sahifah,
2006), hal. 45

5
kemudian mengkodifikasikan dan mengundang-undangkan keputusannya sendiri

dengan tujuan menciptakan keseragaman yang mengikat para qadhi. Kholifah

dapat membuat aturan atau tatanan yang mengikat kekuasaan militer dan sipil, dan

secara umum pada semua masalah yang tidak ada contoh sebelumnya, tetapi

berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah.11

Kemudian perkembangan taqnin di Indonesia dimulai sejak abad ke-15 M

dimana telah banyak berdiri kesultanan Islam dan menjadikan hukum Islam

sebagai aturan negara, meskipun sulit untuk menelusuri bentubentuk konkrit

peraturan yang diterapkannya. Ketika Indonesia masih dijajah oleh kolonial

Belanda, sistem hukum belanda banyak mewarnai sistem hukum yang diterapkan

di indonesia.

Beberapa teori hukum Islam di Indonesia adalah teori receptie in complexu dan

teori receptie a contrario. Teori receptie in complexu dikemukakan oleh Gibb yang

mendapat dukungan dari Lodewijek Willem Cristian van den Berg (1845-1927).12

Menurut teori ini, “bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah

memeluk Islam walaupun dalam pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan-

penyimpangan.” Sedangkan menurut teori teori receptie a contrario, bagi umat

Islam berlaku hukum Islam. Hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan

dengan hukum Islam.

Pasca awal pendirian bangsa Indonesia upaya untuk menerapkan syari’at-

syari’at islam mulai diterapkan. Seperti ide untuk memasukan kewajiban

melaksanakan syari’at islam bagi pemeluk agama Islam. Di era orde baru, sebagian

dari hukum Islam diakomodasi oleh pemerintah dengan lahirnya undang-undang

11
Josep Schcht, Pengantar Hukum Islam (terj), (Bandung Nuansa, 2010), hal. 95.
12
Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya (Bandung: Pustaka setia, 2011), Hal. 81.

6
perkawinan (UU No. 1 tahun 1974), Peraturan Pemerintah tentag wakaf (UU No.

41 tahun 2004), Undang-undang Peradilan Agama (1987), Kompilasi Hukum

Islam (1991). Lebih lanjut pada era reformasi, semangat qonun al-Ahkam semakin

besar baik melalui undang-undang maupun melalui peraturan daerah, dan hasilnya

beberapa undang-undang maupun peraturan daerah berkenaan dengan hukum

Islam telah lahir.13

B. Taqnin Menurut Al-Qhodi Abu Ya’la al Mawardi

a. Biografi singkat Abu Ya’la al Mawardi

Nama lengkap Al- Mawardi adalah Abu Al- Hasan Ali bin Muhammad bin Habib

Al- Bashri Al- Baghdadi. Beliau lahir di Bashra pada tahun 364 H/ 975 M dan Beliau

wafat di Baghdad pada tahun 450 H/ 1058 M.18 Panggilan al Mawardi dinisbatkan

kepada air mawar. (ma ul wardi) karena bapak dan datuknya adalah penjual air

mawar19. Sedangkan julukan al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahirannya.20 Al-

Mawardi merupakan seorang yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan. Beliau ahli

dalam bidang Fikih, Hadits, dan Politik.14

Sebagai ilmuan yang lahir di masa bani Abbasuyah, masa keemasan Islam, dimana

ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat di Baghdad, sehingga masa keculnya ia

habiskan untuk menimbah ilmu di basroh.

Setelah mengenyam pendidikan di kota kelahirannya, ia pindah ke Baghdad dan

bermukim di Darb Az-Za'farani. Di sini Al- Mawardi belajar hadits dan fiqih serta

bergabung dengan halaqah Abu Hamid Al-Isfiroini untuk menyelesaikan studinya.

