Anda di halaman 1dari 10

MINI PAPER

Nama : Normadyanty

:Sustika lestari

Kelompok : X ( sepuluh )

Mata Kuliah : Hukum Adat

HK1 SMT5

EKSISTENSI HUKUM ISLAM dan HUKUM ADAT DIINDONESIA

A. Pengertian Hukum Adat dan Hukum Islam

1. Hukum Adat

Secara etimologi kata “Adat” berasal dari bahasa Arab yaitu kata ‫ العادة‬al-‘adat yang
berarti suatu perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.1 Dalam bahasa Indonesia makna “Adat” adalah “Aturan (perbuatan dan
sebagaianya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala”. 2 Dari term Adat ini
munculah istilah Hukum Adat yaitu hukum yang bersumber dari adat dan budaya suatu
masyarakat. Cornelis Van Vollenhoven menyebutkan bahwa Hukum Adat adalah
“Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum)
dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat)”. 3

Dalam ruang lingkup Indonesia maka Hukum Adat adalah norma dan aturan yang
berlaku di suatu wilayah adat di Indonesia yang ditaati dan dilaksanakan oleh
masyarakatnya, bagi yang melanggar aturan dan norma ini akan mendapatkan sanksi
yang berupa hukuman fisik atau hukuman sosial.

2. Hukum Islam

1
Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Maktabah Syamilah Edisi Ketiga
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. 2008), hlm. 8.
3
Moh. Koesnoe, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini. (Surabaya: Airlangga University Press. Tt) hlm.
15.
Hukum Islam adalah “Syariat Allah ta’ala yang bersifat menyeluruh berupa hukum-
hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Syari’ah) serta hukum-hukum
yang dihasilkan oleh para ahli hukum Islam dengan menggunakan metode ijtihad
(fiqh)”.

Kajian mengenai Hukum Islam seringkali memahami hukum Islam sebagai syariah
Islam atau fiqh Islam, padahal keduanya memiliki perbedaan mendasar. Syariah
menurut bahasa bermakna ‫)الوارد‬al-warid) yang berarti jalan dan ‫الماء نحو‬yaitu tempat
keluarnya (mata) air. Sedangkan menurut istilah adalah “Seperangkat norma yang
mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala, serta
bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat
adalah apa-apa yang disyariatkan Allahkepada para hambaNya. 4

Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah adalah :

Segala sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien (agama) dan diperintahkanya
seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya 5.

Senada dengan pengertian ini Mahmud Syalthut mendefinisikan syariah dengan


"Sebuah nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam
bentuk ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam
berhubungan dengan Allah dan antar sesama manusia.6"

Sementara Hasbi Ash-Shidieqy mendefinisikan syariah dengan “Segala yang


disyariatkan Allah untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh Al-Qur'an ataupun
sunnah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirnya”. 7

Sedangkan Mohammad Daud Ali menyatakan bahwa syariah adalah Norma hukum
dasar yang ditetapkan Allah yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang

4
Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith, hal. 732.
5
Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz V, hlm. 86.

6
Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 73.

7
Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra , 2001. hlm. 18.
berkaitan dengan akhlak baik dalam hubungannya dengan Allah maupun sesama
manusia dan benda dalam masyarakat8.

Fathurrahman Djamil yang menyimpulkan bahwa istilah hukum Islam tidak


ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur'an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada
dalam Al-Qur'an adalah kata syari'ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya,
kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law” dari literatur barat. 9

Berbeda dengan istilah syariah yang mewakili hukum Islam yang qath’i, makafiqh
Islam adalah “Serangkaian hukum Islam yang bersifat furu’ (cabang) yang berkaitan
dengan perbuatan hamba yang digali dari dalil-dalil yang terperinci”. Fiqh atau al-fiqhu
‫ الفقھ‬secara bahasa adalah ‫(الفھم‬al-fahmu) yang berarti “memahami”.Di dalam Al-Qur’an
istilah fiqh yang bermakna pemahaman, sebagaimana dalam QS At-Taubah: 122."

Dalam Lisaan Al-Arab disebutkan :

‫والفهم له ّ العلم بالشيء‬

Al-Fiqh adalah ilmu tentang sesuatu dan pemahaman tentangnya. 10

Sedangkan secara istilah fiqh adalah :

‫معرفة األحكام الشرعية العملية بأدلتها التفصيلية‬

Pengetahuan tentang-tentang hukum syariat yang bersifat praktis yang diambil


dari dalil-dalil yang terperinci11.

Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa Hukum Islam adalah Hukum Allah ta’ala
bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam bentuk syariah Islam dan hukum-hukum

8
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, Tahun 2006, hal. 47

9
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. hlm. 11.

10
Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Juz XIII, hal. 522

11
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh. (Kairo : Dar Al-Hadits. 2003), hlm. 11.
yang digali oleh para ulama mujtahidin dari kedua sumber hukum Islam tersebut dalam
bentuk Fiqh Islam.

System hukum Adat dan system Hukum Islam adalah bahan bagi system Hukum
Nasional di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia didasarkan pada nilai-nilai
adiluhung yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia yang terangkum dalam rumusan
Pancasila dan UUD Tahun 1945. Menurut Muhammad Daud Ali adalah Hukum Nasional
adalah hukum yang berlaku di satu bangsa atau di satu negara nasional tertentu. 12
Dalam kasus Indonesia, hukum nasional adalah hukum yang dibangun oleh Bangsa
Indonesia dan berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia sebagai pengganti hukum
colonial Belanda.

Hukum Nasional Indonesia adalah bentuk harmonisasi dan unifikasi berbagai


system hukum yang ada. Adanya pengaruh hukum Adat, hukum Islam dan hukum
kolonial Belanda menjadikan Hukum Nasional Indonesia merupakan bukti kesadaran
hukum, cita-cita moral, cita-cita bathin dan norma yang hidup dalam masyarakat bangsa
Indonesia. Semua system hukum tersebut dilandaskan pada Pancasila sebagai yang
tercantum dalam aleniea ke empat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal
29 ayat 1 yang menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hukum dasar
yang dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam bernegara.

B. Penyatuan dan Pemisahan Hukum Islam dan Hukum Adat

Politik hukum kolonial yang menyatukan Hukum Islam ke dalam Hukum Adat
(untuk aspek dan hal tertentu), sangat berperan dalam konsep dan rumusan-rumusan,
hingga sekarang ini,, seperti dalam masyarakat adat Minangkabau, Gorontalo, dan
Bolaang Mongondow di kenal ungkapan " Adat bersendi Syara' " Yang bermakna bahwa
adat itu ditopang oleh Hukum Islam ( Hukum syar'i/Hukum suara ). Sebagai politik
Hukum kolonial, terkait upaya penguasa kolonial untuk mengendalikan sistem hukum
yang berlaku sekaligus menawarkan sistem hukum kolonial sebagai sumber hukum di
wilayah jajahan,sebagaimana peran Hurgronye yang melahirkan Teori Receptie, artinya,
Hukum Islam dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh

12
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, hal. 266
masyarakat adat, maka kemudian berlakulah Hukum Adat, seperti yang tertuang dalam
Pasal 134 IS yang sering disebut Pasal Receptie 13

Politik hukum kolonial yang menyatukan Hukum Islam dan Hukum Adat selain
terumus dalam konsep dan beberapa teori produk pakar hukum kolonial, terus
berlangsung hingga tercapainya kemerdekaan Negara Republik Indonesia, kemudian
muncullah beberapa teori baru seperti yang dirumuskan oleh Sajuti Thalib dengan
nama Teori Receptio a Contario bahwa: 1. Bagi orang Islam berlaku Hukum Islam; 2. Hal
tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya;
dan 3. Hukum Adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama
Islam dan Hukum Islam. Teori ini disebut dengan nama receptio a contratio karena
menurut teori kebalikan ( contra ) dari Teori Receptio.

Dengan demikian, upaya hukum untuk memisahkan kedudukan dan peran Hukum
Islam dari Hukum Adat semakin jelas dan terarah.

Pada masa penguasaan kolonial di Hindia Belanda, bersamaan pula dengan


masuknya sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System) sebagaimana dianut dan
diterapkan di Negara Belanda, kemudian diadopsi di wilayah jajahannya di Hindia
Belanda yang antara lainnya dalam bentuk Burgerlijk Wetboek (BW), Wetboek van
Koophandel (WvK.), Wetboek van Strafrecht (WvS) sebagai kitab-kitab kodifikasi yang
bercorank peraturan perundang-undangan dan mengusung aspek kepastian hukum.