Selanjutnya, setelah ia menyelesaikan studinya di Baghdad, ia berpindah ke kota lain

untuk menyebarkan (mengamalkan) ilmunya. Kemudian, setelah lama berkeliling ke

13
Hartono Marjono,Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1997),
hal. 125.
14
Taufik Abdullah, ed, Enseklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan peradaban, Jakarta : Ichtiar
baru Van Hoeven, tanpa th, h. 276

7
berbagai kota, ia kembali ke Baghdad untuk mengajarkan ilmunya dalam beberapa

tahun. Di kota itu ia mengajarkan Hadits, menafsirkan Al-Qur'an dan menulis beberapa

kitab di berbagai disiplin ilmu. Al- Mawardi dikenal sebagai tokoh terkemuka Madzhab

Syafi’i. Beliau belajar ilmu Fikih pada seorang ulama fikih terkenal di Basrah, Syekh

Ash- Shamiri dan Syekh Abu Hamid. Ia mendalami Fikih Siyasah pada beliau.15

Semasa hidupnya Al Mawardi bayak mencurahkan hasil pemikirannya ke dalam

karya tulis sebagai khazanah keilmuan umat manusia, diantara karya-karyanya adalah:

1. Al–Ahkam al–Sulthaniyah wal wilayatu al–diniyyah

2. Adab ad-Dunya wa al-Din

3. Al-Hawi al-Kabir

4. Qawanin al-Wizar

5. Siyasah al-Muluk

b. Pemikiran Abu Ya’la al Mawardi tentang taqnin

Pemikiran hukum Abu Ya’la al-Mawardi dapat ditemukan dalam bukunya yang

terkenal Al-Ahkamu al-Shulthoniyah Wal-Wilayatu Al-Diniyah. Dalam karyanya

tersebut al-Mawardi menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang kaidah sistem

politik, administrasi, keuangan, peperangan, sosial di dalam negara. Namun, dalam

kitabnya masih mencampur adukan hukum-hukum syara’ yang membahas sistem

pemerintahan (nidzam al-hukm), sistem ekonomi (nidzom al-iqtishodi), sangsi hukum,

termasuk masalah administrasi didalam satu kitab.

Dasar penulisan kitab tersebut adalah atas permintaan khalifah pada masanya yaitu

Al-Qa’im bi Amrillah (422-467 H). Yang pada waktu itu ia menjabat sebagai qadhi al-

15
Taufik Abdullah, ed, Enseklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeven, tt, Hal. 276

8
qudhat. Dalam beberapa kitab-kitab karya al-qhodi Al-Mawardhi lebih banyak

ditemukan taqnin mengenai teori-teori tentang hukum kenegaraan.

Menurut Fathiyah an-Nabrawiyah (pemikir politik dari Mesir), pemikiran al-

Mawardi berangkat dari kerangka teori hukum yang berdasarkan pada prinsip hukum

Islam. Artinya, pendekatan fikih merupakan titik tolak teori hukum Al Mawardi.16

Al-Mawardi berijtihad dan menyusun sebuah kerangka hukum tentang apa yang

harus dilakukan dalam suatu pemerintah, seperti ketentuan pokok dalam pengangkatan

seorang khalifah, tugas-tugas khalifah dan pejabat negara, dan hubungan negara dengan

rakyat.

Berikut adalah pokok-pokok pemikirannya dalam sebuah hukum kenegaraan.

1. Konsep Sebuah Kenegaraan

Dalam pandangan al-Mawardi, dari segi politik negara diperlukan enam sendi

utama sebagai berikut:

a. agama yang dianut dan dihayati sebagai kekuatan moral. Agama dapat

mengendalikan keinginan dan hawa nafsu manusia. Karena menjadi

pengawas melekat pada hati nurani manusia, maka agama merupakan sendi

yang paling pokok bagi kesejahteraan dan stabilitas Negara.

b. penguasa yang kharismatik, berwibawa dan dijadikan teladan. Dengan

memiliki sifatsifat itu, seorang penguasa dapat mempersatukan

aspirasiaspirasi yang berbeda-beda (heterogen); membina Negara untuk

mencapai tujuan luhur; menjaga agar agama dihayati serta diamalkan; dan

melindungi rakyat, kekayaan, serta kehormatan mereka. Dalam konteks ini,

penguasa adalah imam atau khalifah.

16
Abdul Aziz Dahlan, Enseklopedi Hukum Islam (cet. 1; Tnt : Dar al-Fikr, 1960)

9
c. keadilan yang menyeluruh. Sebagai tujuan luhur dan paling esensial,

keadilan berkait erat dengan syarat untuk menjadi penguasa, yaitu seorang

yang adil. Keadilan bagi masyarakat adalah cermin sebuah Negara makmur

dan bermoral.

d. keamanan yang merata. Situasi aman sangat tergantung pada keadilan.

Dengan meratanya keamanan, rakyat hidup tenang dan dapat melaksanakan

kewajiban dan haknya sebagai rakyat.

e. kesuburan bumi (tanah). Bumi yang subur menjamin kebutuhan rakyat akan

bahan pangan, pakaian dan kebuthan materi lainnya. Oleh karena itu, bumi

harus diolah dan dimanfaatkan secara maksimal.

f. Harapan kelangsungan hidup. Dalam kehidupan manusia terdapat kaitan

yang erat anatara generasi dengan generasi yang lain. Generasi yang

sekarang adalah pewaris dari generasi yang lalu, dan yang mempersiapkan

saransarana dan wahana-wahana hidup bagi generasi yang datang. Nabi

Muhammad bersabda, “Adanya harapan adalah satu rahmat dari Allah

kepada umatku. Kalau misalnya tidak ada harapan orang tidak akan (payah-

payah) menanam pohon, dan seorang ibu tidak akan menyusui anaknya.”

2. Sistem Pemerintahan.

Sistem pemerintahan dalam pandangan al-Mawardi mendasarkan teori

politiknya atas dasar kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik

menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi, misalnya dengan

mempertahankan status quo. Oleh karena itu, sistem pemerintahannya seperti

konsep mengenai kepemimpinan dan cara-cara pemilihannya sangat

dipengaruhi oleh konteks politik yang berkembang pada masa hidup al-

Mawardi.

10
a. Konsep Imamah (Kepmimpinan)

Yang dimaksud oleh al-Mawardi dengan imamah adalah khalifah, raja,

sultan atau kepala Negara. Menurutnya, imamah adalah jabatan politis

keagamaan. Imam adalah pengganti (khalifah) Nabi Saw. yang bertugas

menegakkan agama dan mengatur politik umat Islam.17 Dengan demikian,

seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama dan di pihak lain

sebagai pemimpin politik. Hukum untuk mendirikannya adalah wajib

menurut syarak atas dasar ijmak umat. Pandangannya ini didasarkan pada

beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya QS. An-Nisa/4: 59.

‫يا أيهاالذين أﻣنوا اطيعوﷲ وأطيعوا الرسول واولى األﻣر ﻣنكم‬

Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Muhammad), dan uli Amri (Pemegang kekuasaan) di antara kamu.....

Sedangkan dasar-dasar atau pokok-pokok imamah, al-Mawardi juga

merujuk pada al-Qur’an dan asSunnah an-Nabawiyyah, yaitu majelis Syura

(pemufakatan) dan baiat (persetujuan dan pengakuan umat). Sebagai

realisasinya telah dilakukan pemilihan atas pengangkatan Abu Bakar

sebagai khalifah atas dasar pemufakatan (syura) para pemuka Ansar dan

Muhajirin dalam sidang yang berlangsung di Saqifah (bangsal) Bani

Sa’idah di Madinah. Pengangkatan itu kemudian mendapat persetujuan dan

pengakuan umat (baiat). Tradisi ini tetap berlaku pada pengangkatan dan

pemilihan khalifahkhalifah berikutnya.

17
Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Jakarta : Qisthi Press 2017) Cet. 2 Hal : 9

11
b. Mekanisme Pemilihan dan pengangkatan Imam.

Menurut Mawardi, cara pemilihan pemimpin menggunakan dua pola,

yaitu pemilhan yang dilakukan oleh ahl al-hall wa al-aqd dan penunjukan

atau wasiat dari imam, khalifah atau raja sebelumnya. Dalam konteks ini,

Imam al-Maward mengemukakan bahwa :