Sebagai hukum yang sebagian besar tidak tertulis, maka Hukum Adat yang semula
dikonsepsikan bersama dengan Hukum Islam juga berhadapan dengan kuatnya sistem
perundang-undangan sebagai sistem hukum yang berlaku. Hukum Adat yang sebagian
besar tidak tertulis, berhadapan dengan sistem hukum perundang-undangan yang
bersifat tertulis, dan kenyataannya hingga pasca-kemerdekaan Indonesia, produk
hukum kolonial sebagai warisan hukum Belanda, terus berlaku sebagai sumber hukum
dalam tata hukum di Indonesia berdasarkan asas konkordansi.

C. Eksistensi Hukum Islam dan Hukum Adat

13
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, Tahun 2006, hal. 47
Kedua sistem hukum di Indonesia tersebut saling pengaruh-mempengaruhi yang
menunjukkan sebagai sistem terbuka, namun dalam perkembangannya terjadi
penggerusan dan pelemahan terhadap kedudukan Hukum Adat sebagai suatu sistem
hukum baik terhadap substansi hukumnya maupun terhadap struktur
hukumnya.Sedangkan pada Hukum Islam terjadi justru sebaliknya, dan Hukum Islam
semakin mempersiapkan dan melengkapi dengan berbagai substansi hukum maupun
struktur hukumnya. Suatu sistem hukum senantiasa terdapat tiga unsur atau
komponennya14 .yakni unsur struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum.
Dalam Hukum Adat, bagian dari substansi hukumnya seperti penghapusan pengadilan
adat dan dengan demikian penghapusan pula terhadap struktur hukumnya, telah
berlangsung pasca-kemerdekaan Indonesia. Padahal, putusan-putusan pengadilan adat
menjadi bagian penopang eksistensi Hukum Adat.

Ketika berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan


Kehakiman, ditentukan penghapusan peradilan adat dalam Pasal 39, dan berdasarkan
penjelasan atas Pasal 39 ini disebutkan bahwa berdasarkan pada UU No. 1 Drt. Tahun
1961 tentang tindakan sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan,
Kekuasaan dan Acara Peradilan, Sipil, pada Pasal 1 ayat (2) oleh Menteri Kehakiman
secara berangsur-angsur telah menghapuskan Pengadilan Adat/Swapraja di seluruh
Bali, Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Kalimantan dan Jambi. Dengan Peraturan
Presiden No. 6 Tahun 1966 tentang Penghapusan.Pengadilan Adat/Swapraja dan
Pembentukan Pengadilan Negara di Irian Barat.Peraturan Presiden tersebut
berdasarkan UU No. 5 Tahun 1969 telah ditingkatkan menjadi UU.

Hukum Islam justru sebaliknya. Ketika Pengadilan Adat tidak dikenal sekarang ini
sebagai bagian dari sistem peradilan nasional, maka Hukum Islam, khususnya melalui
Peradilan Agama telah diberikan landasan konstitusional berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai salah satu lingkungan peradilan
(Pasal 24 ayat (2)). Ketentuan konstitusional yang menunjukkan dasar hukum
Peradilan Agama tersebut kemudian diturunkan dalam Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, dan diatur dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta
menentukan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan negara.

14
Lawrence M. Friedman (dalam Achmad Ali, 2009),
Justru penguatan Peradilan Agama sebagai sistem hukum di Indonesia semakin
bertambah dengan adanya sejumlah peraturan perundang-undangan yang mendukung
dan memperkuat kewenangan Peradilan Agama, antara lain dalam Pengelolaan Zakat,
Pengelolaan Haji, Perbankan Syariah, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) (Sukuk),
yangmemperlihatkan suatu formalisasi Hukum Islam ke dalam Hukum Perundang-
undangan.

Pengaruh sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) melalui sistem hukum
Indonesia menunjukkan ciri posotivistik yang mampu diterima dan diterapkan dalam
sistem Hukum Islam melalui formalisasi Hukum Islam. Sementara itu, sistem Hukum
Adat yang juga diatur dan dikembangkan lebih lanjut dari hukum perundang-undangan,
justru memperlihatkan kontroversi seperti pengakuan hak masyarakat adat khususnya
hak ulayat dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo UU No. 19 Tahun 2004
tentang Kehutanan, karenahak ulayat masyarakat adat sebenarnya telah hilang dan
upaya mengembalikannya bukanlah suatu hal yang mudah.

Sistem Hukum Adat juga menunjukkan gradasinya, dari semula Hukum Adat ke
Hukum Kebiasaan, akhirnya hanya menjadi adat-istiadat (adat-kebiasaan) yang
ditemukan dalam praktik-praktik perkawinan adat, pakaian adat, dan lain-lainnya, yang
sekedar upaya mengembalikan jatidiri agar eksistensi Hukum Adat masih ditemukan
dalam masyarakat dan sistem hukum nasional.