1) Ahl al-Ikhtiar (para pemilih). Menurutnya, tidak semua orang berhak

melakukan pemilihan atas imam. Imam hanya dipilih oleh wakil-

wakil rakyat dengan memiliki syarat-syarat tertentu, seperti bersifat

adil, mengetahui syarat-syarat khalifah, dan memiliki kesanggupan

untuk menentukan dengan bijaksana siapa yang berhak menjadi

khalifah dari calon-calon yang ada. Wakil-wakil rakyat ini disebut

ahl al-hall wa al-aqd (orang-orang yang mempunyai wewenang

untuk memecahkan masalah dan menetapkan keputusan). Begitu

pentingnya kewenangan ahl al-hall wa alaqd, maka Imam al-

Mawardi menetapkan beberapa syarat menjadi ahl al-Ikhtiar, yaitu:

(1) memiliki sikap adil; (2) memiliki ilmu pengetahuan yang mampu

mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat sebagai

imam; dan (3) memiliki wawasan yang luas dan kearifan dalam

memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam dan mampu

mengelola kepentingan umat di antara mereka yang memenuhi

syarat untuk jabatan itu.18

2) Ahl al-Imamah (yang berhak dipilih). Imam atau khalifah harus

memenuhi tujuh kriteria; (1) memiliki sifat adil dengan segala

persyaratannya, (2) memiliki ilmu pengetahuan yang memadai

18
Imam Al-Mawardi, al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, hal. 17.

12
untuk berijtihad dalam masalah hukum dan pengelolaannya, (3)

sehat mental, (4) sehat fisik, (5) berwawasan luas untuk mengatur

kehidupan dan kepentingan umat, (6) memiliki keberanian dan

ketegasan untuk melindungi rakyat dan menumpas musuh, dan (7)

keturunan Kuraisy,16 karena telah ditetapkan oleh nas dan ijmak

sebagaimana disabdakan,

“al-A’immah min Quraisy”, yang artinya: “Para pemimpin

adalah harus dari keturunan Kuraisy” (HR. al-Bukhari dan

Muslim).

Dengan adanya pemilihan dan persyaratan yang cukup ketat

dalam pengangkatan calon imam maka tentu berkonsekwensi pada

kemungkinan adanya pemakzulan atau pemecatan seorang Imam

jika sudah menyimpang dari kriteria dari seorang pemimpin. Di

sinilah pentingnya adanya perjanjian Imam dengan umat sebagai

komitmen untuk menjalankan kewajibannya dengan tulus dan

ikhlas. Bagi umat, perjanjian itu mengandung arti bahwa mereka

akan mematuhi dan mendukung khalifah atau Imam. Jika kepatuhan

umat itu hilang yang disebabkan imam melanggar perjanjiannya

dengan umat maka kekhalifahannya juga akan hilang hingga terjadi

pemakzulan/pemecatan Imam. Menurut Imam al-Mawardi,

kehilangan kekhalifahan dapat terjadi apabila (1) khalifah atau imam

kehilangan sifat adil, memperturutkan hawa nafsu, dan melakukan

kemungkaran; (2) khalifah atau imam kehilangan kesehatan mental

atau fisik (misalnya kehilanga akal, penglihatan, rasa, dan

penciuman);17 (3) khalifah atau imam menjadi tawanan atau

13
kekuasaannya dirampas oleh sultan atau amir yang mengakibatkan

kemerdekaannya hilang.18 Konsep dasar dari Imam al-Mawardi

inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya teori kontrak sosial.

c. Teori Kontrak Sosial

Dengan adanya gagasan ketatanegaraan al-Mawardi mengenai

perjanjian atau kontrak sosial semakin memperjelas pentingnya hubungan

antara ahl al-aqdi wa al-Halli atau ahl al-Ikhtiar dan imam atau kepala

Negara. Hubungan ini merupakan hubungan antara dua pihak peserta

kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau

persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak

atas dasar timbal balik. Oleh karenanya, selain berhak untuk ditaati oleh

rakyatnya dan menuntut loyalitas penuh dari mereka, imam juga

mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya,

seperti memberikan perlindungan kepada mereka dan mengelola

kepentingan mereka dengan baik dan penuh tanggung jawab.