D. Eksistensi Hukum Adat dalam Hukum Islam

Sebagai sistem hukum yang bersifat universal, hukum Islam akomodatif terhadap
system hukum yang berlaku di suatu masyarakat. Dalam hal ini hukum Islam
memberikan ruang bagi hukum Adat untuk tetap dilaksanakan oleh masyarakat,
tentunya dengan syarat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini terbukti
dengan penerimaan Islam terhadap Adat atau ‘Urf sebagai bagian dari adilatul ahkam
(dalil hukum).15 Bukti bahwa hukum Adat bisa diadopsi oleh Islam adalah sabda Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam :

‫ما رآه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬

15
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islami, (Damaskus: Darul Fikr. 1986) hlm. 828.
Sesungguhnya yang dianggap ummat Islam baik, maka di sisi Allah juga akan
dianggap baik.

HR. Ahmad
Merujuk kepada makna Adat yang sama dengan ‘Urf dalam Islam maka Allah ta’ala
berfirman :

Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. Q.S. al-A’raf: 199.

Dengan demikian eksistensi hukum Adat diakui oleh Islam sebagai dalil hukum
yang dipertimbangkan dalam menetapkan suatu hukum, selama tidak bertentangan
dengan nilai-nilai Islam.16

F. Upaya Harmonisasi Hukum Adat dan hukum Islam

Harmonisasi adalah upaya untuk mengharmoniskan dan menyatukan sehingga


17
tercipta satu keserasian. Harmonisasi yang dimaksud adalah upaya untuk
menyelaraskan antara Hukum Adat dan Hukum Islam dalam satu Sistem Hukum
Nasional. Jika selama ini seolah-olah terjadi perbedaan antara hukum Adat dan hukum
Islam maka sesuatu yang urgen untuk kembali mengharmoniskan di antara keduanya.
Di antara langkah-langkah yang bisa dilakukan adalah dengan mengkaji kembali pokok-
pokok permasalahan yang menjadi perbedaan dan persamaan hukum antara kedua
system hukum ini.

Untuk membangun dan membina hukum Nasional diperlukan politik hukum


tertentu. Politik hukum nasional Indonesia pokok-pokoknya ditetapkan dalam Garis-
Garis Besar Haluan Negara, dirinci lebih lanjut oleh menteri kehakiman Republik
Indonesia. untuk melaksanakannya telah didirikan satu lembaga yang kini bernama
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) atau Babinkumnas. melalui koordinasi yang
dilakukan oleh badan ini diharapkan di masa yang akan datang akan terwujud satu
hukum nasional di tanah air kita.18
16
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Darul hadits. 2003) hlm. 79.

17
Anonimous, Kamus Besar bahasa Indonesia, hlm. 175.
18
Muhammad Daud Ali -, hlm. 267.
Dimensi Pembangunan nasional :

1. Dimensi Pemeliharaan yaitu dimensi untuk memelihara tatanan hukum yang ada
walauun tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan.dimensi ini perlu ada untuk
mencegah kekosongan hukum dan merupakan konsekuensi logis dari Pasal II Aturan
Peralihan Undang-undang Dasar 1945.

2. Dimensi Pembaruan, yaitu dimensi yang merupakan usaha untuk lebih


meningkatkan dan menyempurnakan pembangunan hukum nasional.

3. Dimensi Penciptaan, yaitu dimensi dinamika dan kreativitas. pada dimens ini
diciptakan suatu perangkat peraturan perundang-undangan yang baru yang
sebelumnya yang belum pernah ada.
Kesimpulan

Sistem hukum nasional dibangun atas dasar Sisteh Hukum Islam, Sistem Hukum
Adat, dan Sistem Hukum Barat, yang belakangan ini meningkat pula pengaruh Sistem
Common Law sejalan dengan era globalisasi dan liberalisasi. Sistem-sisteh Hukum
sebagai Sistem Hukum Nasional tersebut telah saling berjuang untuk tampil eksis dan
memberi arti dalam pembentukan hukum nasional.

Walaupun demikian, dibandingkan Hukum Adat, maka Hukum Islam lebih mampu
menunjukkan eksistensinya, mampu menerima masukan dan berkolaborasi dengan
hukum perundang-undangan.Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan eksistensi
Hukum Adat hendaknya perlu ditinjau kembali politik hukum yang tidak menunjukkan
kemauan politik (political will) yang baik.

Anda mungkin juga menyukai