Menurut al-Mawardi, antara lain yang menjadi kewajiban seorang imam

adalah: (a) menjaga dasar-dasar agama yang telah disepakati ulama salaf,

(b) menegakkan keadilan, supaya yang kuat tidak menganiaya yang lemah

dan yang lemah tidak merasa teraniaya, (c) menegakkan hukum, supaya

agama Allah SWT dan hak-hak umat terjaga, (d) menjaga keamanan dan

menjaga daerah kekuasaannya dari gangguan musuh dan penjahat, sehingga

umat dapat menjalankan kehidupan mereka dengan baik dan jiwa dan harta

mereka terjamin, (e) mengadakan jihad atau memerangi orang-orang yang

memusuhi Islam, sehingga mereka menganut Islam atau mengikat

perjanjian damai supaya semua orang bebas menganut dan menjalankan

14
Allah swt. (f) mengatur pengelolaan keuangan negara.19 Sedangkan

hakhak imam diperoleh apabila imam telah menjalankan kewajibannya dan

memberikan hak rakyat serta menunaikan hak Allah swt, maka rakyat

berkewajiban mematuhi dan mendukung kebijaksanaannya.19

C. Taqnin Menurut Pandangan Ibnu Kholdun

a. Biografi singkat Ibnu Kholdun

Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Waliyuddîn Abu Zaid Abdurrahmân bin

Muhammad Ibnu Khaldun al-Hadrami al-Ishbili ( ‫عﺒد الرﺣمن بن ﻣحمد بن خلدون‬

‫)الحضرﻣي‬. Beliau dilahirkan di Tunisia pada awal Ramadlan 732 H atau tanggal 27

Mei 133220 dan wafat di Kairo pada tanggal 17 Maret 1406 pada usia 73 tahun.

Keluarganya berasal dari Hadramant yang kemudian berimigrasi ke Seville

(Spanyol) pada abad ke-8 setelah semenanjung itu dikuasai Arab Muslim. Keluarga

ini pro-Umayyah dan selama bertahuntahun menduduki posisi tinggi dalam politik

di Spanyol sampai akhirnya hijrah ke Maroko. Setelah dari Maroko, mereka

menetap di Tunisia dan di Negara ini mereka dihormati pihak istana dan diberi tanah

milik dinasti Hafsiah. Ibnu Kholdun sering disebut bapak pendiri ilmu historiografi,

sosiologi dan ekonomi.Nama Ibnu kholdun mencuat secara global pada abad ke-17.

Hal ini agaknya wajar. Sebab semasa beliau hidup, peradaban umat Islam sedang

meredup baik di Timur mapun di barat. Sementara itu, orang-orang Eropa baru

mengetahui karya-karya Ibnu Kholdun sejak abat ke-19. Para ilmuan eropa begitu

terkesan dengan pemikiran Ibnu Kholdunmengenai sosioligi yang mendahului

zamannya, khususnya dalam buku Muqaddimah. Sebagai informasi, istilah

19
Imam Al-Mawardi, al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, hal. 17.
20
Abdurrahman Ibnu Kholdun, At-Ta’rif bin Ibnu Kholdun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqon. Lajnah al-
Ta’rif wa Tarjamah wa al-Nasr, Cairo, 1951, hal. 1.

15
sosiologi itu sendiri baru muncul pada abad ke-19 ketika digagas oleh filsuf prancis

yaitu Auguste Comte.

Adapu karya-karya Ibnu Kholdun yang sangat bernilah diantaranya adalah

1. At-Ta’rif bi Ibn Kholdun. Sebuah kitab auto biografi, catatan dari kitab

sejarahnya.

2. Muqoddimah (Pendahuluan atas kitab al-‘Ibar yang bercorak sosiologis-

historis, dan filosofis.

3. Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin. Sebuah kitab tentang permasalahan dan

pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal

afkaar al-Mutaqoddimiin wa al-Muta’akhiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).

DR. Bryan S. Turner, seorang guru besar sosiologi di Universitas of

Aberdeen, Scotland dalam artikelnya “The Islamic Review and Arabic Affairs” di

tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan,

“Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari

tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli

sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa

Inggris).” Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah

(pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus

dikaji hingga saat ini.21

b. Pemikiran Ibnu Kholdun tentang taqnin dalam lingkup kenegaraan

Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang terkenal Mukaddimah merumuskan teori

tentang hukum negara. Tolak ukur yang dijadikan kriteria oleh Ibnu Khaldun adalah

kekuasaan yang dihubungkannya dengan kemajuan peradaban. Atas dasar tolok

21
https://www.biografiku.com/biografi-ibnu-khaldun-peletak-dasar/ di akses tanggal 10/09/51 jam
11.11

16
ukur itu Khaldun membedakan negara kedalam dua kelompok: 1) Negara dengan

kekuasaan yang bersifat alamiah; dan 2) Negara dengan kekuasaan yang bersifat

politik. Tipe negara dengan kekuasaan alamiah ditandai oleh berlakunya hukum

rimba. Kekuasaanlah yang mengantarkan penguasa keatas singgasananya.

Pertimbangan kebaikan dan keadilan tidak mendapatkan tempat dalam proses

merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam negara dengan tipe seperti ini.

Sedang pada tipe kedua kekuasaan tidak diraih berdasarkan kekuatan fisik,

melainkan dengan menggunakan saran-sarana yang sesuai dengan peradaban.

Negara menurut tipe yang kedua ini dapat dibedakan kedalam tiga bentuk: a)

Negara Agama/Negara Syari‘ah (Siyasah Diniyah); b) Negara Kebangsaan

(Siyasah Agliyah); dan c) Negara Kerakyatan (Siyasah Madaniyah).22

Menurut Ibnu Khaldun, negara dengan tipe negara syari‘ah (Siyasah Diniyah)

lah yang merupakan negara ideal. Disini negara diselenggarakan menurut tuntutan

Alqur‘an dan Sunnah. Alqur‘an dan Sunnah memuat prinsip-prinsip syari‘ah.

Karena itu, dalam rangka implementasi dari prinsip-prinsip tersebut dimungkinkan

ijtihad dengan menggunakan akal fikiran. Ijtihad merupakan penggalian terhadap

hukum Islam dengan penalaran menggunakan Alqur‘an dan Sunnah sebagai

sumbernya untuk menjawab persoalan-persoalan yang tidak terdapat jawabannya

secara tegas dalam Alqur‘an dan Sunnah. Dengan demikian, dalam negara Syari‘ah

ini Alqur‘an, Sunnah Nabi dan Akal Fikiran mendapat tempat.

Menurut Taha Husayn, Ibnu Kholdun mendasarkan teori hukum dalam Islam

yaitu pada hukum kausalitasnya (Qanun al-Illiyyah) yang dilihatnya membentuk

22
Dian Bakti, Jurnal Keberadaan dan Penerapan Peraturan Daerah Syari’ah sebagai perundang-
undangan. (http://ejournal.kopertis10.or.id/index.php/soumlaw) Hal. 78.

17
peradaban (‘umran).23 Mengutip pendapatnya dalam kitab Muqaddimah, Ibn

Khuldun berkata:24

‫أنا نشاهد هذا العالم بما فيه ﻣن المخلوقات كلها على هيئة ﻣن الترتيب‬

‫ واستحالة بعض‬،‫ واتصال األكوان باألكوان‬،‫ وربط األسﺒاب بالمسﺒﺒات‬،‫واإلﺣكام‬

.‫ ال تنقضي عجائﺒه في ذلك وال تنتهي غاياته‬،‫الموجودات إلى بعض‬

Artinya : Kami Menyaksikan bahwa sesungguhnya alam ini dan segala

makhluk isinya, keadaan semuanya teratur dalam hukum alam, terkait hubungan

dengan sebab akibat, kejadian-kejadian saling berhubungan, dan perubahan satu

keadaan kepada sebagian yang lain, keajaibannya tidak berakhir,

Teori ibnu Kholdun ini berguna untuk kebijakan hukum dalam konteks rekaysa

sosial (sosial enginering), yaitu menerapkan hukum dalam rangka mewujudkan

maslahat. Pada masa sekarang ini, ijtihad dimaksud disebut sebagai al-ijtihad al-

maqasidi. Menurut al-Khamidi, al-Ijtihad al-Masaqasidi adalah beramal dengan

maqasid al-syari’ah, menjadikannya rujukan, dan memperhitung-kannya dalam

melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah fikih.25

23
Taha Husayin, Filsafah Ibn Khaldun.... Hal. 40.
24
Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut; Dar al-Fikr, t.th), Hlm. 95.
25
Nurdin bin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi; Hujiyatuhu, Dawabituhu, wa Majalatuhu
(Qarat; wazarat al-awqof wa syu’un al-Islamiyyah, 1998), hlm. 39.

18
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

1. Taqnin adalah tasyri’ atau pembentukan hukum yang tertulis dan bersifat mengikat.

Taqnin sebagai usaha untuk kepastian hukum di indonesia sudah ada upaya untuk

penerapan syari’at-syari’at islam, seperti ide untuk memasukan kewajiban

melaksanakan syari’at islam bagi pemeluk agama islam pada masa awal

kemerdekaan, lahirnya undang-undang perkawinan, PP tentang wakaf, UU

peradilan Agama dan KHI.

2. Pemikiran Al-Mawardi tentang taqnin dapat ditemukan dalam kitabnya al-Ahkam

al-Sulthoniyah wal-Wilayatul al-Diniyah. Dalam karyanya tersebut al-Mawardi

menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang kaidah sistem politik, administrasi,

keuangan, peperangan, sosial di dalam negara. Namun, dalam kitabnya masih

mencampur adukan hukum-hukum syara’ yang membahas sistem pemerintahan

(nidzam al-hukm), sistem ekonomi (nidzom al-iqtishodi), sangsi hukum, termasuk

masalah administrasi didalam satu kitab.

3. Pemikiran Ibn Kholdun tertuang dalam kitabnya Muqaddimah, dimana didalam ia

merumuskan teori tentang hukum bernegara, Ibn Kholdun membedakan negara

kedalam dua bentuk, 1). Negara dengan kekuasaan yang bersifat alamiah, dan 2).

Menurutnya negara dengan kekuasaan yang bersifat politik. Negara yang bentuk

politik inilah dengan tipe Syari’ah (Siyasah Diniyah) yang merupakan negara ideal.

19
Daftar Pustaka

Abdul Aziz Dahlan, Enseklopedi Hukum Islam (cet. 1; Tnt : Dar al-Fikr, 1960
Abdurrahman Ibnu Kholdun, At-Ta’rif bin Ibnu Kholdun wa Rihlatuhu Gharban wa
Syarqon. Lajnah al-Ta’rif wa Tarjamah wa al-Nasr, Cairo, 1951.
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya, Pustaka Progressif. 1984.
Al-Ghozali, Mustafa.
Deddy Ismatullah, Gagasan Pemerintahan Moderen dalam Konstitusi Madinah,
Bandung, Sahifah, 2006
Dian Bakti, Jurnal Keberadaan dan Penerapan Peraturan Daerah Syari’ah sebagai
perundang-undangan. (http://ejournal.kopertis10.or.id/index.php/soumlaw)
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta, Ichtiar, 1957.
Hartono Marjono,Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung,
Mizan, 1997.
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz 2
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.
Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Jakarta: Qisthi Press 2017, Cet. 2.
Jaih Mubarok, Hukum Islam, Bandung, Benang Merah Press, 2006
Josep Schacht, Pengantar Hukum Islam (terj), Bandung, Nuansa, 2010.
Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung, Pustaka setia, 2011.
Mustafa al-Zarqa, Al-Mudakhol al-Fiqh al-Am, Juz 1 Bairut Dar al-Qolam, 1418 H
Nurdin bin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi; Hujiyatuhu, Dawabituhu, wa
Majalatuhu, Qarat, wazarat al-awqof wa syu’un al-Islamiyyah, 1998.
Rosjidi Rangga Widjaja, Pengantar Ilmu perundang-undangan di Indonesia, Bandung,
Mandar Maju, 1998.
Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Ialam, Bandung, al-Maarif. 1976.
Taufik Abdullah, ed, Enseklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan peradaban,
Jakarta, Ichtiar baru Van Hoeven, tanpa th.
Taufik Abdullah, ed, Enseklopedi Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban,
Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeven, tt.
Taha Husayin, Filsafah Ibn Khaldun
https://www.biografiku.com/biografi-ibnu-khaldun-peletak-dasar/ di akses tanggal
10/09/51 jam 11.11

20

Anda mungkin juga menyukai